29 May 2012

Bersantai Bersama Kopi Kamu


Sebagai seorang hunter yang kerjaannya hunting Cappuccino, menemukan tempat baru yang menyediakan Cappuccino enak itu merupakan suatu pencapaian apalagi jika di tambah dengan Latte Art di atasnya. Target buruan saya kali ini mengarah ke daerah Tamansari. Persis di belokan lampu merah (di bawah flyover) saya menemukan cafe baru. Tanpa mikir panjang langsung saya parkirkan motor.

Namanya cukup unik Kopi Kamu. Nuasana di dalamnya tak kalah unik. Awalnya saya pikir konsep ala Victorian karena ada patung-patung Romawi atau/dan Yunani plus sofa yang besar dan panjang. Tapi kemudian, ukiran jawa dan pernak-pernik Etnis Jawanya juga kental. Patung yang ada di ruangan ini pun ternyata di jual karena ada secarik kertas bernuliskan sejumlah angka. Ngopi di tempat ini seperti berada di sebuah galeri seni, atau sebuah ruang keluarga, ruang tamu, bahkan ruang makan. Kalian bisa merasakannya sendiri dengan langsung datang ke tempatnya. Ini sekedar oleh-oleh, enjoy :)

Area Sofa Kopi Kamu
Patung yang dijual







Patung dan beberapa koleksi foto pemilik

Suasana di Kopi Kamu
Keren dan unik, kan? Ada yang lebih unik lho dari itu semua. Mari kita jalan-jalan dan berfoto ria di Toiletnya. Awas jangan kelamaan nanti malah keasyikan.

Lorong menuju Toilet
Ada Big Bathtub di dalamnya











Tuh kan?
Toilet












Nah, ini yang ngga kalah penting adalah kopinya. Saya suka dengan cappuccinonya, rasanya pas tidak perlu ditambahkan lagi dengan gula. Tapi ini kan masalah selera yah. Tapi sayang Latte artnya khusus untuk minuman latte. Tapi, bisa request lho ke Barista kalau cappuccinomu mau ditambahkan latte art.

Cappuccino Kopi Kamu
Coffee Latte Kopi Kamu
Penasaran pengin langsung menikmati suasana dan cita rasa kopinya. Datang saja langsung ke Jl. Tamansari, Balubur No 66. Follow juga akun twitternya  @KOPIKAMU_bdg

Selamat bersantai bersama Kopi Kamu


-Salam #Cappuccinoholic-

28 May 2012

Cappuccino Senja


“Hah, lo putus? Serius?!”
“Kenapa putus?”
“Sayang banget udah lama pacaran kenapa putus?”
“Jadi lo serius putus ama dia? Atau sekedar cari sensasi?”
“Kenapa kamu putusin dia? Kurang baik apa dia sama kamu?”

 ***

Dirinya yang juga terpuruk, tidak siap saat dihujani begitu banyak pertanyaan bertubi-tubi yang justru datang dari teman dekatnya. Pertanyaan dengan kata tanya ‘kenapa’ dan ‘kenapa’ dari sekian banyak kata tanya yang ada, semakin lama semakin menyudutkannya bahwa keputusan yang diambilnya adalah sebuah kesalahan. Sulit baginya untuk mengeluarkan rentetan kata yang dapat membungkam mulut-mulut kelaparan jawaban.
Tidak bisakah mereka membiarkan dirinya terbenam dalam kesendirian. Mereka tidak pernah tahu, bagaimana dirinya selalu dikekang dan dipenjara. Perjuangan yang membutuhkan pengorbanan untuk sebuah kata kebebasan, bebas dalam kesendirian.
Bolehkah dia mendapat sedikit penghargaan atas usaha yang berhasil dicapainya itu? Penghargaan dengan tanpa banyak bertanya lalu menyudutkannya karena telah mengambil langkah yang salah, menurut mereka. Toh, selama ini dia menjalani hidupnya seorang diri. Tidak ada yang pernah tahu sebenarnya apa isi hatinya, hingga akhirnya dia menemukan aku, atau lebih tepat aku yang menemukannya.

