31 March 2013

Di Balik The Chance, My Time Is Now

Ada banyak cerita seru di balik Event Nike The Chance, My Time Is Now yang beberapa hari kemarin saya posting. Di antaranya adalah saat proses loading barang akan dilakukan.

Dua hari sebelum event berlangsung, seluruh tim Idna Creative sudah stand by di lokasi agar persiapan lebih maksimal dan memperlancar komunikasi. Produksian diangkut langsung dari Bandung sudah stand by di lokasi, Gelora Bung Karno untuk loading barang. Ternyata ada ketentuan, aturan yang baru saja kami ketahui saat itu bahwa untuk dapat loading dikenakan biaya 10% dari harga sewa dan semua administrasi harus diselesaikan dahulu, bayar lunas. Wew ...

Alhasil, sambil menunggu proses administrasi beres yang kami lakukan apalagi selain foto-foto. He he he.

Pertama kali menginjakkan kaki di GBK

Menyempatkan diri tidur siang selagi ada waktu

Merchandise Nike, Sepatu (yang jadi hak milik) crew

Tiang Obor, tampak dari bawah

Bis pariwisata (full stiker) yang menjadi
transportasi peserta

Diskusi (sok) serius

Akhirnya, tim loading yang sudah stand by dari jam tiga sore dapat loading jam enam sore. Tanpa lampu pula. Pfftt. Persiapan dilanjutkan di Oriental Room, Hotel Sultan untuk finalisasi rundown serta cue card MC.

Diskusi (sok) seru

Kelelahan loading

Briefing Terakhir

Clear Area

Ada satu hal yang lucu menggemaskan sekaligus mengesalkan berkaitan dengan menangani media. Di satu sisi, kami mengerti betapa dokumentasi sangat penting bagi media sebagai pendukung berita mereka. Di sisi lain, kenyamanan peserta merupakan prioritas bagi kami.

Saat pertandingan berlangsung, ada saja media yang nekad turun ke lapangan untuk mengambil beberapa foto. Dan tim kami masih sempat menfoto kejadian itu. He he he.

Berburu foto

Tim Idna di antara kertas conventti

....

Kalau foto-foto itu di zoom akan tampak kantung mata yang menebal serta lingkaran hitam pada mata setiap crew. Kecapaian, kelelahan, kurang tidur, kurang makan, kurang kasih sayang namun saat gempita kembang api dinyalakan dan riuh rendah conventti berhamburan rasanya melegakan. Finally, it's DONE!!!


***

29 March 2013

The Chance, My Time Is Now

Logo NIKE, The Change

Sebenarnya Event Nike ini sudah berlangsung hampir satu tahun yang lalu, cuma keinginan untuk memposting tulisannya baru muncul belakangan ini. Mungkin, salah satu penyebabnya dikarenakan ada beberapa tawaran nge-EO-in disaat saya sedang (ingin) fokus nge-WO-in. Jelas ada perbedaan yang sangat signifikan antara kerjaan EO dan WO. Apakah perbedaannya itu? Sudah saya singgung di dalam tulisan Enak Jadi Event Apa Wedding Organizer Yah?

Berdasarkan hal itu lantas saya membuka kembali folder foto-foto berlabelkan "event" di laptop yang sudah lama tidak pernah dilirik. Sekedar bernostalgia. Mengingat betapa mengurus event itu proses persiapannya lebih rumit dibandingkan mengurus wedding.

Foto demi foto membawa saya kepada masa-masa yang demikian super sibuk sekali, melelahkan. Salah satunya adalah Event Nike, The Chance.

Tema yang diusung oleh Nike, The Chance ini adalah My Time is Now. Merupakan program tahunan Nike dalam rangka mendukung liga sepak bola di beberapa negara. Melalui proses seleksi yang ketat akhirnya terpilih empat tim sebagai perwakilan dari negara, diantaranya;
1. Indonesia
2. Malaysia
3. Thailand
4. Singapura

Empat tim yang sudah terpilih mendapat kesempatan pelatihan intensif selama tiga hari di Jakarta, Indonesia. Semua biaya ditanggung oleh pihak Nike Indonesia. Dari empat tim -yang jumlahnya dua puluh orang- akan diseleksi lagi menjadi sepuluh orang berdasarkan prestasinya selama masa latihan intensif dan mendapat tiket untuk nonton piala dunia di Barcelona.

Dalam event ini ada tiga EO yang terlibat dengan job desknya masing-masing. Nah, kami dari Idna Creative dipercayakan untuk menangani acara puncaknya saja, yang kebetulan diselenggarakan di beberapa tempat.

Karena goal dari event ini adalah brand awareness dan feel the experience maka poin utamanya lebih menitik-beratkan kepada branding area di lokasi.

Seluruh peserta menginap di Hotel Sultan Jakarta. Kegiatan di dalam ruangan termasuk makan pagi-siang-malam diselenggarakan di Oriental Room, Hotel Sultan. Branding area mulai dari foyer, bangku, hingga ruangan ballroom agar setiap peserta merasakan atmospherenya sebagai "yang terpilih". Coba intip foto-fotonya.

