07 February 2014

Tersenyumlah

Hatiku pilu melihatmu terbaring lemah di rumah sakit. Balutan perban samar masih mengeluarkan darah dari pergelangan tanganmu. Pil-pil yang tertelan berhasil dikeluarkan tim medis tepat waktu. Kritis sudah terlewati. Namun hatimu telah mengering dan menghitam. Kamu akan kembali baik-baik saja, kuharap.

Hatiku tersayat saat mendengar kabar kamu telah menyayat pergelangan tanganmu. Dadaku sesak dan perutku mual mendengar kamu telah meminum hampir seluruh persediaan pil di kotak obat. Mengapa seorang Sasti yang manis, ceria, lugu, dan cerdas dapat melakukan hal tolol seperti itu? Mengapa Sasti? Ayo buka matamu dan jelaskan padaku semuanya?

Apakah Bowo yang menyebabkanmu jadi begini? Dasar keras kepala, sudah berapa kali kubilang dia bukan orang yang tepat untukmu. Ah, Sasti ...

"Raf, ingat Bowo kan anak Mapala yang suka nongkrong di kantin?"
"He eh."
"Tadi pagi dia ngajak ngobrol Sasti, Raf. Ngajak ngobrol duluan!"
"Ngobrol apaan?"
"Hemm dia bilang boleh pinjem korek."
"Terus?"
"Udah gitu doang, Sasti pinjemin dan dia ambil. Pinjem korek dong?"
"Gitu doang?"
"Iya, Tapi Raf ini awal yang bagus untuk memulai hubungan Bowo dan Sasti."
"Curanrek?"
"Hah? Maksudnya?"'
"Pencurian Korek. Balikin korek-korek gue yang ada di elo. Hubungan macam apa yang diawali dari curanrek?"
Sasti pun tersenyum. Manis sekali.

Kamu selalu mengeluarkan jurus andalanmu, tersenyum, jika sudah merasa terpojok. Jika sudah kalah tetapi tidak mau mengaku kekalahanmu. Jika sudah salah dan berkelit dari kesalahanmu. Senyum yang menghiasi wajahmu meluluhkan seluruh ragaku. Senyumanmu dapat menenangkan otot-otot yang menegang.

Seperti saat kamu menghampiriku dengan penuh semangat membawa oleh-oleh dari sepupumu,
"Raf, Sasti bawa sesuatu untuk kamu."
"Apa?"
"Biji kopi Wamewa asli dari Papua. Ini ...."
"Wamewa? Baru dengar?"
"Katanya pencinta kopi masa ngga tahu! Hih!"
"Setahu gue sih Wamena. Nih tulisannya juga gitu."
"Iya itu." sambil tersenyum. Amat manis.

"Raf, ada lowongan jadi kontributor majalah kampus, ikutan yuk?"
"Elo aja."
"Kenapa kamu ngga mau? Kan kamu bisa nulis soal perkopi-kopianmu."
"Malas ah!"
"Ya udah, abis ini anterin Sasti yah."
"Iya. Elo yakin?"
"Loh kenapa memangnya?"
"Elo kan sering typo! Ntar gue lagi yang repot editin tulisan Lo, seperti biasanya."
"Ngga ah!"
"Oh ya? Ngga ingat yah waktu Elo bikin laporan audit asrama kampus jadi laporan audit asmara kampus? Ngga ingat waktu presentasi tugas ramalan situasi pengunjung jadi lamaran saat kamu baca di depan para dosen? Ngga ingat ...."
"Keselok lidah. He hee ... Eh keseleo lidah. Hee he he he."
"See? Otak sama mulut Elo suka ngga sinkron."
Sasti tersenyum menggemaskan.

