28 July 2012

Enak Jadi Event apa Wedding Organizer yah?


Beberapa bulan terakhir ini banyak pertanyaan yang diajukan teman-teman kepada saya “Jadi, Va enak mana kerja di EO atau WO?”. Pertanyaan yang sama ini justru sudah muncul dalam benak saya jauh sebelum saya terjun dalam bidang Wedding Organizer.

Sebelum saya jawab enak mana kerja di Event Organizer atau Wedding Organizer, sedikit kilas balik dulu yah.

Saat masih sangat belia dan mengenakan seragam putih abu-abu, saya aktif di beberapa kegiatan extrakulikuler.  Salah dua diantaranya, yah memang cuma dua aja sih. Kabaret dan Pencinta Alam. Sebenarnya tujuan saya masuk dua organisasi itu hanya satu, ngeceng! Kebetulan senior yang pada waktu itu saya kecengin (yah namanya masa remaja) aktif di kedua organisasi itu. Namun, dengan mengesampingkan tujuan tadi, daya kreativitas dan mental saya secara bersamaan menjadi terasah. Kok bisa? Gini ...

Dalam kabaret, kami dituntut untuk lucu. Percayalah membuat scenario, dialog, musik, adegan, kostum bahkan make up yang lucu itu sulit, dan ingat kita masih duduk di bangku SMA. Nah, di sinilah daya kreativitas yang tadi saya sebutkan mulai terasah. Kalau kalian bingung apa sih kabaret bisa langsung klik di sini 

Beda halnya dengan pencinta alam, untuk menjadi anggota, pada waktu itu syaratnya kami diharuskan mendaki Gunung dengan minimal ketinggian 2.500 meter. Dan Gunung Ceremai lah yang letaknya di Kabupaten Cirebon dengan ketinggian 2.900 meter menjadi pilihan angkatan kami. Sebelum memulai pendakian, tentunya kami harus mempersiapkan stamina. Seminggu tiga kali, kami lari 3 keliling di Lapangan Gasibu dan setiap minggu jumlahnya bertambah. Belum lagi dengan push-up, sit-up, menghapalkan sandi morse, tali temali, dan lainnya. Kalau di ingat-ingat waktu SMA dulu saya bisa push up dan sit up sampai seratus kali lho, iya DULU. Selama pendakian, kami dituntut untuk membuka jalur yang baru (setiap gunung biasanya sudah ada jalur untuk pendaki) belum lagi senior yang tiba-tiba kasih perintah dengan sandi morse, merubah rute jalan dari jalur padang rumput ke rute berlumpur. Bah! Menenteng ransel yang beratnya setengah dari berat badan, merangkak menyusuri lumpur, belum ditambah tes dadakan dan ingat, kita masih SMA lho. Kebayangkan mental yang terasah muncul darimana.

Memasuki bangku kuliah, saya lebih memilih menekuni di bidang Teater. Alasannya simple, pada waktu pendaftaran biaya masuk pencinta alam sampai beratus-ratus ribu, kabaret beberapa puluh ribu, sedangkan Teater hanya Rp. 5000. (hehehee, alasan logis berdasarkan isi dompet kan?).
Terus apa hubungannya dengan pertanyaan enak mana jadi Event Organizer atau Wedding Organizer?

Bentar, ini masih prolog.

Di Bangku Kuliah, tidak hanya aktif di Teater, saya juga aktif di Hima (Himpunan Mahasiswa). Dan entah kenapa setiap ada acara keterlibatan saya sebatas seksi acara atau panitia lapangan. Inilah yang jadi cikal bakal lahirnya kecintaan saya menyukai dunia Event Organizer. (yang di kemudian hari baru tahu ternyata ada pekerjaan semacam ini).

Setelah lulus, langkah selanjutnya pasti cari kerja kan.  

Berdasarkan prolog (semi autobiografi) di atas, saya tahu pekerjaan apa yang saya mau –menjadi Event Organizer –. Berbekal pengalaman menjadi seksi acara di berbagai acara menjadi modal utama saya untuk melamar sebagai Event Organizer. Bekerja selama dua tahun di divisi activation memang tidak serta merta membuat saya jadi seorang yang ahli EO, tapi cukup membuat saya jadi tahu mengenai seluk-beluk mengurus sebuah acara dari A-Z dengan mempertimbangkan segala aspek dari Z balik lagi ke A. Bingung kan?