Main Stage Ballroom

Display & Snacks Corner

Display Area

Branding Area Foyer Ballromm

Branding Area

Personil The Change from Four Countries

Beberapa media setia mengikuti perkembangan pelatihan mereka agar tidak ketinggalan berita, tapi tidak diperkenankan untuk wawancara, hanya take picture only. Nah, untuk sesi interview dengan para peserta maupun pihak penyelenggara diadakan di Nike Store, Senayan City.


Display NIKE Store, Senayan City

Press Conference at NIKE Store, Senayan City

Sedangkan kegiatan outdoornya di Gelora Bung Karno yang menjadi lokasi puncak acara. 
Panggung inilah yang menjadi saksi perjuangan mereka mendapatkan tiket menonton piala dunia secara langsung. Dipandu oleh MC Ben Kasyafani, terpilihlah sepuluh orang beruntung. Salah satunya ada orang Indonesia yang berasal dari Kota Jakarta. Prestasi yang membanggakan.



Main Stage at GBK

The Competition

The Winner

IDNA Creative Team

Event The Chance, My Time Is Now merupakan event terbesar yang pernah saya handling. Break-down rundown acara saja diperlukan revisian sampai lima-enam kali karena jadwal yang ketat dan pergantian tempat cukup memakan waktu. Semua desain diproduksi di Bandung memerlukan waktu serta cost yang tinggi. Belum lagi birokrasi dengan pihak GBK yang jujur sangat tidak profesional, rasanya hampir setiap penjaga pintu pada minta jatah walaupun sudah ada picnya. Padahal *kalau kalian pernah memasuki seluruh ruangan yang ada di sana* sangat tidak layak, tidak terawat. 

Berawal dari iseng melihat foto, mengenang, lalu menuliskannya menimbulkan rasa rindu untuk terjun lagi ke dunia event. Foto-foto itu bercerita banyak hal, mengingatkan kembali cita-cita ingin menjadi seorang Event Manager. Cita-cita yang (sengaja) saya tinggalkan setahun yang lalu.

Dengan adanya tawaran event ini semacam pertanda, apakah saya sudah siap untuk mengambil keputusan. Keputusan untuk memulainya lagi dari nol dan atau meninggalkan apa yang sudah capai sekarang?

Well, apa pun keputusannya mungkin sama seperti taglinenya The Chance ini ... My Time Is Now!

***

22 March 2013

Rumput Tetangga Memang Selalu Terlihat Lebih Hijau

Dalam minggu ini, ada banyak kejadian seru-menggebu-mengharu-biru yang lalu lalang di depan saya. Kenapa lalu lalang? Karena yah cuma sekedar numpang lewat saja *nyapa-nyapa kemudian pergi balik lagi dadah-dadah terus hilang* bukan suatu peristiwa yang benar-benar saya alami namun efek yang ditimbulkan memberikan kesan tersendiri bagi saya.

Ceritanya dimulai dari ... ini enaknya dari mana yah. Ehmmppp, jadi begini ....

Cerita pertama, tentang sepupu saya yang seorang workaholic sejati. Hidupnya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja. Sosok wanita karier mandiri sebab menjadi tulang punggung keluarga. Baru saja membeli mobil yang kemudian menjadi pergosipan di dalam keluarga besar. Ibunya yang merupakan Bude saya sakit, jadi kami sekeluarga berkunjung ke rumahnya *udah berbulan-bulan ngga ke sana*. Betapa kami dibuat terperangah ber-wah-wah melihat kulkas baru, komputer layar datar baru, laptop baru, televisi layar datar yang besar. Intinya banyak barang elektronik baru di rumahnya. Bahagia dan bangga melihatnya sudah sukses seperti sekarang. Hal ini membuat mama dan papa bertanya pada saya, "Kapan kamu kaya sepupumu itu?".

Hingga pada Selasa lalu dia mengajak saya bertemu sekedar quality time sisterhood *tumben ini tumben banget*. Kami bertukar banyak cerita tentang apa saja, siapa saja. Dan .... rupanya penghasilan selama dia bekerja dihabiskan untuk membayar kartu kredit yang jumlahnya semakin membesar. Gali-tutup lubang, gonta-ganti kartu di bank ini-itu. Betapa besar harga yang harus dibayar untuk dapat dipandang sebagai wanita karier sukses oleh keluarga besar, bahkan Ibunya sendiri.

Diakhir pertemuan saya dengannya, saat akan membayar bill, dia berpesan,
"Va, kopi lo gw aja yang bayar."
"Oke. Gw emang akting aja ngeluarin dompet."
"Tapi, lo janji ngga akan cerita ke siapa-siapa termasuk nyokap lo."
"Nggalah! Tapi tapi tapi beliin gw J.co dong sekotak."
"Sialan lo!"

__

Cerita kedua, tentang seorang teman kuliah yang sudah menikah tiga tahun lalu, semenjak menikah kami tidak pernah jalan bareng lagi. Hanya bertukar kabar seperlunya saja apalagi dengan kondisi dia sekarang yang sudah memiliki anak. Gaya hidupnya meningkat, terlihat dari foto-foto yang diupload via facebook; dinner di cafe ini di cafe itu, liburan di pulau ini di pulau itu. Menyenangkan rasanya melihat keadaannya yang sekarang, jauh teramat jauh lebih baik dibandingkan saat kuliah dulu. *Ahhh, kemudian berandai-andai enaknya punya suami yang kaya gitu*.

