24 September 2012

Percakapan penuh Grgrgr


Pagi  tadi hujan turun dengan deras, kamu tahu kan bau rumput yang diguyur air itu seperti apa? Bau khas hujan. Kesukaanku. Sama halnya denganmu yang tergila-gila menghirup aroma bensin. Bau bensin, membuatku pening.

“Kenapa sih suka bau bensin? Kenapa ngga sekalian hisap lem aibon aja!” gerutuku saat sedang isi bensin melihat mukanya sumringah.

“Iya nanti mau beli abis isi bensin.”

“Grgrgr.”

Sesiangan ini dia menemaniku belanja bulanan titipan Ibu. Ketika memasuki area buah-buahan, muka berubah hidungnya mengernyit, diam, lalu mundur perlahan.

“Gw tunggu di luar aja, mau ngerokok.”

“Oke.”
__

“LO BELI DUREN?!?” teriaknya saat aku menghampirinya di mobil.

“Iya, harganya lagi murah ...” ucapanku sambil menatapnya polos.

“Lo bawa aja ini mobil, gw naik busway.” Memberikan kunci mobil padaku sambil keluar dari mobil menutup hidungnya.

“Kenapa sih? Ngga suka bau duren yah?” tanyaku sambil berpindah tempat.

“Ngga!”

“Ya udah sampai ketemu di rumah yah.” menyalakan mesin mobil.

“IYA. Grgrgr.”
__

Beberapa jam kemudian bel berbunyi, akhirnya dia sampai juga dengan muka yang menggenaskan.

“Kenapa muka lo kaya korban tawuran?”

“Gila, busway bau ketek.”

“Mending bau duren kan?”

“Grgrgr. Mana kunci mobil? Gw mau balik!”

“Balik sekarang? Bentaran dong, lagi ngejus tomat.”

“Hah TOMAT? Ngga ah mending balik!”

“Ngga suka tomat?”

“Ngga. Aneh teksturnya ngga kaya buah lain.”

“Lo yang aneh. Dah sana balik.”

“Grgrgr. Eh, ntar malam makan bareng yuk?”

“Hayu, jemput gw yah?”

“Ketemu di sana aja. Malas gw bolak-balik. Rumah lo bau duren. Dah, gw balik yah.”

“Grgrgr.”
__

Dan malam ini di sebuah rumah makan yang rame pengunjung, kami bertemu lagi.

“Lo pakai wangi-wangian yah?”

“Ini Victoria Secret! Parfum mahal.”

“Ngga enak baunya.”

“Ngga usah nyium baunya. Lihat mukanya aja.”

“Sama ngga enaknya.”

“Grgrgr.”

“Hehehe, mau makan apa?”

“Kepiting asem manis.”

“Mas, kepiting asem manis satu. Sate kambing sa ...”

“Lo makan kambing?”

“Kaga. Gw makan sate kambing.”

“Jadi pesanannya kepiting asem manis dan sate kambing yah, Mas? Minumannya mungkin?”

“Jus Tomat”

“Jus Strawberry”

“Tahu ngga kalau laki-laki pesan Jus Strawberry artinya apa?”

“Karena ngga suka tomat.”

“Bukan. Karena dia lagi jatuh cinta.”

Tiba-tiba hening, ada rasa kikuk yang terbaca dalam dirinya. Mungkin dia juga menyadarinya dan mengalihkannya dengan menyalakan rokok kretek.

“Ko diem?”

“Terus gw harus salto?”

“Grgrgr. Eh kenapa coba orang bilang itu rokok kretek?”

“Karena lagi jatuh cinta?”

“Grgrgr, bukan! Karena kalau dibakar bunyinya kretek-kretek-kretek gitu.”

“Hahahaa, dasar gila!”

“Yey, kepiting gw datang duluan. Mau?”

“Ngga suka kepiting. Makannya susah.”

“Baguslah, gw juga basa-basi doang.”

“Grgrgr. Lo mau nyoba kambing gw?”

“Ogah! Ngga suka kambing dan itu bumbunya kacang semua. Alergi kacang gw.”

“Alergi ko kacang.”

“Grgrgr. Gw cekokin jus tomat lo”

“Hehehe.”

Malam pun semakin larut, beberapa pengunjung mulai sepi.

“Pulang yuk dah malam.”

“Take care yah.”