Pada waktu itu beberapa orang, khususnya yang datang dari pihak keluarga dan tetangga mengira bahwa kerjaan saya di EO itu menyangkup WO juga. Entahlah tapi rasanya istilah WO lebih mudah dimengerti bagi mereka daripada EO. Hal ini pula lah yang menjadi titik balik bagi saya, “Kenapa ngga coba WO juga?”. Tahun ini lah akhirnya saya memutuskan untuk pindah haluan merambah di bidang Wedding tanpa mengesampingkan rasa cinta saya pada dunia Event.

Apa bedanya dengan Wedding Organizer? Pada dasarnya, pola dan sistem kerjanya mirip. Istilah di EO kita mengurus Event Klien, dalam WO sebutan Event diganti Wedding dan sebutan Klien diganti Pengantin, mengurus Wedding Pengantin. Masih bingung?

Saya jabarkan pola dan sistem kerja keduanya.

Kalau di Event, analogi prosesnya dimulai dari merenung untuk mengerami telur ide, lantas menelurkan ide menjadi sebuah konsep, konsep harus tumbuh sehat dengan diberi makan oleh teori pendukung-riset-data, yang kemudian disusun menjadi proposal dengan tambahan gambar sebagai referensi, proposal yang sudah matang dan cantik diajukan kepada klien (proses pitching), proposal yang sudah di approve oleh klien mengalami pubertas agar dapat dieksekusi dengan baik oleh tim lapangan. Tim lapanganlah yang bertugas membuat telur ide itu menjadi kupu-kupu yang cantik saat Hari H, dimana Event berlangsung. Setelah selesai, masih ada satu tugas yang harus diselesaikan yaitu mengumpulkan data-dokumentasi-bon pengeluaran-invoince-perubahan rundown- analisis lapangan- yang disusun dalam makalah berjudul “Laporan Kegiatan Event”. Jumlah halamannya terkadang melampaui jumlah halaman skripsi saya.

Sedangkan di Wedding, analoginya dimulai dari proses ngobrol-ngobrol cantik dengan calon pengantin, ngobrol cantik dibalik semi wawancara, konsep seperti apa yang calon pengantin inginkan-tanggal pernikahan, penting agar bisa boking venue secepatnya-kebutuhan apa yang belum terpenuhi agar bisa kita referensikan vendor-dan berapa kira-kira budget calon pengantin, agar kita dapat susun sesuai dengan kemampuan mereka. Hasil ngobrol cantik semi wawancara kita kupas satu-satu dan disusun kembali dalam proposal plus budget estimasi yang sesuai dengan mereka inginkan. Setelah di approve oleh klien, tinggal hubungi vendor yang terlibat dan dibrief sesuai permintaan agar tidak terjadi perbedaan konsep. Langkah selanjutnya membuat “Buku Panduan” yang berisi informasi mengenai detail-detal resepsi pernikahan, mengundang semua vendor yang terlibat dan biasanya dilaksanakan seminggu sebelum Hari H. Tibalah saatnya The Wedding Day. Selesai terus pulang ke rumah masing-masing.

Nah, dari penjabaran singkat saya di atas (singkat? Iya, karena pada dasarnya tidak semudah itu, lebih ribet, berkelok-kelok, belum lagi kalau ada kerikil dan lobang besar di tengah jalan). Pada kenyataannya baik proses maupun teknis lapangannya tidak sesimple menuliskannya, selalu terjadi hal-hal yang ‘ada-ada aja’. Dengan membaca apa yang sudah saya jabarkan, tentu kalian juga dapat membandingkan dan menarik kesimpulan sendiri, sebenarnya lebih enak mana mengurus sebuah Event  atau Wedding  atau justru menjadi pegawai kantoran? #EH

Lah udah baca cape-cape cuman gini doank, terus apa hubungannya kegiatan extrakulikuler dengan ini semua? Maksudnya harus ikut Kabaret dan pencinta alam dulu biar jadi Event atau Wedding Organizer? ß ini kan yang ada di benak kalian? Kalau bukan ya udah baca aja epilognya.