Hingga hari ini kami tidak sengaja bertemu di sebuah cafe. Saya sedang meeting dengan calon klien, dia sedang menunggu anaknya yang les piano.

"EVVVVVVAAAAAAAAAAAAAAAAA".
"Haiiiiii haaaiii ikh ngga nyangka ketemu lo di sini" *sengaja tanpa nama untuk mencegah pihak-pihak berasumsi negatif*
"Apa kabar lo?"
"Yah, gini lah nyari orang yang mau kawin. he he he. Duh, yang abis liburan ke Thailand."
"He he he."
"Liburan mulu lo kerjanya sekarang. Honeymoon terus yeh."
"Ngga juga sih, sebenarnya ....."

Kejadian sebenarnya adalah mereka pergi liburan setelah mengalami pertengkaran hebat. Suaminya kerap kali ketahuan selingkuh. Setiap kali dia meminta cerai, suaminya melunak dan mengajak liburan untuk memperbaiki hubungan.

"Maksud lo?"
"Yah gitu, Va. Setiap kali dia ketangkep basah, kita tuh berantem ampe gw kabur ke rumah nyokap. Ngga lama dia datang jemput terus ngajak liburan berdua."
"Bentar. Perasaan lo sering banget deh pergi liburan?"
"Iya, sering ketahuan."
"Dan lo masih mempertahankan pernikahan lo?"
"Anak gw apa kabar kalau cerai?"
"Mau sampai kapan lo diginiin terus?"
"Gw juga ngga tahu. Pengen banget cerai dari dia. Tapi, gw mikir dan mikir lagi. Anak gw siapa yang biayain nanti? Gw kan ibu rumah tangga. Umur segini mau kerja apa gw. Kapan lagi gw bisa jalan-jalan ke luar negeri!"
"Ngga gini caranya kali."
"Mas, billnya! Va, gw cabut sekarang yah anak gw rewel nanti kalo gw telat jemput."
"Ya udah, sampai ketemu lagi. Masih kangen ikh gw."
"Ntar deh kita ketemuan lagi, oke. Udah kopi lo sama gw aja."
"Asik. Sering-seringlah ketemu biar gw dapat kopi gratis lagi."
"Kampret lo."

__


Dua sosok yang saya ceritakan di atas merupakan sosok yang selalu saya idam-idamkan, *masuk dalam list andaikan gw jadi dia*. Sebab selama ini yang saya lihat hanyalah tampilan luarnya saja tanpa tahu ada apa di baliknya.

Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau dibandingkan rumput sendiri, bukan? Permasalahannya adalah apakah kita tahu seberapa besar pengeluaran yang dikeluarkan tetangga kita untuk membuat rumputnya jauh lebih hijau daripada punya kita? Mampu kah kita mengeluarkan biaya yang sama dengan tetangga kita? Sementara di dalam rumah dibiarkan berantakan, kosong melompong.

Dan satu hal yang paling penting sebelum saya mengakhiri tulisan yang agaknya cukup panjang ini adalah cobalah lihat dulu halaman depan rumah sebelum melihat halaman tetangga, memangnya di depan rumah ada rumputnya???

***

Gambar dari sini

17 March 2013

Serasa Bersantai Di Teras Rumah Sendiri



Dua minggu yang lalu, tepatnya di Hari Minggu yang teramat terik, saat sedang menikmati semilir angin karena sengaja membuka jendela selebar-lebarnya dan tengah terantuk-antuk. Dikejutkan dengan adanya bbm dari sahabat,

"Sibuk, Bu?" 
"Ngga, lagi lenyeh-lenyeh aja. Kenapa?"
"Nene, ngajak ketemuan."
"Hayu, atuh. Di mana?"
"Bebas."
"Ehmmpph, cari tempat baru di mana yah?"
"Bebas. Tentukan saja tempat dan jamnya."

Maka, tempat yang dipilih Tre coffee, bite and zip adalah sebuah tempat ngopi yang terletak di Jl. Bengawan No. 34. Yang unik dari tempat ini adalah mereka -pemiliknya- menggunakan bahan-bahan bekas, didaur ulang menjadi interior yang apik.

Bayangkan krat minuman dipoles menjadi meja. Tong yang umumnya digunakan sebagai tong sampah, mereka ulik menjadi tempat duduk. Yah, walaupun kurang sedikit nyaman karena tidak bisa bersandar.
Ngga percaya? Coba lihat ini,


Tong yang disulap jadi kursi

Meja dari krat minuman & Kursi dari Tong

Potongan kayu jadi bangku & Meja (bekas pintu kayanya)

Live music, live from playlist :)

Dapur

Cappuccino Tre

Tidak ada yang special dalam cangkir cappuccino saya, namun menikmatinya bersama obrolan hangat para sahabat seakan sedang bersantai di teras depan rumah sendiri. Menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Sesederhana tempat ini. Sesederhana itu.

Ayo, sempatkan mampir ke sini. Ada pula 7th heaven book store di sebelahnya, jadi bisa membeli buku dan membacanya di bawah rindang pohon. Atau sekedar meminjamnya, asal jangan lupa untuk dikembalikan. :D

Salam Cappuccinoholic.

