26 December 2012

Bayangan Semu

Aku tahu kamu berada di sampingku.
Aku tahu kamu pasti akan menemani aku.

Aku tahu kita berada di tempat yang sama,
Karena aku bisa mendengar suaramu samar.
Karena aku dapat merasakan kehadiranmu.
Tapi yang kulihat hanyalah bayangan semu.

Bayangan yang terus kian melekat dalam ragaku.
Mengisi setiap celah kosong dalam sukmaku.
Memompa degup jantung hatiku,
Hingga mempermainkan perasaanku,
Serta membuat tak menentu emosiku.

Kamu tahu, yang kuinginkan adalah hadirnya Sang Matahari,
Tepat berada di atas kepalaku.
Hanya dengan sinarnya, bayangan akan terkikis.
Tapi, tak mungkin kuberjalan seorang diri
Tanpa adanya sosok bayangan walaupun semu.


***



Malam Natal Sepi yang Menyenangkan

Senin, 24 Desember kemarin sengaja saya luangkan waktu seharian bersama mama dan adik. Memang, agak terlambat rasanya untuk belanja persiapan Natalan di rumah, seperti kue-kue kering. Urusan pekerjaan kebetulan baru selesai Hari Minggu, maka Senin kemarin adalah waktu yang pas.

Sama halnya dengan Lebaran, ada opor ayam dengan ketupat, kue-kue kering, dan tentu saja baju Lebaran. Begitu pun saat Natal. Walaupun tidak harus pakai baju baru setidaknya saat ada tamu yang datang ada makanan yang siap disuguhkan.

Dari pagi Mama sudah berangkat ke pasar mencari daging babi. Ya, babi kecap dan sayur Bakut adalah menu special Natal. Rasanya tidak lengkap Natalan tanpa ada dua menu tadi. Sayang, karena kesiangan sampai di pasar persediaan daging babi sudah habis. Yang tersisa tulang-tulang iga untuk Bakut. Adapun menunggu hingga siangan tapi kami tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Jadi, menu babi kecap terpaksa harus absen tahun ini.

Tidak adanya babi kecap dalam menu Natal saya jadikan suatu pertanda, karena biasanya Mama selalu menyisakan semangkuk besar untuk seseorang yang begitu menyukai masakan Mama, sebut saja si mantan.

Belanja di pusat pertokoan dan dihadapkan pada tulisan besar-besar "SALE 50%" memang membuat mata jadi gelap. Kalau saja tidak pandai memilih-milih prioritas sudah tandas semua tabungan. Nyatanya memang demikian ..... Hitung-hitung menghabiskan waktu.

Sampai di rumah menjelang malam ... 

Biasanya, hampir sepuluh tahun terakhir saya tidak pernah menghabiskan malam natal di rumah. Tapi, di  rumah seseorang yah sebut saja si mantan. Malam natal di rumahnya selalu dipenuhi oleh kehangatan keluarga besar dan banyak makanan, pastinya. Mulai dari Sup Kacang Merah Brenebon, Ayam Rica, Babi Rica, Mie Goreng, dan masih banyak lagi. Berkumpul bersama keluarganya, ngobrol tentang apa saja, hingga menjelang 00.00 lalu kami semua berdoa. Setelahnya bernyanyi sambil saling mengucapkan Selamat Natal. 

Di rumah memang tidak ada acara khusus Malam Natal. Mama dan Papa yang nonton tivi di bawah. Adik saya juga nonton tivi di atas. Dan saya dengan laptop serta kopi yang setia menemani sama seperti malam-malam lainnya. Tidak ada yang special.

Malam Natal kali ini memang sepi dibandingkan dengan Malam Natal sebelumnya. Merindukan kehangatan itu, hingar bingar di dalamnya, dan tentu saja makanan yang selalu dinanti. Ya, saya mengakuinya tanpa ada maksud lain yang terselubung. Wajar kan jika saya merasakan hal itu? Hubungan dekat dengan keluarganya memang tidak bisa ditepiskan begitu saja.

Biarlah saya menghabiskan malam natal sepi hanya dengan bergelas-gelas kopi dan berbatang-batang rokok tapi rasanya jauh lebih menyenangkan.

Selamat Natal untuk kamu semua yang merayakan. Semoga berkat dan damai Natal menyertai hati kita masing-masing.