Modal pengalaman dalam berorganisasi saat kuliah setidaknya menjadi tiket masuk untuk diterima kerja. Tapi ternyata itu saja tidak cukup. Daya kreativitas dan mental yang saya peroleh waktu di bangku sekolah lah yang menjadi suplemen untuk bisa terus bertahan. Tentu saja masih ditambah dengan belajar ini dan itu. Masa iya mau bikin konsep yang sama terus tiap tahunnya dengan klien yang berbeda-beda. Di sinilah pentingnya segi kreativitas itu. Berhubungan dengan klien dan vendor atau pihak ketiga itu susah-susah gampang. Tidak semua pelaksanaan pada Hari H berjalan dengan baik, di lapangan apa pun bisa terjadi. Belum lagi jika terdapat kesalahan pada vendor, klien ngga mau tahu dan yang disalahkan tentu saja pihak EO. Mental mulai main, kalau ngga kuat pasti udah lari ke pojokan dan menangis tersedu sedan sambil teriak "GW KAPOK".  

Setidaknya dalam dunia Wedding, tingkat kesulitannya hanya sebatas menyama-ratakan konsep, dan dealing budget. Kadang pengantin memaksa ingin memakai vendor A dengan berbagai alasan, masalahnya budgetnya tidak sesuai atau tanggalnya bentrok. Saat Wedding Day tugas kita bisa dibilang ‘sebatas’ mengkoordinasi agar Akad/Pemberkatan serta Resepsi dimulai tepat waktu (sesuai dengan rundown), mengkoordinasi pengisi acara (musik & mc) datang lebih awal, mencegah antrian tamu yang panjang (kadang ada tamu yang ngotot saat salaman langsung foto padahal antrian memanjang), koordinasi dengan pihak catering agar tidak ada makanan yang kosong, intinya membuat pengantin tenang dan tamu nyaman.

Mengurus Event atau Wedding kuncinya utamanya terletak pada koordinasi. Keduanya sama ribet kok kalau lagi ribet dan sama mudahnya kalau dibikin mudah. :)

Jadi, saat ini mungkin saya memilih lebih enak kerja dalam dunia Wedding Organizer.
Eh tapi tidak menutup kemungkinan kalau ada Event, silakan kontak saya yah. Hehehehe.

NB :
Sekedar info tambahan, beberapa pengalaman saya menangani Event ada dalam label Pernak-Pernik Event. Kalau pengalaman Wedding ada dalam label Pernak-Pernik Wedding. Ya kali aja penasaran. Hehehee :)

05 July 2012

Menjadi Ibu


Ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu
Mendudukkanmu di depan cermin dan membuatmu bertanya,
“tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”
Ada yang sedang diam diam menulis riwayat hidupmu
Menimbang nimbang hari lahirmu, mereka reka sebab kematianmu
Ada yang sedang diam diam berubah menjadi dirimu
(Metamorposis oleh Sapardi Djoko Damono)

***
“Say, nanti kalau sudah menikah aku ingin tinggal di rumah yang besar. Lantai dua. Dengan dapur yang besar menyatu dengan meja makan, agar aku dapat memasak yang enak-enak dan banyak. Kamu kan banyak makannya” ujarnya manja sambil bersandar padaku.

“Iya .. iya”

“Terus, aku ingin kamar kita dan kamar anak-anak berdekatan di lantai dua. Warna catnya, warna tirainya nanti aku yang pilih yah. Pokoknya kamu terima beres.” Lanjutnya.

“Iya .. iya”

“Kamu kok cuman iya-iya aja sih. Komentar dong, apa kek.” Gerutunya.

“Yah, pokoknya kamu aja yang atur semuanya yah. Aku kan tinggal terima beres, seperti katamu. Hehehee” lalu ku kecup keningnya agar dia tidak banyak bertanya.

Kami memang belum lama berpacaran, satu tahunan kurang lebih. Tapi, aku serius menjalin hubungan dengannya. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah dalam waktu dekat ini. Hatiku yakin bahwa memang dia orangnya yang pantas dijadikan istri dan ibu untuk anak-anak kami.

Mengenalnya seperti mengenang almarhrum ibuku yang sudah meninggal lima tahun yang lalu. Sayang, dia tidak sempat bertemu. Banyak kesamaan di antara mereka yang aku yakin akan mempererat hubungan menantu-mertua. Mulai dari warna kesukaan, makanan, cara mengatur pekerjaannya, perhatiannya, dan yang mengagetkan adalah rasa masakannya hampir sama dengan ibu.

