02 October 2014

Be Brave

Say what you wanna say
And let the words fall out
Honestly I wanna see you be brave
With what you want to say
And let the words fall out
Honestly I wanna see you be brave


Tahu penggalan lirik di atas?
Kata-kata di dalamnya mengingatkan saya akan suatu kejadian yang kerap terjadi di sekeliling kita. Iya gitu? Iya banget! Emangnya kaya gimana? Gini nih ....

A : Eh, nanti sore sibuk ngga? Boleh minta tolong anterin ambil barang di rumahnya si D.
B : Hemmmmpp ....
A : Bisa yah? Pleaseeee, anterin lah.
B : Ya udah deh.
A : Oke, Aku jemput jam 3 yah.

Kemudian si B ini cerita sama temennya kalau dia sebenarnya keberatan anterin si A karena satu dan lain hal. Temannya yang mendengarkan pun berasumsi kalau B dipaksa dan kemungkinan besar akan mempunyai persepsi yang negatif terhadap A. Seandainya temannya ini menceritakan kembali kepada orang lain apa yang B rasakan, tentu saja outputnya akan berbeda. Dan seterusnya dan seterusnya ... terus ... terus ... terus sampe mentok #lah.

Atau gini ...

Suka banget sama satu orang, sukanya pake banget! Kerjaannya stalking akun sosmed orang itu. Tahu banget kegiatannya dia mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Pasang status yang menunjukkan proses pendekatan sudah sejauh mana dengan si dia (yang bahkan orangnya aja ngga ngeh kalo lagi di deketin). Sampai akhirnya si dia malah pacaran ama orang lain. (((sakitnya tuh di sini))).

Atau ...

Melihat, mendengar terlebih lagi merasakan adanya perlakuan kekerasan dalam berhubungan. Rasa takut yang menyelimuti akhirnya malah memilih untuk diam dan hanya bisa menangisi keadaan. 

Tiga hal di atas cuma sebagian kecil dari banyak kejadian yang sering banyak dialami oleh saya, hemph kita semua kayanya. Hal-hal seperti itu bisa dihindari atau malah dihentikan jika kita mau speak up alias ngomong dong kalau keberatan, yah bilang kalau ngga suka. Suarakan pendapat kamu jangan cuma di simpan di dalam benak lalu bergumam ke kanan-kiri.

Masih ingat kejadian Mei 1998, puncaknya reformasi di mana semua orang bersatu untuk menyuarakan apa yang ada di dalam benaknya setelah terkukung selama 32 tahun. Yaelah ngga usah serius gitu kali.

Maksudnya ngga usah sampai mengerahkan masa terus demo hanya untuk menyuarakan pendapat. Mulai dari hal yang paling sederhana dulu aja, kamu berani untuk berkata " Tidak"  atau " Iya" tentang sesuatu, apa pun itu. Ngga perlu menggunakan kekerasan dalam menghadapi persoalan. Otot  (terlatih) itu miliknya binaragawan. Ngga perlu ngeluh, ngomel karena kamu merasa ngga punya keberanian untuk mengubah keadaan. Keberanian yang diperlukan dimulai dari belajar berani untuk bicara. 

Yuk ah, coba lihat video dari Sara Bareilles dan resapi liriknya. 
Belajar berani untuk mengeluarkan pendapat!






***

15 September 2014

Mukjizat itu Nyata

Hai ... Hai ... Yuhu ......

Ya ampun sudah berabad-abad rasanya tidak menulis di blog. Lumutan deh, banyak sarang laba-laba di hampir setiap sudutnya, *ambil sapu*. Eh, terima kasih loh buat kalian yang masih suka datang berkunjung. Walaupun tidak ada suguhan baru nan menarik tetap saja ada yang datang hanya untuk sekedar mampir, ngecek barangkali? He he he, terima kasih loh (lagi). :*

Whuuuuaaaa, ada banyak cerita seru yang ingin saya tuliskan untuk kalian tapi ... saya takut kalian akan kebosanan membaca kata-kata panjang nan pabaliut (bahasa apa pula ini, bah!) tentang kehidupan saya ... 

Masa? Masa bodo! 

Anyway, beberapa minggu yang lalu saat lagi ngumpul hore sambil ngopi-ngopi cantik di sebuah cafe yang cozy (eh, ingatkan saya plis untuk menulis pernak-pernik cappuccino yah. Ada banyak bingits cafe yang cappuccinonya itu enak banget dan belum sempet hemp malas posting). Sampai mana tadi ... ah iya! Lagi ngobrol ngalor ngidul, teman saya sebut saja namanya kentang bertanya, “Kalian percaya akan adanya mukjizat?”

Bawang Putih, teman saya lainnya dan saya langsung menjawab dengan lantang, “Percaya!”.
Teman yang lain, sebut saja bawang bombay dan bawang kucai berpikir sejenak sebelum pada akhirnya menjawab, “Percaya!”.

Sementara si Kentang manggut-manggut sambil mengernyitkan alis mendengar jawaban kami, para bawang. Tampak ada ketidakpuasan di sana.

“Bentar! Definisi mukjizat bagi Lo apa?”, tanya saya pada Kentang.
“Yah semacam .... (lama dia berpikir) ... yah semacam tiba-tiba ada pohon yang buahnya duit .... gitu!”
“....”

*

Ada beberapa mukjizat yang terjadi di sekitar saya, ulang! Bukan terjadi pada saya TAPI DI SEKITAR SAYA. Kita mulai dengan cerita pertama,
Adalah seorang teman cukup dekat yang baru saja putus dari pacarnya karena satu dan lain hal. Di awal tahun dia dikenalin seorang pria dengan kepribadian cuek, sedikit dingin, dan bekerja di Jakarta. (Cie LDRUnite cie). Di awal tahun itu pulalah dia membuat resolusi Getting Married (padahal statusnya masih pedekate loh). Singkat cerita, mereka sempat putus beberapa hari apa minggu saya lupa karena yah kan tadi saya bilang di atas pria ini tuh orangnya cuek banget. Ngga pernah ngabarin atau nanya kabar, yah you know such things lah. Sepele tapi somehow penting. Anyway, Bulan 6 September kemarin mereka TELAH menikah. T.T <-- nangis antara terharu, bahagia, dan iri why hasn't it happen to me (yet), Gosh!?! 

Ini resolusinya teman saya yang saya foto diam-diam

Kita beralih ke cerita kedua,
Adalah seorang janda beranak satu yang akan menikah lagi pada Bulan Oktober nanti. Di belah mana mukjizatnya? Bentar dulu! Ini janda (Duh, ngga enak gini bahasanya) ulang! Jadi klien saya ini pernah menikah hanya seumur delapan belas bulan saja. Kembali menata hidupnya dengan seorang pria berprofesi dokter muda (baca : single). Mereka pacaran dibelakang jalan (baca : back street) selama enam tahun. APA! ENAM TAHUN!!! Kebayang ngga sih pacaran gelap-gelapan dan sembunyi-sembunyi terus karena ternyata keluarga kedua belah pihak sama-sama melarang keras hubungan mereka. Namanya juga manusia iya ngga sih, semakin dilarang semakin menjadi. Hingga pada satu titik, entah ada kejadian apa yang menjadi pemicunya, kedua orang tua mereka akhirnya menerima dengan tangan terbuka, senyuman serta pelukan hangat. 18 Oktober nanti mereka akan melangsungkan pernikahan. T.T <-- (lagi) nangis bahagiaaaaa.