***

Pertemuanku dengannya memang terjadi secara kebetulan. Melalui jejaring sosial secara tidak sengaja aku follow akun twitternya. Twitnya yang mengandung canda, kopi, amarah, dan terkadang luka, entah mengapa justru membuat aku semakin penasaran ingin mengenal lebih dalam pribadi di balik akun twitter itu. Lupa, iya aku lupa bagaimana awal mulanya sehingga aku follow dia dan menemukan luka di sana walaupun kata-katanya ditulis dalam canda.

Ini suatu kebetulan yang aneh karena dalam sebuah acara peluncuran buku, aku menemukan dia di sana seorang diri. Tak mungkin salah, aku cek akun twitternya, ini wajah yang sama, twitnya terakhir juga mengatakan dia sedang menghadiri peluncuran buku yang selama ini selalu dinantinya. Ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan mengapa akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapanya di peluncuran buku itu.

“Hai”
“Hai juga” dia membalas dengan pandangan bertanya.
“@pekatnyasenja kan? Gw @sangkalapagi.”
“Oh jadi kamu sangkalapagi itu, abis foto profilenya Sunrise mulu.”
“Hahaha, disesuaikan dengan nama akunnya dong. Memang sengaja datang ke peluncuran Partikel yah? Sendiri?”
“Iya, udah lama banget nunggu seri Supernovanya Dee keluar lagi. Makanya langsung datang ke sini, hari ini diluncurkan secara serentak di beberapa kota, salah satunya ya di Bandung. Kamu datang untuk Partikel juga?”
Kutunjukkan buku yang baru kubeli, sebuah buku Auto-biography seorang fotographer muda dan kumpulan foto-foto terbaiknya.
“Ini, gw datang ke sini untuk buku ini bukan untuk Partikel. Pas lagi bayar lihat ada rame-rame dan mahluk alien terus jadi penasaran deh. Eh malah ketemu pekatnyasenja di sini saat senja pula. Hehehe. Ouh iya gw Rafael.”
“Senja” dia menyambut tanganku, hangat.
“Nama lo benaran Senja?”
“Iya, kenapa?”
“Keren namanya, unik.”
“Masa? Bukannya pasaran yah?”
“Ngga kok, jarang gw temui nama Senja. Eh, datang sendiri?”
“Iya”
“Oh”

Tiba-tiba salah tingkah, ditengah peluncuran buku yang didominasi oleh segerombolan orang, dia datang sendiri. Walaupun dia menjawab pendek-pendek dan seakan seperlunya tapi dia cukup ramah untuk ukuran orang asing seperti aku yang mengajak berkenalan.

“Eh, saya duluan yah. Mau ke kasir sebelum semakin panjang antriannya.”
“Oh oke Senja”

Senja, nama aslinya memang Senja. Entah mengapa sejak pertemuan yang tidak sengaja itu aku mulai memperhatikan setiap timelinenya. Setiap buka twitter yang pertama kulakukan selalu mencarinya, apa yang dia tulis, apa yang dia rasakan, apa saja kegiatannya hari ini. Mulai follow akun-akun yang dia follow dan berharap akan ada peluncuran buku lainnya, agar kami dapat bertemu kembali.

Hari pun berlalu, kesibukanku sebagai Fotografer Freelance membuatku jarang buka twitter dan Senja pun berlalu begitu saja. Minggu-minggu ini memang hari yang berat untukku, ditunjuk untuk mengurus serta mendokumentasikan sebuah acara fashion show, cukup banyak menyita waktu. Malam ini aku dan beberapa panitia yang terlibat acara fashion show rapat di sebuah cafe di Dipatiukur, Bandung. Ada banyak agenda rapat yang harus dibicarakan dan persiapan yang dilakukan.

Saat itulah aku menemukan Senja, lagi, seorang diri. Hanya ada secangkir kopi, laptop, asbak berisi puntung rokok yang menemaninya. Nampaknya dia sudah cukup lama di sana, seorang diri.
Sengaja aku tidak menyapanya, ingin kuselesaikan rapat ini dengan cepat lalu menghampirinya. Ada semacam kerinduan yang tidak jelas datangnya. Selama rapat, entah sudah berapa kali aku bolak-balik meliriknya, memastikan apakah dia masih ada di sana, apakah dia menyadari aku memperhatikan terus, apakah dia masih mengingat aku. Untunglah rapat kali ini tidak bertele-tele dan akhirnya selesai. Setelah mengulas job desk masing-masing, aku pun pamit, pindah ke mejanya.