12 March 2013

Menjelang Malam

Sinar matahari sore menyelinap masuk melalui kaca jendela buram, kusen berdebu, dan tirai kumal berwarna gading. Menjingga kemerahan, senja.
Dari celah tirai pantulan sinarnya membias bersama debu-debu yang beterbangan. Membentuk sulur-sulur kristal kemerahan, terus berputar mengitari seluruh kamar kostku. Cantik.
Lamat-lamat kupandangi, keindahan yang selalu membangunkan dan menemaniku.
Kusibakkan tirai kumal, bukan karena aku lupa mencucinya hanya saja memang tidak ada tirai yang lain. Kubuka jendela agar sirkulasi udara lancar, tidak pengap.

Beruntungnya aku mendapat kamar di pojok dengan jendela tepat menghadap ke barat, arah datangnya senja sebelum ditenggelamkan malam. Melalui jendela ini pula aku dapat melihat jalan setapak di belakang. Jalan yang selalu dilaluinya saat akan pergi atau pulang kerja kemudian menghilang di ujung gang kecil.

Sudah tiba waktunya untuk mandi dan bersiap-siap.
Sengaja aku meletakkan meja rias di dekat jendela, agar aku dapat melihat kedatangannya.

Duduk diam di mulut kusen dengan rambut yang masih terbalut handuk, menyesap teh dan sebatang rokok. Menunggunya.
Itu dia datang! Seperti biasanya, bulu dadanya mengintip malu-malu dari balik seragam kemeja yang tiga kancing teratasnya dibiarkan terlepas. Kemejanya dibiarkan keluar dari celana bahan hitam, menutupi ikat pinggang kulit hitamnya. Kupandangi lekat-lekat punggung pemilik dada bidang itu hingga menghilang di ujung jalan.

Beberapa menit lagi dia akan keluar untuk mencari makan malam, mungkin setelah istirahat sejenak duduk selonjoran kaki kemudian mandi. Aku harus sudah siap.

Kububuhkan alas bedak agar pori-pori wajahku yang seperti kulit jeruk tertutupi merata sebelum kutaburi bedak.
Kugambar alisku membentuk bulan sabit. Eyeshadow merah untuk kelopak mataku agar senada dengan gaun yang akan kukenakan malam nanti. Tak lupa eyeliner untuk mempertajam mataku. Maskara tentunya supaya bulu mataku terlihat lentik. Dari ujung mataku, kulihat sosoknya.
Sebagai sentuhan terakhir, kuoleskan lipstick merah. Perlambang berani, penuh gairah dan menantang.

Dia sudah mengganti kemejanya dengan kaos kumal yang tulisannya sudah menghilang, bercelana pendek warna coklat, dan sendal jepit. Dari rambutnya yang basah terpancar kesegaran, ah dia sudah mandi rupanya.

Kembali duduk di mulut kusen dengan rokok terselip di bibir, memperhatikan kedatangannya lalu menghilang di ujung jalan yang lain. Pasti membeli makan malam.

Itu dia datang! Membawa sebungkus makanan dalam kantong plastik hitam.
Buru-buru aku keluar dari kamar kost, berlagak mengelap sepatu yang akan kukenakan malam nanti sambil pura-pura tidak menyadari kehadirannya. Langkah kaki terseretnya semakin terdengar mendekat, aku masih sok sibuk dengan sepatuku, seperti biasa menunggu dia menyapa duluan.

"Malam, Mas. Wah, hari ini pake gaun merah yah. Keren. Mari saya duluan."

***






10 March 2013

Pencuri Waffer

Menjelang liburan panjang suasana di stasiun begitu hiruk-pikuk. Gerombolan manusia hilir mudik membawa berbagai macam bawaan belum lagi pedagang asongan menambah ricuh dengan bebas keluar masuk. Sudah kugitari lorong demi lorong mencari kursi kosong, jadwal keberangkatan masih sejam lagi. Sambil menunggu kereta aku mampir ke sebuah toko membeli camilan, waffer coklat.

Ah, untunglah ada sepasang kekasih yang beranjak. Segera kutempati kursi kosong itu. Membaca buku adalah salah satu cara untuk membuang waktu. Kulirik jam tinggal empat puluh lima menit lagi. Tak akan terasa jika kuhabiskan waktu sambil membaca buku dan menikmati camilan.

Entah sudah berapa halaman kubaca, terlalu larut ke dalam rangkaian kata-kata yang begitu puitis. Penulis buku ini pastilah seorang pria romantis. Tanpa kusadari, seorang pria duduk di sampingku. Mengutak-atik layar handphonenya sambil memakan wafferku tanpa malu.

Kulirik lagi jam di tanganku, masih lima belas menit.
Pria tadi masih bermain dengan handphonenya sambil sesekali mengambil waffer tanpa memperdulikan kehadiranku, sang empunya.

Berani sekali dia berbuat begitu! Di manakah letak kesopanan sekarang ini berada?
Seorang pria asing memakan waffermu tanpa meminta ijin! Sungguh kurang ajar!

Aku mengambil satu waffer tanpa melihat pria itu sambil terus membaca untuk menyembunyikan rasa kesal.  Dia pun mengambilnya satu. Kalau saja bukan di tempat umum nan ramai ini pasti sudah kuserbu dia dengan serangan kata cacian penuh makian. Akan kutampar keras-keras mulutnya yang mengunyah waffer milikku.

