29 August 2012

Hari Terakhir


“Jadi hari ini terakhir?” tanyaku seakan tidak mempercayainya.
“Iya, hari ini adalah hari terakhir.” jawab mereka serentak.

Sebenarnya aku baru saja berkenalan dengan mereka lima belas hari yang lalu, tepatnya tanggal 15 Agustus 2012. Berawal dari sebuah link yang sudah di-RT orang-orang hingga akhirnya muncul di timeline. Rasa penasaran dengan tagar #WriterChallenge membawaku ke sebuah blog, kuamati dan kuresapi saat membaca. Sebuah Proyek #WriterChallenge yang mengajak kita semua untuk mulai membiasakan menulis. Setiap hari akan diberikan tema yang berbeda, begitulah kira-kira keterangan yang ada di blog. Semangat menantang diri sendiri langsung menyelimuti hingga tidak menyadari bahwa Proyek ini hanya berlangsung lima belas hari.

Baiklah, aku mulai memikirkan kerangka tulisanku agar sesuai dengan tema yang diberikan. Bagiku mengikuti ajang menulis bukan sekedar melatih menulis, mengasah ide, menambah teman, memperluas wawasan dengan membaca karya orang lain, tapi juga menaikkan jumlah kunjungan di blog. 
Akhir-akhir ini blogku hanya dikunjungi oleh segelintir orang, ya salah satu faktornya memang tidak ada tulisan yang baru. Lumayan kan, sekali mendayung dua-tiga pulau terlewati, begitu kata pepatah. 
Menulis setiap hari mudah, menulis sebuah cerpen dengan tema yang sudah ditentukan itu luar biasa. Baru saja akan memulai ketidak-percayaan-diri melintas. Berburu dengan waktu dan sesak napas karena kehabisan ide. Entahlah, apakah aku bisa melaluinya. Lebih baik menyesal setelah mencoba daripada menyesal karena tidak berbuat apa-apa, begitulah kata pepatah.

Akhir Cerita Cinta justru mengawali tulisanku dengan ketulusan yang larut dalam tiap katanya. Papan Catur mendapat tanggapan yang bagus sehingga aku ditantang untuk bermain catur bersama mereka. Menyuarakan Hari Merdeka untuk Bangsaku, Negeriku, Indonesiaku. Kemudian Perempuan Asing dengan segala kepedihan yang tertinggal di hati seorang Ibu dan Anak. KatakanlahSekarang, sebuah puisi usang dalam kertas HVS yang menjelma dan menggugahkan hati seorang gadis untuk mengambil keputusan. Hati Untukmu dimana kerinduan mungkin tidak mendapat ruang, tidak terpisah jarak, dan abadi. Sebab SecangkirTeh membuaimu, meluluhkan hati hingga akhirnya menemukan kepahitan di dalam daun teh setelah semuanya terlambat, mungkin. Ditutup dengan sebuah Sarapan diTaman yang tidak akan pernah berakhir.

“Bagaimana mungkin ini berakhir? Ini belum selesai.” Aku bertanya sekali lagi.
“Sudah lima belas hari kita bersama.” Rini menjawab lembut.
“Tidak mungkin!” sahutku.
“Ini sudah hari terakhir.” Indri menyakinkanku.
“Dan ‘Akhir’ menjadi Tema hari ini.” Teguh menjelaskan.
“Tapi aku baru menulis delapan cerita, bukankah seharusnya ada lima belas? Tidak mungkin ini hari terakhir!” Rasa ragu menghampiriku.
“Jadi kemana saja kamu selama tujuh hari????? Dan iya hari ini adalah Hari Terakhir” Jawab mereka serentak.

***

27 August 2012

Surat Lamaran (Tukang Pos) Cinta


Bandung, 27 Agustus 2012
Kepada Yth.,
Bose @PosCinta
Jalan menuju ke rumahmu

Dengan hormat atas nama cinta,

Berdasarkan pantauan timeline, bose sedang membuka lowongan mencari orang-orang handal untuk dijadikan tukang pos.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan rasa cinta saya mengajukan diri untuk menjadi tukang pos.
Data singkat mengenai saya,

Nama                                              : Ch. Evaliana.
Tempat & Tgl serta Bulan lahir      : Bandung, 22 Juni (Tahun by request).
Alamat                                           : Kota penuh romantisme, Bandung.
Pekerjaan                                       : Mencari jodoh.

Sebagai bahan pertimbangan berikut saya lampirkan,

1.       Mengikuti #30HariMenulisSuratCinta sebanyak 24 kali, karena sedang mengalami masa enam hari pemulihan patah hati. Meramaikan acara gathering #30HariMenulisSuratCinta yang penuh haru. Satu-satunya peserta yang menuliskan sebagian reportasi acara gathering tersebut di PT. www.poscinta.com. Sejauh ini baru dua tulisan saya yang dimuat di sana.

2.       Mampu ditempatkan dengan para tukang pos senior siapa dan dimana saja. Berikut bukti-bukti yang berhasil disaring dari ke-kepo-an saya,
“Folbeck is not given” kata Ekaotto, sementara saya berkata “Folbeck donk kakaaa”.
Jika Heykila kuat bertulang besi maka saya akan kuat bila menemukan tulang rusuk saya.
Tidak akan pernah makan tomat jika artinya saya memakan hurufkecil.
Lebih suka pada malam dengan warna hitam yang kelam tidak seperti Perempuansore dengan warna orange.
Maaf saya buta nada sehingga tidak secanggih composer Adimasnuel.
Saat ini masih fokus dalam mengejar ci(n)ta hal semacam tu(h)an di dunia baru biarkan menjadi prihal Tuannico.
Profil Omemdisini ini berbayar, bose cukup kasih bonus jodoh buat saya.
Terakhir Gembrit jualan syomai harga bersaing, kalau saya (akan) jualan jasa mengantar cinta harga bisa cek di toko sebelah lah.

Saya berharap seluruh jajaran tukang pos bersedia meluangkan waktu untuk meRT surat lamaran ini sehingga membuat bose luluh dan menjadikan saya tukang pos.

Demikian surat lamaran ini saya buat dalam keadaan ngarep banget disertai harap-harap yang mencemaskan. Terima kasih atas perhatiannya.

Salam Cinta,

Ch. Evaliana


Gambar dari sini

26 August 2012

Sarapan di Taman


Pagi ini begitu indahnya, aku tidak pernah menyadari sebelumnya bahwa pagi hari selalu menyimpan keindahan tersendiri. Sinar matahari begitu merekah, pagi yang bermandikan cahaya surya nan cerah. Secercah cahaya masuk melalui bias kaca jendela yang tak pernah dibuka, namun dapat kurasakan betapa segarnya udara pagi. Samar terdengar kicauan burung bernyanyi menyambut datangnya pagi, bunga pun ikut bergoyang menarikan tarian selamat pagi.

“Hari ini Bapak mau makan buah apa?” Tanya anak bungsuku, yang selalu setia menemani sepanjang hari.
“Sudah lama Bapak ngga makan Gule Kambing.”
“Bapak belum boleh makan Gule. Hanya boleh buah-buahan saja, kata dokter.”
“Sate Kambing?.”
“Pak!”

Sudah seminggu aku di Rumah Sakit, si bungsulah yang selalu menemaniku. Si sulung bekerja di luar kota entah sudah sampai apa belum kabar tentang Bapak rentanya yang menjadi korban tabrak lari.

“Mas Yuda sudah tahu?”
“Sudah, Pak. Belum bisa ambil cuti banyak kerjaan. Mungkin akhir pekan baru datang.”