Menjelang pernikahan, semua persiapan di urusnya sendiri dengan telaten. Dia sangat menyukai hal-hal detail yang disusunnya terlebih  dahulu dan bekerja secara sistematis. Aku hanya sesekali ikut nimbrung sekedar menanyakan proses dan membantu seadanya. Pekerjaanku di kantor sudah cukup banya menyita waktuku.

“Say, besok kita harus fitting baju lho. Kemeja dan kebaya sudah jadi. Kamu ada waktu ga?”

“Besok yah? jam berapa?”

“Jamnya nyamain sama jadwal kamu. Bisa kan keluar sebentar, minta ijin bos. Aku sudah ga sabar pengen lihat bajunya!”

“Setelah jam makan siang lah. Besok ada meeting di luar juga cuma belum dapat kepastian jam berapanya.”

“Ya sudah besok kabari aku yah, say.”

Hari itu kami berdua pergi ke Pucha Collection untuk fitting baju. Betapa kagetnya aku melihat kebaya yang akan digunakannya. Kebayanya sama seperti punya Ibu. Kebaya yang Ibu jahit sendiri untuk hari pernikahannya, kebaya yang dipakainya saat aku wisuda. Tak mungkin aku lupa model kebayanya, warnanya. Kebaya yang sama. Hanya saja sekarang bukan Ibu yang memakainya.

“Say, ga suka model kebayanya yah?”

“Say ... Say, SAY!”

“Eh ... ngga kok”

“Kok kamu diam aja kaya yang ngga suka, kalau ngga suka dengan modelnya ga apa-apa masih bisa dirombak kok.”

Ngga, ngga usah ... bagus kok terlalu bagus. Sempurna ....”

***

Alhamdulillah, prosesi Akad Nikah dan Resepsi siang tadi berjalan lancar.

Selama bersanding dengannya di pelaminan aku merasa bahwa Ibulah yang di sampingku mengenakan kebaya kebanggaannya. Apalagi di tambah ayah yang menatap pacar yang sudah menjadi istriku dengan penuh kerinduan. Belum lagi sanak saudara yang mengatakan betapa miripnya dia dengan Ibu.
Setelah selesai resepsi, malamnya semua saudara berkumpul di rumah kontrakan baruku, rumah kontrakan yang akhirnya kudapatkan sesuai dengan permintaannya, lantai dua dengan dapur yang besar. Rumah yang cukup besar untuk kami berdua.

Malam ini kami bukan sepasang kekasih lagi.
Malam ini kami adalah sepasang suami – istri.
Malam ini aku tidak ditemani oleh guling lagi.
Malam ini aku ditemani istriku yang manis.

***

Pagi ini, tidurku terusik dengan cahaya silau yang menyeruak ke dalam kamar. Matahari.

 “Ayo bangun say sudah siang, mau tidur sampai jam berapa?” ucap istriku sambil membuka gorden kamar.

Aku bangun terperanjat seketika!

Ibu selalu datang ke kamarku diam-diam lalu membuka gorden kamarku dengan sekali tarikan sambil berkata, “Ayo bangun mas sudah siang, mau tidur sampai jam berapa?”

***

Perjalanan Kereta Malam


Dengan kereta malam kupulang sendiri
Mengikuti rasa rindu pada kampung halamanku
Pada Ayah yang menunggu,
Pada Ibu yang mengasihiku.

Malam ini, entah mengapa aku memutuskan untuk langsung pulang ke Bandung tanpa menunggu besok. Setiap akhir bulan, memang jatah rutin untuk pulang, melepas rasa kangen pada keluarga, teman, suasana Bandung, dan makanannya tentu saja. Biasanya, Sabtu pagi baru berangkat naik travel. Tetapi, malam ini entahlah sepulang kantor ingin rasanya segera pulang tanpa menunggu lebih lama lagi.

Langsung kukemas barang-barang dan pesan tiket travel. Sialnya, semua travel dari Jakarta menuju Bandung waiting list. Terpaksa naik kereta. Walaupun perjalanan jadi lebih lama dan letak stasiun jauh dari rumah, tidak masalah asalkan malam ini aku sampai di rumah.