Hingga tersisa satu waffer. Apa yang akan kulakukan? Apa yang akan dia lakukan?

Aku mencoba berkonsentrasi membaca buku tanpa acuh terhadap kehadiran pria itu. Tetap diam sambil menduga-duga apakah kuambil saja sebelum diambilnya. Sungguh terlalu, belum selesai memikirkan langkah selanjutnya dia sudah mengambilnya. Waffer yang setengahnya dia makan hingga tersisa satu pun diambilnya pula. Kesal bukan kepalang!

Dia mengambil waffer yang tinggal satu-satunya kemudian membaginya menjadi dua. Sambil tersenyum gugup menyodorkannya padaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pria gila!

Kuambil waffer yang diserahkannya dengan ketus, bagaimanapun itu kepunyaanku, hakku.

Beruntunglah, akhirnya keretaku datang juga. Buku yang sedang kubaca langsung kumasukkan ke dalam tas. Pergi melengos tanpa menoleh padanya, pria tak tahu aturan-norma-kesopanan-kurang ajar-terima kasih.

Akhirnya terbebas juga dari pria kurang ajar itu. Duduk di dekat jendela, menghela napas panjang-panjang agar emosiku kembali stabil. Perjalanan kali ini akan terasa sangat lama dan panjang. Wafferku sudah habis dimakan olehnya. Ah, hanya ada buku yang akan menemaniku.

Terkaget dan kebingungan, napasku tertahan saat kuambil buku di dalam tas ada sekotak waffer masih utuh di dalamnya. Jadi, waffer itu miliknya?

***



Note:
Diambil dari ide yang sama dalam Drama Sepotong Kue karya Ncuz yang dipentaskan oleh anak-anak Teater Topeng.

07 March 2013

Kejadian Arrgghh Dalam Sehari

Perlu tiga hari untuk menenangkan emosi tingkat tinggi yang sedang berkecamuk di dalam kepala-mulut-hati-perut sampai akhirnya saya dapat menulis kembali. Menuliskan kejadian penuh arrgghh dalam kurun waktu dua puluh empat jam, Senin yang lalu.

Pagi, terbangun dari sebuah mimpi buruk yang membuat kepala seperti dihantam palu segede gajah berulang kali. Mimpi tentang munculnya kembali seseorang yang kamu takutkan. Sakin takutnya lebih baik tidak perlu saya ceritakan detailnya. Pokoknya tuh mimpi bikin Arrgghh.

Siang, tersadar bahwa saya baru saja menjadi korban penipuan online. Arrgghh banget deh. Cerita detailnya ada di sini Mencari Nomor Resi.

Menjelang sore, terharu mendengar kisah cinta klien yang akan menikah Bulan Juni nanti. Yang bikin Arrgghh momennya adalah kisah mereka terdengar familiar di telinga saya. Pertama, umur calon pengantin wanita sama dengan saya. Kedua, sama-sama kuliah di Universitas yang sama hanya beda jurusan *pantes, dalam hati mukanya asa familiar*. Ketiga, mereka sudah pacaran sebelah tahun. Mengalami putus-nyambung dan saat calon pengantin pria melamar calon pengantin wanitanya agak ragu kemudian putus. Setahun kemudian memutuskan untuk menikah dan memakai jasa wedding planner. *iyeehh kerjaan! kerjaan*.

Well, sebagai orang yang juga pernah pacaran menahun ehmmp sebelas tahun tepatnya mendengar kisah mereka yang happy ending sedangkan yang saya alami malah sad-tragic ending itu Arrgghh parah rasanya. Ada iri yang menyelinap diam-diam lalu mengerogoti pikiran sampai bikin perut mual memikirkan hal yang seharusnya tidak boleh dipikirkan barang sedetik pun. 

Sore, terburu-buru mengantarkan obat dari Dago ke Rumah Sakit Anak Hermina, Pasteur di jam pulang kantor. Sebab anak bos sakit dan obatnya tertinggal di rumah. Nyatanya begitu sampai di sana, obatnya sudah tidak diperlukan lagi. Hujan pun turun dengan deras menambah kesan Arrgghh semakin dramatis. Bos beserta keluarga pulang naik mobil, saya terduduk diam tegang di lobby menunggu hujan mereda. Arrgghhnya lagi adalah di sana banyak anak kecil berkeliaran *iyalah namanya juga rumah sakit ANAK*. Masalahnya saya mempunyai semacam ehmpp apa yah namanya ketakutan tidak beralasan jika sudah berhadapan-berhubungan-bersentuhan dengan mahluk yang disebut anak kecil, khususnya bayi. ARRGGHH!

Dalam ketegangan harap-harap cemas menunggu hujan segera reda ada pesan masuk dari adik saya. Sebelumnya perlu saya tekankan bahwa kami jarang sekali berkomunikasi via sms. Setiap saya kirim sms pun tidak pernah dibalas olehnya. Jadi, ini pasti sesuatu yang penting.