Sudah dua minggu aku di Rumah Sakit ini, si bungsu tidak lagi menemani sepanjang hari sebab jatah cutinya sudah habis. Kasihan dia, pasti lelah jika setiap hari harus mampir selepas pulang kantor. Si sulung masih belum datang juga. Kondisiku semakin membaik, mengapa mereka terus menahan kepulanganku, biaya rawat inap di sini pasti mahal.

“Mas Yuda ini Yudis. Kapan bisa pulang ke Bandung? Kondisi Bapak semakin kritis, cepat pulang, Mas. Takut ada apa-apa.”
“Kerjaanku belum bisa ditinggal! Kemarin kamu bilang ngga apa-apa.”
“Aku bilang itu supaya Mas ngga usah khawatir, biar lihat langsung keadaannya baru aku jelaskan semua.”
“Ya sudah jelaskan saja sekarang!”
“Kaki dan tangan Bapak patah, Bapak juga mengalami kebutaan, kata dokter karena trauma nanti setelah di operasi kemungkinan sembuh. Memar di sekujur tubuh dan selalu ada penyakit baru setelah tes darah. Jadi kapan bisa pulang?”
“Pelakunya sudah tertangkap?”
“Masih dalam penyelidikan kata polisi, sudahlah itu ngga penting! Bapak terus nanyain, jangan sampai kamu menyesal. Kita cuma punya Bapak!”
“Besok saya pulang!”

Pagi ini begitu indahnya, aku tidak pernah menyadari sebelumnya bahwa pagi hari selalu menyimpan keindahan tersendiri. Sinar matahari begitu merekah, pagi yang bermandikan cahaya surya nan cerah. Samar terdengar kicauan burung bernyanyi menyambut datangnya pagi, bunga pun ikut bergoyang menarikan tarian selamat pagi.

Taman dipenuhi padang rumput seperti permadani hijau. Selaras dengan kicauan burung nan merdu. Aku duduk di kursi kayu rotan, di hadapanku duduk seorang gadis yang kecantikannya begitu memukau. Ada dua kursi kosong di antara kami. Meja putih bersih tanpa noda penuh dengan makanan, salah satu menunya ada gule dan sate kambing. Kesukaanku. Tidak ada yang dapat membuatku lebih bahagia lagi daripada sarapan di taman dengan pemandangan nan elok.

“Sarapan dulu Mas” ujar gadis berparas cantik dalam balutan gaun putih bersih, istriku.


***




 Gambar dari sini

24 August 2012

Sebab Secangkir Teh


Memasuki semester akhir kuliah, aku memutuskan untuk bekerja magang di sebuah kafe. Selain untuk mengisi waktu luang, menambah uang saku, juga mendapatkan pengalaman. Terkadang lelah dan penat setelah seharian menguras otak dengan bahan makalah, sorenya harus membuang tenaga melayani pengunjung kafe. Terlanjur sudah membubuhkan tanda tangan dalam surat kontrak kerja selama setahun, aku hanya berusaha menjalankan keduanya sebaik mungkin.

Suasana kafe sedang sepi, hanya ada beberapa sekelompok pemuda, sepasang kekasih, dan seorang pria sendirian. Sebagian besar pengunjung kafe memang suka berlama-lama di sini, suasana yang nyaman dengan sofa-sofa empuk untuk ngobrol, berbagai menu makanan ringan, aneka minuman, serta akses internet. Sehingga pergantian pengunjung juga tidak begitu banyak, membuat aku bisa bernapas sedikit sekedar melanjutkan bahan makalah apalagi dengan akses internet gratis.

Memasuki umur tiga bulan di kafe ini, aku sudah bisa menghapal wajah dan beberapa nama pengunjung tetap dan pesanan mereka. Sepasang kekasih yang selalu datang saat awal bulan, Ratna dengan pesanan yoghurt blueberry dan coffee latte untuk Angga. Seorang pria yang duduk di kursi yang sama setiap sabtu membawa laptop, cappuccino caramel, dan pancake original.

“Sore Mas Rafa. Ini menunya, mau langsung pesan sekarang?” sambutku kepada pengunjung.
“Sore juga, Mba. Biasa yah.” ujarnya.
“Ice Cappuccino Caramel dan Pancake Original. Kita ada menu baru ngga mau coba?” saranku.
“Nanti aja yah. Pesen yang biasa aja.”
“Oke, ditunggu yah.”
“Makasih Mba.”

Memasuki umur enam bulan di kafe ini, aku sudah menguasai beberapa resep dari koki yang baik hati membagi ilmunya. Bahan makalah masih berkutat di bab yang sama, kekurangan data. Pria yang selalu duduk di kursi yang sama, Rafa, kali ini tidak datang setiap sabtu. Hampir setiap hari dia datang ke kafe, bukan untuk memesan tapi menunggu di parkiran hingga kafe tutup dan mengantarkan aku pulang.

Memasuki umur sepuluh bulan di kafe ini, aku diberi kesempatan untuk menjadi supervisor, dengan kenaikan gaji yang lumayan. Bahan makalah untuk skripsi telah selesai pada detik-detik terakhir, setelah diterima tinggal menunggu jadwal sidang. Semakin banyak waktu luang hingga tanpa mikir panjang aku mengambil kesempatan itu, menjadi supervisor.

“Memang kamu mau kerja di kafe ini terus?” tanya Rafa setelah mengetahui keputusanku.
“Belum tahu juga, mumpung ada kesempatan. Kenapa ngga diambil, iya kan?”
“Kalau udah jadi Supervisor, setiap aku ngopi gratis dong!”
“Kepalamu!” candaku.

Memasuki umur dua tahun di kafe ini, jabatanku berubah menjadi manager. Sidang telah kukalahkan dengan nilai memuaskan dan kemeriahan wisuda sudah berlalu. Hubunganku dengan Rafa juga berlanjut ke arah yang lebih serius, komitmen seumur hidup.

“Kamu yakin, nak? Sudah kenal keluarganya belum?” selidik Ibu di telepon.
“Yakin, Bu. Sudah beberapa kali aku diajak ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya. Nanti ibu juga ketemu bisa menilai sendiri. Besok kami berangkat pagi.”
“Kamu ngga pernah cerita punya pacar tahu-tahu mau nikah. Gimana Ibu ngga kaget.”
“Udah malam, Ibu istirahat. Besok takut kesiangan malah ketinggalan pesawat. Nanti ceritanya dilanjut kalau sudah sampai.”

Enam bulan yang lalu, perangai Rafa mulai berubah atau mataku mulai terbuka melihat kelakuan aslinya. Rafa selalu mencari-cari celah kesalahanku hingga akhirnya kami kerap kali bertengkar. Kata-kata cinta yang manis dulu berubah menjadi makian hingga telingaku merah padam mendengarnya. Melirik pada gadis-gadis berpakaian minim, namun mendelik saat aku menyapa ramah pengunjung kafe atau akrab dengan para pegawai.

“Putus?” ujarnya dengan nada tinggi. “Kamu minta putus! Segampang itu!”
“Sudahlah aku cape berantem terus. Kamu juga cape kan. Lebih baik kita akhiri saja.”