Duduk di hadapanku seorang Ibu
Dengan wajah sendu, sendu kelabu
Penuh rasa haru dia menatapku
Penuh rasa haru dia menatapku seakan ingin memeluk diriku

Di depanku, seorang Ibu duduk dengan kaku sambil terus memperhatikan gerak-gerikku. Tahu kan rasanya jika di amati lekat-lekat oleh seseorang apalagi dalam jarak kurang dari satu meter. Awalnya, aku tidak ambil pusing. Mungkin saja wajahku mirip dengan kenalannya, atau ada yang salah dengan penampilanku, apa jangan-jangan Ibu ini mau mencuri tas dan menunggu aku terlelap. Banyak pencurian terjadi di kereta malami, pasti pencurinya menunggu target hingga tertidur. Tapi rasanya tidak mungkin Ibu ini mau mencuri, ah “Aku harus tetap waspada”, dalam benakku.

“Umurnya berapa?” tiba-tiba Ibu itu bertanya.

Aneh. Biasanya orang menyapa, menanyakan jam berapa, sudah dimana, nama, yah basa-basi dulu. Ini tiba-tiba bertanya tentang umur, tapi tetap kujawab juga.

“25, Bu.”

“Anak Ibu tahun ini 20 tahun.”

“Oh ...”

Harus jawab apalagi selain oh, lagipula aku tidak bertanya dan tidak peduli.

“Yah, kalau masih hidup.....” Ucapnya lirih hampir tak terdengar.

Sumpah, aku tidak tahu harus bilang apa. Hanya diam dan menatapnya, berharap dia melanjutkan ceritanya.

Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit dan tak terobati yang wajahnya mirip denganku
Yang wajahnya mirip denganku

“Mukanya mirip sekali dengan muka Mba. Namanya Halimun.”

Kemudian dia mengambil dompet di dalam tasnya, mengeluarkan foto, dan memberikannya padaku. Aku perhatikan dengan seksama. Entahlah fotonya sudah lama, tampak menjamur, wajahnya sekilas memang nampak mirip denganku.

“Mirip yah? Ibu tadi kaget begitu lihat Mba. Rasanya ingin ...”

Aku langsung mengambil tisu, belum sempat kuberikan, Ibu itu sudah memelukku erat.

Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada

Halimun, gadis berusia 19 tahun. Dibesarkan dari keluarga yang tidak mampu, ayahnya hanya seorang buruh di pabrik, ibunya berjualan sayur di pasar. Halimun, terkena penyakit demam berdarah. Demam berdarah bukanlah penyakit mematikan jika ditangani secara serius. Demam yang tak kunjung reda, bintik-bintik merah yang mulai menyebar, dehidrasi akibat kurang cairan, kondisinya kian hari kian memburuk. Akhirnya, mereka membawanya ke Rumah Sakit Negeri Bandung dengan hanya membawa surat keterangan tidak mampu.

“Anakmu masih sakit?” Tanya Pak RT.

“Iya, Kang Asep. Sudah diberi obat tapi panasnya ngga turun-turun.”

“Ada bintik merahnya?”

“Ada! Tapi sudah dikasih bedak biar ngga gatal.”

“Demam Berdarah itu. Kenapa ngga di bawa ke dokter?”

“Belum ada uangnya.”

“Saya buatkan surat miskin. Suratnya kamu bawa ke Rumah Sakit, nanti kasih ke petugas yang ada di sana. Gratis.”

“Jadi saya ngga harus bayar, Kang?”

Dengan bermodalkan surat keterangan tidak mampu, mereka berharap Halimun dapat segera sembuh.

Nyatanya proses birokrasi tidak memperdulikan keselamatan seseorang. Mengurus surat saja diperlukan waktu selama satu hari. Halimun yang siang itu sudah berada di ruang gawat darurat hanya didiamkan saja, tanpa diambil-tindakan. Mereka, para suster menunggu komando dari secarik kertas yang sedang ditelusuri kebenarannya bahwa keluarga pasien benar miskin adanya.

Akhirnya surat itu selesai diproses, selesai pula derita yang ditanggung Halimun.

Halimun sudah sembuh dan tidak akan pernah sakit lagi.


Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit dan tak terobati yang wajahnya mirip denganku
Yang wajahnya mirip denganku*


Sepanjang perjalanan kereta Jakarta-Bandung malam ini, Ibu itu terus menangis memeluk sambil sesekali mengelus-elus pipiku dan menyebut “Halimun, Halimun ....”


***


*Lagu Perjalanan dinyanyikan oleh Franky & Jane, kemudian dinyanyikan ulang oleh Sarasvati. Melalu lirik lagu ini lahirlah kisah Perjalanan Kereta Malam.