Ini dokumentasi lamaran klien saya

Masih ada lagi cerita ketiga,
Bentar! Jangan pergi dulu! Cerita ketiga ini ngga ada sangkut pautnya sama sekali dengan pernikahan. Thank's God. Bosen yah baca soal wedding mulu. Iyah.
Kalian pernah kan mengalami yang namanya tersesat? Nyasar? Ah boong! Masa iya ngga pernah! Gps, wise kan baru ada baru-baru ini. Boong deh!?!
Anyway, jadi ada temen yang nyasar entah ke daerah mana dengan kondisi hp sekarat pulsa dan batre. Patokan yang diingat cuma dekat SMK 12. Mungkin pada saat itu, di jidat teman saya ada tulisan “Need Help!” yang hanya dapat dibaca oleh orang-orang tertentu. Datanglah si orang tertentu ini naik motor bak pangeran gagah berkuda putih lengkap dengan efek cahaya. Diantarnyalah teman saya itu sampai tujuan dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun dan tanpa pamrih. Masih ada loh orang asing di luar sana yang baik dan tulus itu. Mukjizat banget yah.


Mengutip dari KBBI, Mukjizat adalah kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia; dengan Allah, Nabi Musa a.s dapat membelah laut dengan pukulan tongkatnya.

Menurut kalian nih yah, dari ketiga cerita saya di atas itu termasuk ke dalam kategori mukjizat ngga sih?
Ada perbedaan definisi yang cukup signifikan antara pendapat saya dengan referensi KBBI.

*

"Va, mukjizat itu datang dari Tuhan. Suatu kejadian yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya proses atau perjuangan!" si Kentang, angkat bicara setelah saya ceritakan pengalaman tersebut.

"Iya gitu? Contohnya?" saya balik bertanya.

"Ya misalnya Lo sakit parah terus tiba-tiba sembuh tanpa ke dokter, tanpa obat." 

Kening saya berkerut .... sebab ketika seorang teman mengajak makan di luar di saat kondisi saya lapar berat dan ngga ada sepeser pun uang di dompet itu adalah mukjizat yang Tuhan datangkan melalui teman saya. Kembali pada referensi KBBI yang mengatakan bahwa mukjizat itu suatu peristiwa di luar akal manusia, mungkin akal pikiran saya jauh di bawah rata-rata manusia pada umumnya sehingga suatu peristiwa yang tampak sederhana pun seperti di traktir makan atau ngopi adalah suatu mukjizat. Karena saya yakin mukjiat itu nyata.

 ***

02 May 2014

Dongeng Sebelum Tidur, Sungai

"Mama, Aya pengin ketemu bidadari!" serunya ketika pulang sekolah.
"Kenapa Aya pengin ketemu bidadari?" tanyaku.
"Tadi Bu Guru cerita bidadari, katanya cantik sekali terus, terus selendangnya dicuri sama siapa sih, Mah? Laki-laki." ujarnya terbata-bata. 
"Jaka Tarub." jawabku.
"Iya, Mah. Jaka Tarub curi selendang bidadari, bidadarinya banyak ada tujuh mandinya di sungai, selendang dicuri satu bidadari ngga bisa pulang jadinya." ceritanya penuh semangat.
"Terus ...." tanyaku penasaran.
"Menikah, bidadari sama Jaka Tarub. Ada anaknya, cantik sekali. Terus, terus ketahuan dicuri-"
"Apa yang ketahuan?"
"Itu, Mah si Jakanya ketahuan curi selendang, bidadarinya marah terus pergi pulang ke langit."
"Oh, gitu? Terus anaknya gimana?"
"Hmpph di bawa juga ke langit. Bidadarinya sekarang kumpul, lengkap sama anaknya di sana." katanya sambil nunjuk ke atas.
"Jakanya gimana? Sendirian di bumi dong, kasian."
"Biar tahu rasa, Mah. Kan Tuhan bilang curi itu dosa, iya kan, Mah?"
"Terus, kenapa Aya pengin ketemu bidadari?"
"Aya pengin lihat cantiknya, sama anaknya bidadari. Mah, kenapa bidadari ngga mandi di sungai lagi?"

Kataku, "Aya pengin tahu?"
"Iya, Mah!"
"Nanti Mama ceritakan sebelum tidur yah. Sekarang Aya ngerjain peer dulu."

*

"Mah, Ayo cerita bidadari." rengeknya menjelang malam.
"Ayo, gosok gigi dulu, cuci tangan sama kakinya. Pakai piyamanya nanti Mama ceritain di kamar."

Belum juga selesai kalimatku, dia sudah lari ke kamar mandi. Chaya kecil selalu semangat bila mendengarkan orang bercerita. 

"Mamah, Aya sudah di kamar."

Lampu kamar aku matikan, hanya lampu tidur dengan hiasan kuda laut yang menerangi kamarnya. Kurebahkan diriku disamping tubuh gadis mungilnya, kuselimuti, kubetulkan posisi bantalnya agar dia merasa nyaman. Kurengkuh tubuhnya dalam pelukanku sambil menggengam jemarinya, mengepal, "Berdoa dulu yah".

Tuhan, terima kasih sudah menemani Aya sepanjang hari di sekolah, selamat sampai rumah, terima kasih atas nikmat yang diberikan. Tuhan, Aya mau bobo jaga Aya supaya tidak mimpi buruk.

AMIN.

"Sudah siap?" tanyaku.
"Siap!"
"Sekarang, dengarkan cerita Mama yah?"
"Iya."

Bidadari yang selendangnya dicuri Jaka Tarub itu namanya Nawangwulan. 

"Nawangwulan ...." potongnya berbisik sambil mengingat.

Ketika Nawangwulan tahu bahwa pencuri selendangnya itu adalah suaminya, Jaka Tarub dia merasa kecewa. Sambil membawa anaknya, Nawangsih.

"Nawangsih ...." lirihnya.

Mereka pergi ke khayangan, tempat bidadari berasal. Sebelum pergi, Nawangwulan berpamitan dulu karena biar pun merasa kecewa Jaka Tarub tetaplah suaminya, Ayah dari siapa namanya?

"Nawangsih ...." jawabnya.

Jaka Tarub menyesali perbuatan, setiap hari menjelang sore dia pasti pergi ke sungai tempat para bidadari biasa mandi. Bukan untuk mencuri selendang tapi supaya bisa melihat Nawangwulan, istrinya dan anaknya. Para bidadari selalu mandi di sungai yang terkenal dengan kejernihannya di desa itu, tapi mereka bukan Nawangwulan. Jaka Tarub sering menanyakan kepada mereka, "Ke mana Nawangwulan? Mengapa tidak ikut mandi bersama?". Bidadari yang tahu bahwa Jaka Tarub si pencuri selendang ketakutan dan segera pergi kembali ke khayangan. Penduduk desa mulai khawatir karena Jaka Tarub semakin kurus, sering ngelamun, dan bicara sendiri di pinggir sungai. Sampai akhirnya Jaka Tarub menghilang.

