31 December 2015

Tiga Hal Sebelum Kau Pergi

Sebulan yang lalu, keputusan saya untuk bercerai sudah bulat. Sebulat cinta saya pada Sasti. Sasti memang tidak lebih cantik atau lebih sabar dibandingkan istri saya. Namun, kepribadiannya menyegarkan semangat dan memotivasi saya akan makna hidup.

Ana, istri yang sudah mendampingi saya selama delapan tahun sudah menaruh curiga ketika saya mulai berdekatan dengan Sasti. Saya pun tidak ambil pusing akan kecurigaannya karena memang tidak ada lagi cinta yang bersemi di antara kami.

Malam itu, seperti biasa Ana tertidur dengan TV masih menyala, menunggu kepulanganku. Biasanya saya bangunkan dia untuk pindah. Tapi, malam itu, saya ajak dia bicara, mengutarakan maksud untuk bercerai.

"Kenapa?" tanyanya menahan amarah.

"Saya rasa kamu sudah tahu jawabannya?"

"Iya, tapi kenapa sekarang?"

"Karena saya tidak mau berpura-pura lagi."

"Beri aku waktu sebulan, setidaknya sampai Aya masuk SD."

"Kamu tidak perlu khawatir akan Aya, saya masih ayahnya dan Aya akan menjadi tanggungan saya."

"Kasih aku waktu sebulan, setelah itu terserah kamu..."  tangisnya mulai pecah.

Saya tinggalkan dia menangis di ruang tamu. Keputusan saya sudah bulat dan tangisan dari air matanya tidak akan mengubah apa pun. 

Suara alarm membangunkan tidur yang belum pulas, terdapat secarik kertas di atas meja. Kami memang sudah lama berpisah ranjang semenjak Aya masuk TK. Ana tidur bersama Aya sementara saya di kamar tamu, sebabnya kepulangan saya yang larut malam sering kali membuat Aya terbangun dan terjaga lalu jadi rewel.

"Apa maksudnya ini?" tanyaku padanya di dapur saat dia sedang menyiapkan sarapan untuk kami, saya dan Aya.

"Bukankah sudah tertulis dengan jelas? Aku hanya minta tiga hal selama sebulan sebelum kamu hemmmppp" ucapannya terhenti dan matanya melirik Aya, "Cerai ...." ucapnya tanpa suara takut Aya mendengar.

Tanpa ambil pusing, saya iyakan permintaannya akan tiga hal itu.

"Bisa dimulai hari ini?" tanyanya sambil tersenyum.

"Iya, semakin cepat semakin baik."

"Aya, mulai hari ini Ayah yang mengantarkan ke sekolah yah. Nanti siang Mami yang jemput. Setuju?"

"Horeee... Horee... Asyik..." histerisnya Aya sambil berlari dan lompat ke pangkuan saya.

Itulah hal pertama yang Ana minta selama sebulan untuk saya lakukan setiap harinya.


*


Hari Sabtu, Aya libur. Saya terbebas dari tugas mengantarkan dia ke sekolah. Kesempatan ini bisa saya manfaatkan untuk jemput Sasti dulu sebelum ke kantor.

Ketika hendak pergi, saat menutup pintu mobil, Aya kecil berlari, mengetuk jendela kaca mobil dan berkata, "Ayah, Ayah .... Ayah, lupa yah?"

"Lupa apa, sayang?"

"Ayah belum cium Aya sama Mami." celotehnya sambil menjulurkan lidah.

Dengan enggan saya turun dari mobil menghampiri Ana yang berdiri di depan pintu, Aya kecil mengikuti di belakang.

"Ayah pergi yah, hati-hati di rumah." Saya kecup kening Ana sekilas.

"Jagain Mami yah, jangan nakal! Ayah berangkat yah." kening dan pipi Aya saya cium sambil cubit kecil.

Mencium kening Aya dan Ana sebelum berangkat kerja merupakan hal kedua yang dia minta.


*


Nah, hal ketiga ini rupanya membuat Sasti agak geram. Saya ceritakan semua kejadian dan permintaan Ana agar perceraian dapat diproses dengan segera. 

"Konyol banget sih permintaannya!" ketus Sasti setelah membaca tulisan Ana.

"Ya, gimana lagi? Saya harus penuhi agar prosesnya bisa lancar. Kan ini juga demi kita."

"Yang pertama dan kedua oke lah! Tapi yang ketiga?? Kamu jadi ngga punya waktu untuk aku? Tiap pagi harus antar Aya dulu, pulang kerja langsung pulang! Kapan kamu ada waktunya untuk aku?"