“Take care doang? Kaga dianter pulang?”

“Maksudnya awas lo nabrak orang. Lo kan bawa mobil.”

“Grgrgr. IYA.”

“Hati-hati di jalan. Thanks for today.”

“Iya, sama-sama.”

Mobilku melaju keluar area parkiran, dia masih di sana, berdiri di samping mobilnya. Menunggu mobilku keluar lalu masuk ke mobil beberapa menit kemudian.

Entah bagaimana caranya, begitu memasuki komplek rumah aku melihat mobilnya sudah terparkir di depan rumah. Aku parkir tepat di belakang mobilnya. Dia pun turun dari mobil melihat kedatanganku.

“Ngapain lo?”

“Memastikan lo nyampe di rumah dengan aman dan selamat.”

“Gw pikir jadwal lo ngeronda malam ini.”

“Grgrgr. Gw serius.”

“Iya ini udah di rumah ko. Mau masuk dulu?”

“Ngga, udah malam. Lagian rumah lo pasti masih bau duren.”

“Grgrgr. Ya udah gw masuk yah. Lo terserah deh mau ngapain.”

“Gw mau ngomong sesuatu sih sebenarnya.”

“Ngomong apa?”

“Itu masalah jus strawberry mangnya bener?”

“Hahaha, kenapa emangnya? Lagi jatuh cinta yah? Jangan bilang lo jatuh cinta ama gw?”

“Grgrgr. Lo tuh yah dasar gila. Ngga mungkin gw cinta ama lo yang ada lo jatuhin gw terus nanti.”

“Terus?”

“Ya udah gitu doang.”

“Grgrgr. Udah ah, banyak nyamuk di luar. Gw masuk yah. Hati-hati lo di jalan.”

“Grgrgr. Masa gw ditinggal di luar.”

“Bodo. Dahhhhh”

Bunyi gerbang berderit karena kurang pelumas membuat malam sunyi cukup berisik. Suara gerbang menelan suaranya yang mengatakan “Gw mang jatuh cinta ama lo walaupun lo bau duren, suka makan tomat, alergi kacang.”

“Hah? Lo ngomong apaan barusan?”

“Grgrgr. Good Nite.”

“Ohh. Nite.”

***


Gambar dari sini


 #Lagu Bau Bau Bau dari Project Pop

Note:
Tulisan ini khusus untuk Nenci yang sudah memberikan tema "Love Stink".
Ini sulit, Ne!!! Grgrgr!!!
Hope you like it. Enjoy :)



18 September 2012

Jeremy

Bekerja sebagai guru bukan hanya persoalan membuat materi pembelajaran lalu mengajarkannya pada anak didik dan menguji mereka dengan soal-soal serta mengurus administrasi sekolah. Namun harus mampu menyelami lebih dalam karakteristik masing-masing anak didiknya. Inilah yang masih menjadi kelemahanku. Anak-anak kelas satu sekolah dasar masih merasakan euphoria taman anak-anak. Mereka belum terbiasa dituntut untuk bisa menulis dan membaca dengan baik, benar, cepat, dan tepat. Kesabaran dan ketelatenan adalah kunci utama dari pekerjaan ini, pahlawan tanpa tanda jasa.

Dari dua puluh dua anak didikku, secara kasat mata mereka semua tampak sama. Anak kecil yang menangis pada jam pertama karena ditinggal oleh Ibunya, karena tidak bisa mengerjakan soal yang kuberikan, karena mengompol, atau mereka yang riang gembira menyambut istirahat tiba karena sudah tidak sabar lagi untuk bermain, berlarian di halaman depan kelas.

Suatu hari aku membagikan kertas gambar ukuran A2, pelajaran menggambar dimulai. Suasana kelas menjadi ricuh, mereka berlarian saling meminjam yang berakhir saling berebut mendapatkan pensil warna. Sengaja aku tidak memberikan tema tertentu agar mereka dapat mengembangkan imajinasinya. Hanya ada satu anak yang duduk diam di kursinya menatap kertas gambar yang masih putih polos belum tersentuh, seolah tidak ada keributan di sekitarnya.

“Belum mulai menggambar?” tanyaku.

“Sudah.”

“Gambar apa?” tanyaku sambil mengerutkan kening karena kertas gambarnya masih kosong.

“Damai.”