Sudah tiga hari kamu terbaring di sana, bunga-bunga pun perlahan melayu. Setiap pagi aku bawa segelas coklat panas kesukaanmu. Dingin, seperti tanganmu yang sedang kugenggam. Di mana keceriaanmu, ke mana senyummu? Ah, Sasti betapa aku sangat membutuhkan senyumanmu sore ini. Bangunlah! Tersenyumlah untukku hari ini. Tidak dapat ditunda lagi, Ribka menunggu jawabanku besok. Jika kamu tersenyum hari ini, aku berjanji akan selalu menemanimu. Akan kusediakan berjuta-juta gelas coklat panas untuk mengusir moodmu yang jelek. Tidak akan mengeluh saat kamu membasahi pundakku dengan tangisanmu, karena aku tidak mau membuatmu bersedih dan menangis.

Sudah lama kupendam rasa ini, Sasti. Tak mampu kuungkapkan ketika melihat binar sinar matamu tiap kali jatuh hati pada pria lain. Tak sanggup kukatakan ketika rinai tawa bahagia dan cerita akhir pekan yang kamu habiskan dengan pria lain. Tak kuasa kulampiaskan sesal ketika kamu datang menangis di pundakku sebab pria lain yang menyakitimu. Tapi kali ini tak dapat kupendam lagi. Tersenyumlah untukku hari ini, boleh?

Sudahlah Sasti, hiraukan saja perkataanku tadi. Rasanya percuma mengatakan ini semua di kala kamu tak sadarkan diri. Namun, ingin kupercaya bahwa kamu mendengar setiap kata. Aku pergi sekarang. Kamu harus jaga baik-baik tubuhmu. Pulang kantor aku ada rapat jadi mungkin agak larut baru datang lagi. Mau kubawakan coklat panas lagi? Atau es krim coklat? Atau sekotak coklat cadburry? 

Tepat sebelum kubuka pintu, kudengar suaramu lirih,

"Rafa ...."

"Puji Tuhan, kamu sudah sadar?"

"Rafa ...."

Hari ini aku bolos kerja, tak peduli hal lainnya. Yang kuinginkan hanya kamu, Sasti.

"Rafa, Sasti ...."

"Jangan pernah ngelakuin hal tolol lagi! Jangan pernah bikin orang khawatir lagi! Jangan pernah! Janji?"

"Sasti ...."

"Jangan pernah ninggalin gue lagi! Sssttt, jangan banyak ngomong dulu." Yang aku inginkan sekarang hanya memeluk erat dan menciummu hangat. Bukan yang lain.

"Sasti mau coklat."

Kan kubawa segala jenis coklat asal kamu tersenyum lagi untukku, Sasti.


***

10 comments:

  1. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK >,<

    ReplyDelete
  2. Va, aku suka tulisan ini. Cinta diam-diam memang selalu ada kekuatan tersendiri waktu dituangkan ke sebuah tulisan, menurutku. Tapi (lagi-lagi) menurutku, rasanya ga mungkin orang yang baru sadar dari percobaan bunuh diri, bisa langsung bicara sebanyak itu dan punya semangat bicara kayak gitu. Penggambaran Sasti sadar sudah bagus, tapi kejadian setelahnya kayak dibuat terlalu terburu-buru dan akhirnya bikin endingnya ga enak. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. He he he. Iya makasih yah, aku juga ngga nyangka bisa bikin jenis yang beginian. Udah di edit ending, gimana?

      Delete
    2. lebih baik, Va. kondisi badan seseorang pas bangun pasca dibius total itu pasti haus, dan pasti langsung butuh minum. uniknya Sasti, dia minta hal yang nggak biasa. good job, Va ;)

      Delete
    3. Hahahahaaa. Iyes!!!! Makasih yah. Kecup basah :*

      Delete
  3. wih keren. terhanyut dalam ceritanya.
    cuma, yg diatas gua bener nih. endingnya terlalu memaksakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih yah udah baca. Iya, sudah di edit endingnya, gimana?

      Delete
  4. Selamat datang kembali...

    berasa udah lama banget ga baca cerpen kaya gini di blog ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. He he he, selamat berkunjung kembali. :D

      Terima kasih yah.

      Delete