"Saya ngga tahu harus gimana lagi selain memenuhi permintaannya. Ini kan cuma sebulan saja. Setelah itu waktu saya untuk kamu semua, sayang. Kamu tahu kan saya sayang sama kamu, hal seperti ini ngga akan merubah sayangnya saya sama kamu, Sasti cantik."

"Ya, terserah deh." ketusnya menangkis tangan saat akan saya rengkuh.

"Jangan begitu dong, Kangen nih."

"Sudah sana pulang, bentar lagi kan jam tidurnya Aya tuh!" 

"Iya, tapi saya masih kangen. Sabar yah. Nanti saya hubungi kamu malam kalau sempat!

"Ngga usah, deh. Kemarin juga ditungguin mana ngga nelepon. Sudah, sana! Gih, sana ... sanaa!"

Hal ketiga yang Ana minta yaitu membacakan dongeng sebelum tidur untuk Aya. Perkara yang cukup sulit sebab jam tidurnya jam 8 malam. Jam di mana saya menghabiskan waktu bersama Sasti. Pantas dia marah sekali dan keberatan mengenai permintaan Ana yang ketiga.
Berulang kali saya jelaskan pada Sasti bahwa semua ini saya lakukan demi dia, demi bersamaan kita, apa pun akan saya lakukan untuk selalu bersamanya.

Mengenai Ana? Ah, dia perempuan sederhana dengan pemikiran sederhana yang terkadang kesederhanaanya begitu merumitkan. Seperti permintaannya akan tiga hal yang harus saya lakukan, begitu sederhana sampai terkadang saya tidak habis pikir apa maunya Ana sebenarnya.

"Mana Aya?"

"Di kamar sudah menunggu. Hem ... Ayah?"

"Apa?"

"Cuci mukalah dulu, ganti bajunya. Mami temanin Aya dulu sambil nunggu Ayah."

"Iya"


Hubungan saya dengan Ana memang sudah lama dingin, hambar dan hampa. Tidak ada percikan, getaran, atau desiran dalam denyut nadi yang membuat rasa sayang itu penuh. Kosong. Hingga kehadiran Sastilah yang mengisi menjadi penuh.

"Hari ini cerita apa yah? Ayah bingung, udah abis dongengnya ...."

"Ayah, Ayah ...."

"Iya?"

"Cerita itu ayah, itu, cerita waktu Aya masih bayi aja. Maaaaamiiiii .... sini Ayah mau cerita Aya, Mammiii .... sini."

Malam itu adalah malam kedua puluh dua. Saya ceritakan pada Aya bagaimana Ayahnya ketakutan dan panik saat Ana akan melahirkan. Kejadian-kejadian menegangkan saat itu namun betapa konyol ketika diceritakan ulang. Tiba-tiba saja saya merasa penuh melihat binar bahagia Aya, tawa renyahnya menertawakan kelakuan Ayahnya, dan Ana .... ah, lama sekali rasanya tidak melihat tawa dia yang lepas. Bertumpu di bantal Hello Kitty Aya dalam lampu tidur temaram Ana terlihat cantik sekali, Ada damai menyelimuti ketika melihat pancaran wajah mereka.

Iya, malam kedua puluh dua kami bertiga tidur bersama. Kehangatan dan kenyamanan yang selama ini saya cari nyatanya ada di depan mata. Inilah keluarga saya, di mana saya sayang pada mereka berdua, Aya kecil yang mau masuk SD dan Ana tercinta. Kesederhanaannya menaklukkan segala kerumitan yang sebenarnya saya cari sendiri. Adalah dengan tiga hal sederhana Ana dapat membuat desiran dan percikan yang terpendam itu muncul kembali, membuncah.
Sasti? Ah ... di kepala dan hidup saya cuma ada Ana seorang.



***


Gambar dari sini

21 December 2015

Setangkup Syukur Rasa Strawberry


Hari ini jalanan dibasahi lagi oleh hujan. Entahlah, hujan selalu memunculkan sisi sentimentil saya terhadap sesuatu. Galau? Oh, bukan. Saya lebih senang menyebutnya dengan istilah peka. Perasaan saya jadi lebih peka jika melihat atau mendengar suara hujan. Seperti sore ini ketika perlahan bulir air mulai turun membasahi jaket, terbayang secangkir kopi dan setangkup roti bakar. Sambil berteduh dan menghangatkan badan, saya menuju sebuah kedai, tidak terlalu mewah, sederhana namun cukup nyaman.

Ah, ya roti bakar rasa strawberry menjadi pilihan pasangan cappuccino saya. Rasa strawberry yang manis-manis kecut berbaur dengan cappucino yang pahit-pahit manis adalah kesempurnaan rasa untuk hujan sore ini.