“Damai? Gambarnya mana?” sebagai gurunya aku merasa dibodohi. Bagaimana mungkin anak yang masih mengompol ini bisa mengerti arti kedamaian.

“Bu guru tidak lihat? Kertas putihnya damai, kalau Jeremy gambar pake pensil nanti putihnya jadi hitam. Tidak damai lagi.”

Sebentar lagi jam sekolah berakhir, aku memberikan kertas gambar lagi kepadanya.

“Ini Ibu kasih lagi, gambar pemandangannya di rumah. Besok Jeremy jangan lupa bawa lagi kertas gambarnya ke sekolah yah, yang sudah digambar pemandangan.”

Dia menerima kertas gambarnya dengan tersenyum mengiyakan lalu segera keluar kelas bersama temannya.


*

Awalnya kukira Jeremy hanyalah anak yang pemalu, hampir tidak pernah bicara dan selalu menolak jika disuruh tampil maju di depan kelas. Dia hanya menjawab saat aku bertanya dan menyebut namanya. Selalu sendiri, bermain dengan kesendirian saat jam istirahat.

Kejadian siang tadi membuatku bertanya-tanya dan berpikir ada sesuatu di dalam diri Jeremy. Selepas mengerjakan administrasi sekolah, aku sengaja menelepon rumahnya mengatakan kepada orang tuanya bahwa hari ini ada jadwal kunjungan rutin sekolah agar mereka tidak menaruh curiga.
Ibunya menyambut kedatanganku dengan ketus karena tidak pernah tahu ada kunjungan rutin sebelumnya, dia tidak siap.

Rumah mungil tanpa halaman nampak berantakan, ruang tamu yang berfungsi sebagai ruang keluarga dipenuhi dengan barang-barang. Botol-botol bir kosong tergeletak di sudut ruangan, meja tanpa taplak diselimuti debu dan abu rokok. Dinding putih di ruang tamu menjadi hamparan canvas lukisan abstrak, peninggalan jejak kakak-kakaknya Jeremy. Kaos kaki yang terlepas dari sepatu tergolek dimana-mana membuatku harus waspada saat melangkah. Terdengar lagu yang dinyalakan keras-keras.

Jeremy spoke in class today
Jeremy spoke in class today
Try to forget this...
Try to erase this...
From the blackboard.*

“Jo, kecilkan suaranya!!! Kunjungannya memang selalu dadakan? Saya tidak punya waktu untuk bereskan rumah dulu.” Ujar Ibunya, menangkap basah saat aku mengedarkan pandangan di ruang tamu.

“Iya, saya minta maaf, tampaknya bagian tata usaha melewatkannya.”

“Tujuannya apa kunjungan ini?” tangannya mempersilahkan aku duduk sebelum menyalakan rokok.

“Tujuannya agar pendidikan anak selaras di rumah maupun di sekolah, sudah menjadi kewajiban saya sebagai wali kelasnya untuk menyelaraskan hal itu. Di sekolah ada banyak keterbatasan, selain waktu, perhatian juga terbagi untuk anak yang lainnya, agar lebih fokus makanya diprogram kunjungan rutin.”

Ibunya menatapku dalam diam, kemudian berteriak “Jonas ambil air putih untuk Bu guru”

“Jeremy berapa bersaudara, Bu?” menahan napas agar tidak batuk karena kepulan asap.

“Lima. Dia anak keempat. Johanes kakak yang pertama baru masuk smp. Jonas kelas 6. Joshua kelas 3. Jeremy lalu Josephine, adiknya masih tiga tahun.”

“Jeremy termasuk anak yang pendiam di sekolah, apakah kalau di rumah dia pendiam juga?”

“Dibandingkan dengan kakak-kakaknya dia memang lebih pendiam. Tuh liat tembok penuh coretan bekas kakak-kakaknya. Belum ada waktu buat cat ulang warna putih, biar kembali damai suasana.”


*

Kunjungan sore yang melelahkan, membuat kepalaku pening diselimuti asap rokok yang rasanya melekat di sekujur tubuh. Mendengar penuturan dari Ibunya, aku merasa menaruh simpati yang dalam terhadap Jeremy. Dibesarkan dengan rasa kasih sayang yang tersisa dari kakak-kakaknya dan harus membagi sisanya untuk adik yang masih kecil. Tidur bersama dalam satu kamar, berbagi kasur dengan kedua kakaknya.