Setelah mendengar ucapan putus dariku, Rafa melunak. Meminta maaf dan berjanji untuk berubah. Malam itu, dia manis sekali membuatkan secangkir teh untuk menenangkan emosiku. Hatiku luluh kembali. Setiap kali kami bertengkar, Rafa selalu meminta maaf penuh haru dan membuatkan aku secangkir teh. Cangkir teh yang dapat membuat aku lupa untuk apa kami bertengkar, teh yang membuat cintaku kembali menggelora padanya, teh yang tak pernah berhasil aku habiskan karena kami telah berpindah ke ranjang. Cintaku terlalu membara hingga tak sanggup menunggu menghabiskan teh di cangkir.

“Rafa, sebelum pulang ke apotik sebentar yah.” mintaku saat pulang kerja.
“Kenapa kamu sakit? Mau obat apa”
“Udah telat tiga minggu. Aku takut.”

Menunggu selama sepuluh menit bagaikan bertahun-tahun. Dengan gemetaran aku memandangi test pack. Ada dua garis berwarna merah di sana.

Aku mengambil cuti panjang yang sebelumnya tidak pernah kugunakan. Setelah memesan tiket pesawat ke Surabaya, aku mulai packing. Saat sedang memasukkan baju Rafa ke dalam koper, di tumpukan kemeja kerjanya terselip sebundel kertas koran, isinya daun teh yang telah dikeringkan.

“Ini apa?” tanyaku saat dia pulang kantor.

Mukanya pucat, memandangi daun teh di tanganku, terdiam.

“APA?” paksaku.
“Teh yang biasa kau minum.” katanya agak terbata.
“Jadi selama ini kau sengaja membuat aku ha ....”

***


20 August 2012

Hati Untukmu


Sudah kubilang bahwa aku tak sanggup jika menjalani hubungan seperti ini, hubungan jarak jauh. Walaupun Bandung dan Jakarta dapat ditempuh dalam waktu dua-tiga jam, tetap saja kau tidak ada dalam keseharianku. Berapa kali harus kukatakan, ini tidak akan berhasil!

Pagi. Sudah bangun, cantik? On the way ke kantor. At kantor, jangan lupa sarapan! Siang. Selama Makan Siang. Huh, ngantuk! Kamu lagi apa, cantik? Oke, saatnya pulang. At kostan, akhirnya. Nite cantik :*

Pesan-pesan singkat setiap harinya yang kau kirimkan untuk aku. Selalu sama tiap jamnya. Bosan.

Aku menginginkan kehadiranmu, bukan sekedar alarm pengingat untuk makan. Tanpa pesanmu juga aku akan makan jika perutku meminta.

Enam bulan berlalu dan kau semakin disibukkan dengan pekerjaanmu. Pesanmu tidak sesering dulu lagi, semakin jarang pulang ke Bandung, seminggu sekali yang berubah menjadi sebulan sekali hingga akhirnya hilang tanpa kabar.

Bel berbunyi. Pukul 00.00

“Surpriseeeeeeeeeee .....” tiba-tiba sahabatku sudah ada di depan rumah membawa kue dan lilin ulang tahun.
“Happy birthday to you dear ....” serentak mereka bernyanyi bersama-sama, aku memandangi mereka satu persatu dengan mata berkaca-kaca.
“Ayo, say ditiup lilinnya keburu meleleh!”
“Make a wish dulu dong!”

Aku berjalan mendekati kue yang masih dipegang sahabatku. Kupejamkan mata, kupanjatkan doa, ‘Tuhan, terima kasih atas umur yang telah Kau tambahkan. Sampaikan rinduku untuknya, agar hati kami selalu berdekatan. Amin’

Kutiup semua lilin yang berjumlah dua puluh lima dengan satu tarikan napas. Separuh kue sudah habis. Malam tergantikan dengan secercah mentari. Sahabatku tertidur pulas di ranjang setelah semalam suntuk bergosip. Kubuka jendela, menikmati udara pagi.

Bel berbunyi. Pukul 06.00

Kubuka pintu, tidak ada siapa pun, tepat di bawah pintu ada satu kotak kayu berbentuk hati.
Kubuka perlahan kotak.
Sebuah hati yang masih berdetak, ada secarik kertas di dalam,

Pesan ini akan tiba padamu
Entah dengan cara apa dan bagaimana

Bahasa yang kutahu kini hanya sebuah perasaan
Pesan singkat dari sebuah hati

Aku memandangimu 
Tanpa perlu tatapan

Aku mendengarmu
Tanpa perlu tahu

Aku menemuimu
Tanpa perlu hadir


Aku merasakanmu
Tanpa perlu sentuhan

Aku Mencintaimu
Tanpa perlu kata

Selamat Ulang Tahun, Cantik!

Kupersembahkan hatiku yang berdetak ini sebagai hadiah ulang tahunmu.
With love.

***


Gambar dari sini

19 August 2012

Katakanlah Sekarang


Hai kamu, iya kamu yang sedang menatapku melalui kepulan asap rokok kretek. Tidak adakah suatu kata yang terucap dari bibir hitammu, karena terlalu sering merokok. Kata-kata yang menjadi tujuanmu mengajakku kemari hari ini. Untuk apa kau memakai kemeja terbaikmu, mengajakku ke kafe yang kita berdua tahu harganya tidak murah, jika hanya duduk diam saling menatap tanpa kata.

Kau pikir aku bodoh, tidak mengenali perasaanmu yang tertuju padaku?

Dari semua teman wanitamu yang banyak itu, mengapa aku yang paling sering mendapat pesan, telpon, dan kunjungan antar-jemput darimu? Perhatianmu yang berlebihan sudah menunjukkan banyak hal padaku hingga aku menyadari bahwa kau bukanlah sekedar teman dekat biasa.

Genggaman tanganmu yang hangat saat menyebrang jalan, yang juga tak terlepas saat kita sudah sampai di ujung jalan. Tangan kita yang menyatu di dalam kantung jaketmu saat malam-malam dingin kau mengantar aku pulang. Belaian lembut di rambut tepat di depan pintu rumah, sesaat sebelum kau pamit. Pesan singkat darimu yang mengatakan bahwa kau sudah sampai di rumah. Telpon mengantar tidur darimu karena kau tidak mau menutup telpon di saat kantukku tidak tertahan lagi. Salahkah aku jika mengartikan perhatianmu itu bukan sekedar perhatian teman dekat biasa?

Setahun lamanya kita berteman-amat-sangat-dekat, selalu bersama berdua, tidak juga ada kata-kata yang keluar dari bibirmu. Kata-kata yang meresmikan hubungan kita, aku memang bukan remaja belia usia belasan yang menunggu “ditembak” untuk dijadikan pacar. Tapi, kata-kata itu memang selalu kutunggu keluar dari bibirmu, untuk memperjelas statusku. Bilang saja aku keanak-anakan tapi kata-kata yang kutunggu itu menjadi pedoman bagiku.

Hingga hari ini, kau membawaku ke kafe mahal ini.
Sudah tidak ada makanan dan minuman yang tersisa, kau masih menutup mulutmu dengan rokok kretekmu. Dengan suasana kafe yang temaram, memakai kemeja terbaikmu, salahkah aku jika mengartikan perhatianmu itu bukan sekedar perhatian teman biasa?

Beberapa lampu mulai dimatikan, kursi-kursi di ujung sana sudah dinaikkan ke atas meja, masih belum ada kata-kata yang kutunggu dari bibirmu. Tagihan sudah dibayar.
Genggaman tangan saat berjalan ke parkiran, tangan yang menyatu dalam kantung jaket, dan akhirnya belaian halus di rambut saat kau pamit pulang.