***





24 December 2012

Sepasang Kekasih yang Kesepian


Pernah mengalami di suatu kondisi hasil kerjamu hanya dibayar dengan segelas kopi dan sebungkus rokok? Bukan dengan uang tunai! Saya pernah. Alasannya simple saja bukan karena tidak butuh uang tapi saat itu rasanya kopi lebih dibutuhkan untuk meningkatkan stamina dan konsentrasi. Sama halnya dengan rokok, semacam peransang kinerja otak agar lebih kreatif. Bisa dibilang suplemen dan mood boosters untuk menjalani hari yang padat. Ini pendapat menurut saya saja yah tanpa bermaksud apalagi menghimbau agar mengkonsumsi kopi dan rokok selagi kerja. Tiap orang punya caranya sendiri agar lebih bersemangat dalam bekerja, itu sudah pasti.

Nah, yang ingin saya ceritakan di sini bukan tentang soal kerjaan, bayaran, atau mood boosters tiap orang yang berbeda-beda. Tapi, lebih kepada intisari dari kopi dan rokok, khususnya dalam keseharian saya. Jadi, sebelum membaca lebih lanjut lebih baik tepiskan dahulu segala pendapat negatif dan bahaya dari kopi dan rokok atau lebih baik tidak usah dilanjutkan. Setuju?

Kita mulai dari sini ...
Kopi selalu dipaksakan berjodoh dengan rokok. Betul kah dipaksakan? Atau karena memang mereka sudah berjodoh?

Pada kenyataannya memang tidak semua orang itu peminum kopi. Dan tidak semua orang adalah perokok. Tapi keberadaan kopi dan rokok memang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Coba kita sama-sama selisik lebih dalam. Hampir sebagian besar di cafe atau coffee shop terdapat ruangan smoking area, walaupun ditempatkan terpisah, di luar dengan kapasitas yang lebih kecil dan kurang nyaman tanpa sofa. Tidak jarang juga di beberapa cafe atau coffee shop lebih mengedepankan kenyamanan ruangan smoking area. Masih mau bukti? 

Coba melipir di jalanan, ada berapa banyak kios, warung kecil di pinggir jalan yang menyediakan air panas untuk seduh kopi sachet lengkap dengan bangku ala kadarnya. Rasanya kurang pas kalau sudah ada kopi ngga ngerokok, atau sudah ngerokok asem ngga ada kopi. Ini berdasarkan dari hasil survey pada segelintir orang secara sembarang. 

Intinya adalah kopi sangat erat hubungannya dengan rokok, begitupun sebaliknya. Mereka saling mengisi satu sama lain.
Mereka adalah sepasang kekasih yang kesepian. Begitu seorang teman dekat menamainya.

*

Bagaimana mungkin menamai mereka sepasang tapi ko kesepian? Saya tanyakan hal itu padanya. 

Duduknya langsung tegap, condong ke depan, mengambil cangkir kopi kemudian menghirup aromanya amat perlahan. Cangkir kopinya memang masih panas, dari seberang meja saya masih melihat kepulan asapnya. Setelah menghirupnya, dia menyeruput pelan-pelan seakan bunyinya akan membangunkan bayi yang baru terlelap setelah menangis seharian.

Saya pikir setelah dia meminum kopinya, dia akan langsung menjawab.

Kemudian dia mengambil sebatang rokok, mengetuk-ngetuk ujung filter ke atas meja “Supaya padat”, jelasnya karena saya melihatnya dengan ekspresi penuh tanda tanya. Mengambil korek membakar rokoknya. Ada jeda waktu yang panjang seakan terhisap bersamaan dengan saat dia mengisap rokoknya dalam-dalam. Bara api tersulut dalam keheningan. Lalu menghembuskan asapnya seolah beban hidupnya ikut terangkat seiring dengan asap yang terbang bersama angin sore hari ini.

Saya masih duduk menatapnya, menunggu jawaban.

“Sepasang kekasih yang kesepian. Kamu mau tahu mengapa saya menyebut mereka demikian?”
“Iya, maka dari itu saya ngajak kamu ngopi hari ini.”
“Kalau saya ternyata tiba-tiba tidak bisa datang, apa yang kamu lakukan?”
“Kesal yang pasti!”
“Tapi kamu sudah ada di tempat ini. Pulang? Pergi ke tempat lain? Atau ke mana?”
“Karena sudah ada di sini yah pesan minum.”
“Minum apa?”
“Kopi.”
“Sendirian?”
“Yah, karena kamu tidak datang terpaksa menikmatinya sendirian.”
“Tepat!”
“Maksudnya?”
“Kamu bisa tetap menikmati kopi dan rokok dalam kesendirian.”
“Ya, tentu saja. Lantas apa hubungannya dengan pertanyaan saya tadi di awal tentang sepasang kekasih yang kesepian?”
“Begini ...”