Kehilangan sosok ayah yang bekerja di luar kota dan pulang ke rumah hanya untuk tidur seharian. Tidak pernah bertegur sapa, cenderung tidak peduli terhadap perkembangan anak-anaknya, setidaknya itu yang aku tangkap dari hasil kunjungan tadi. 

Sehari-hari hanya bersama kakak-kakaknya yang tak acuh membuatnya lebih merasa dekat dengan Ibunya. Itu yang menyebabkan dia begitu mengagungkan warna putih, warna kesukaan ibunya yang dia percayai membawa rasa damai. 
Dia tidak pernah mau membubuhkan warna lain di atas warna putih polos. “Putih itu damai” ucapan Ibunya terpatri lekat dalam ingatan, membuatnya ketakutan akan merusak rasa damai jika menodai putih dengan warnai yang lain. Beruntunglah buku tulis tercipta dengan garis-garis penanda penegasan, sehingga dia bisa leluasa menggoreskan pena di atasnya. Jeremy, kau memang berbeda.


*

Masih ada dua puluh menit sebelum memasuki jam pertama, aku masih di ruang guru menyiapkan materi untuk hari ini. Mengetahui latar belakang keluarga Jeremy mau tidak mau justru membuatku salah tingkah, apakah aku bisa memandang dia dengan pandangan yang sama? Dengan umur yang masih belia dia mencoba memaknai kehidupan di balik warna.

Lamunanku terganggu karena muridku Anto menghampiriku sambil terengah-engah,

“Bu guru. Denis nangis. Jeremy mukul ...  gambar ...” Ucapnya terbata-bata. 

Tanpa menunggu kalimat Anto selesai aku langsung berlari menuju kelasku.
Denis yang melihat kedatanganku segera menghampiri dan memelukku

“Bu guru tadi Denis dipukul Jemmy.”

“Kenapa Denis dipukul”

“Denis mau ikut gambar juga. Tapi ngga boleh sama Jemmy”

“Jeremy lagi gambar apa? Ayo kita lihat ke kelas.”

Memasuki ruang kelas, aku tertegun menyaksikan gambar pemandangan di papan tulis seluas 50 x 80 cm. Jeremy menggambar gunung dengan kapur putih, lembah yang berwarna merah, matahari kecil bersinar kekuningan, di atas puncak gunung ada anak kecil dengan jarinya membentuk huruf V. Dia menggambar sambil bernyanyi Jeremy spoke in class today ...

“Jeremy?”

“Bu guru ini gambar pemandangannya sudah selesai.”


***


*Lagu Jeremy by Pearl Jam

07 September 2012

Siangku dan Malammu


“Selamat pagi, Ibu.”
“Pagi, Mba. Saya mau setor.” Menyerahkan buku tabungan dengan sejumlah uang.
“Baik, lima juta rupiah ya, Bu. Tunggu sebentar.” Kembali menyerahkan buku tabungan kepada pemiliknya, “Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Udah, Makasih Mba.”
“Terima kasih kembali.” Dan menyapa kepada nasabah yang lain, “Selamat pagi, Mba.”

Begitulah kegiatanku sehari-hari, menjadi pegawai teller di sebuah Bank Swasta. Tidak terlalu menguras tenaga dan pikiran sebenarnya, monoton. Kecuali ada kasus-kasus tertentu, kesalahan audit, keluhan dari nasabah, atau kesibukan menjelang hari raya keagamaan. Pergi pagi dan pulang sore, lembur hanya di saat-saat tertentu. Menikmati sisa sabtu sore dan sepanjang minggu. Cukup menyenangkan.
__

“Yo, put ur hands up in the air!!!”

Prit prit prit priiiiitttttttttttttttt
Bunyi peluit ditiup disesuaikan dengan kecepatan birama lagu yang semakin lama semakin menghentak. Lampu strobo  mulai dimainkan, mini laser aneka warna bercahaya di lantai dansa, gemerlapan . Semua bernyanyi, bergoyang sambil berlompat hingga menyentuh langit-langit. Suasana selalu semarak nan meriah sepanjang malam di klub, tempat Beno bekerja sebagai DJ. Nampaknya selalu menyenangkan.