Ada yang bilang Jaka Tarub tenggelam, ada yang bilang dibawa bidadari ke khayangan, ada yang bilang dimakan buaya sungai, pokoknya macam-macam, dan tidak ada yang tahu ke mana Jaka Tarub hilang.

"Jaka Tarubnya hilang, Mah? Ke mana?" tanya penasaran.
"Dengarkan dulu."

Ketua desa mulai resah, mengumpulkan warga desa untuk mencari ke mana Jaka Tarub pergi. Setiap orang menyusuri sungai dari pagi hingga malam. Nah, saat menjelang sore itu mereka melihat para bidadari turun satu persatu dari khayangan untuk mandi di sungai. Para bidadari kaget karena banyak orang di sungai dan ketakutan selendangnya akan dicuri jadi mereka tidak jadi mandi di situ dan pergi kembali ke khayangan.

Warga melaporkan kejadian itu kepada ketua desa, 

"Semua ini perbuatan bidadari, Pak Kades!" seru lelaki yang berbadan besar.

"Saya lihat dengan mata kepala sendiri, bidadari itu pasti pelakunya!" kata lelaki yang kulitnya hitam, terbakar matahari.

"Kita harus menangkap semua bidadari sebelum ada warga yang hilang lagi!" teriak lelaki yang berkumis.

"Bagaimana cara menangkap bidadari yang bisa terbang?" tanya Pak Kades.

"Pakai Jaring!"

"Pasang perangkap!"

"Pak Kades, setiap sore bidadari-bidadari itu pasti mandi di sungai. Kita kotori saja sungainya biar mereka ngga bisa mandi lagi di sungai kita!"

"Tapi ...." Pak Kades ragu.

"Kotorkan sungai kita! Kotorkan sungai kita! Tolak bidadari! Kotorkan sungai!" seru warga.

Setelah selesai rapat, warga desa pun berduyung-duyung membuang segala macam sampah ke sungai yang airnya mulai kecoklatan. Menjelang sore, bidadari yang melihat air sungai menjadi coklat pun pergi mencari sungai jernih lainnya untuk mandi.

Warga desa pun merasa senang dan lega karena tidak akan ada bidadari yang mandi dan menganggu sungai desa itu. Kabar pun tersiar ke banyak desa bahwa sungai harus dikotori supaya tidak ada bidadari penggangu yang berani mandi di sungai.

Begitulah seterusnya, para bidadari turun dari khayangan mencari sungai jernih untuk mandi. Namun, berita sudah menyebar, semua penduduk di desa-desa membuang sampahnya di sungai. Tidak ada lagi sungai jernih tempat para bidadari mandi sampai sekarang.

Terdengar dengkuran halus, rupanya dia sudah terlelap. Kucium keningnya sambil berbisik, "Selamat tidur, bidadari kecilku."

***

Gambar dari sini

16 April 2014

Delapan Belas Orang

Delapan belas orang dipersatukan dalam sebuah ruangan berAC yang entah mengapa sudah sering dimatikan tetap saja membuat suasana tetap dingin dan tak menghentikan keinginan untuk bolak-balik ke kamar mandi. Mungkin itu juga menjadi penyebab para lelaki betah mengenakan jas kebesaran mereka (termasuk saya), jas dengan logo pasca sarjana selama di dalam kelas.

Adalah 19 Agustus tahun lalu, saya menginjakkan kaki di kampus Enhai, yang lebih tepatnya disebut Sekolah Tinggi Pariwisata. Mengikuti program pasca sarjana dengan tanpa tujuan selama dua tahun. Tidak ada alasan khusus mengapa saya memilih bidang pariwisata untuk sekolah S2 terlebih lagi saya lulusan sastra yang benang merahnya sangat tipis dengan kepariwisataan. 

Jujur, (awalnya) saya merasa minder kembali duduk dibangku perkuliahan yang sudah saya tinggalkan hampir lima tahun lamanya. Selain faktor pendidikan yang tidak sejalur, faktor usia (uhhukk), faktor pengetahuan minim tentang kepariwisataan beserta isu-isu terbaru (isu lama saja ngga tahu apalagi yang terbaru, helokk!), faktor biaya (pffuuuutt, tarik napas dalam), faktor membagi waktu antara kuliah-kerja-hangout-nongkrong-curhat time-ngelamun-ngopi time-belanja-liburan-nulis!, dan faktor lainnya yang cukup membebani pikiran hingga minder tak terhindari. 

Terlepas apa pun faktor yang sudah saya tuliskan di atas, pada akhirnya di sinilah saya berada bersama tujuh belas orang lainnya yang memiliki satu tekad bulat, satu tujuan untuk lulus bersama tepat pada waktunya.

Nyatanya waktu berjalan cukup cepat, satu semester terlewati. Masih ada satu setengah semester lagi di depan yang harus dilalui. Apakah jalanannya akan mulus seperti jalan tol? Tapi kan mau masuk tol juga harus bayar, belum lagi di sepanjang tol cipularang ada banyak rest area, ditambah suka longsor pula, belum lagi perbaikan jalan bikin macet, dan hemp kayanya analoginya salah ini!

Anyway, mari saya kenalkan angkatan 2013 progam pasca sarjana STP Bandung yang terdiri dari delapan belas orang,

1. Agung Yoga Asmoro, seorang pengusaha (yang kata saya) sukses dalam menjalankan biro usaha Lintang Buana tour and travel operator di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Walaupun kepribadiannya agak arogan tapi sepadan dengan perjuangannya yang dimulai dari minus bukan nol hingga akhirnya bisa sukses seperti sekarang. Seorang teman yang enak diajak diskusi soal bisnis.

2. Aji Prasetya Hadi, seorang yang baru saja merasakan bahagia plus repotnya jadi Bapak. Kerap telat masuk kuliah pagi sebab mandiin dulu Aisyah, anaknya. Dan Semester dua ini jarang masuk sebab sibuk jeprat sana jeprit sini. Hasil jepretannya bisa dilihat di One Eye Photography. Teman ngobrol yang nyaman sebab bisa saling merekomendasikan usaha masing-masing.

3. Amalia Juliana Monika Intan, seorang yang benar-benar (menurut saya) lugu dalam pemikiran, tindak tanduk, serta bertutur kata. Dibalik keluguannya dia berhasil menciptakan kreasi cemilan dari sayur mayur dan marketing dari Marta Catering. Teman yang menjadikan (saya berasa) dewasa sebab keluguannya itu.

4. Anggie Tri Purnamasari, seorang pribadi yang mudah tersentuh hatinya. Polos serta jujur dan suka tolong menolong namun tidak gemar menabung. Teman yang menyenangkan meluapkan emosi.

5. Antonius Rizki Krisnadi, seorang yang moody berat hingga sering tidak mengacuhkan diri ketika kami sedang berkumpul di kantin namun menjadi cerewet nan bawel ketika dia sedang mood. Biar bagaimanapun pribadi yang menyenangkan serta mampu memeriahkan dan menceriakan suasana. Teman yang asyik untuk berbagi, tepatnya meminta dibagi koleksi film.