"Kak, di mana?"
"Di Pasteur, kenapa?"
"Pulang jam berapa?"
"Bentar lagi, kenapa? Tumben banget sms."
"Kirimin makanan ke sekolah lah, Kak. Lagi kerja kelompok. Duit abis buat makalah."
"Makanan apa? Nasi gituh?"
"Iya apa aja, Kak. Kelaparan."
"Ya udah tunggu yah."
"Buruan!"

Terbayang bagaimana lelah, lemah, dan laparnya dia. Ini baru pertama kalinya dia secara gamblang meminta sesuatu dari saya, tanpa menunggu lebih lama lagi hujan pun diterjang. Membelikannya sebungkus nasi padang, sesisir roti, minuman dingin, serta air mineral botol besar. 

"Ngga jadi deh, Kak. Ntar kehujanan Kaka." sms ini baru terbaca setelah sampai di rumah.

Terheran saat akan menyerahkan belanjaan tadi hanya menemukan kresek hitam berisi nasi padang yang tergantung di motor. Kresek putih berlogo Indomaret berisi roti dan lainnya tidak ada, terjatuh entah di mana tanpa saya sadari. Arrgghh!!!

"Tadi Kaka beli roti ama minum tapi kayanya jatuh deh di jalan."
"Ya udah ngga apa-apa."
"Kamu sama sekali ngga pegang uang?"
"Ngga! Pinjam lima ribu dong buat pegangan sampai rumah."

Sial yang menjadi untung baginya adalah lembaran paling kecil di dompet itu dua puluh ribu. Iya, iya sebagai saudara sekandung kami memang tidak boleh hitungan. Hutangnya dia tidak pernah dihitung tapi hutang saya padanya terus dihitung berikut bunganya.

"Masih lama? Pulang jam berapa?"
"Sejaman lagi lah."
"Ya udah Kaka pulang yah."
"Makasih yah, Kak."

"Eh hati-hat ...." kata hati-hati di jalan menguap saat berpaling dan melihat sekumpulan piranha menyerbu sebungkus nasi padang.

Maka dari itu saya memutuskan untuk membeli beberapa roti dan minuman lagi. Kali ini akan saya pegang erat-erat agar tidak terjatuh lagi.

Terkesiap melihat gerbang sekolah sudah ditutup. Suasana tidak seramai tadi, sepi. Padahal saya hanya pergi sekitar tiga puluh menit. 

"Sudah pada pulang, Bu." ujar Satpam.

Arrgghhh!!!

Malam, tergeletak di atas kasur. Pusingnya kepala akibat mimpi buruk tak kunjung hilang. Kata Arrgghh yang tak berhenti keluar dari mulut. Lembaran kenangan yang sudah ditenggelamkan muncul kembali perlahan ke permukaan, menyesakkan hati. Letihnya hari menaikkan asam lambung dan perih di lambung. 

Akhirnya hari senin akan segera berakhir dalam hitungan jam. Yang perlu dilakukan hanyalah beristirahat, mengucap syukur padaNya atas hari ini, dan menyambut hari selasa nan ceria.

"Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Mat 6:34)

"Kaaaaaaakkkk ....."
"Iya, Mah."
"Setrikain bajunya papa dulu sebelum tidur yah."
"Iiiiyyyyyaaaaa ...."

ARRGGHH!!!!

***


04 March 2013

Mencari Nomor Resi

Katanya kalau lagi emosi harus menjauhkan dari media online, daripada nyampah dengan kata-kata berunsur makian nanti bikin suasana timeline ngga enak dan pada akhirnya akan disesali sendiri saat emosi reda.

Terus katanya juga, kalau emosi lagi naik mending jangan nulis apa-apa deh. Nanti tulisannya penuh dengan cacian lalu bikin pembaca ngga enak hati dan tentu saja akan disesali kemudian saat emosi turun.

Masih katanya lagi, kalau lagi emosi mending ngga usah ngobrol atau ketemu sama orang dulu. Disadari atau tidak, orang itu akan dijadikan semacam pelampiasan. Kemudian menyesal setelah orangnya keburu sakit hati.

Itu katanya, katanya, katanya, katanya siapa sik????? 
Kaya yang ngga pernah emosi aja seumur hidupnya. Jadi, maksudnya kalau lagi emosi saya harus diam aja mengurung diri di kamar. Gituh? Lagian siapa yang emosi? Siapa? Siapa, hah? Saya ngga emosi kok! Cuma mencari nomor resi.

Tapi yah emosi itu ngga baik dipendam. Membusuk di dalam. Hih! Keluarin aja semuanya! Walaupun masalahnya tidak terpecahkan well at least agak mendingan gituh rasanya.

Yup, seperti yang baru aja saya alami hari ini. Pokoknya serba Arrgghhh! Begini kronologisnya,

Jumat kemarin entah ada setan apa yang merasuki kepala saya, tiba-tiba tanpa berpikir lebih panjang saya memesan blackberry di situs online.
Responnya cukup cepat dan agak agresif karena rajin bener nanyain udah transfer apa belum? 
*Arrghh! Sebenarnya ini pertanda tapi gw masih buta*
Idealnya kan setelah melakukan transfer kemudian kita akan diberi nomor resi. 
*Helookk, gw juga sering belanja online kali!*
Sabtu dan Minggu berlalu begitu saja. Masih belum dapat nomor resi. Saat saya tanyakan via sms barang sudah dikirim ama boss nanti akan dicek lagi katanya. 
*Arrghhh! Tuh kan adalage katanya dan itu tuh pertanda dasar yah emang ngarep si gueh jadi ho'oh aja di php-in*

Dan hari ini saya dapat telepon dari bosnya mengenai nomor resi barang pesanan saya \o/

"Siang Mba Evalia."

