27 April 2012

Ini Sebuah Ironi

Berdasarkan kamus besar Ironi itu adalah sebuah kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir.

Kejadian ini terjadi beberapa bulan kemarin, entah kenapa baru menuliskannya sekarang. (ini udah termasuk ironi ga sih?). Dimulai saat harus menempuh perjalanan cukup jauh, ceritanya dari ujung ke ujung. Ditemanin dengan motor kesayangan, perjalanan pun dimulai.
Ditengah perjalanan, memasuki Jalan Sudirman yang one-way, banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran kecil. Mulai dari becak (yang seharusnya bebas becak), motor, bahkan mobil yang melawan arus jalur one-way ini. Jalan Sudirman kan luas yah, tetap saja terjadi kemacetan karena hal-hal yang sudah saya sebutkan tadi. Belum lagi, beberapa kendaraan yang malang-melintang parkir seenaknya.

Dengan sikap so(k)sial yang tinggi, terbangun suatu draft tulisan di dalam kepala saat masih mengendarai motor. Tulisan yang berisi bahwa kemacetan yang terjadi itu tidak selamanya merupakan kesalahan pemerintah semata yang tidak becus mengatur. Toh, semuanya dikembalikan kedalam diri kita masing-masing yah. Peraturan yang dibuat pemerintah pastinya mempunyai tujuan tertentu, tetap saja tidak akan dapat mengurangi jumlah angka kemacetan karena dilanggar terus oleh pemakai jalan.

Sudah berkali-kali dihimbau tetap saja tidak digubris. Yah, mungkin faktor pemerintah daerah setempat juga tidak tegas terhadap pelanggaran kecil yang terjadi hingga akibatnya sudah fatal saat akan mulai dibenahi.

Saya memang bukan salah seorang yang selalu taat peraturan tapi kalau pelanggaran yang terjadi membuat pemakai jalan terganggu itu lain cerita. Inilah yang saya rasakan waktu melewati daerah itu (jarang lewat jalan itu sih). Dengan mematuhi peraturan untuk tidak melawan jalur, berhenti di tempat yang sudah disediakan, dan berhenti saat lampu sudah merah. Rasanya hal itu dapat mengurangi kemacetan, iya ga sih?
Intinya adalah cobalah patuhi peraturan yang ada, khususnya rambu-rambu lalu lintas. Peraturan sekolah, kuliah, kantor, rumah, dan kost itu lain lagi ceritanya.

Nah, ini dia bagian ironisnya adalah .... tulisan di atas itu masih menjadi kerangka di dalam kepala saya. Posisinya kan masih di atas kendaraan karena perjalanan yang jauh, yah lumayan supaya tidak terlalu terasa jauhnya. Dan tiba-tiba, motor saya dihentikan oleh Bapak Polisi yang sedang bertugas.

"Siang, Bu. Boleh lihat SIM dan STNKnya?"
"Iya, sebentar, Pak." dengan perasaan bingung.
"Ibu tahu kesalahan Ibu apa?"
"Ngga, Pak" Yang saya tahu Bapak salah besar memanggil saya IBU.
"Ibu telah melanggar lampu merah"


So, I named this "Ini Sebuah Ironi"

15 April 2012

Coretan Tentang "A Cup Of Tea dalam Menggapai Mimpi"


A Cup Of Tea, Menggapai Mimpi

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman ngetagg foto ini di facebook. Isi di dalamnya hanya memberitahukan bahwa teman saya itu menjadi 18 peserta yang akhirnya terpilih menjadi kontributor penulis dalam kumpulan cerpen bertemakan menggapai mimpi. Ini Sangat Luar Biasa Bikin Iri! Sungguh. Dari ribuan tulisan yang masuk hanya terpilih 18 tulisan saja.. Iri dalam kontek positif (manknya ada yah?).