Roti Bakar Strawberry

Roti bakar rasa strawberry dengan toping es krim strawberry saya sudah datang!
Suapan sendok pertama penuh dengan es krim melumer dalam mulut saya, sebagian rasa manis langsung tertelan meluncur bebas ke kerongkongan dan tersisa rasa kecut yang menempel pada langit-langit mulut. Lucu dan aneh yah? Pada awalnya rasa manis yang pertama datang hingga menimbulkan senyum bahagia. Lalu, rasa kecut mulai mendominasi dan manis pun berlalu begitu cepat. Kepergiannya sama cepatnya dengan kedatangannya.

Pada garpu pertama, saya mulai memakan rotinya yang sudah tercampur dengan es krim. Renyah dan empuk serta kecut dan manis ini mengingatkan saya akan sebuah kejadian ketika smartphone saya terjatuh. Dia terjatuh dari saku jaket ketika saya sedang di atas motor. Pasrah adalah ketika menyadari dia tidak di sana, pasrah ketika mencoba menghubungi nomornya sudah tidak aktif. Kecut sekali rasanya hati ini!

Terkadang strawberry memberi manis di awal, namun ada kalanya kecut pertama yang dirasakan. Seperti masalah smartphone ini, kekecutan hati akan keteledoran saya tidak bisa ditawar lagi. Hingga esok paginya ada pesan masuk mengatakan bahwa smartphone saya ditemukan dan akan dikembalikan. Ini adalah rasa dari yang paling termanis yang pernah saya rasakan. Sungguh, luar biasanya manisnya.

Cangkir Cappuccino

Cappuccino di sini rupanya pekat, tegukan pertama begitu pahit dan panas menyerang lidah saya. Serangan mendadak yang belum terpikirkan bagaimana untuk mengantisipasinya. Cappuccino itu dikenal sebagai kopi penuh kelembutan. Campuran susu dan foam menjinakkan kadar pahit dan asam dari biji kopi. Seperti cappuccino yang biasanya saya minum, dia seharusnya lembut, tidak terlalu pekat. Pekatnya cappuccino melekat di rongga mulut bersama dengan lidah yang terbakar, meninggalkan sesak di relung hati, Menyisakan lubang. Seperti jerawat yang belum siap, dipaksa matang, tercabuti, kemudian meninggalkan pori-pori besar di kulit. Sulit tertutupi. Walaupun pondation dapat menutupi dengan sempurna namun lubang itu tetap ada di sana.

Hampir jarang saya lakukan, namun akhirnya saya mutuskan untuk menambahkan sedikit gula pada cappuccino untuk menyelamatkan sore yang syahdu ini. Bagaimana pun manisnya gula hanya bersifat sementara ... tapi saya ingin cappuccino saya cukup manis.


Kehilangan handphone memang kecut tapi manis pada akhirnya karena masih ada seseorang di luar sana yang mau bersusah payah menghubungi dan mengembalikannya pada saya. 
Kehilangan seseorang yang disayangi dengan sepenuh hati memang sesak dan pahit, apalagi hilangnya tiba-tiba tanpa ada pertanda dan aba-aba, itu rasanya luar biasa menyakitkan. 

Namun, masih ada orang baik yang mau mengembalikan handphone saya. Dan, saya pun percaya masih ada orang lain di sana yang lebih pantas untuk saya sayangi dengan sepenuh hati dan jiwa hingga kematian memisahkan.


Oh iya, sementara itu ... agaknya saya harus sedikit mencampur cappuccino dengan gula. Sebab, setelah yang pahit, manis datang tanpa diduga. Masalahnya, saya belum tahu apakah kedatangan si manis yang tak terduga akan sama nantinya dengan kepergiannya yang tak terduga juga? Atau justru malah akan bertambah manis dan selamanya manis? Entahlah ... klisenya adalah hanya waktu yang dapat menjawab .... 

Ha ha ha ha .... roti bakar ini berhasil sudah mengacak-acak perasaan saya!
Menjadi momentum pengingat untuk diri saya sendiri bahwa terlepas dari rasa manis, kecut, pahit, sesak, sakit, senang, luka, bahagia, ada rasa yang lebih besar dan luar biasa menyelimuti semua perasaan yang berkecamuk. Rasa syukur. Bersyukur akan perasaan yang telah saya hadapi, bersyukur atas apa yang telah terlewati, bersyukur terhadap semua perkara yang telah terjadi, bersyukur selalu untuk apa dan siapa pun dalam kehidupan saya.

Tidak salah memang keputusan saya untuk berteduh dan memilih kedai sederhana ini bersama pesanan saya secangkir cappuccino dan setangkup syukur rasa strawberry.