6. Azis Abdul Latif Muslim S., seorang yang mengendarai mobil patroli bertuliskan 'Polisi Kehutanan' sebab memang bekerja di kawasan konservasi Tangkuban Perahu. Melanjutkan S2 memang berkaitan erat dengan kebutuhan dan hasratnya memajukan serta melestarikan kawasan tersebut. Teman yang bisa mengaburkan antara ngobrol dan dinasehati rasanya sama.

7. Dadan Ramdani, seorang PaLuGaDa, apa yang Loe mau Gue ada. Semua ciri-ciri makelar sejati ada dalam sel-sel darahnya. Teman yang cerdas dalam menangkap peluang apa lagi yang bisa diperjual-belikan? (Jangan jual BB gueh semureh itu, DADAN!!!!)

8. Dani Adiatma, seorang yang tiba-tiba muncul dan ikutan dalam percakapan jika mengeluarkan kata kunci yang tepat. Bisnis usahanya di bidang manajemen catering, sekarang sedang rajin fitness dan kabarnya sudah turun 17 kg dalam 7 bulan, DANI KAMU HEBAT!!!

9. Handika Fikri Pratama. seorang perantau dari Bengkulu, fresh graduate, menjalani hubungan LDR dan iya cukup sekian, terima kasih. Baru tersadar pribadinya yang memang pendiam atau masih jadi pendiam membuat saya jarang berbicara banyak dengan dia. Nah!

10. I Wayan Thariqy Kawakibi P., seorang yang berkecimpung dalam jasa tour dan travel ini asalnya dari Padang, tapi namanya Bali banget, lama tinggal di Yogyakarta, dan sekarang menetap di Bandung. Kami biasa memanggilnya 'Uda', sapaannya orang Padang. Teman yang lebih sering bicara dengan lawan bicaranya di telepon daripada yang berada di depannya.

11. Karima Ayu Permatasari, ini yang termuda di antara kami karena mengikuti kelas akselerasi. Walaupun masih belia tetapi wawasan, pergaulan, dan penampilannya dapat membaur dengan kami yang dewasa dinamis. Berkuliah karena akan meneruskan usaha Papanya dalam bidang tour dan travel. Teman yang seru, heboh, kocak, konyol, dan juga pengertian ketika saya salah ngomong dia tahu apa yang sebenarnya saya maksud. Gitu!

12. Maya Savitri, Ibu muda dengan dua anak, usianya 42 tahun namun terlihat seperti masih 30an. Daya tangkap dan serapnya melebihi kapasitas otak kami apalagi kalau udah urusan perhitungan, heempp faktor ibu rumah tangga kali yah. Pokoknya BU MAYA HEBAT!!!

13. Muchammad Luthfi, seorang yang tampak malas-malasan, tidak pedulian, tidak punya tujuan hidup namun selalu menyerahkan tugas tepat pada waktunya. Dan, iya masa depannya boleh dibilang sangat cerah dan menjanjikan. Teman yang dapat diandalkan kalau ngga bawa kendaraan sebab searah rumahnya. (akhirnya nemu jugaakkk aakkk).

14. Nur Maimunah, Ibu muda yang berasal dari Makassar ini ternyata lulusan sastra juga (saya ngga sendirian!!!), bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kupang membuatnya terpisah dari suami karena ditugaskan untuk sekolah S2. Semangat, Bu Nur!

15. Rizki Nurul Nugraha, Ini juga sama Ibu muda yang sudah memiliki dua anak. Memiliki banyak usaha sampingan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu sakin banyaknya. Kefasihannya dalam berbicara (baca: cerewet) adalah modal dasar bagaimana dia dapat menarik pelanggan untuk membeli produk-produknya. (00)9

16. Rizky Aidina Aria Paramarta, seorang yang baru saja bertunangan ini rencana nikahnya kapan yah? #Eh 
Ada fakta menarik tentang Rizky yang satu ini, selepas makan siang pasti dia ngga pernah masuk kelas. Sampai-sampai kami suka taruhan perkara dia masuk atau ngga setelah jam makan siang. Syukurlah, semester dua ini dia rajin masuk (dan sial bagi yang taruhan dia ngga masuk).

17.Shadiqurahman Johan, seorang yang begitu ... begitu ... begitu ... yah begitu-begitu aja orangnya. Teman yang selalu mengingatkan akan kodratnya wanita ketika premanisme dalam diri saya menyeruak keluar. Salam klakson, tin tin.

Dan terakhir,

18. Saya sendiri, seorang yang menuliskan ini karena ternyata membutuhkan waktu lebih dari satu semester untuk dapat saling mengenal pribadi dari mereka. Mungkin, terdengar atau sentimentil tetapi di semester dua ini adalah waktu terakhir di mana kami semua berada dalam satu kelas sebelum pembagian yang memisahkan delapan belas orang ke dalam tiga jurusan; pariwisata, perhotelan, dan perjalanan.

Delapan belas orang dengan segala perbedaan latar belakang. motivasi serta tujuan yang berbeda dipersatukan dalam Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung Angkatan XIII. 

Foto diambil Aji

Merekalah yang memberi arahan kepada saya jalan mana yang akan saya lalui ke depannya. Tujuan apa yang ingin saya peroleh? Tidak mudah, pasti! Namun, selalu ada jalan ketika ada kemauan.
Mereka juga yang membuat rasa percaya diri saya muncul dan minder terkikis perlahan (agaknya malah kelewat PD ini! :D).

Kami, berdelapan belas orang dapat saling bahu membahu agar tetap lulus bersama di Hari Wisuda pada waktunya nanti atau justru malah saling sikut menyikut agar dapat lulus duluan. Entahlah ...

Harapan saya cuma satu, agar kebersamaan yang sudah terjalin ini tetap harmonis sehingga kami semua dapat lulus bersama tahun ini. Boleh minta amin-nya? AMIN!

***

07 April 2014

Soal Tissue

Kami bertengkar lagi. Kali ini lebih hebat daripada hari-hari sebelumnya sepanjang usia pacaran kami yang baru saja genap satu bulan.
Yah wajarlah jikalau kami sering mungkin teramat sering bertengkar, maklum masih dalam tahap penjajakan saling mengenal kebiasaan masing-masing. Belum pernah kulihat raut mukanya begitu merah padam. 

Adalah dua hari yang lalu pertengkaran kami disebabkan oleh film The Wolf of Wall Street. Layaknya sepasang kekasih yang pergi ke bioskop membeli popcorn dan soda, dia malah memilih membeli burger dan jus. Sangat tidak efisien, saos sambal dan mayonnaisenya mengotori tangan dan bajunya.

"Kenapa nggak beli popcorn aja sih? Repot tahu makan burger gelap-gelapan." 
"Lagi pengen!"

*

"Ada tissue?"
"Tuh kan, kata gue juga apa! Ngga bisa dibilangi sih. Jadinya belepotan kemana-mana tuh!"
"Mana?"
"Apa?"
"Tissue!"
"Ngga punya!"
"Rese!"
"Siapa? Gue? Loe ngatain gue rese, Hah!!!"

