30 November 2015

Iga Bakar Madu






Malam tadi dia datang lagi, menjemput dan membawaku makan malam. Kami makan dalam diam, hanya suara denting sendok dan garpu beradu di piring dan samar-samar percakapan orang di meja sebelah. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, dia sibuk mengunyah iga bakar kesukaannya. Sudah berulang kali aku katakan padanya untuk tidak menghampiri dan menemui aku lagi. Semuanya harus segera diakhiri. Tetapi, malam tadi saat bersamanya ... melihat raut mukanya yang penuh bulir keringat akibat kepedasan, mendengar renyah canda tawanya ... aku merasakan luapan emosi. Aku menyerah atas nama ketidakberdayaan ... dan akhirnya aku memutuskan untuk memilih Iga Bakar Madu.

"Temanin aku makan, yuk!", ajaknya di suatu sore yang sedikit mendung. Gelapnya awan mulai menjatuhkan tetesan demi tetesan bulir air. Rasa lapar membuat kepalaku mengangguk, kujawab "Hayu!".

"Iga Bakar yah, mau?", tanyanya saat dalam perjalanan.

"Boleh."


Dua bulan namanya hadir dalam hidupku. Dua minggu perjalanan kisah hidupnya kuketahui. Ada sesuatu mengusik tentangnya yang membuatku penasaran. Rasa penasaran yang mengalahkan semua batasan-batasan dari aturan yang tidak tertulis. Gejolak perasaan memberanikan diri untuk melompat pagar yang bahkan seharusnya tidak boleh kusentuh.

"Sorry, barusan anak aku telepon. Sampai di mana tadi?", ucapnya lugas.

Kata-kata yang meluncur dari mulutnya terlalu lugas hingga ingin kuhiraukan. Tidak ada yang terselubung dan disembunyikan.

"Anak?" tanyaku mempertegas pernyataannya, "Namanya siapa? Umur berapa? Udah sekolah? Gimana kabarnya?", kuhujani dengan banyak pertanyaan untuk menutup kekikukan.


Tak pernah terbayangkan bahwa dia, pria gagah yang selalu renyah saat tertawa, yang selalu membuatku tertawa, yang begitu baik dan perhatian adalah seorang ayah, seorang suami. Pemilik dari hati seorang wanita yang sah. Entah apa yang telah merasuki hati dan pikiranku hingga selalu kuiyakan setiap ajakan makan malamnya, selalu kuangkat telepon darinya sampai kantuk menjelang, selalu kurindukan gelak tawanya, hangat peluknya, dan kecupannya. Selalu ingin bersamanya! Mengapa?

"Kalau aku ajak makan malam lagi, mau yah?" ujarnya setelah mengelap keringat diwajahnya.

"Ya, tergantung...." ucapku lirih.

"Tergantung apa?" tanyanya sambil memiringkan kepala, terlihat lucu di depanku.

"Kenapa harus aku yang menemani?"

"Karena kamu menyenangkan."

"Oh ..."

"Iya, serius!"


Aroma parfumnya masih melekat berbaur dengan aroma asap Iga selepas makan malam tadi. Meninggalkan resah yang menggelisahkan di relung hati hingga senyum selalu terkulum.
Senyum miris akan getirnya keadaan. Salahkah aku yang ingin bersamanya seutuhnya? Salahkah aku yang tak dapat mengendalikan perasaan?

"Nanti malam Iga Bakar, yuk?" ajaknya.

"Ngga ah."

"Loh kenapa? Udah lama ngga makan Iga. Kangen nih!"

"Kamu kan kangennya ama Iga Bakar. Ya makan aja sendiri!"

"Kan kamu tahu aku ngga suka makan sendiri. Kamu kenapa sih?"

"Udah lah, kamu mending nyari teman makan yang lain aja."

"Aku maunya kamu!"

"Tapi ... kenapa aku? Kamu itu suami orang ...."

"Ya terus?"

"Ya terus apa???? Emang kamu anggap aku ini apa???"

"Kamu pacar aku!"

"Kamu tuh!!!"


Hatiku pilu, nuraniku memberontak, perasaanku menggerogoti. Di dalam sana semuanya berbenturan dan menghimpit.

"Kenapa yah aku bisa sayang sama kamu?"

"Aku ngga tahu. Tapi aku ngga butuh sayang kamu."

"Aku ngga peduli."

"Aku yang peduli! Kamu itu bukan milik aku, kamu itu .... kamu tahu ngga sih perasaan aku? Posisi aku??"  

"Kamu cantik."

"Hah? Apa?"

"Kamu kalau marah gitu jadi tambah cantik."

"Aku lagi ngomong serius. Kenapa sih kamu ngga pernah berhenti becanda bentar aja."

"Karna aku ngga mau lihat muka kamu cemberut."

"Ya, jangan bikin aku cemberut dong!"

"Sini, aku cium dulu."


Begitulah setiap kali percikan muncul, dia selalu berhasil memadamkannya. Bodoh? Iya, aku membodohi diri sendiri akan kenyamanan yang dia tawarkan. Nyaman itu mahal tetapi dia selalu hadir dengan membawa rasa nyaman. Rasa yang selama ini kucari.

"Di sini kan terkenal Iga Bakar Madunya, kenapa kamu ngga pernah mau coba?"

"Karna aku masih bingung...."

"Pilih makanan aja bingung ...."

"Berisik ah!"

"Jadi, gimana? Mau yah aku pesenin Iga Bakar Madu, yah? Mau sampai kapan kamu menghindar terus? Masih kurang bukti apa lagi?"

Dihadapanku sekarang ada Iga Bakar Penyet dan Iga Bakar Madu. Menu yang aku pilih akan menentukan jalan hidup aku sekarang sampai entahlah hanya waktu yang pandai menjawabnya.

"Ayo, makan. Lapar nih! Pilih mau yang mana?" tanyanya santai sambil menyeringai.

Semalam, sebelum aku mengiyakan lagi ajakannya telah kuenyahkan segala bentuk protes dalam pikiranku terhadap sesuatu yang belum atau mungkin akan terjadi. Nyatanya aku tidak peduli lagi. Bendungan hati sudah membuncah. Terlalu lama mengikuti apa keinginan orang hingga kutepiskan apa yang menjadi inginku. Mungkin ini saatnya aku mengikuti apa kata hatiku sendiri. Mungkin ini salah, mungkin ... siapa yang tahu, siapa yang peduli.

"Keburu dingin Iganya ... kasian dia minta dimakan selagi panas!" ucapannya membuyarkan lamunanku.

Perlahan, tanganku memilih piring di sebelah kanan. Dia tersenyum, manis sekali. Kuambil Iga Bakar Madu.

"Selamat makan, sayang."