Tanpa kata,
Aku tahu kau sedang menatapku.
Tanpa kata,
Aku tahu kau ingin menghampiriku.
Tanpa kata,
Aku tahu kau ingin berbicara dengan hatiku.
Tanpa kata,
Aku tahu kau menyayangi aku.
Tanpa kata,
Aku tahu kau mencintaiku.
Tapi, tolong katakanlah padaku sekarang.
Sebab, jika kau tidak katakan padaku hari ini,
Maaf, besok aku sudah menjadi pemilik hati yang lain.

***



18 August 2012

Perempuan Asing


Rumah mungil dengan pekarangan berbagai jenis bunga Ibu Lela selalu terawat dengan baik. Mulai dari Bunga Matahari, Bunga Anggrek, Bunga Mawar merah-putih, Bunga Sepatu, hingga Bunga Tulip, semuanya tumbuh subur dan berbunga. Hidup hanya seorang diri, aku sebagai tetangga terdekatnya sudah sepantasnya ikut merawat Ibu Lela; yang umurnya sudah lima puluh tahunan.

Ditinggal suami yang terbunuh di medan perang, menjadikan Laila, anak gadis semata wayang adalah keluarga satu-satunya yang Ibu Lela miliki.

Lima tahun yang lalu, Ibu Lela terpaksa berpisah dengan Laila, anak gadis semata wayangnya karena harus mengikut suami yang bertugas di luar kota. Walaupun berat rasanya ditinggal oleh Laila, Ibu Lela tahu sudah menjadi kewajiban seorang istri menjadi pendamping kemana pun suaminya pergi. Seperti juga dirinya yang dulu harus berpisah dengan orang tuanya karena mengikut suami.

Sejak kepergian Laila, Ibu Lela mulai bercocok tanam untuk mengusir rasa kesepiannya. Dibelinya  bibit-bibit aneka bunga hingga pekarangan sekarang ditumbuhi aneka bunga. 

Setiap pagi dibukanya pintu dan jendela lebar-lebar, dibersihkannya rumah, memasak nasi dan lauk pauk untuk tiga orang, setiap harinya, “malu kalau nanti tiba-tiba Laila datang bersama suami, rumah dalam keadaan berantakan dan tidak ada makanan”, begitu jawabnya padaku. 

Menjelang sore, disiramnya bunga-bunga, dipupukinya mereka agar tumbuh subur tanpa dirusak hama, “agar Laila dan suaminya disambut dengan bunga-bunga cantik aneka warna kalau suatu waktu nanti datang”, begitu jawabnya padaku. Hingga malam semakin larut, baru ditutupnya pintu dan jendela-jendela.

Aku tetangga terdekatnya, yang kebetulan jauh dari Ibu sudah menganggap Ibu Lela sebagai Ibuku sendiri. Setiap sore, sehabis Ibu Lela menyiram bunga-bunganya, aku pasti bertamu, minum teh di teras sambil ngobrol panjang lebar tentang masa lalunya. Jika ada makanan berlebih, aku pasti mengirimkannya pada Ibu Lela.

Lima tahun sudah berlalu, semenjak Laila pergi hingga sekarang dia tidak pernah datang kembali. Sebagai seorang Ibu wajar jika Ibu Lela merasa khawatir, apakah anak dan menantunya baik-baik saja? Apakah mereka sudah lupa alamat rumah hingga tidak pernah mengiriminya surat? Apakah mereka sedang kesulitan keuangan hingga tidak bisa pulang?

Pertanyaan itulah yang sering dipertanyakan Ibu Lela saat menjelang sore sambil menikmati teh bersamaku. Aku hanya menjawab agar Ibu Lela tidak perlu merasa khawatir, suatu hari nanti mungkin Laila akan kembali pulang. Lima tahun lamanya Ibu Lela setia menanti kedatangan anak semata wayangnya bersamaku dan secangkir teh di sore hari.

“Sudah malam, Bu. Sebentar lagi suami saya datang. Saya cuci cangkir dulu yah.” menjadi kebiasaan bagiku untuk membantu mencuci cangkir bekas kami minum teh, membantunya menyalakan lampu-lampu, menutup pintu dan jendela sebelum pulang.

Suara gerbang berderit terdengar dari dapur. Langkah terseret menginjak rumput, kemudian bunyi pintu terbuka.

“Ibu ... Ibu Aku pulang!”

Ibu Lela dan aku langsung keluar, terdiam memandang sosok tamu di hadapan kami.

“Ibu! Tante Ina!”

Sosok perempuan itu langsung menghampiri Ibu Lela, berlutut dan memeluk kakinya sambil menangis.

“Ibu, Laila pulang Bu!”
“Laila?”
“Iya, Bu ini Laila, anak Ibu.”
“Laila?”
“Ibu tidak lagi mengenali aku? Ini Laila bu!”

Ibu Lela dan aku terpaku melihat sosok perempuan asing yang menyeruak datang tiba-tiba masuk ke rumah. Perempuan gelandangan ini mengaku bernama Laila. Bagaimana mungkin dia Laila. Perempuan berdaster rombeng, membawa gembolan kain kumal, rambutnya tidak karuan –di sisi kirinya panjang, di sisi kanannya pendek, nampak sudah bertahun-tahun tidak mengenal sampo, wajahnya kotor penuh debu dan jerawat, giginya hancur, tubuhnya penuh luka lebam dan bekas terbakar. Kakinya tak bersandal dan terlihat kuku-kuku kakinya panjang serta hitam.

“Kamu bukan Laila!”
“Aku Laila, anak Ibu satu-satunya.”
“Kamu bukan Laila! Kamu bukan anakku! Tidak mungkin! Laila selalu merawat penampilannya, wajahnya mulus, rambutnya panjang hitam, Laila cantik!”
“Ini semua perbuatan Yudas Ibu! Dia ingin menjualku menjadi TKI ke Arab karena usahanya bangkrut. Aku menolak dan dia menghajarku habis-habisan.”
“Yudas suami Laila, pria gagah yang tampan dan sangat mencintai anakku, tidak mungkin dia melakukan itu.”
“Dulu dia begitu baik, Ibu. Uang telah membutakan matanya. Setiap hari disiksanya aku, tapi aku berhasil kabur darinya setahun yang lalu. Mencari-cari jalan pulang dan akhirnya aku pulang, Ibu”
“Bukan, kamu bukan Laila.”
“Tante Ina tolong jelaskan pada Ibuku. Bantu Ibu mengingat.”

Aku kembali mengingat-ingat rupa Laila, gadis lugu yang cantik. Banyak fotonya tersebar di rumah ini, aku membandingkan wajah perempuan asing di depanku dengan foto yang terpasang di dinding.

“Kamu bukan Laila.” Jawabku.

Tangis perempuan itu semakin keras, meraung-raung, mengguncang-guncangkan kaki Ibu Lela.

“Pergi dari sini! Dasar gelandangan!”

Kami pun berusaha keras mengusir perempuan asing yang masih melekat di kaki Ibu Lela.

“Baiklah, jika Ibu menginginkan aku pergi dari sini. Tapi aku Laila, anak Ibu satu-satunya.”

“Ina, tutup pintu dan jendela-jendela. Kunci gerbangnya. Aku tidak ingin ada orang gila masuk ke rumah lagi dan mengaku sebagai Laila.”

Perempuan asing, berdaster kumal, tidak bersandal itu pun pergi. Meninggalkan bunyi gerbang berderit yang ditutupnya kembali. Memandang lama ke dalam rumah, ke pekarangan penuh bunga aneka warna, “Ibu, Laila sudah pulang Bu ...” kemudian berbalik dan melangkah pergi ditelan gelapnya malam.