Lagi sebelum menjelaskan dia memulai ritual meminum kopinya dan membakar rokoknya sebelum menjelaskan. Saya harus bersabar menunggunya.

“Lihat, tangan kanan saya memegang rokok sedangkan tangan kiri menggengam cangkir kopi. Apa yang kamu tangkap?”

“Kamu sedang minum kopi sambil ngerokok???”

“Buka sedikit pikiranmu. Semua yang ada di kehidupan ini ada maknanya. Segala perbuatan yang kamu lakukan harus ada tujuannya. Kita punya dua tangan sudah pasti ada tujuannya. Tangan kanan dan tangan kiri punya fungsinya masing-masing. Tidak adil jika saya memegang rokok pakai tangan kanan dan mengambil cangkir memakai tangan yang sama. Walaupun bisa saja saya berbuat seperti itu. Intinya adalah keseimbangan.”

“Iyaa ...” dengan raut muka bertanya karena sesungguhnya saya memang tidak mengerti arah pembicaraannya.

“Boleh saya bertanya?”
“Silakan, tapi pertanyaan saya belum dijawab loh.”
“Dalam sehari berapa gelas kopi yang kamu minum?”
“Dua hingga tiga gelas. Tergantung banyaknya pekerjaan.”
“Berapa bungkus rokok yang kamu habiskan dalam sehari?”
“Rata-rata satu bungkus. Tergantung tingkat stress.”

“Tergantung ....” jawabnya sambil menghembuskan asap, menjentikkan abunya pada asbak lalu melanjutkan.
“Artinya ketidakpastian. Dan yang pasti hanya ada kopi dan rokok yang setia menemani dalam keadaan apa pun.”

“Iyaa, tapi di mana korelasinya sehingga menjadi sepasang kekasih yang kesepian.” sebenarnya apa yang ingin dia ungkapkan. Saya yang terlalu bodoh tidak dapat menangkap makna dibalik kata-katanya atau dia hanya bermain-main dengan kata saja.

“Kopi paling pas menurut saya diminum selagi panas. Rokok hanya kumpulan tembakau dalam kertas papir tanpa bara api. keduanya sama-sama membutuhkan energi panas walaupun medianya berbeda. Sudah mulai mengerti?”

“Samar-samar ....”

“Kopi hitam yang saya minum akan menyisakan ampas. Rokok yang kita hisap akan meninggalkan sisa-sisa abu dan puntung dalam asbak. Keduanya meninggalkan jejak sebelum tandas.”

“Tapi kopi yang saya minum tak berampas.”
“Saya lebih beruntung kalau begitu.”
“Kenapa beruntung?”
“Setidaknya setelah tegukan terakhir, ampas ini masih setia menemani saya. Coba kopimu? Setelah tegukan terakhir apa yang tersisa?”
“Tidak ada ....”
“Masih ada rokok yang bisa menemanimu untuk dibakar lagi.”
“Lalu?”

“Kopi hitam yang saya minum dan kamu yang pesan kopi susu berasal dari sumber yang sama, hanya cara penyajiannya saja yang berbeda. Ada yang suka pahit tanpa gula, ada yang menambahkan gula, susu, creamer, buah-buahan, ice cream, bahkan sedikit alkohol. Masalah selera saja. Sama halnya dengan manusia yang berasal dari sumber yang sama, Yang Maha Kuasa. Manusia satu dengan manusia lainnya diracik sedemikian rupa hingga terlihat berbeda satu sama lain. Masalah sudut pandang saja. Sayangnya, mereka lebih menitikberatkan pada perbedaan. Coba lihat kopi kita akur-akur saja di atas meja.

“Ehmpp iyaa ....” pembicaraan ini rasanya semakin melantur.
“Sedangkan rokok bagi saya adalah seni.”
“Seni?”