Rupanya hujan sudah reda, tulisan ini pun selesai sampai di sini. Sudah saatnya saya melanjutkan perjalanan sebelum akhirnya kembali pulang.

Terima kasih
dan
Selamat Malam


***



08 December 2015

Yang Tak Pernah Terselesaikan


"Bangsat! Punya otak ngga sih pakai motor! Bikin bahaya orang!"

"Yank?"

"APA?"

"Muaach ...."

Emosinya mereda, makiannya terhenti, dan kami pun tertawa bersama kepulan asap dari knalpot bis di hadapan kami.


"Aku tuh paling ngga suka kalau dibelakang bis gini! Mana susah lagi mau nyalip!".

"Yank?"

"Iyaaaa, muuaach juga!"

"Bukan ih!"

"Terus apa?"

"Aku sayang kamu."

"Hahahahaa, iya aku juga sayang kamu banget nget nget.", ucapnya dengan merapatkan gigi atas dan bawah.


Si dia memang pria yang kadar emosinya sudah jebol! Gampang banget terpancing emosinya. Pernah yah suatu kali kami sedang bicara serius, prihal topik apanya saya lupa, tapi sakin seriusnya kami ngobrol ditengah-tengah obrolan dia bilang gini,

"Bentar yah, aku keluar dulu." pamitnya sopan.

"Mau kemana? Aku belum selesai ngomong!"

"Itu berisik banget suara knalpot digerung-gerung gitu, kecakepan amat tuh orang, ngga nyadar apa ganggu orang, bikin polusi udara, polusi kuping, aku kan jadi ngga konsen denger kamu ngomong, bentar yah aku marahin dulu tuh orang."

"Muaacch ...."

Emosinya turun kembali, tidak meledak-ledak, tidak jadi ngedatangin dan marahin orang itu, dan pembicaraan kami pun tidak terselesaikan karena kami terlalu sibuk saling berciuman dan berpagutan.

Sebenarnya bukan hal yang sulit sih menghadapi dia. Walaupun emosinya mudah sekali meledak seperti gas 3 kg yang sering diberitakan di media, namun di sisi lain mudah pula untuk meredamnya. Semacam putri malu yang jika disentuh sedikit saja maka akan malu-maluin eh mengatup, menutup daunnya. Iya, ngga percaya? Jadi waktu itu saya pernah bikin salah, apa yah tepatnya lupa, kira-kira kejadiannya seperti ini ...

"Kamu ngebetein hari ini!", ucapnya ketus menatap lurus ke depan tanpa mengindahkan hadirku di depannya.

"Iya, maaf yah. Akunya lupa, akunya khilaf, akunya ngga nyadar, akunya gituin kamu, maaf yah."

"Kenapa kamu kaya gitu?""

"Iya aku gitu karena memang begitu, maksudnya ngga gitu tapi yah gitu lah.", ucapku sambil memelas, merayu, kutarik-tarik ujung lengan kemejanya, "Lihat apa sih? Segitu salahnya yah aku sampai ngga mau lihat aku?"

"Apaan sih gitu, gitu, gitu mulu.", protesnya sambil menahan senyum, "Ngga, ngga mau lihat muka kamu!" lanjutnya.

"Iya udah atuh yah, jangan marah, nih cubit aku kalau kesel.", kuarahkan tanganku kearahnya dengan sukarela sebagai pelampiasan kekesalan dia. Namun, rupanya gerakanku yang tiba-tiba mengagetkannya hingga tangannya menyenggol gelas kopi yang masih panas, dan tumpahannya jatuh secara membabi buta ke bawah meja yang mana terdapat pahaku.

Dan adegan selanjutnya adalah dia sibuk meminta maaf sambil mengambil lembaran tissue untuk membersihkan tumpahan kopi di celana saya. Terus kebeteannya? Loh, memangnya dia pernah bete sama saya yah???

Ah ha ha ha, memang banyak hal yang yang tak pernah terselesaikan saat bersamanya. Seperti tulisan ini pun saya bingung bagaimana menyelesaikannya. 

Ah, saya ada ide!

Bagaimana kalau biarkan saja tetap seperti ini, menjadi yang tak pernah terselesaikan.


***







Dalam Hujan

Dalam Hujan

Titisan air menitik terhembus angin. 

Dia tak takut jatuh, hilang atau menguap

tuk kembali kepada awan.



Sebab dia akan selalu kembali.



Seperti hujan, 

Kamu adalah titisan air yang melebat tiba-tiba, 

mengalir dalam anganku. 

Tak perlu takut jika angin 

melambungkanmu ke tempat lain 

sebab akan selalu kembali, 

bersamaku.



***