***


Gambar diambil dari sini 


17 August 2012

Cappuccino Green Cafe

Green Cafe and Resto

Sudah lama tidak update tentang pernak-pernik Cappuccino, padahal ada enam puluh delapan foto Cappuccino di folder pictures. Selain mengejar cita rasa dari Cappuccino, saya juga mengoleksi foto-foto terutama yang memiliki Latte Art unik. Kali ini yang akan di posting Cappuccino Green Cafe.

Sesuai dengan namanya Green, maka konsep warnanya pun penuh dengan hijau. Area parkir motor yang ditumbuhi dengan tanaman rambat warna hijau (tapi ga tau asli ga tau bahan sintetis, ga ngecek). Ruangan dibagi menjadi dua; area depan dibuat dengan konsep panggung, dilengkapi dengan Giant Screen, TV Plasma 42', panggung Live Music, cocok banget dijadikan tempat untuk Nobar. Area belakang, dipenuhi dengan sofa-sofa empuk berwarna hijau, bisa dijadikan untuk private party. Bahkan taplak mejanya juga warna hijau :D

Suasana Green Cafe

Bangunan Green Cafe menyatu dengan Distro 3 Second. Sambil menunggu pesanan, kita bisa belanja atau sekedar lihat-lihat barang yang ada di sana. Mulai dari baju, kemeja, celana, jaket, topi, dan tas khas 3 Second.


Tema yang di usung oleh Green Cafe ini memang Cafe Resto with fashion-music-lifestyle concept.
Tuh keren banget kan.

Eh, pesanannya sudah datang, ini dia ...

Cappuccino Green Cafe

Cappuccino yang pekat rasanya dengan Latte Art logo dari 3 Second.
Sakin pekatnya saya harus menambahkan sedikit gula. Busa dari susunya juga tidak terlalu menggumpal dan kental. Salah satu Cappuccino yang enak!

Duh, susah menggambarkan bagaimana enaknya. Jadi kalau penasaran mending langsung datang saja ke Green Cafe & Resto yang terletak di Jl. Diponegoro No 26, Bandung (Depan RRI). Untuk lebih jelasnya follow twitternya @GreenCafe_Resto

Nah, sekarang saya mau menikmati Cappuccino Green Cafe ini sebelum jadi dingin.

Salam #Cappuccinoholic

16 August 2012

Papan Catur


Terbiasa disibukkan dengan padatnya pekerjaan sehari-hari, membuat saya diserang rasa kebosanan menghadapi libur panjang seperti ini. Sudah naluriah tampaknya bagi manusia untuk mengeluh –khususnya saya–, saat sibuk bekerja minta libur, dikasih libur malah ingin segera kembali bekerja. Sebagian teman kantor menikmati liburan dengan pulang kampung, jalan-jalan ke luar kota bahkan ke luar negeri. Kesepian. 

Konsep liburan bagi saya sederhana, terlepas bebas dari segala macam teror yang berhubungan dengan pekerjaan, cukup dengan berdiam diri di rumah, berleha-leha, tidur sepagi dan bangun sesiangan mungkin. Tidak harus menghabiskan gaji berbulan-bulan hanya dalam jarak satu hari-satu minggu habis untuk liburan.

Baru dua hari melewati liburan, sudah gelisah.

Daripada merasa tidak produktif akhirnya saya memutuskan untuk bersih-bersih rumah. Mulai dengan lemari baju, memilih-milih baju yang sudah tidak terpakai lagi, lumayan juga bisa disumbangkan, hitung-hitung amal. Berlanjut membersihkan rak buku yang dipenuhi tumpukan debu. Kemudian beranjak ke gudang, nampaknya akan ada banyak barang tak terpakai di sana.

Gudang dipenuhi dengan dus-dus besar lapuk. Di antaranya dus besar berisi buku-buku bekas SMP, SMA, dan kuliah. Saya keluarkan semuanya dan disimpan dekat dus berisi baju untuk disumbangkan nanti. Dus lainnya hanya sisa perabot Ibu yang rusak dan sisa perkakas ayah, lebih baik dibuang daripada jadi sarang tikus.
Saat itulah saya menemukan papan catur; yang sudah terkelupas pinggiran kayunya, dan cat hitam-putihnya memudar. Saya buka dan menghitung, masih lengkap, ada enam belas buah bidak hitam dan enam belas buah bidak putih. Kembali teringat pada masa itu saat Ayah mengajarkan dan sering kali ‘memaksa’ mengajak saya bermain papan catur.

***

Di mata saya, pada waktu itu Ayah adalah sosok yang pilih kasih. Ayah jarang berbicara panjang lebar dengan anak gadisnya, sementara dengan anak laki-lakinya bicara panjang dan lama diselingi tawa renyah khasnya. Apalagi jika mereka berdua, para lelaki sedang menonton bola. Ramai dan terlihat bahagia.

Hobi Ayah bermain catur, setiap malam minggu pasti ada saja temannya yang diajak ke rumah untuk bermain catur bersama.

Suatu kali Ayah mulai mengajari saya bermain catur, “Kamu tahu, Catur itu bukan sekedar permainan! Tapi ini permainan logika, teknik cara bertahan dan berjuang. Bermain dengan menggunakan strategi.”

Diperkenalkannyalah saya pada Pion yang jumlahnya delapan di baris depan, “Pion adalah prajurit terdepan yang akan menentukan langkah awal strategimu! Salah melangkah mati semua kerajaanmu.”

Dibarisan kedua, ada dua Benteng, “Seperti namanya Benteng berguna untuk melindungi dari serangan. Dia tidak seperti Pion yang dapat lompat satu-dua petak, tetapi berjalan lurus ke depan atau ke samping”.

Lalu dua Kuda, “Kuda hanya bergerak membentuk huruf “L”, Kudalah satu-satunya bidak yang dapat melompati bidak lainnya.”

Ada pula dua Gajah, “Gajah kebalikan dari Kuda, hanya bergerak secara diagonal dan tidak dapat melompati bidak lain.”

Nah ini Raja dan Ratu pertahanan terakhirmu, “Dapat bergerak satu petak ke segala arah.”

Kepala saya; waktu itu masih berusia tujuh tahun, pusing rasanya menghapalkan nama-nama bidak, peraturan bermain, dan langkah-langkah jitu untuk menge-skak-mat lawan. Ingin menangis rasanya, tidak mau bermain catur. Kenapa Ayah tidak bermain monopoli saja dengan saya? Kenapa memilih catur? Ayah jahat!

Tradisi bermain catur di malam minggu ini terus berlangsung hingga usia saya memasuki tujuh belas tahun. Sering kali saya berbohong dengan mengatakan sakit perut-kepala-tidak enak badan, banyak tugas menumpuk, ada kerja kelompok di luar (padahal sedang malam minggu dengan pacar) demi tidak ikut bermain catur!

Setelah Ayah meninggal karena serangan jantung, tidak perlu mencari-cari alasan lagi untuk tidak bermain catur, tidak ada lagi lawan setangguh Ayah, dan malam minggu terasa begitu sepi jika diam di rumah. Kehilangan.

Beranjak dewasa, saya baru menyadari bahwa waktu usia saya tujuh tahun; saat Ayah pertama kali mengajarkan permainan catur, saat itu pulalah merupakan pertama yang kemudian menjadi terakhir kalinya Ayah berbicara panjang-lebar dan lama-lama kepada saya. Tiga jam lamanya Ayah terus berbicara tanpa henti tentang segala macam per-catur-an, yang sayangnya justru malah tidak didengar oleh saya.