“Merokok adalah seni.” Dia mengambil satu batang dari bungkus rokoknya, mengetuk-ngetuknya di atas meja. “Yang saya lakukan adalah memadatkan tembakau di dalamnya, membakarnya, mengisapnya, lihat bara api menyatukan tembakau di dalam kertas merangsak hingga ke ujung filter menghasilkan asap masuk terhisap ke dalam bibir. Dan di olah secara naluriah oleh perokok. Semua itu proses dan hasil akhirnya adalah asap tembakau yang terhembus. Pembakaran sempurna.”

“Kamu terlalu berfilosofi.”

“Kopi dan rokok bagi saya adalah kehidupan. Kopi hangat dan bungkus rokok yang ada di meja kita merupakan hasil dari proses yang panjang. Begitu kamu menghirup aroma kopinya dan membakar batang rokokmu itulah awal kehidupan di mulai. Kopi hangat yang sudah tersaji jika tidak kau minum, semut dan serangga kecil biadab itu akan menghabisinya tanpa ampun. Begitu pula rokok yang sudah kau bakar lalu didiamkan di asbak akan habis dengan sendirinya oleh angin. Dan hidupmu akan berlalu begitu saja termakan usia tanpa pernah kau mengecap intisari dari kehidupan di dalamnya. Sia-sia.”

“Ya ya ya, masuk akal.”

“Mereka, kopi dan rokok, banyak berperan dalam hidup saya. Banyak karya saya terlahir bersama mereka. Walaupun mereka bisa berdiri sendiri dengan peranan dan fungsinya serta resiko kesehatan yang ditimbulkan tapi disadari atau tidak, mereka saling melengkapi, saling mengisi satu sama lain, saling dibutuhkan. Mereka lebih dari sahabat yang akan selalu ada di saat-saat kau terpuruk atau hanya ingin berteman dengan sepi. Mereka ....”

“Sepasang kekasih yang kesepian.”

***


17 December 2012

Tertanda Untuk Kamu


Ketika malam sepi menjelang.
Aku ingin kau dekap dalam pelukan, sayang.
Nyatanya jarak terlalu membentang.
Genggaman tanganmu selalu membuatku melayang.
Esensi tiap sentuhanmu masih membayang.
Nikmati malam sepi sendiri, hingga rindu menghilang.


Gambar dari sini

11 December 2012

Rinai Hujan dan Ibu


'“Nek, kenapa setiap kali hujan turun Ibu selalu duduk dekat jendela sambil tersenyum?”

“Ibumu sedang menyambut kedatangan Ayah.”

***

Ibu memang mencintai hujan melebihi apa pun di dunia ini sejak kecil, termasuk aku sebagai putrinya. Nenek bilang, Ibu paling suka hujan-hujanan. Jika rinai hujan sudah menyentuh  atap rumah, dia akan segera berlari keluar dan menarikan sebuah tarian, “Tarian Hujan”, Kata Ibu. 
Nenek sudah lelah dan menyerah untuk melarang Ibu agar tidak hujan-hujanan karena Ibu tidak pernah jatuh sakit setelah hujan-hujanan. Tidak seperti anak lainnya yang demam dan panas tinggi setelah bermain air.

Hujan turun tak henti-hentinya selama berhari-hari hingga air meluap dan banjir melanda. Ibu juga tidak pernah sekali pun absen menarikan tarian hujannya. Hujan kali ini berbeda, membuat Ibu sakit demam tinggi tidak turun-turun. Mungkin ini disebabkan tidak adanya persediaan air bersih, makanan yang layak, obat-obatan, dan baju hangat di tempat pengungsian darurat. Curah hujan yang tinggi membuat air terus meluap sehingga mereka semua terpaksa mengungsi ke tempat yang kering. Bantuan dan relawan datang tepat di saat beberapa orang sudah terkapar terserang demam, diare, dan gatal-gatal.

Saat itulah Ibu bertemu dengan Ayah, seorang pemuda kota yang sedang co-ass dan menjadi relawan. Ayah merawat Ibu yang sudah tergolek lemah tak berdaya, kehilangan banyak cairan dan gizi serta demam yang tak kunjung turun. Tak lama setelah keadaan normal kembali, Ibu dan Ayah pacaran. Setahun kemudian mereka menikah dan lahirlah aku. Ibu menamaiku aku, Rinai.

Saat itu usiaku masih sangat kecil, aku tidak mengerti mengapa Ibu yang selalu terlihat riang menangis berhari-hari bahkan berminggu-minggu lamanya sepanjang malam. Tapi, jika langit sudah memperlihatkan awan gelap aku dapat melihat senyum tipis Ibu. Ibu akan duduk manis di dekat jendela menunggu rintik-rintik hujan turun. Ibu tidak pernah menarikan “Tarian Hujan” lagi setelah Ayah pergi dari rumah.