Terdengar suara ssstttttt dari arah samping, depan, dan belakang kursi yang dengan terpaksa menghentikan sedikit adu argumen kami. Perempuan mana yang ngga jengkel disebut rese sama pacarnya sendiri. Kekesalan hati pun hilang dengan sendirinya seiring selesainya film. Kami pun bergandengan tangan keluar bioskop menuju parkiran.

"Jadi, kesetiaan pria itu akan diuji saat dia sedang berada di atas, sedangkan wanita diuji saat si pria sedang berada di bawah. Iya kan? Semakin kaya semakin banyak selingkuhannya."
"Ah, ngga juga!", sahutnya dingin.
"Tapi kan banyak buktinya yang-"
"Tergantung orangnya! Tiket parkir di Loe?"
"Iya."

Nah, saat akan mengantar aku pulang di tengah keseruan membicarakan soal gantengnya Leonardo motornya tiba-tiba menepi ke pinggir.

"Kenapa nih motornya?", tanyaku agak khawatir.
"Abis bensin kayanya."
"Hah? Habis bensin? Memangnya loe ngga ngecek? Ngga ketahuan apa?"
"Ya Loe turun dulu biar gue bisa ngecek.", ujarnya sambil membuka jok motor.
"Kan ada di situ, situ tuh keliatan.", protesku sambil menunjuk ke dashboard motornya.
"Rusak."
"Rusak?? Terus darimana Loe tahu kalau bensinnya habis?"
"Kira-kira aja."
"Kok dikira-kira sih! Aneh banget! ... Jadi, beneran habis bensin?"
"Iya."
"Terus, gimana?"
"Loe mau tunggu di sini apa ikut dorong motor?"
"Ih, parah yah Loe masa Gue ditinggal di sini sendirian!"
"Ya udah nih pegangin helm Gue!"
"Ihhh, Loe tuh yah!"
"Loe kalau ngomel-ngomel mulu Gue tinggal!"
"Tapi kan-"

Rombongan Vespa yang sedang konvoi melintas dengan bunyi klakson sirine, suara mesin knalpot yang cukup memekakkan telinga.

"Jauh ngga sih pom bensinnya?", gerutuku.

Motor melintas dengan raungan knalpot dan menyisakan asap mengepul.

"APA?", teriaknya.
"Ya ngga usah teriak juga kali!"

Mobil ambulance melintas dari arah yang berlawanan, entah membawa orang ke UGD entah berisi jenazah entah si supir hanya ingin diperlancar dan dipercepat jalannya menuju rumah.

"Loe naik angkot aja pulangnya, yah?", tanyanya setelah jalanan kembali sepi.
"Kenapa?"
"Masih jauh pom bensinnya. Ntar kaki Loe lecet!"

Aku memandang kakiku yang menggunakan heels berpita merah muda, sedikit kotor di pinggirnya sebab jalanan agak becek. Betis dan telapak kakiku sudah mulai terasa nyeri tapi,

"Enggak kok. Ngga mau naik angkot!"
"Ya udah."

*

Melihat di kejauhan plang merah putih, pom bensin itu rasanya seperti menemukan air dingin segar di tengah teriknya padang pasir. Akhirnya!

"Loe ada lima belas ribu?"
"Buat bensin?"
"Iya. Duit Gue habis."

Coba kalau tadi dia ngga beli burger dan jus kan masih bersisa uangnya,

"Nih ...."

*

"Mau langsung pulang atau makan dulu?", tanyanya setelah isi bensin.
"Pulang aja! Duitnya juga habis, kan?"
"Biasa ngomongnya, bisa? Ngga usah ketus! Rese banget sih, Loe!"
"Loe tuh yah ngatain Gue rese, Loe tuh yang Rese!"

Lampu hijau perlahan berubah menjadi kuning kemudian menjadi merah,

"Para pengemudi yang terhormat, Selamat datang di area RHK. RHK adalah Ruang Henti Khusus Sepeda Motor, agar lebih aman dan tertib. Kendaraan roda empat atau lebih, berhentilah di belakang area merah ruang henti khusus, terima kasih."

"Tuh cewek dibayar berapa yah buat ngomong gitu terus?"
"Rekaman kali!", ujarnya dingin.
"Udah sih ngga usah rese, Gue juga tahu kali itu di rekam!"
"Yang rese itu Loe bukan Gue!"

"Mau dibawa kemana hubungan kita, jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta. Teteh cantik bagi recehnya dong!"

"Ada seribu ngga?"
"Bayar bensin juga kan Gue minta sama Loe."

"Teh ...."

"Minta? Bukan, pinjem yah ....?" 

"Teh .... Teteh .... "

"Ya udah ntar Gue ganti kalau Loe keberatan! Lima belas ribu doang, rese!"

"Ngga ada receh, maaf yah, De!"

"Ah si Teteh rese! Mau dibawa kemana hubungan kita .... Pak, bagi recehnya, dong!"

Lampu berubah hijau, si pengamen kecil pun menepi berkumpul bersama teman-temannya sambil menghitung kepingan receh.

"Dasar kurang ajar! Kecil-kecil ngatain orang! Udah malam juga harusnya tidur di rumah bukannya kelayapan di jalanan, kurang ajar!"

"Dah percuma, dianya juga ngga denger! Namanya juga anak kecil."
"Justru itu kalau dari kecil udah kurang ajar gimana nanti gedenya. Orangtuanya ngga bener, ngga bisa ngajarin! Harusnya-"
"Lapar nih!"
"Hah? Apa?"
"Lapar!"
"Mau makan apa?"
"Bebas!"
"Pecel ayam?"
"Malas."
"Nasi goreng? Kwetiau? Mie Goreng?"
"Malas."
"Steak?"
"Mahal."
"Baso?"
"Ogah."
"Apa atuh?"

Tak lama kemudian dia berhenti di Mesin ATM.

"Tunggu bentar."
"Iya."

Setelah keluar dari mesin ATM, dia pun terus berjalan menjauhi motornya, menengok ke belakang sambil bilang, "Yuk!".
Aku pun mengejarnya, "Kemana?"
"Sate Padang!"
"Ouh."

"Bilang dong mau makan sate padang."

"Nih, kembalian!", dia letakkan satu lembar lima puluh ribu di meja.
"Apaan?", ujarku kaget.
"Ganti bensin tadi."
"Udah ngga usah ih! Gue kan becanda doang."
"Becanda kok ngga pada tempatnya!"

"Mau pakai lontong apa nasi?", tanya si penjual sate.

"Nasi.", jawabku.
"Lontong.", jawabnya.

"Loe kenapa sih hari ini? Lagi sensi yah?", tanyaku sambil menikmati sate padang yang pedasnya mencapai level tiga.
"Biasa aja!"
"Biasa aja gimana? Dikit-dikit marah, dikit-dikit bete. Ngga bisa diajak becanda.", seruku dengan keringat mulai bercucuran kepedesan.
"Udah deh makan aja, ngga usah rese!", jawabnya dingin.
"Tuh kan! Hari ini Loe ngatain Gue rese mulu!", keringat dan ingus dari hidung mulai mengalir.