Betapa pun saya benci dengan permainan catur, tapi melalui catur inilah saya bisa berlama-lama bersama Ayah. 

“Ayah bingung harus ngobrol apa jika berhadapan dengan perempuan, waktu pacaran dengan Ibu dulu juga begitu. Tapi, Ayah sayang sama kamu. Tidak ingin kehilangan momen bersama tapi juga bingung harus ngobrol tentang apa dengan anak gadisnya. Makanya Ayah mengajak kamu bermain catur, agar dapat bersamamu tanpa perlu repot-repot  memikirkan topik pembicaraan.” Terdengar suara Ibu di belakang saat saya sedang mengelap papan catur yang pinggiran kayunya terkelupas dan warna hitam-putihnya sudah memudar.

***


15 August 2012

Akhir Cerita Cinta


Sudah berjam-jam lamanya kami di tempat ini. Sebuah kedai kopi kecil dengan bangku kayu rotan yang tidak nyaman untuk duduk berlama-lama, menu makanan ala kadarnya, poster event kadarluasa yang masih menempel, belum lagi kebisingan kendaraan karena terletak di pinggir jalan. Tapi, kamu selalu memilih untuk bertemu di sini, “Kopinya enak!” alasanmu setiap kutanya mengapa tidak ke tempat lain. Bagiku semua kopi sama saja, hari ini aku malas berargumen dengannya, kuiyakan saja daripada kami malah berantem dan tidak jadi bertemu.

“Maaf, Mba-Mas kami mau last order. Ada tambahan pesanan?”
“Udah mau tutup yah. Kamu masih mau pesan?” tanyanya.
“Ngga, Makasih Mas”. Jawabku.

Aku melirik ke arah dinding, jam dua belas malam. Sudah empat jam kami bersama, berbasi-basi, ngobrol tentang keseharian. Jus stoberi pesananku masih setengah, sementara dia sudah menghabiskan dua cangkir kopi, kentang goreng tidak tersentuh, sudah dingin. Asbak dipenuhi puntung rokoknya, menandakan dia sedang gelisah.

“Sudah malam, sebentar lagi tutup. Pulang yuk!” rayuku.
“Ngga mau pulang!”
“Terus kemana?”
“Ngga tahu, pokoknya ngga mau pulang titik!” tangannya mengapit lenganku semakin erat.

Menggemaskan jika dia sudah merengek manja seperti ini. Rambut panjangnya dibiarkan terurai mengenai pahaku saat dia menyandarkan kepala dibahuku. Kubelai-belai halus.

“Besok datang?” tanyanya masih bersandar kebahuku.
“Maunya gimana?” kutanya balik.
“Terserah kamulah.”
“Kalau disuruh datang, aku pasti datang. Kalau ngga, yah mending dirumah.”
“Tuh kan! Kamu ngga pernah inisiatif dari dulu!” kembali menengakkan kepalanya dan menatap mataku lekat.
“Jadi maunya gimana?” tanyaku polos sambil merengkuhnya kembali kepelukanku.
“Coba saja ....” kalimatnya tidak selesai, tersedat.
“Lho ko malah nangis, jangan nangis. Besok matanya sembab jadi tidak cantik lho” tanganku menghapus air matanya.
“Sudahlah antarkan aku pulang!”
“Katanya ngga mau pulang?”
“Sekarang mau!”

Selama dalam perjalanan, tangannya memeluk erat di belakang, mungkin karena udara yang dingin.
Tiba-tiba dia minta diturunkan, padahal masih sekitar tujuh-enam rumah lagi.

“Aku turun di sini saja.”
“Yakin?”
“Iya”

Melepaskan helm dan menyerahkannya kepadaku. Rambutnya sedikit berantakan.

“Terima kasih yah sudah menemaniku malam ini.”
“Iya, sama-sama.” merapikan rambutnya.
“Langsung pulang?”
“Mungkin!”
“Kamu hati-hati yah.” menggengam tanganku sebentar kemudian pergi.
“Senja, sebentar!” langsung turun dari motor dan mengejarnya.

Memeluknya lama sekali, mencium keningnya.

“Selamat berbahagia. Selamat menempuh hidup baru. Dia memang lelaki pilihan orang tuamu yang beruntung. Sekali lagi selamat yah. Jangan nangis, nanti orang bertanya-tanya kenapa mata pengantinnya sembab.”

Berjalan menuju motor tanpa berpaling lagi ke belakang. Menyalakan Ipod, memasang aerphone, memakai helm, menuju entah kemana. Hari ini malas pulang!

Mengalun lagu Glenn Fredly - Akhir Cerita Cinta dalam playlist,

Kini harus aku lewati
Sepi hariku tanpa dirimu lagi
Biarkan kini ku berdiri
Melawan waktu tuk melupakanmu
Walau pedih hati namun aku bertahan

***

13 August 2012

Menyuarakan Hari Merdeka


Malam ini saya akan tidur dengan perut kenyang lagi, berbuka di masjid dengan tajil kolak pisang, menerima nasi bungkus yang dilemparkan dari sebuah mobil saat lampu merah menjadi hijau. Beralaskan koran di lantai ubin sebuah toko roti “Merdekalah”, sarung kumal yang sudah tercampur dengan segala macam jenis bebauan, berselimutkan langit hitam kelam yang kadang diintip kerlap-kerlip bintang, seperti malam-malam sebelumnya.

Beberapa warga sibuk berkutat dengan tampah, bambu, tali tambang, cat merah-putih, bendera, dan perkakas lainnya. Sebagian menghias gapura di depan gang, sebagian mempersiapkan area lomba khas tujuh belas agustus-an, sisanya sekelompok anak muda menghabiskan malam menunggu imsak.

Terdengar sayup-sayup petikan gitar dari sekelompok anak muda di ujung sana,
Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam

Terjerumus dalam lubang jalanan

Digilas kaki sang waktu yang sombong

Terjerat mimpi yang indah, lelah.

(Belum Ada Judul – Iwan Fals)

***

Surat Perintah Sebelas Maret 1966, ramai sekali diberitakan di seluruh radio lokal. Sebuah surat berisi perintah yang menginstruksikan Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi keamanan dan menjamin ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. “Situasi memang sedang genting dimana-mana terjadi demonstrasi, apakah dengan keluarnya supersemar keadaan menjadi lebih baik? Semoga saja.” selintas dalam benak saya.

“Mas, Lebaran nanti bisa kan kita ke Klaten, kasian Ibu sudah lama nda di jenguk.” pinta Yanti, wanita asal Klaten yang sudah dua tahun menjadi istri saya. Wajah bulat telur, mata bulat-besar, alis tebal, serta kulit nya yang sawo matang langsung membuat saya terpesona dari pandangan pertama.
“Kamu sedang hamil tua terlalu riskan bepergian naik dokar.” Berusaha menghiburnya sambil mengelus-elus perut buncitnya, mengalihkan perhatian.
”Hei, jagoan sedang apa di sana? Sudah jangan tendang-tendang, Ibumu meringis tuh”
“Besok buka dirumah nda, Mas? Mau dimasakin sayur apa?”
“Apa saja yang kamu masak, saya makan.”

Berpuluh-puluh meter jauhnya, di sebuah markas tersembunyi, sekelompok orang sedang rapat serius. Menggenakan pakaian hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki, menyisakan sepasang mata merah nyalang.

Prankkk
Kaca jendela pecah.
Pintu pintu diterobos.