Tak lama kemudian, tepatnya 25 Februari 2012, kami bertemu dalam sebuah acara StandUpComedy di sebuah cafe, dan dia memberikan saya buku itu. :)

Saya bersama salah satu penulis
A Cup Of Tea, Menggapai Mimpi

Senyum saya paling merekah karna senangnya entah irinya :D

A Cup of Tea ini merupakan sebuah buku berseri yang diterbitkan oleh Stiletto Book. Sampai saat ini, sudah menerbitkan tiga buku, yaitu: A Cup of Tea seri Complicated Relationship (Agustus 2011), seri Single Mom (April 2011), dan ketiga yang saya pegang seri Menggapai Mimpi (Februari 2012).

Dari tema yang diangkat, Menggapai Mimpi, sudah bisa dipastikan kisah-kisah yang ditulis ini mengenai bagaimana caranya seseorang menggapai mimpinya. 

Seperti halnya yang ditulis oleh teman saya ini Evi Sri Rezeki, bagaimana perjuangannya untuk menggapai mimpi. Mimpi yang tumbuh dari usia sembilan tahun manakala dia menonton film "Gone With The Wind" ternyata justru itulah yang menjadi acuan untuk mengejar mimpinya. Proses kejar-mengejar ini menyita sangat banyak waktu, tenaga, dan materi untuknya. Membiayai kuliahnya sendiri sejak semester pertama telah berakhir, bekerja sebagai operator warnet hanya untuk sekedar menyambung hidup, tidaklah cukup untuk membayar kuliahnya. Cuti kuliah lalu bekerja. Meminjam modal untuk mendirikan usaha, sayang masa cuti telah berakhir hingga usahanya terbengkalai dan gulung tikar, yang tersisa hanya utang-utang. Tidak pernah sekalipun berhenti untuk menyerah dan sekarang dia sedang menikmati proses menggapai mimpinya yang ada dalam genggamannya.
"Impian yang polos, lugu, dan sederhana berasal dari masa kanak-kanak. Setiap anak punya impian masa kecil kemudian berubah ketika mereka beranjak dewasa. Impian bagi sebagian orang merupakan pencarian tiada akhir. Sebagian lagi menganggap impian merupakan tujuan yang telah ditetapkan sejak awal. Bagiku, impian adalah sumber energi yang tidak terbatas. Aku, seperti juga kalian punya impian, My Fairytale." (Dikutip dari "MyFairytale" oleh Evi Sri Rezeki, hal 144)

Masih ada 19 penulis lainnya yang menceritakan pengalaman hidupnya, susah-jatuh-bangun yang kemudian berakhir dengan senyum bangga, mimpi telah diraih!
Beberapa diantaranya membuat saya menangis saat membacanya. (Ini seriusan terharu!)


"Wisuda Anak-Anakku" oleh Dewi Muliyawan.
Adalah kisah perjuangan seorang Ibu yang menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin dengan segala keterbatasan keuangan keluarga. Karna bagi Sang Ibu pendidikan itu penting, seperti pepatah yang sering diucapkannnya "Tuntutlah Ilmu Setinggi Langit". Berjualan ke warung-warung sampai mengadaikan SK (Surat Keputusan) pensiun suaminya ke bank. Tangis bangga dan haru saat menyaksikan anaknya, si sulung melangkah ke panggung dengan toga hitam kemudian disusul dengan adiknya dan si bungsu. Sekarang Sang Ibu sedang menikmati masa tuanya karena semua impiannya telah tercapai.

"Adikku dan Impiannya" oleh Reni Erina.
Sebuah kisah yang dituturkan oleh kakaknya sendiri tentang masa kecilnya yang senang bercerita dan membaca hingga tidak ada lagi bahan bacaan yang membuat mamanya berkata "Harusnya kamu yang membuat bacaan itu, Nak. Kamulah yang menuliskannya". Dan dimulailah pergumulannya untuk mulai menulis, meminjam mesin tik properti kelurahan karena ayahnya menjabat Ketua RT hingga tintanya kering. Penolakan dari berbagai pihak hingga akhirnya terhenti karna segala permasalahan. Itu semua tidak lah sia-sias sekarang dia menjadi Bunda dari ribuan remaja penyuka teenlit, seorang managing editor sebuah majalah.