"Pak, ada tissue?", tanyaku kepada si Bapak penjual sate.
"Maaf, Neng habis tissuenya belum beli lagi.", jawab si Bapak tanpa rasa bersalah.

"Cewek kok ngga pernah bawa tissue!", ketusnya.
"Memangnya cewek harus selalu bawa tissue!"
"Mantan cewek-cewek Gue selalu bawa kok!"
"Mantan cowok-cowok Gue ngga pernah minta tissue, ngga pernah persoalin soal tissue, ngga pernah ngatain Gue cewek rese, ngga pernah mogok karena kehabisan bensin, ngga pernah minjem duit buat bayar bensin!"
"Loe tuh yah bener-bener rese jadi cewek! Pacaran aja sana sama mantan cowok-cowok Loe."
"Loe yang rese jadi cowok! Mereka udah pada kawin!"
"Makanya selalu bawa tissue! Tuh ingus Loe meler!"
"Loe juga ingusan!"

Muka kami merah padam sebab emosi yang bergejolak ditambah cita rasa pedas dari sate padang yang membuat kami berdua ingusan kaya anak kampung. Dalam hati aku mengutuk semuanya gara-gara The Wolf of Wall Street, kalau saja malam itu kami tidak menonton film, dia tidak akan memesan burger yang mengotori polo shirt barunya, yang menjadi sumber akar kekesalannya, dan aku tidak perlu merasa bersalah sebab tidak membawa tissue. Namun, di satu sisi berkat ketidakhadiran si tissuelah yang melunturkan kekesalan hatinya.
Ah, pokoknya ingatkan aku untuk selalu membawa tissue saat pergi bersamanya lagi yah.


***



12 March 2014

Tiket Terakhir

Bekerja sebagai penjaga tiket kereta api, aku menjumpai berbagai tipe manusia. Tipe manusia berdasarkan jenis kelas tiket yang biasa mereka beli; kelas eksekutif, kelas bisnis, dan kelas ekonomi.
Manusia yang biasa membeli tiket kelas eksekutif tentulah berasal dari golongan yang mampu karena harga tiket ini paling mahal. Mereka adalah orang yang mengutamakan kenyamanan selama dalam perjalanan. Selain dilengkapi dengan AC, mereka juga dapat menikmati fasilitas hiburan audio/visual. Bisa memesan makanan/minuman dan menikmatinya di tempat duduk yang nyaman. Kalau bosan bisa jalan-jalan ke gerbong restorasi (kereta makan) yang didesain sebagai mini bar dan yang asyiknya mereka dapat berkaraoke ria. Mereka tidak begitu mementingkan penampilan tapi yang jelas mereka bersih dan rapi. Barang yang mereka bawa juga rasanya tidak begitu banyak sebagian hanya membawa ransel atau koper kecil. Dan serunya beberapa dari mereka justru lebih ramah dan tidak terlalu terburu-buru, setidaknya menurut pengalamanku.

Manusia yang biasa membeli tiket kelas bisnis termasuk golongan menengah. Harganya lebih murah dibandingkan dengan tiket eksekutif. Walaupun tidak dilengkapi dengan AC bagi mereka duduk di kelas bisnis sudah cukup nyaman. Kebanyakan orang yang membeli kelas bisnis ini eksekutif muda yang memakai kemeja dan celana/rok bahan. Tak jarang juga kutemui beberapa mahasiswa pada awal bulan. Yang pasti beberapa di antara mereka banyak sekali yang menenteng tas laptop. Mereka tidak terlalu ramah dan sepertinya selalu diburu oleh waktu. Mungkin kelas bisnis ini memang untuk golongan pebisnis ya.

Yang terakhir dan yang paling banyak adalah manusia yang membeli tiket kelas ekonomi. Tidak ada AC pastinya. Walaupun kelas ekonomi ini jumlah tempat duduknya paling banyak, 106 orang per kereta, tetap saja masih ada penumpang yang berdiri karena tidak kebagian tiket. Sayangnya, mereka tetap harus membayar sama dengan mereka yang duduk. Barang yang mereka bawa justru lebih banyak dibandingkan kelas lainnya. Berbagai ukuran koper dari yang super besar sampai super kecil. Kelas ekonomi ini jauh dari rasa nyaman ditambah pedagang asongan yang kadang masuk seenaknya ke dalam gerbong saat kereta berhenti, memberi jalan kereta kelas lain melintas kereta eksekutif selalu diprioritaskan.
Ah, tahu apa aku ini yang hanya lulusan SLTA membicarakan tentang tipe manusia dari tiket yang mereka beli.

Aku memang lulusan SLTA di sebuah sekolah pinggiran di Bandung. Dengan status sosial dan keadaan keuangan keluarga yang serba terbatas, aku tak mungkin melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku ingin sekali merasakan menjadi anak kuliahan. Seperti mereka, anak kuliah yang biasa membeli tiket, mereka terlihat keren. Tapi tak usahlah aku kuliah di luar kota cukup kuliah di Universitas Negeri di Bandung yang lulusannya menjadi guru, agar aku bisa mendidik adik-adikku yang tak sekolah sekarang.

Sebagai anak perempuan pertama, aku cukup beruntung bisa merasakan bangku sekolah sampai SLTA. Teman-teman seangkatanku malah belum lulus sudah dipaksa keluar dan disuruh bekerja lalu kemudian dikawinkan oleh orangtuanya. Untunglah, Ibu tidak ikut-ikutan memaksaku juga. Ibu memang perempuan yang hebat, menafkahi kami bertiga, aku dan kedua adikku, seorang diri. Ayahku yang hanya kuli bangunan sudah lama meninggal, tertimpa reruntuhan batu saat pembanguan mall di daerah Gatot Subroto. Waktu ayah meninggal, aku masih SMP. Walaupun aku tidak tahu kejadian yang sebenarnya tapi ayah masuk koran dan beberapa media sempat mampir ke rumah untuk menanyakan perasaan Ibu. Ibu sedih dan menangis tiada henti tentu saja tidak bisa bicara banyak. Selama seminggu berbagai media terus berdatangan silih berganti, kami sampai ngutang teh ke warung-warung sepanjang gang untuk menjamu mereka. Peristiwa itu memang menghebohkan, tapi hanya seminggu. Kemudian kembali sepi. Perusahaan tempat ayah bekerja, memberikan pesangon cukup besar untuk Ibu sebagai rasa turut berduka cita dan menghimbau agar Ibu tidak terlalu banyak bercerita kepada media. Uang pesangon itulah yang dapat menyekolahkan aku sampai lulus.

Semenjak lulus, aku membantu Ibu berjualan gorengan di stasiun sepanjang hari. Hasilnya lebih dari cukup untuk kami bertiga makan sehari-hari. Apalagi kalau liburan panjang tiba, dagangan Ibu selalu ludes tak bersisa. Saat itulah aku melihat lowongan sebagai penjaga tiket, walaupun syaratnya D3 tapi aku memberanikan diri untuk melamar. Aku bisa mengetik dengan komputer dan mengisi angka-angka dalam kolom excel, walaupun tidak begitu menguasai. Kemampuan Bahasa Inggrisku cukup bagus dari hasil nilai ujian yang tak pernah kurang dari delapan.