*

“Sudah jangan menangis terus. Aku pergi untuk kamu dan Rinai.”
“Kerjaan kamu di sini kan sudah enak. Kenapa harus melanjutkan sekolah lagi? Kenapa harus keluar negeri?”
“Aku ingin punya klinik sendiri, ini jalan yang harus aku tempuh.”
“Tapi aku dan Rinai butuh kamu. Aku butuh kamu.”
“Dua tahun. Aku cuma minta dua tahun.”
“Swedia itu jauh, kan?”
“Sudah jangan menangis terus, nanti Rinai bangun. Jangan menambah beban kepergianku. Aku akan rajin mengirimimu surat.”

Di rumah Nenek, semua sanak saudara berkumpul melepas kepergian Ayah ke Swedia untuk melanjutkan gelar dokternya. Aku yang masih kecil tidak mengerti bahwa itu adalah saat terakhir aku bertemu dengan Ayah. Yang aku tahu semua saudara berkumpul dan banyak sekali makanan manis. Ibu dan pamanku mengantar kepergian Ayah ke bandara. Aku di rumah bermain bersama sepupu dan Nenek yang menjagaku.

“Kamu, baik-baik yah. Jaga kesehatan. Jangan hujan-hujanan nanti kalau sakit aku yang repot harus terbang ke Bandung untuk ngobatin.”
“Iya, kamu juga hati-hati di sana. Belajar yang rajin biar cepat lulus dan pulang ke rumah.”
“Aku akan merakit mesin penenun hujan di sana. Hingga terjalin terbentuk awan yang melimpahkan curah hujan hanya untukmu.”1

Dalam perjalanan pulang paman terus menghibur Ibu yang masih menangis, kesepian dan kerinduan yang pertama kali menyerang Ibu. Nenek sedang menonton sinetron sambil sesekali melihatku yang sedang bermain di luar. Dalam sekilas berita diberitakan “Terjadi kecelakaan pesawat pada penerbangan International dari Bandung ke Swedia. Hampir dapat dipastikan tidak ada penumpang yang selamat.

*

“Rinaiiii ....”
“Iya, Bu.”
“Ayah sedang menenun, lihat awannya gelap sekali. Buatkan teh sebentar lagi Ayah datang.”

Rinai hujan perlahan turun, suara gemercik merdu terdengar menyentuh atap rumah, membasahi halaman rumah. Di sudut jendela, Ibu menikmati tehnya sambil tersenyum, menyambut Ayah.

***

Gambar dari sini

Note.
1. Petikan lirik Frau, Mesin Penenun Hujan.
Coba deh bacanya sambil buka www.rainymood.com


10 December 2012

Wanita Dudul Terindah


Sebenarnya begini, aku sedang risau. Gelisah. Uring-uringan hanya karena satu wanita. Tunggu! Jangan bayangkan dia sebagai wanita dengan wajah cantik, kulit putih, berambut panjang hitam dan tinggi semampai. Dan jangan sekalipun beranggapan dia adalah wanita yang feminin, lembut, gemulai, sopan, apalagi baik hati.

Yah, baiklah harus kuakui terkadang dia memang terlihat cantik saat tersenyum. Tapi itu juga kadang-kadang karena dia lebih sering memajang foto profile di blackberrynya dengan raut muka yang jutek. Jadi, wajar saja kan jika aku langsung save foto profile dia saat dia sedang memasang fotonya yang sedang tersenyum? Tolong, jangan beritahu perbuatanku padanya bisa-bisa aku ditamparnya habis-habisan karena perbuatanku yang lancang. Tapi, jujur dia itu cantik kalau sedang tersenyum. 
Hanya saja dia tidak menyadarinya. Dia memang tidak pernah sadar terhadap lingkungan di sekitarnya. Apalagi terhadap kehadiran aku! Percaya tidak?

Sudah berapa kali kami bertemu dan setiap dia melihat aku sedang menuliskan sesuatu, dia selalu berkata,

“Eh, lo itu kidal yah? Baru tahu gw. Keren!”
“Iya ... dan setiap kali gw nulis, lo selalu bilang gitu.”
“Ah, masa sih? Ngga ah!”
“Iya!”
“NGGA!”
“Iiiii ...”
“NGGA!”
“Ah, sudahlah.”