"Evaliana."

"Iya, Siang Evalina"

"Evaallliaaa. Yah kenapa???"

"Maaf, sebelumnya ada kesalahan pada anak buah saya dalam pengiriman. Jadi ada empat buah paket blackberry yang dikirim ke alamatnya Ibu."

"IBU??? Eh, hemmpp EMPAT? Ko bisa? Kan saya pesennya cuma satu doang?"

"Iya, ini kesalahan anak buah saya dan pihak Tiki tidak bisa menarik barang yang sudah dikirim maka dari itu saya belum bisa memberikan nomor resinya pada Ibu. Dari Sabtu sampai Minggu kemarin sedang saya usahakan sampai hari ini."

"Ouhh okaaayy jadi gimana?"

"Karena barang sudah keluar dan akan terkirim ke alamat Ibu itu senilai sepuluh juta saya perlu jaminan."

"Jaminan gimana? Eh itu barang pesanan orang juga kan?"

"Ibu bayar jaminannya saja sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Barangnya mau Ibu tawarkan ke teman-teman atau kolega boleh siapa tahu ada yang berminat. Kalau tidak laku dikembalikan saja ke toko kami."

"Bentar, Pak. Bentar! Anak buah Bapak melakukan kesalahan terus saya yang harus tanggung akibatnya dengan membayar sejuta lima ratus ribu rupiah?"

"Sebag ..."

"Bapak jangan potong pembicaraan saya! Apa jaminan buat saya paket barang empat blackberry itu sampai ke rumah saya? Barang yang saya pesan saja ngga sampai-sampai!" 

"Kalau Ibu setuju membayar jaminan nanti saya kirim nomor resinya. Hari ini langsung dipaketkan pakai kilat Tiki. Besok sudah sampai."

"Dengar yah, Pak. Saya itu customer! Itu kesalahan anak buah Bapak yah Bapak yang tanggung jawab dong. Ngga ada urusan dengan saya. Kewajiban saya sudah selesai. Sekarang saya minta hak saya! Saya tunggu kabar nomor resi barang saya. Dan jangan panggil saya Ibu!!". 

"Saya usahakan Bu, Mba ..."

Tuttt tuttttt ttutttt.

Kemudian badan berasa tak bertulang. Lemes selemes lemesnya. Gemetaran hebat kaya belum makan dari kelas tiga es de. Seperti keluar dari rotasi bumi, okeh ini lebay. Yah, gimana sih rasanya ditipu mentah-mentah. Puaahh! Ngga enak kan. At least well done gituh. 
Energinya sudah habis duluan, ngga ngerti mau geram, murka, nangis, ketawa, salto, apa kek you named it. Yang saya lakukan adalah mencari nomor resi dari barang yang telah saya beli. Itu aja ko.

***

Note :
Hati-hati dengan situs online yang menjual gadget murah muriah.
Terutama situs ini http://www.javastor.blogspot.com/ blacklist!!!
Bantu sebarluaskan yah agar ngga ada lagi manusia bodoh macam saya yang tertipu.

02 March 2013

Basah

Tidak ada yang abadi dalam sebuah pertemuan karena akan tiba juga sebuah perpisahan. Pertanyaannya adalah kesan apa yang ingin kau kenang dalam sebuah pertemuan. Akankah pertemuan pertama mengundang pertemuan selanjutnya, atau justru menjadi yang terakhir. Setidaknya tinggalkan satu kesan pada pertemuan yang kau jumpai, kesan yang akan kau kenang dan menjadi topik hangat saat pertemuan kedua dan seterusnya.

***

Hari itu aku sedang santai. Malam masih lama menjelang. Jarang-jarang kejadian seperti itu terjadi, yang harus kulakukan adalah memanfaatkannya secara maksimal. Ada satu keinginan yang belum sempat terwujud. Saat itu adalah waktu yang tepat.

Kuganti seragam kantor dengan celana pendek, kaos oblong kumal, memakai sendal jepit, membawa serta blackberry. Berkendara seorang diri menuju pantai yang hanya berjarak tiga puluh menit dari tempatku bekerja. Akan kuabadikan senja untukmu yang tergila-gila pada semburat jingganya. Aku ingat betul betapa mengiri hatimu pada tempat di mana aku menghabiskan hari, rutinitas tanpa jeda.

"Jadi kamu tinggal di Pantai?"
"Iya, kenapa?"
"Asyik banget yah!"
"Ngga ah, biasa aja."
"Asyik tahu! Ahhhh aku iri."
"Ko bisa?"