Latar belakang pendidikanku yang hanya lulusan SLTA menjadi kendala, ah cuma lulusan SLTA bisa apa memangnya? Tapi aku punya kemauan yang besar untuk belajar. Lagipula aku masih bisa tetap berdekatan dengan Ibu kalau diterima bekerja nanti. Pokoknya aku mau bekerja di Stasiun ini, aku rela walaupun hanya jadi tukang bersih-bersih. Untunglah semangatku memohon-mohon mengibakan mereka. Satu bulan masa uji cobaku, dalam waktu satu bulan aku harus bisa menyesuaikan diri dan menunjukkan kemajuan. Malam itu aku berdoa pada Tuhan sampai tertidur dan tak habis-habisnya mengucapkan terima kasih padaNya.

***

Sebulan, dua bulan, yang menjadi tiga bulan dan tak terasa sudah menginjak satu tahun aku bekerja di sini. Awalnya memang sulit sekali, memasukkan data ke dalam komputer selagi ada penumpang di depan kita, mengingat jadwal kereta setiap gerbongnya, menghitung dan mencocokkan jumlah tiket yang terjual dan uang yang masuk. Sungguh pusing! Ingin menyerah! Terlalu banyak pekerjaan yang dilakukan di saat yang bersamaan. Belum lagi harus berhadapan dengan penumpang yang marah karena kehabisan tiket atau ketinggalan kereta.
Tapi Ibu menyemangatiku, Ibu mengingatkan akan janjiku sendiri yang ingin menyekolahkan adik-adikku setidaknya sampai lulus SLTA. Penghasilan Ibu berjualan gorengan tidak mungkin mencukupi. Iya, aku tahu Ibu. Tapi rasanya sulit sekali kerja sebagai penjaga tiket itu. Aku pikir tidak akan serumit itu.
“Ah, gampang atuh Neng. Masa sudah sekolah sampai SMA ngga bisa?” kata Ibu
Mengingat pesan Ibu dan mungkin karena sudah terbiasa juga menjadi penjaga tiket, aku sudah menemukan ritme kerjaku sendiri. Ternyata tidaklah sesulit yang aku rasakan dahulu. Di tahun pertamaku ini, aku mulai menikmati pekerjaanku. Penghasilanku juga sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami. Adikku dapat meneruskan sekolahnya lagi dan sebagai tambahan uang sakunya sehari-hari, dia berjualan koran saat pagi-pagi sekali sebelum sekolah. Kehidupan kami memang semuanya terpusat di stasiun ini. Stasiun inilah yang secara tidak langsung menghidupi keluarga kecil kami ini.

***

Selalu saja muncul masalah saat semuanya baik-baik saja. Masalah muncul bersamaan dengan selesainya pembangunan Tol Cipularang. Pembelian tiket kereta api mengalami penurunan secara drastis setiap minggunya. Hal ini sudah terjadi selama beberapa bulan dan jika terus terjadi maka nama stasiun ini hanya akan tinggal sejarah, begitu yang terus diucapkan oleh atasanku. “Pemerintah seharusnya melakukan sesuatu, fasilitas sudah kita tingkatkan, kalau masalah ini dibiarkan bisa-bisa gulung tikar. Padahal stasiun ini sudah berdiri sejak 1887, apakah riwayat hidupnya harus berakhir sampai di sini saja”, itu yang terus dikeluhkan oleh atasanku. 
Banyak tenaga kerja yang diperkerjakan di stasiun ini, banyak pula yang mendapat penghasilan melalui stasiun ini, aku salah satunya. Bahkan para pencopet, pengemis, tukang semir sepatu, tukang becak, pedangan asongan, sampai preman pun mendapat penghasilan melalui stasiun ini. Beberapa dari kami memang menggantungkan hidup di stasiun ini. Jika pembelian tiket tidak mengalami kenaikan, maka stasiun ini  terpaksa akan tutup, karena biaya pengeluaran operasional yang tak tertutupi.

Aku belum pernah naik tol dan Tol Cipularang entah berada di mana. Sudah hampir tiga bulan, penjualan tiket terus mengalami krisis. “Siapa sih yang punya ide bikin tol itu?” tanyaku geram. Membuat jarak Bandung-Jakarta menjadi lebih dekat, yang berarti membuat penjualan tiket terus menurun. Siapa yang harus bertanggung jawab? Apa mereka tidak pernah berpikir selalu akan ada korban dari pembangunan yang mereka lakukan? Setelah ayahku menjadi korban. Sekarang puluhan pegawai stasiun kereta api juga terancam menjadi pengganguran.

Ah, tahu apa aku ini yang hanya lulusan SLTA.

Setelah beberapa bulan, akhirnya penjualan tiket mulai stabil lagi. Mungkin mereka menyadari bahwa naik kereta api lebih menyenangkan daripada naik tol, lebih murah. Stasiun ini terselamatkan. Tempat orang-orang singgah untuk akhirnya meneruskan perjalanan mereka sampai tujuan.

Hari-hari pun berjalan seperti bisa. Penjualan tiket akan mengalami puncak kenaikan menjelang long weekend datang atau liburan hari raya keagamaan. Itulah hari tersibuk bagiku. Di sela kesibukanku, ada pria berumur 70 tahunan, dugaanku melihat dari perawakannya yang cukup renta, menggunakan tongkat sebagai tumpuannya saat berjalan. Memakai topi pet, lengkap dengan syal abu-abu, dan jaket yang menutupi kemeja coklat di dalamnya. Pria tua ini tampak linglung dan mendekati loketku,

“Selamat Sore, Pak. Ada yang bisa dibantu? Mau pesan tiket dengan tujuan kemana?”
“Begini Mba, saya sudah dapat tiket tapi saya bingung ini tujuannya ke mana ya? Saya sudah cek jadwal keberangkatan, ada tanggal dan juga ada jam keberangkatan di situ. Saya bingung.”
“Boleh saya lihat tiketnya, Pak?”

Pria tua itu menyerahkan selembar tiket kepadaku, kertasnya keras, seperti kertas ijazahku, warna tintanya emas. Tiketnya berbeda dengan tiket kereta api. Aku belum pernah naik pesawat, mungkinkah ini tiket pesawat. Rasanya terlalu mewah untuk dijadikan tiket. Di dalamnya hanya tertera infomasi jadwal keberangkatan, tanggal keberangkatan, nomor kursi, dan keterangan bahwa tiket tidak bisa diwakilkan. Di belakangnya tidak ada informasi apa-apa, kosong.

“Bapak, dapat tiket ini darimana? Ini bukan tiket kereta api, Pak.”
“Saya juga tidak tahu. Pagi tadi sudah terselip di bawah pintu. Saya kira itu surat cinta untuk cucu saya. Tapi suratnya dialamatkan kepada saya, di dalamnya hanya ada satu tiket itu. Tidak ada yang lain. ”

Aku bingung, tiket itu adalah tiket terindah dan terbagus yang pernah aku lihat. Tintanya yang berwarna emas memancarkan kemilau emas saat membacanya. Di pinggirannya ada semacam hiasan ukiran sayap melengkung dan jika di raba ukiran sayap itu timbul. Pria tua ini akan terus berdiri di depan loket menunggu jawaban. Sementara di belakangnya antrian mulai memanjang. Aku harus melakukan sesuatu.