Tuh kan, dia memang selalu begitu. Bersikukuh terhadap pendapatnya yang jelas-jelas salah dan parahnya dia dapat memutar keadaan seakan-akan aku yang bersalah. Selalu seperti itu setiap kali. Dan tetap saja dia tidak pernah menyadari kehadiran aku di dalam hidupnya.

“Idih, sejak kapan lo potong rambut? Gantengan deh sekarang.”
“Dua hari yang lalu kita ketemu juga gw udah potong rambut!”
“Ah, masa sih? Ngga ah!”
“Iya ...”
“Ngga ah, ga mungkin gw ga sadar lo potong rambut.”
“Ah apa sih yang lo tahu tentang gw?”
“Hemmmp .... “
“Ngga bisa jawab kan? Ah, sudahlah.”
“Memangnya apa lo tahu tentang gw?”
“Banyak!”
“Ya apa banyak itu?”
“Lo itu paling suka hujan, senja, pantai, kopi, keju, begadang dan ngga pernah bisa bangun pagi.”
“Kalau itu semua followers gw juga tahu kali.”
“Tapi mereka ngga tahu lo kalau lagi nulis ga mau diganggu. Menyendiri entah dimana, menghilang. Pelupa, selalu ada saja yang ketinggalan. Bahkan lagi asyik cerita begitu dipotong lupa sudah kelanjutan ceritanya. Dan lo itu ...”
“Bentar! Ko lo tahu?”
“Yang jadi pertanyaan itu, kok lo ga tahu apa-apa tentang gw!!!”
“Harus yah gw tahu?”
“Ah, sudahlah.”

Padahal setiap kali kita bertemu, kita berbagi cerita. Dia yang selalu bersemangat bercerita tentang pekerjaannya, teman-temannya, kesehariannya. Aku selalu bersiaga dengan telingaku, mendengarkan dengan seksama dan menangkap sinyal-sinyal dari ceritanya. Apa yang menjadi kesukaannya aku simpan dengan rapi dalam sel-sel otak memoriku dan menjaga perkataan serta perbuatanku terhadap hal-hal yang dibencinya. 

Seperti yang aku bilang tadi di awal, dia itu sebenarnya cantik dengan rambut hitamnya yang panjang. Pada dasarnya dia baik dan perhatian walaupun dia tidak ingin terlihat seperti itu. Ada satu kejadian yang membuat aku begitu ... ah dia itu memang wanita dudul terindah yang pernah ada.

Suatu kali dia kirim bbm, ngajak ketemuan di suatu tempat,

“Sibuk ga?”
“Ngga juga. Knp?”
“Ketemuan yuk? Udah lama ga ketemu.”
“Kapan?”
“Jam 16.00 di Kopi-Q”
“Oke.”
“C u soon.”

Jam 15.30 aku sudah ada di Kopi-Q. Duduk manis menunggunya. Hingga 45 menit kemudian tidak muncul juga batang hidungnya aku langsung meneleponnya.

“Halo? Heh, dimana?”
“Masih di rumah. Kenapa?”
“Tanya kenapa lagi! Lo yang ngajak ketemuan, lo yang lupa! Jadi ga mau ketemuan. Gw udah sampai.”
“Loh, bukannya jam 6 yah?”

Aku langsung cek bbm yang dia kirimkan tadi pagi.

“Lo bbm gw jam 4!”
“Ah, masa sih? Jam 6 kali.”
“Lo nulis jam enam belas nol nol itu artinya jam empat, dudul!”

Hening, mungkin dia sedang mengecek bbm. Lalu terdengar suara tawanya, ngakak.

“Maaf-maaf .... hahahaaa maaf yah. Ko gw mikirnya jam 6 yah?”
“Jadi gimana?”
“Lo pesen aja dulu, gw berangkat sekarang yah.”
“Udah pesen dua gel ....”
“Tuutt tuuuttt”

45 menit kemudian, dia menelepon. Aku sudah berpikir jangan-jangan terjadi sesuatu dengannya di jalan atau tiba-tiba dia membatalkan pertemuan yang dia janjikan sendiri.