“Malam, Senja. Boleh duduk?”
“Oh, Hai. Ehm kamu sudah duduk baru minta ijin.”
“Heheheh, Lagi ngapain?”
“Menyendiri”
“Ganggu donk”
“Kamu sendiri lagi apa?”
“Habis meeting sama anak-anak, lagi ada proyekan. Eh, serius gw ganggu yah, ya udah deh pindah meja lagi.”
“Hahaha, ngga kok.”
Dan pembicaraan pun mengalir, menghabiskan bergelas-gelas kopi, berbatang-batang rokok. Ada banyak perbedaan di antara kita, salah satunya mengenai kopi. Aku lebih suka cappuccino, tidak pahit tapi manis, sama seperti aku menyukai gadis-gadis yang berparas manis. Hal itulah yang sempat menjadi bulan-bulanannya, “lelaki macam apa yang menyukai cappuccino” ledeknya. Dia menguruiku “Cappuccino itu untuk seorang yang lembut, bahkan aku yang seorang perempuan pun tidak suka dengan kelembutan foam cappuccino”. Karena dia penikmat kopi tubruk, kopi hitam dengan sedikit gula, pekat. Seperti nama akun twitternya @pekatnyasenja.

Perbedaan lainnya adalah, bagiku pagi adalah semangat. Baginya pagi adalah waktu untuk tidur. Seperti namanya, dia saat suka dengan senja, saat langit mengeluarkan semburat jingga, romantis. Dengan adanya perbedaan di antara kita itu lah, aku semakin tertarik padanya, secara pribadi.

Tak terasa sudah setahun kami berteman, ada banyak hal yang tak terduga kutemui dalam dirinya. Kadang dia ingin dimengerti, didengar, dimanja, layaknya perempuan pada umumnya. Di sisi lain dia ingin dijauhi, dihindari, tak ingin dijumpai, bahkan bertegur sapa di twitter. Uring-uringan, sungguh! Menghadapinya saat sikap antipatinya muncul dan berusaha menghiburnya adalah sia-sia. Kesendirian baginya adalah sakral, hanya untuk dirinya sendiri, tidak ingin berbagi dengan siapa pun, termasuk aku, teman terdekatnya satu tahun terakhir ini. Putus asa. Dia menginginkan pertemanan, aku ingin lebih. Tapi, saat aku mulai menjauh, dia mulai menghampiri. Tarik ulur. Bosan.

Lambat laun, aku mulai mengerti asal muasal sikap antipatinya timbul-tenggelam. Aku menyukainya sejak pertama bertemu di peluncuran buku itu. Aku rasa dia pun mulai tertarik padaku, dengan seringnya kita jalan bareng, makan bareng, ngopi bareng, ngerokok bareng, bahkan menyendiri bareng. Menyendiri di saat kita sedang bersama.

Dia belum bisa melupakan cinta lamanya, sepenuhnya.

Sahabatnya, temannya, hampir semua orang yang mengenal kisah cinta lamanya itu mulai menjauhinya perlahan. Mereka tidak mengerti mengapa dia memutuskan untuk berpisah setelah menjalin hubungan selama dua belas tahun.

Aku. Apalah artinya sangkala pagi bagi seorang pekatnya senja.
Pagi yang selalu bersinar. Senja yang selalu meredup.
Selama ini, pagi merupakan sosok pengisi kekosongan belaka bagi senja tanpa pernah mampu membuatnya penuh.

Saat aku berhadapan dengannya, dalam benaknya, ini bukan wajah yang sama.
Tanganku mengenggam tangannya, ini bukan tangan yang sama.
Bibirku mulai mengecup kening, mata, hidung, pipi, dan bibirnya, ini bukan bibir yang sama.
Pelukanku di malam-malam yang dingin, ini bukan pelukan yang sama.
Ringkih! Itulah yang dia rasakan saat aku mulai menyentuhnya, sangat halus. Dia selalu terhenyak saat aku tiba-tiba membelai rambutnya, ini bukan belaian yang sama. Ada trauma di sana. Kutanyakan hal ini padanya perlahan, tidak ada paksaan baginya untuk segera menjawab. Masa lalu betapa pun pahitnya biarkan menjadi bagian masa lalunya. Aku adalah masa sekarangnya.