Berpasang-pasang mata nyalang membawa senjata tajam menerobos masuk pintu-pintu terkunci dan jendela-jendela tertutup. Para pria digiring dengan paksa ke dalam sebuah truk setelah dihajar babak belur. Diambang batas sadar, diantara tumpukan tubuh lebam, samar terdengar lolongan para wanita memanggil suami, ayah, kakak, anak mereka di kejauhan. Suara Yanti terdengar lirih untuk yang terakhir kalinya.

“MAS .... MAS KARYO ..... MAS KARYO ... MAU DIBAWA KEMANA SUAMIKU!!!”

***

Entah sudah berapa lama saya pingsan, rasa sakit menyerang di sekujur tubuh. Gelap. Kepala tertutup kain hitam. Ngilu, berusaha bangkit, kaki dan tangan terikat begitu kencang. Dimana ini? Terasa begitu dingin, lembab, sepi yang mencekam, dan semilir tercium bau amis-pesing. Dimana ini? Ya Tuhan apa yang sebenarnya terjadi? Yanti! Apakah terjadi sesuatu padanya? Oh Tuhan selamatkan Yanti dan Anak Hamba ya Tuhan.

“Erggg ..” erang seseorang, tak jauh dariku.
“Halo? Siapa di sana? Halooo”
“Kepalaku aaahhh kepalaku”
“Namaku Bujang. Siapa di sana?”
“Saya Karyo dari Desa Paseban. Tempat apa ini? Kenapa kita dibawa ke sini?”
“Entah tempat apa ini. Kepalaku ditutup saat diangkut ke truk. Para ninja itu menuduhku PKI.”
“Ninja? Ninja siapa? PKI!! Tapi saya bukan anggota PKI! Mengapa saya ikut dibawa juga?”
“Orang-orang memanggilnya ninja, berpakaian hitam-hitam, hanya matanya saja yang terlihat. Ada mulut-mulut yang mengatakan jika aku, kamu, kami, kita semua antek-antek PKI.”
“Berani-beraninya menuduh saya!! Saya tidak tahu apa-apa dan tidak pernah berurusan dengan PKI!!! Hei, keluarkan saya!!!!”
“Sttt, jangan berteriak! Nanti mereka mendengar! Dihabisinya kau!” suara parau lelaki di kejauhan.
“Siapa di sana? Mereka? Mereka siapa?”
“Jangan berteriak, bodoh!” suara lelaki yang lain.
“Siapa kalian ini?” 
“Kami juga sama sepertimu adalah korban dari lahirnya sebuah orde yang baru. Mereka menghabisi seluruh keluarga yang di duga adalah antek-antek PKI.”
“Mereka juga mengangkut siapa saja pendukung rezim Soekarno.”
“Segala perbedaan keyakinan-kepercayaan dimusnahkan. Hapus bersih!”
“Hapus bersih? Keluarga saya tidak tahu apa-apa, istri saya sedang hamil tujuh bulan. Bagaimana nasibnya ya Tuhan.”
“Istriku baru saja melahirkan, entah bagaimana nasibnya”
“Pikirkan saja nasibmu di sini, sudah untung tidak dikubur hidup-hidup. Salam kenal saya Kasim.”
“Karyo.”
“Salam, Paet.”
“Mahmud!”
“Sukab di sini.”
“Gumira.”
“Liong
“Jianli, Sepupu Liong“ 

Bahkan seorang pembunuh sadis pun berhak untuk diadili sebelum di masukan ke dalam bui. Kami tidak pernah diadili, tidak pernah tahu apa kesalahan kami. Dicap sebagai tahanan politik dengan masa tahanan yang tidak terbatas. Tidak ada sanak keluarga yang datang menjenguk, entah memang sudah tidak ada yang tersisa, entah takut ikut diangkut karena berkeluarga dengan tahanan politik, entah tidak tahu harus mencari informasi kepada siapa. Entahlah ...

Awal lahirnya orde yang baru sudah banyak korban yang berjatuhan, semasa pertumbuhannya makin banyak lagi jumlah korbannya hingga tidak dapat teridentifikasikan lagi. Banyak orang tiba-tiba hilang saat sedang beli rokok di kios depan, saat menyebrang di jalan, bahkan di kamarnya sendiri. Lelaki berotot dengan tato sepanjang tubuhnya berserakan di gang-gang kecil, tak bernyawa. Misterius. Semakin hari semakin sedikit surat kabar yang masih memberitakan kabar kondisi terbaru, hingga akhirnya tidak ada sama sekali. Siaran radio hanya memutarkan tembang-tembang kenangan, tidak ada berita.

Tahun demi tahun telah berganti, wakil presiden berganti, presidennya masih sama. 
Kami masih ditahan, tanpa pernah diadili.
Ada rasa syukur terselip di hati, bahwa anak yang tak terlahir, sesungguhnya lebih beruntung daripada bertumbuh bersama orde baru; terus membangun di tanah yang katanya sengketa, digusur-diambil paksa tanpa ganti rugi, ditinggalkan menggelandang, luntang-lantung di jalanan.

***

Krisis Moneter melanda, massa yang entah bergerak dengan ketulusan hati atau ada yang menyentil hatinya mengerahkan pasukan untuk demonstrasi. Para mahasiswa dari berbagai Universitas bersatu padu menuju satu tempat, Gedung DPR/MPR. Demonstrasi berujung kerusuhan-penjarahan-pemerkosaan, belum lagi tekanan pihak politk dan militer, akhirnya membuat Presiden Soeharto yang sudah terpilih selama tujuh kali, mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. 

Korban telah berjatuhan, meninggalkan kenangan yang tak terhapuskan, Tragedi Mei 1998.

Akhir dari orde baru yang kemudian dielu-elukan sebagai Puncak Revolusi, membuka pintu teralis besi yang telah mengurung kami bertahun-tahun lamanya. Lahir dan matinya orde ini selalu disambut dengan kemeriahan tragedi.

“Akhirnya, kebebasan.”
“Kemerdekaan!”
“Mau kemana kita sekarang? Sudah lupa jalan pulang, banyak bangunan baru. Bingung.”
“Saya mau ke Klaten. Barangkali Yanti pulang ke sana, menunggu saya.”
“Ikutlah denganku ke Bandung, banyak perempuan geulis.”
“Sudahlah Karyo, kita ikut Bujang ke Bandung. Usaha kita di sana.”
“Iya, kita sudah puluhan tahun bersama. Tidak ada yang tersisa lagi. Di Bandung masih ada sepupuku, siapa tahu bisa numpang dicarikan kerja.”
“Tapi ..”
“Ah, sudah 32 tahun berlalu. Tak habis-habisnya persediaan air mata kau.”
“Kalau bukan kita-kita ini ya kau sendiri yang peduli dirimu sendiri.”
“Jangan sia-sia kemerdekaan ini! Inilah saat-saat yang dinantikan, bebas!”
“Masa lalu jadikan sejarah, tutup buku, kemudian bakar! Sekarang, saatnya menikmati hidup!”
“Merdeka!”
“Bandung kita?”
“Merdeka!”