__

What time is it where you are?
I miss you more than anything
Back at home you feel so far
Waitin' for the phone to ring
It's gettin’ lonely livin’ upside down
I don't even wanna be in this town
Tryin' to figure out the time zones makin' me crazy

Aku dan Beno memang sudah lama berpacaran, saat masih sama-sama kuliah, saat Beno belum menjadi DJ terkenal seperti sekarang. Hubungan kami memang baik-baik saja, rutin bertemu di kampus, walaupun kami beda jurusan. Jalan bareng setiap weekend, menjelajahi kafe-kafe, menelusuri toko-toko di mall, berpetualangan ke tempat-tempat wisata, layaknya orang pacaran.

Di akhir semester kemarin, Beno mendapat tawaran untuk bermain di sebuah klub. Penampilan dan performa musiknya ternyata mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak, sehingga mulai banyak tawaran masuk untuk bermain di klub yang berbeda, setiap malamnya. Satu langkah kecil menuju skripsi pun dia tinggalkan untuk mengejar karirnya di bidang musik, sebagai DJ.

Aku sebagai pacarnya tentu sangat senang mendapat kabar gembira itu dan pasti mendukungnya. Mengikuti dan menemaninya di klub-klub tempat dia bermain, setiap malam. Selalu ada special compliment buat aku dan Beno, masuk ke klub bergensi dan minum berbotol-botol alkohol berbagai merek tanpa bayar.

Awalnya semua menyenangkan hingga akhirnya aku tersadar bahwa di hari –yang menurutku bersejarah– sidang akhirku, dia tidak datang, masih tidur. Ketidakhadirannya tentu membuat aku sedih juga membuatku kecewa karena kami tidak akan wisuda bersama, seperti janji kami berdua waktu itu.

Beno masih sibuk dengan pekerjaannya, kehidupan malam. Sedangkan aku harus melanjutkan hidupku, bekerja, tidak bisa lagi menemaninya setiap malam.
Tidak ada lagi telephone di malam hari hanya untuk mengucapkan selamat malam dan selamat tidur, selamat pagi, selamat kuliah, selamat bekerja. Perlahan kehilanganmu.

You say good morning
When it's midnight
Going out of my head
Alone in this bed
I wake up to your sunset
And it's driving me mad
I miss you so bad
And my heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged

Pagi adalah kehidupanku.
Malam adalah hidupmu.
Membiaskan wajahmu,
Memudarkan bayanganmu,
Mendekap malam, merindu.

Jarak antara rumahku dan rumahnya tak sampai ratusan kilometer jauhnya. Tapi hubungan kami seperti terbentang pulau jauhnya. Pacaran jarak jauh.
Mereka yang pacaran jarak jauh saja masih bisa meluangkan waktunya untuk menemui sang pacar, sekedar memuaskan rasa rindu yang membelenggu.

Aku sudah cukup mengalah, menemuimu di klub saat libur, menunggumu semalam suntuk hanya untuk mendengar suaramu. Mengorbankan malam nyenyak dan dilanda rasa kantuk seharian.
Namun, kau tidak pernah mau sedikit saja meluangkan waktu saat kau tidak ada jadwal bermain untuk menemuiku. Kau lebih memilih bertemu rekan-rekan prospekanmu, bergelut dengan mixermu, bersenda gurau dengan musik di playlistmu, bercumbu dengan portable djmu.

I miss when you say good morning
But it's midnight
Going out of my head
Alone in this bed
I wake up to your sunset
And it's drivin' me mad
I miss you so bad
And my heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged
Heart, heart, heart is so jetlagged
Is so jetlagged
Is so jetlagged

Tidakkah rasa rindu di hatimu?
Masih adakah aku di hatimu?

Aku lelah pada rindu yang menyerang di malam-malam sunyi saat kau ditemani dengan hiruk pikuk malam yang glamour. Hubunganku kita tidak dipisahkan dengan jarak, karena jarak rumah kita hanya terbentang dua belas kilometer. Hubungan kita hanya terpisah oleh waktu.

Semoga dengan lagu Simple Plan ft Natasha Beddingfield – Jetlag ini mengantarkan rasa rinduku padamu. Malam ini aku harus tidur cepat, besok pagi harus sudah ada di kantor, ada audit perusahaan. 
Selamat malam Beno.