Matanya mulai berkaca-kaca, tubuhnya gemetaran saat dia menceritakan apa yang telah dilaluinya dengan cintanya yang lama. Hanya kepahitan yang kudengar, bukan, bukan karena aku cemburu. Hanya kepahitan. Dirinya terpenjara, terlalu banyak aturan yang harus dipenuhinya. Dirinya tersiksa, satu tamparan untuk aturan yang dilanggar, satu pukulan sebagai hukuman, satu tendangan agar dia jera. Semakin dia berontak semakin erat rantai menjeratnya.

Bagaimana mungkin dia dapat melupakan cinta lamanya yang sudah berdiam terlalu lama dihatinya. Dua belas tahun lamanya, cinta itu berkarat di sana. Terbiasa dengan sentuhan yang sama lalu tiba-tiba seorang yang asing menyentuhnya tentu akan membuat tubuhnya berontak walaupun ada bagian dalam relung hatinya yang mendamba. Tidaklah heran jika temannya menyayangkan hubungan itu berakhir seperti ini, bukan di pelaminan. Tapi temannya tidak tahu dan tidak pernah mau tahu, luka dihatinya, luka ditubuhnya.

Manusia dua belas tahun itu telah mendominasi seluruh hidupnya. Mengaturnya sedemikian rupa hingga dia tidak punya waktu di dalam kesendiriannya. Ini lah yang menjadi penyebab dia sangat menikmati kesendiriannya sekarang.

Jengah! Mendengar cerita cinta lama itu keluar dari mulutnya. Melihat bekas luka siksaan di tubuhnya. Melihat hatinya berkarat. Bagaimana mungkin dia dapat bertahan selama itu dua belas tahun lamanya. Hingga tiba pada suatu titik dimana dia tidak sanggup lagi berjalan tertatih-tatih bersama cinta lamanya. Dia mengakhirinya dengan penuh luka di sekujur tubuh dan senyum manis tulus di bibirnya.

 “Sudah setahun berlalu, ada aku!!!” ingin kuteriakkan itu ke dalam hatinya. Dua belas tahun lamanya dia terluka, setahun perjuanganku tentulah bukan apa-apa. Kukembalikan pada sang waktu dan kembali berharap agar tidak perlu menunggu selama itu untuk memulihkan hatinya. Sama seperti dulu ketika aku berharap dipertemukan kembali dengannya dalam suatu peluncuran buku.

***

Kuubah nama akun twitterku, @manisnyasenja. Setelah dua tahun, dia mulai membuka hatinya, walaupun belum sepenuhnya. Seringkali kujumpai senyum diselingi tawa kecilnya, betapa manisnya kau, Senja. Aku telah menemukanmu, manisnya Senja dalam kepekatan cinta yang telah dilalui. Perlahan dia mulai menyukai cappuccino dan membenci kopi hitam. Seperti yang pernah dia katakan, cappuccino itu untuk seorang yang lembut. Kau tak akan pernah tahu kelembutan dalam cangkir cappuccino, jika kau belum pernah merasakan kepahitan dalam kopi hitam. Kupersembahkan cappuccino ini untuk Senja. Senja yang menyemburatkan warna jingga dan Senja yang tersenyum manis sambil menikmati cappuccino bersamaku.


***


09 May 2012

Separuh Sayap


Sayap selalu terlahir sepasang, sayap kanan dan sayap kiri. Mahluk apa pun yang tercipta baik oleh Tuhan maupun Manusia, sebagai ciptaanNya, selalu memiliki sepasang sayap. Dapatkah kau bayangkan jika sayap kiri dan sayap kanan terpisah. Dapatkah kau rasakan apa yang dirasakan oleh sayap yang hanya separuh?

Ini adalah sebuah kisah yang ingin kuceritakan padamu. Kisah tentang sepasang sayap yang terpisah. Percaya tidak? Sudah dengarkan saja yah.

Dahulu, sepasang sayap ini selalu terbang bersama-sama. Mereka sangat suka mengarungi cerita demi cerita, terkadang mereka iseng ikut masuk ke dalam ceritanya dan berlagak sebagai tokoh di dalamnya. Mereka mengikuti alur cerita yang dibawakan oleh Sang Sutradara. Mereka adalah mahluk yang diciptakan oleh Tuhannya, Sang Sutradara.