***
Sekali merdeka tetap merdeka.Selama hayat masih di kandung badan.Kita tetap setia tetap setia.Mempertahankan Indonesia.Kita tetap setia tetap setia.
Membela negara kita.
(Hari Merdeka (17 Agustus 1945) –H.Mutahar)

Iringan musik penuh semangat menghentak dari paduan suara anak SD Merdeka Jaya. Seragam merah putih lengkap dengan dasi-topi merah berbaris rapi sambil bernyanyi sahut menyahut, ada yang tidak hapal rupanya. Pembina Upacara berdiri bersiap pidato menggengam kertas di saku seragam safari; yang baru tadi pagi disetrika pembantunya sambil berdendang. 
Petugas Tata Usaha bersiul-siul mengikuti irama, menyiapkan berkas-berkas sebelum liburan panjang sambil berpikir tampaknya Lebaran tahun ini gagal lagi pulang kampung.
Penjaga sekolah berlagu dalam hati untuk menahan kantuk, sebab menonton bola semalam suntuk di pos ronda.
Ibu-ibu di gang sempit-kecil tengah bersiap, memasak aneka kolak-minuman segar-aneka kue untuk bazzar nanti sore, pinggulnya menari mengikuti musik.
Gadis remaja yang hendak pulang kampung naik kereta ikut bernyanyi saat ojek melintas lapangan upacara.
Hingar-bingar kemeriahan Hari Merdeka, membangunkan saya yang masih beralaskan koran, berselimutkan sarung kumal. “Sudah pagi rupanya!” membereskan koran yang berserakan sebelum penjaga toko datang, mengusir tempat tidur saya. 
Berjalan menuju lampu merah sambil bersenandung “sekali merdeka tetap merdeka, tetap setia, tetap setia, membela negara kita.”

***


Dirgahayu Indonesia yang ke-67 tahun.

Sumber :


05 August 2012

Menikmati Semburat Jingga


Aku selalu dibangunkan saat matahari masih malu-malu memperlihatkan kegagahannya. Hari apa sekarang? Entahlah setiap hari nampaknya sama bagiku, tidak ada hari libur bagi seorang pekerja keras. Konon, mereka bilang kalau bangun siang nanti rejekinya dipatok ayam. Bagaimana mungkin ayam mematoki rejeki orang, apakah sudah tidak ada bahan makanan tersisa sehingga si ayam harus merecoki rejeki orang?

Setiap pagi, tanpa sarapan yang layak aku selalu diseret olehnya. Duduk di belakang jok motor tuanya yang mengeluarkan gumpalan awan hitam jika aku menoleh ke belakang. Pergi ke tempat yang berbeda setiap minggunya. Dalam perjalanan di atas motor, aku merasa bebas, terbang lepas seperti sekelompok burung di langit sana – mungkin ada ayah, ibu, kakak, adik, dan saudara burung lainnya – saat angin menerpa kulitku. Aku tidak ingat mengapa aku tidak ber-ayah dan ber-ibu, aku sudah ada di sini bersama mereka yang mengurusku dengan sedemikian rupa lalu menjadikan aku seperti apa yang mereka inginkan. Tentu saja mereka mengajariku dengan disiplin bagaimana caranya mencari uang untuk mendapatkan secuil makanan. Nah, perjalanan sudah hampir sampai karena aku tidak merasakan lagi hembusan angin. Motor pun berhenti, disimpan diam-diam diantara semak-semak.

Hap! Aku meloncat ke pundaknya.

Gendang dari kulit sapi yang sudah mulai usang sedang dipersiapkan. Bunyinya tidak senyaring dulu tapi cukuplah untuk mengiringi langkahku saat bekerja nanti.

Alat-alat penunjang kerjaanku juga sudah berada di posisinya. Sudah tidak sabar rasanya ingin segera memainkan alat-alat itu.

“Bentar! Lampunya masih hijau”, tegasnya kepadaku. Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang dia katakan tapi dari intonasi yang keluar melalui mulutnya aku mengerti, belum saatnya.

Lampu perlahan mulai memerah.

Gendang mulai ditabuh, musik serampangan mengalun.



Aku langsung mengenakan topeng kebanggaanku. Alasannya sederhana untuk menutupi rasa takut dan maluku pada ribuan motor bersama penumpangnya di hadapanku.

Melenggang-lenggok di panggung aspal hitam dan putih yang kadang sangat bersih kemudian memudar lalu sama sekali tak terlihat.

Setelah itu, dia melempar payung dan tas kecil. Tangan kiri memegang payung dan tangan kanan mengapit tas kecil dan kembali mondar-mandir.

Gitar melayang di hadapanku, aku masih ingin bermain dengan payung dan tas kecil. Tapi sebelum cambuk melayang ke tubuhku yang kecil ini lebih baik segera kutanggalkan payung serta tas itu kemudian mengambil gitar layaknya seorang pengamen; yang kerap menemani dan memberi permen saat jalanan sepi. Jika seorang pengamen memegang gitar sambil bernyanyi dari satu kendaraan ke kendaraan lain, yang aku lakukan lebih mudah hanya duduk di pinggir sambil memegang gitar.

Sebelum lampu berubah hijau.

Aku berada di atas motor, kali ini aku lah yang mengendarai motor duduk di depan bukan berada di jok belakang. Sebuah motor usang yang ditemukan tergeletak begitu saja di tempat sampah, diperbaikinya motor itu, diberinya dua roda kecil hingga aku dapat berputar-putar, katanya, dicatnya hingga tampilannya menjadi cukup bersih.

Lampu mulai menguning.

Aku masih berputar-putar membentuk lingkaran menikmati angin yang menerpa kulit seakan sedang terbang tinggi bersama sekelompok burung di atas sana, sebuah tarikan kuat di leher menyadarkanku untuk kembali ke darat setelah terbang tinggi.

Hap! Aku meloncat ke pundaknya.

Seperti pengamen yang kerap menemani dan memberiku permen, dia berjalan dari satu motor ke motor lain, dari satu mobil ke mobil lain sambil membawa mangkok usang; yang ditemukannya pula di tempat sampah.

Lampu hijau.

Kendaraan berseliweran, sesekali hembusan angin dan kumpulan awan hitam berbau menerpa kulitku dan kulitnya. Saat-saat itulah kami bercengkrama, makan bersama atau melihatnya makan lebih tepat, belajar menggunakan mainan baru. Mainan baru kali bentuknya aneh, hanya selembar kain perca yang mungkin didapatnya dari tempat sampah juga. Yang harus aku lakukan hanya melakukan beberapa gerakan di atas kain itu, seperti membungkuk-berdiri-membungkuk-berdiri. Itu sih terlalu mudah untukku.

Lampu hijau.

Menguning.

Kemudian merah.

Hijau.

Kuning.

Merah.

Sekelompok burung mengepakkan sayap, kembali keperaduannya.

Langit biru berlalu begitu cepat hingga langit berubah warna mengeluarkan semburat jingga. Entah sudah berapa kali lampu berubah dari hijau-kuning-merah kembali lagi hijau-kuning-merah ...

Jika senja telah muncul tiba saatnya untuk kembali keperaduan, seperti sekelompok burung yang terbang bebas di langit sana, kembali pulang ke rumah. Rumah jeruji besi sepanjang mata memandang.

Hap! Aku meloncat ke pundaknya.

Dan dalam perjalanan pulang, di jok belakang motornya yang secara diam-diam disembunyikan di antara semak, merasakan angin sore yang menerpa kulit, aku berharap mangkok usang itu penuh dengan koin atau kertas aneka warna. 

Hap! Aku di dalam rumah.

Karena jika mangkok itu penuh maka aku dapat menikmati pisang, pepaya, timun, kacang berlimpah di dalam rumah jeruji besi sambil memandang ke atas, langit yang mengeluarkan semburat jingga dimana sekelompok burung terbang kembali keperaduannya.




***