Kemudian kamu menjabarkan panjang lebar betapa pantai menyimpan sudut-sudut eksotis, ruang magis, romantisme tanpa terkesan picisan. Pantai mempunyai daya pikat tersendiri bagimu. Senja merah menjingga, turun perlahan dari langit, barisan awan colombus, membulat, dan tertelan di atas lautan. Deburan ombak menentramkan gemuruh jiwa serta mendamaikan gejolak hati. Butiran pasir melekat erat pada jemari kaki lalu tersingkir oleh buih putih ombak. Kamu telah membuka sebagian mata yang selama ini tertutup, iya membuat aku lebih menyukai tempatku berada. Sebab kau menyukainya.

"Hai, lagi apa :D" tanyaku di bbm saat sedang berjalan terseok-seok di atas pasir.
"Lagi lucu-lucunya :P" jawabmu kekanak-kanakan.
"Mari merapat ke pantai." kataku sambil menunggu kedatangan senja.
"Akkhhhh pantaaaaiiiiiiiiii" jawabmu lengkap dengan koleksi emoticon yang juga kekanak-kanakan.

Kamu tahu demi mendapatkan foto senja yang sempurna aku harus melesat ke tengah lautan. Air laut sudah setengah pinggang. Tangan kuangkat tinggi-tinggi agar riak gelombang ombak tidak membasahi blackberryku. Sebenarnya aku tidak perlu bersusah diri seperti ini karena kamu juga tidak pernah meminta foto senja tapi aku ingin memberikan yang terbaik, foto senja tercantik.

Ada rasa kikuk menyergap saat akan kukirimkan foto itu untukmu atau mungkin akibat kedinginan, celanaku basah. Hinggap rasa lega saat aku tahu kamu senang bukan kepalang akan foto itu yang kamu jadikan profile picture di bbm serta status bertuliskan, "Senja di sana, cantik".

_

Aku ingin mengenal lebih dalam di balik sosok penyuka senja, maka dari itu aku datang berkunjung ke kotamu. Bandung, hari itu tidak terlalu bersahabat. Awan mendung menyelimuti langit. Tak lama hujan turun. Pertemuan pertama kita disambut dengan rinai hujan. Malam itu, sepanjang jalan tergenang air. Genangan air yang menutupi lobang membuat cipratan kecoklatan mengenai celana panjangku. Semuanya berlalu begitu saja tanpa ada kesan yang berarti. Ah yah kecuali adegan mengejar truk barang, kendaraan kantor yang membawaku pulang gratis.

"Berhenti di sini!" kataku saat melihat truk melaju dari arah yang berlawanan.

Bunyi rem berdecit. Maaf, aku tidak tahu kalau kamu kagetan.

"Di sini? Katanya mau ke terminal?"
"Ngga jadi, putar arah bisa? Mau naik truk aja."

Kamu memutar dan menambah kecepatan, mengejar truk yang mulai hilang di kegelapan malam.

_

Masih penasaran. Seharian bersamamu tidak membuatku cukup mengenalmu lebih jauh lagi. Kembali, kedatanganku disambut rinai hujan di kotamu. Aku terharu, sungguh! Dalam kesakitanmu, kamu masih mau menjemput dan menemuiku. Sudahlah kamu tidak pandai menyembunyikan wajah pucatmu. Namun, sebab hal itu aku berkesempatan menunjukkan perhatianku lebih padamu tanpa menimbulkan efek salah tingkah. 

"Kamu sakit yah?" tanyaku khawatir.
"Ngga ko. Cuma kecapean aja kali." ucapmu dari bibir yang pucat.
"Minum vitamin, minum air putih yang banyak, makan yang banyak. Jangan kebanyakan begadang makanya, tidur delapan jam itu wajib. Harus maksimalkan waktu istirahat. Dan jangan hujan-hujanan mulu. Boleh sentuh kening kamu? Mau ngecek aja panas apa ngga?"
"...."

Sepulang dari kotamu, demam menjalar sekujur tubuh. Rupanya ada tetesan air hujan yang terbawa pulang.

_

Pertemuan ketiga, hujan dengan setia menyambut kedatanganku. Itu sebabnya kupanggil dirimu Dewi Hujan. Selalu ada rinai hujan di antara kita. Dampaknya, aku selalu membawa baju kotor lembab akibat kehujanan.

"Kenapa setiap kali ke sini pas hujan aja yah?" tanyaku di sela-sela pembicaraan.
"Ehmm, mungkin karena lagi musim hujan." jawabmu sekenanya.
"Kamu memang Dewi Hujan." kataku mengoda.
"Siapa? Aku? Ah masa sih. Bentar lagi hujannya juga reda." ujarmu sambil tersipu.

Hujan masih setia menguyur selama dua jam ke depan.

_

Dalam pertemuan keempat, matahari bersinar dengan semangatnya. Akan tetapi, kamu masih Dewi Hujan bagiku. Walaupun tidak ada rinai hujan yang membasahi tetap saja ada bagian yang terbasahi. Seperti saat kamu tumpahkan segelas kopi ke celanaku, bajuku. Air putih yang kamu semprotkan pada wajahku karena tak berhasil menelannya sesaat sebelum tertawa. Kuah mie instant yang mengenai lengan bajuku. Atau pundakku saat menonton Habibie Ainun.

_

Selalu ada kesan yang tertinggal dalam setiap pertemuan. Dan entahlah mengapa saat mengenang sosokmu jejaknya tidak pernah lepas dari kata basah. Kamu memang Dewi Hujan yang membasahi kekeringan relung hatiku.

***