"Garis yang Terputus" oleh Venny Mandasari.
Apalah yang dapat diharapkan dari seorang penderita Dystonia, kelainan gerak di luar kesadaran. Lulus dari SMA karna kakaknya membantu menuliskan jawabannya saat ujian, tapi dunia bangku SMA tidak sama dengan Kuliah. Secara fisik sangat tidak memungkinkan, beberapa Universitas pun dengan sangat tegas menolaknya bahkan mempertanyakan dengan sinis "Apakah dia bisa menulis?". Impiannya yang pertama menjadi Dokter, kandas begitu saja. Impiannya yang kedua, Psikolog, nasibnya pun sama. Tapi tahukah kalian, dia sekarang sedang menjalani impiannya yang ketiga.

"Si Tengah" oleh Harry Gunawan.
Cerita tentang anak tengah yang sedari kecil menunjukkan minatnya terhadap buku. Sejak di bangku Sekolah Dasar selalu mendapat prestasi membanggakan dan menjadi Juara Kelas. Ibunya tidak pernah membelikan dia alat tulis karena sekolah selalu memberinya sebagai hadiah Juara Kelas. Kecerdasannya selalu bersebarangan dengan ekonomi keluarganya. Keinginannya masuk SMP, SMA sampai Universitas unggulan tidak pernah tercapai, bukan karena ditolak, justru selalu lulus tes masuk, melainkan karena faktor biaya. Hingga akhirnya perlahan si tengah mendapatkan kesempatan kuliah. Si tengah yang sedari dulu menunjukkan minatnya terhadap buku mendapat kesempatan untuk kecerdasannya.

"Mimpiku dimulai dari Selembar Foto oleh Glenn Alexei.
Buku fiksi, Novel itu hanya sekedar khayalan. Tidak berguna bagi masa depanmu, itu yang kerap kali diucapkan Ibunya. Sampai akhirnya dia meminjam sebuah novel, membacanya, dan tersihir olehnya lalu bercita-cita ingin menjadi penulis novel. Tentu saja itu dilarang oleh Ibunya. Saat dia sedang berjalan-jalan dengan Ibu Umi, Guru Bahasa Indonesia yang selalu mendukungnya. Dia meminta Ibu Umi untuk memotretnya di depan rak buku fiksi. Harapannya hanya satu, suatu hari nanti novelnya lah yang dipajang di rak-rak buku itu. Foto itulah yang mengarahkan sekaligus mengingatkannya akan mimpinya.


"Woman with a Thousand Dream" oleh Herlina P. Dewi.
Wanita dengan seribu mimpi memang julukan yang pas untuknya. Terlalu banyak cita-cita yang ingin dicapainya, tak sedikit yang tercapai karena berubah ditengah jalan kala sedang bosan atau tiba-tiba tertarik dengan sesuatu yang baru. Semangat untuk belajar dan usahanya menggapai mimpi memang sebuah perjalanan yang panjang dan penuh liku. Bisa berlembar-lembar menuliskan reviewnya hanya untuk tulisannya. Yang jelas, mimpi-mimpinya perlahan telah tercapai. Buku yang saya pegang, baca, dan akhirnya saya tuliskan sedikit coretan ini merupakan salah satu mimpinya dari yang seribu iu.


Setelah selesai membaca buku ini hanya ada satu kata, MARAH. Iya, saya marah terhadap diri saya sendiri. Begitu banyak kondisi, keadaan, kesempatan, dan fasilitas yang ada telah saya buang dengan percuma. Mereka, para kontributor penulis berhasil mencapai impiannya dengan segala keterbatasannya, begitu banyak hambatan dan rintangan lantas tidak membuat mereka bersedu-sedan dan berdiam diri. Dalam kekurangan kita akan menemukan kelebihan kita.
Buku ini telah menampar saya dengan keras agar tidak pernah menyerah dan terus memperjuangkan apa yang telah saya impikan selama beberapa tahun terakhir ini.
Mungkin, suatu saat nanti ... kalian akan menemukan buku saya terpampang di toko buku, seperti kata Glenn Alexei.



"Mimpi adalah keinginan yang lebur dan mengendap dalam dada yang kemudian direfleksikan dengan semangat untuk mewujudkannya."