 ***

Gambar dari sini

04 September 2012

Sudah Cukup


Masih saja kuingat bagaimana kau sering mempertanyakan arti sebuah lagu bagiku. Seberapa penting lagu itu menyimpan kenangan di hatiku. Kau tak pernah tahu karena kau tidak pernah menghargai arti sebuah lagu yang menjelma dari tetesan kenangan dalam tiap liriknya, dalam petikan melodinya. Kau tidak pernah menghargai apa pun.

Sebut aku perempuan kuno dengan pemikiran yang kolot. Iya, impianku sangat sederhana terlalu dangkal malah bila disandingkan dengan gelar pendidikan dan pengalaman kerjaku. Memiliki keluarga kecil bahagia dengan dua anak cukup. Sesederhana itu impian yang ingin kurajut denganmu. Tapi apakah kita mempunyai mimpi yang sama? Kau tidak pernah punya impian apa pun untuk diraih.

Rumah kontrakan kecil yang hanya mempunyai tiga ruangan, satu ruang serba guna sebagai ruang tamu-ruang makan-dapur, satu ruang kamar tidur, dan satu ruang kamar mandi menjadi sangat luas karena hanya aku penghuninya –bukan kita –. Entah sesibuk apa pekerjaanmu hingga menahan dan mencegahmu untuk pulang ke rumah. Rumah yang kita sepakati menjadi dasar membangun pernikahan kita. Makan malam yang khusus kubuatkan untukmu sudah menjadi dingin, setiap malamnya. Kopi yang kubuatkan sebagai menambah semangatmu tidak pernah tersentuh, setiap paginya. Kau tidak pernah ada.

Impianku yang sederhana saja nampaknya sulit untuk digapai. Kau tidak pernah tahu setiap pagi kujemur bantal sebelum ke kantor karena basah sisa menangis semalaman. Bukan karena aku menunggumu, bukan karena aku sedih tanpa kehadiranmu. Tapi, gunjinggan para tetangga dan teman kantor yang membicarakan kelakuanmu, suamiku.

“Mba Sri ini rajin sekali, bantal guling dijemur tiap hari. Mas-nya ngga pulang lagi ya semalam?” Sapa tetangga di pagi nan cerah.

“Maklum banyak kerjaan, Bu, Mari saya duluan.” Ucapku sambil lalu.
__

“Sri, maaf yah sebelumnya. Tapi, kamu harus tahu, kemarin kayanya aku lihat suamimu makan bareng cewe lain deh.” Teman kantor mendatangiku di kubikal pada pagi yang masih cerah.

“Paling bareng kliennya.” Ucapku tak ambil peduli.
__

Cie yang nonton bareng suami. Sombong amat!” Seru teman kantor lainnya saat makan siang nan terik.

“Hah? Nonton? Sombong? Apaan sih.”

“Tadi malam nonton bareng ama suami kan? Gw duduk tiga baris di atas lo. Gw mau samperin tapi lo udah keburu kabur.”

“Oh .. kebelet pipis.” Singkatku. Sudah setahun ini aku tidak nonton bioskop.
__

“ Mba Sri, punya saudara di daerah kemang yah?” Tanya satpam saat baru saja keluar dari kantor di sore yang mendung.

“Kemang? Kenapa, Pak?”

“Kebetulan rumah saya di daerah situ, suka lihat motor suaminya Mba Sri di sana.”

“Iya, saudara suami saya ada yang tinggal di sana. Mari, Pak saya duluan ya.”
__

Selalu saja ada kabar tentangmu yang tersampaikan ke telingaku, tidak sekalipun aku menanggapinya. Karena aku percaya padamu, suamiku. Kau tidak pernah menjaga kepercayaanku.

Terkutuklah panggilan alam di malam yang dingin, menghentikan betapa indahnya mimpi barusan. Terdengar suara bisik-bisik di ruang tamu, membuatku lupa hal yang membangunkanku.

“Telpon sama siapa sih malam-malam gini?” Tanyaku yang tampaknya membuatnya terkaget.
“Biasalah klien. Memang suka ngga tahu waktu!” Jawabmu agak terbata-bata.
“Memangnya ngga bisa ditunda sampai besok pagi?”
Urgent, Say! Udah kamu kembali tidur sana.”
“Iya, kamu juga. Besok kesiangan ngantor loh!”