“Bapak, silahkan duduk dulu, di sana. Saya tanyakan tiket ini kepada atasan saya ya, Pak. Mungkin, beliau lebih tahu dibandingkan saya.”
“Iya, coba tolong tanyakan ya, Mba. Waktunya sebentar lagi, saya tidak ingin ketinggalan kereta.”

Waktunya sebentar lagi ... aku kembali melihat informasi di tiket itu. Jam keberangkatan pukul 16.00 WIB. Sepuluh menit lagi. Langsung aku memencet tombol operator untuk dihubungkan kepada atasan. Aku bicara dengan terburu-buru mengenai tiket ini. Awalnya atasanku tidak menghiraukan, mungkin saja ini salah satu perbuatan orang iseng atau orang gila. Namun, aku jelaskan kembali secara perlahan bagaimana pria tua itu nampak normal, sehat, dan juga kebingungan. Akhirnya atasanku akan menemuiku untuk melihat sendiri tiket itu dan menjelaskan langsung kepada pria tua itu bahwa mungkin saja ini adalah salah satu lelucon yang dibuat cucunya.

Tepat sepuluh menit kemudian, atasanku membawa tiketnya dan menghampiri pria tua yang mulai terantuk-antuk di kursinya. Atasanku menyapa pelan sambil memegang pundak pria tua, aku melihatnya melalui jendela di loket sambil tetap sibuk melayani penumpang lainnya. Tak lama kemudian, atasanku berteriak memanggil ambulan. Beberapa mulai menjerit entah takut atau kaget. Pria tua itu meninggal tepat saat atasanku memegang pundaknya.

Sesuatu mengarahkan Aku berlari menuju pria tua itu duduk, aku tidak peduli dengan antrian yang masih panjang di loketku. Aku tinggalkan begitu saja sesaat mendengar atasanku memanggil ambulan dan melihat pria tua itu jatuh tergolek di lantai.

Aku rebut tiket di tangan atasanku, melirik ke jam dinding di ruang tunggu dan jam yang ada di tiket. Jam 16.00 wib. Aku yakinkan hari ini tanggal yang sama dengan yang tertera di tiket. Dan nomor kursi yang tertera di tiket DEC304SE adalah nomor kursi pria tua itu duduk.

***

27 February 2014

Jalanan

Hai kamu, si pengguna jalan,

Perkenalkan aku yang tadi malam ngomel-ngomel parah agak sedikit memaki kamu. Aku nulis surat ini buat kamu dengan dua tujuan, yaitu :

1. Bentuk permohonan maaf
Maaf, aku nampaknya memang keterlaluan memaki kamu sebegitu hebatnya dan membuat hati kamu terluka. Siapa yang ngga sakit coba dimaki-maki sama orang asing yang mau nabrak pulak. 

2. Bentuk himbauan
Begini loh, Jeng. Zebra cross itu dibuat khusus untuk orang menyebrang jalan. Bukan sekedar hiasan hitam-putih biar ngga monoton. Bukan pula sekedar iseng ngabisin cat. Tapi ada fungsinya! Orang yang punya SIM juga tahu kalau ada zebra cross dahulukan penjalan kaki. Ya ngga tahu yah kalau ada yang ngambil SIMnya di Apotik. Maksudnya kita kan sesama pengguna jalan yah sama-sama punya hak untuk menggunakan jalan. 

Lain kali kalau mau nyebrang lihat kanan-kiri dulu yah. Terus jangan plin-plan, kalau mau nyebrang yah nyebrang dong! Tetapkan pilihan kamu, jangan mundur lagi sambil ketawa-tiwi. Menyebranglah di tempat yang sudah disediakan, kan pemerintah sudah bikinin tuh yang namanya zebra cross, jembatan khusus penyebrangan.

Kalau mau main-main di lapangan sana (ya kalau masih ada lahannya ngga dijadiin perumahan) bukan di jalanan. Ingat hidup di jalanan itu berat, Sist!

Sekian surat ini aku buat khusus untuk kamu yang entah siapa dan di mana.

Salam Jalanan,

Eva, yang hampir nabrak kamu.

Jam Malam

Hai V,

He he he, ya begitulah kelakuanku kalau sudah lihat varian sepatu, model lucu, enak dan nyaman dipakai, ditambah ada embel-embel sale pasti langsung bungkus bawa pulang! Dan agaknya aku lebih suka belanja sepatu sendirian deh. Ngga ada interupsi dari pihak lain. Hihihi. Duh, kamu merhatiin ngga flat shoes warna beige itu memohon-mohon untuk ikut dibawa pulang jugaaaakkkkk aaaakkkhhhh.

Surat sepatu kaca kamu bikin aku tambah ngiler aja pengen beli sepatu model kaya begitu tapi tentu saja bukan dari bahan kaca beneran. Selain harganya mahal, perawatannya juga harus apik, terus terus nanti jadi labu deh kalau jam dua belas malam belum pulang.

Nah, ini nih Bandung beberapa minggu terakhir jadi berasa Kota Mati deh. Kemarin aku pulang dari rumah kamu hemp jam sepuluhan yah gila jalanan sunyi senyap sepi mencekam belum lagi angin malam menusuk nusuk sanu bari. Entah sejak kapan Bandung mulai memberlakukan jam malam, aku ngga terlalu ngikutin tapi efeknya baru kerasa banget kemarin. Pedagang kaki lima juga sudah diurus sama Kang Ridwan sehingga menambah kesan jalanan lenggang. Gelap pekat dan sunyi membuat bulu kuduk meremang.

Di satu sisi tujuannya ada peraturan ini jalanan semakin aman sebab di beberapa titik ada mobil patroli yang mobile. Kriminalitas di jalanan seperti penjambretan, geng motor rasanya akan semakin berkurang walaupun belum ada data statistik yang bisa dipertanggungjawabkan. Atau akunya aja yang malas nyari.

Namun, di sisi stakeholder (penjual jasa) dengan berlakunya jam malam mereka mengalami penurunan penjualan. Biasa last order jam satu pagi jadi jam sebelas malam. Hilang tiga jam, kalau mereka dalam satu jam bisa dapat minimal dua orang dengan pemesanan dua ratus ribu yah hitung saja sendiri totalnya berapa malas aja gue itungin incomenya orang lain. Hih!

Itu baru di bidang jasa tata boganya saja loh! Dago Pakar sekarang jadi salah satu daerah tujuan wisata, wisata malam menegangkan setelah Dunia Lain, Bukan Dunia Lain, Masih Dunia Lain, Aneka Dunia Lain, dan Dunia Lain-Lainnya naik terus ratingnya. Heran nyari "mahluk" kok disebut berwisata?

Sudah yah, sampai bertemu lagi di rumah kamu. Ini dosennya cemburu gegara aku lebih merhatiin menatap layar laptop daripada merhatiin beliau. Bye!

Salam Curi-Curi Nulis Surat di Jam Kuliah,

Eva