Menikmati Senja di Patio


Bekerja di bidang jasa, sebagai Wedding Organizer merangkap Event Organizer ternyata tidak terlalu menyita waktu. Khususnya di saat-saat tidak ada Job Orders yang harus diselesaikan. Iya, amat sangat banyak waktu luang. Salah satu kegiatan rutin saya saat waktu luang adalah Hunting Cappuccino. Tempat yang menjadi target saya kali ini adalah Patio, Jl. L.L.R.E Martadinata No 90 atau lebih dikenal Jl. Riau (sebelah Bank BCA Riau).

Sudah cukup lama sebenarnya saya mengincar tempat ini yang juga menyatu dengan 90 Gourmet. Terlihat sangat mewah dari luar sehingga membuat ciut untuk mencobanya, apalagi jika keadaan dompet sedang tipis-tipisnya. Dan akhirnya tibalah saya di Patio, ini hasil buruan Cappuccino saya.

Cappuccinonya Patio nie.


Ternyata Patio itu berada di lantai 3, lantai paling atas. Sedangkan 90 Gourmetnya terpisah berada di lantai 2. Tempatnya memang cocok banget untuk ngumpul-ngumpul di sini. Selain Cappuccinonya yang enak (berhubung saya juga cuman pesen cappuccino doank yah) ciri khasnya tempat ini adalah Winenya. Beberapa teman saya sering mampir kesini untuk mencicipi Winenya kemudian skip (mabuk maksudnya). Lihat saja tumpukan Wine yang sudah tersusun rapi di rak.

Tumpukan Wine

Layout tempatnya dibuat senyaman mungkin dan yang terpenting adalah adanya colokan di beberapa meja. Desain interior dan dekorasi tempatnya juga apik. Ini beberapa foto di dalamnya. Enjoy.                                 


Mini Bar


Di luar pemandangannya Jl. Riau



Hiasan dekorasi 

Inilah perburuan saya untuk hari ini. Koleksi Cappuccino saya bertambah satu lagi. Rasanya jangan ditanya, nikmat banget. Datang dan rasakan sendiri, seperti yang saya lakukan saat ini. Menikmati datangnya senja dengan secangkir cappuccino, hal apa lagi yang bikin bahagia daripada ini. Karna bagi saya bahagia itu bisa menikmati cappuccino yang enak serta senja yang menemani. :)

Salam #cappuccinoholic


08 April 2012

The Break-Up

The Break-Up, from "The Anagram" by Laksmi Pamuntjak


Semoga ini bisa menjawab beberapa pertanyaan yang tidak sempat terucap dan meredam pertanyaan-pertanyaan lainnya. Terkadang sesuatu yang sudah terjadi tidak memerlukan banyak alasan, hanya terjadi 'begitu saja' dan titik. Dan sesuatu itu biar menjadi kisah di masa yang lalu antara saya dan dia. Sepenggal cerita cinta selama satu dekade, biarkanlah itu tersimpan rapi di dalam rak paling indah yang saya sebut kenangan. Untuk apa mengungkitnya lagi jika hanya akan mengotori kenangan itu. Saya hanya ingin mengingatnya sebagai kenangan yang indah.

Teruntuk dia,
Jika kebetulan kamu yang mengenal sosok dia membaca ini atau bahkan kamu sendiri, si dia yang membacanya; saya mengucapkan maaf atas keegoisan saya telah membuat segalanya menjadi seperti ini. Egois, iya saya memang egois lebih mementingkan segala sesuatunya untuk saya sendiri, bukan kamu, bukan kita.
Sepuluh tahun yang kita habiskan bersama tidak sedikitpun meninggalkan jejak penyesalan. Tapi, mungkin yah perjalanan yang kita lalui bersama-sama sudah cukup sampai di sini saja.
Ini klasik, sungguh, tapi jikalau Tuhan berkehendak bahwa kita memang ditakdirkan bersama sampai maut memisahkan, maka jadilah kehendakNya.
Terima kasih telah menemani selama sepuluh tahun terakhir ini.