Berbagai cerita bahagia dalam tiap babaknya, sepasang sayap tidak pernah sekali pun absen. Seperti yang aku katakan, mereka sangat suka mengarungi cerita demi cerita. Tiap adegan yang berubah menjadi babak, mereka selalu ada dalam cerita, sepasang sayap tak akan lengkang oleh waktu.

Mereka mulai memahami bahwa terkadang dalam sebuah cerita yang dibawakan sutradara tidak selamanya tentang bahagia, ada kesedihan, luka, perpisahan, dan adengan yang paling menyebalkan bagi mereka adalah adegan sayap yang terluka. Mereka tidak ingin ada kesedihan dalam tiap cerita. Terbanglah mereka menembus cakrawala dunia, dimana kesedihan mulai tampak dari langit yang mendung dan kotor. Mereka tidak bisa terbang lagi karena kesedihan sudah tersebar. Kesedihan menyebar dengan cepatnya. Langit yang mengeluarkan kesedihan membuat gerakan salah satu sayap melemah. Mereka terbang rendah perlahan mencari tempat peristirahat, lelah mengepak-ngepakkan sayap.

Dengan sangat keletihan sayap kanan berkata kepada sayap kiri,
“Kau beristirahatlah di sini. Aku akan terbang sendiri mencari tempat yang lebih baik dimana tidak ada lagi kesedihan.”
“Tidak mungkin ada tempat yang seperti itu.”
“Ada, aku yakin ada. Aku akan mencarinya untukmu.”
“Tapi tak mungkin kau terbang hanya dengan separuh sayap?”
“Tapi aku juga tidak mungkin terbang bersamamu, kau kelelahan. Istirahatlah dulu, nanti aku akan menjemputmu.”
“Kapan?”
“Secepatnya setelah aku menemukan tempat itu. Kesedihan tidak cocok untukmu, lihat bentukmu sudah kacau tak beraturan.”
“Kalau kau tidak juga menemukannya? Artinya kau tidak akan menjemputku?”
“Aku akan menjemputmu. Janji!”
Dan pergilah sayap kanan meninggalkan sayap kiri. Sayap kiri memang lebih lemah, bulunya mulai rontok jika berhadapan dengan kesedihan. Dia tidak akan tahan dengan kesedihan. Berbeda dengan sayap kanan yang lebih kuat dan bisa menahan kesedihan, lebih tegar. Dengan pergi bersama akan menambah beban kepakan sayap kanan. Keputusannya meninggalkan sayap kiri adalah tepat. Dia akan berusaha mencari tempat tanpa kesedihan untuk sayap kiri.

Ditinggalkan sayap kanan merupakan kesedihan baginya. Selama ini mereka belum pernah terpisah. Dia yang menyadari kondisinya yang lemah tak kuasa menahan kepergiannya sayap kanan. Bisa saja dia menyusul dan mereka akan menjadi sepasang kembali. Tapi, itu hanya akan menjadi beban bagi sayap kanan. Menyesal. Mengapa dia terlahir sebagai sayap kiri yang lemah, tidak tegar seperti sayap kanan yang sudah terbiasa menghadapi kesedihan.

Berhari-hari lamanya sayap kanan tak juga datang. keadaan sayap kiri semakin lemah dan tak berdaya. Yang dibutuhkannya bukan kebahagiaan atau tempat tanpa kesedihan, yang dia percaya tidak ada. Keberadaan sayap kananlah yang menjadi tumpuan hidupnya. Sayap kanan yang selama ini menjadi obat tiap bilur kesedihannya, pahlawannya. Semakin hari, semakin menipis bulu-bulu dalam tubuhnya. Hanya berbaring lemah tak berdaya menunggu sayap kanan datang menjemput. Merindu terbang bersama kembali mengarungi cerita demi cerita menembus cakrawala. Bulu-bulunya telah rontok, perlahan habis bersama tubuhnya tak tersisa menjadi debu. Debunya terbang bersama angin yang berhembus kepada sayap kanan yang juga telah menjadi debu. Karena sayap memang terlahir sepasang, bukan separuh.


***
                                                                           
Separuh Sayap
Gambar diambil dari sini




.