“Lo duduk dimana?”
“Gw duduk di depan. Lo dah dimana?”
“Depan mana?”
“Lo dah sampe? Gw ga liat motor lo!”
“Gw udah di dalam ko.”
“Bentar dulu. Ini lo dimana?”
“Kopi Kamu ....”
“Dasar dudul! Arrghhh lo tadi bbm gw ketemuan di Kopi-Q tahu.”
“Ah, masa sih?”
“Jadi lo mau ke sini apa gw yang ke sana?!?”
“Hahahahaa, iya gw lupa. Bentar gw ke sana aja, tunggu lagi ya.”

Salah jika aku menyebut dia wanita dudul? Dia yang ngajak untuk bertemu, dia yang menentukan waktu dan tempatnya, dia pula yang lupa. Kesel, sungguh. Rasanya ingin marah terus maki-maki tapi begitu melihat kedatangannya hilang sudah semua luapan kekesalan.

“Sudah nunggu lama yah? Maaf yah .... suka kebalik-balik gw antara Kopi Kamu sama Kopi-Q.”
“Lama bangeeetttt. Tadi perginya buru-buru yah?”
“Iya, takut lo nunggunya kelamaan.”
“Tapi sempat mandi terus keramas dulu, kan?”
“Iya lah masa mau pergi ngga mandi. Kenapa sih lo senyum-senyum gitu?”
“Lo itu bener-bener dudul!”
“Apa sih dudul-dudul. Iya, maaf banget yah. Lagi banyak kerjaan jadi ngga konsen. Gw traktir deh. Eh, lo itu kidal yah?”
“IYA, baru tahu yah?!? Lo itu mank dudul!! Lo yang bikin janji, lo yang lupa, dan bahkan untuk sisir rambut aja lo lupa!”
“Astaga ....”

Semenjak kejadian itu, aku selalu menyebutnya dudul. Jangan tanya artinya karena aku juga tidak tahu. Tidak ada kata lain yang cukup mewakili dirinya yang ... yah dudul. Ada banyak kejadian-kejadian yang dudul selama bersamanya. Entah itu menumpahkan sesuatu, menjatuhkannya, memecahkannya atau menghilangkannya. Hampir semua barang yang dia pegang kalau tidak rusak yah hilang karena ketinggalan. Bilang saja aku bodoh karena aku menyukai semua hal yang ada di dalam dirinya. Kedudulannya telah menceriakan hari-hariku, menambah warna-warni hidupku, dan mendominasi isi kepalaku. Entahlah, apakah selama ini dia menyadari kehadiran dan perhatian yang kulimpahkan untuknya atau tidak. Tapi, satu hal yang pasti dia adalah wanita dudul terindah yang pernah ada untuk mengisi kekosongan dalam hidupku. Aku sayang kamu, dudul.

***

08 December 2012

Dalam Pelukan


Sedari tadi kamu hanya diam
Merangkul lututmu erat
Dengan rahang terkatup rapat
Mengerang kesakitan.

Aku ingin bilang,
Aku tahu kamu kesakitan.
Namun, lidahku mendadak kelu.
Aku ingin bilang,
Aku sakit melihatmu kesakitan.
Namun, bungkusan udara ini telah
Membekap mulutku begitu rapat.

Mengapa justru kata-kata hilang di saat seperti ini?
Saat kau butuh penghiburan, humor usang, nasihat sok bijak,
Atau bahkan bawelan serta ocehanku yang tak berujung,
Sekedar kesedihan dan kesakitanmu beroleh penawar.

Kemampuan dalam berkata-kata menguap.
Kebisuan menjadi hadiah kebersamaan kita.

Pandangan mata berlari-larian,
Saling mencari satu titik nemu yang sama.
“Sakit ....” katamu lirih.
Dan tiba-tiba saja ada kekuatan yang menggerakkan
Kedua tanganku untuk merengkuhmu.
“Rasakan” bisikku di telingamu.
Ada sebuah energi  yang menyatu dan mencairkan apa yang sudah beku, di sana, di hatimu.
“Rasakanlah” betapa lamanya kita terlelap pada sepi dan membiarkan sunyi menetap.

Cukup lama tubuh kita saling terpaut,
Hingga kata – kata menyata,
Perlahan menyusup dan menyelinap relung hati
Menggerogoti sunyi sampai habis tak bersisa, sakitmu.

Hatiku tahu,
Hatimu pun mungkin tahu.
Nadi kita mungkin mendenyutkan pesan yang sama.
Sebuah pesan yang terbaca di dalam pelukan.
Peluk aku dan kau akan tahu.

***

Sumber dari sini