Sengaja aku menunggumu tertidur, rasa penasaran membawaku mengambil BlackBerry, menggoreskan relung luka.
Mas, kayanya aku hamil deh.
PING!!!
PING!!!
Alarm berbunyi, 05.30 A.M

Aku lempar Blackberry ke arah dadanya sambil berteriak, “Bangun!”

“Mas, selama ini aku diam bukan karena aku bodoh. Diam bukan berarti tidak peduli. Aku mencoba mempertahankan pernikahan kita. Pernikahan yang dibangun atas rasa cinta kita berdua. Selama ini aku bertahan dan sekarang aku tidak sanggup lagi mempertahankannya. Untuk apa aku terus bertahan menjaga sesuatu yang tidak ada artinya bagimu. Sesuatu yang kau hancurkan begitu saja. Maaf.”

“Sri, aku bisa jelasin semuanya. Ini cuma salah paham.”

“Sudah cukup. Tidak perlu dijelasin. Sudah cukup ...”

Malam itu aku langsung naik travel pulang ke Bandung. Perjalanan malam sunyi dan sepi karena sebagian besar penumpang tertidur. Pemandangan di luar sana, begitu kelam, sekelam hatiku. Membuatku tersadar betapa bodohnya aku selama ini yang selalu membuka pintu maaf selebar-lebarnya untukmu. Karena di dasar hatiku aku masih mempercayai bahwa kau akan berubah suatu saat nanti. Aku hanya perlu bersabar dan menunggu saat itu tiba. Kau tidak pernah berubah.

Sebuah lagu berbunyi mengagetkan lamunanku, rupanya handphone pemilik salah satu penumpang yang tertidur pulas, tidak terangkat.

I don’t wanna fall in love
Just wanna have a little fun
Then you came and swept me up
And now I’m done, so done
Fallen madly deeply I
Surprised myself enough to find
That what’s begun 
Is love
And now I’m done, so done
I’m done*


Kuresapi liriknya, berharap penumpang itu tetap tertidur agar lagunya tidak berhenti. Rasanya lagu ini bernyanyi untukku. 
Aku tidak pernah meminta cinta, kau yang berikan. Kau yang berjanji untuk merajut mimpi bersama hingga keriput menghiasi wajah kita. Tapi aku lupa karena kau selalu ingkar.
Biarkan aku merajut helai demi helai mimpiku dalam kesendirian.
Kuharap kau menemukan cincin yang kutaruh di atas kulkas saat bangun nanti, karena kisah kita sudah berakhir, sudah cukup.

***
(End)

Gambar dari sini

*Lagu Pussycat Dolls dengan Judul I'm Done


01 September 2012

Aku Merindukanmu


I miss those blue eyes, how you kiss me at night
I miss the way we sleep
Like there's no sunrise, like the taste of your smile
I miss the way we breathe*



Bagiku lagu merupakan rentetan kata-kata yang dinyanyikan, meninggalkan goresan kenangan terselubung di dalam liriknya yang hanya dimengerti oleh sang empunya lagu. Menemani di sela hari-hariku. Tidak lebih dari itu. Bagimu lagu memiliki jiwa yang memberi kesan mendalam di hati tiap pendengarnya. Kerjaan menumpuk tidak mengurangi semangatmu hanya dengan lantunan sebuah lagu yang menghentak. Namun, kau juga menangis tersedu sedan saat hatimu sedang gelisah mendengar lagu sendu. Sehebat itukah lagu mengubah suasana hatimu?

And now I miss everything about you
I can't believe it, I still want you
And after all the things we've been through
I miss everything about you, without you


Perceraian kita memang tidak bisa dihindari lagi. Aku menyadari betapa hatimu sakit berulang kali karena perbuatan aku. Telah kuucapkan kata-kata janji manis yang membuat hatimu luluh dan menerimaku lagi, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya tidak ada ruang kata maaf untukku di hatimu. Bolehkah aku mengatakan aku khilaf?

Aku menikahimu karena aku memang mencintaimu. Aku pun ingin kau menjadi istri serta ibu dari anak-anak kita kelak. Menjalani hari-hari hingga keriput menghiasi wajahmu, wajahku, wajah kita.

Maaf, mungkin kau jengah mendengar kata maaf yang kuucapkan setiap kali tertangkap basah saat sedang makan bersama Ani, nonton bersama Ratna, atau membonceng Lani. Belum lagi telepon-telepon mesra di malam hari saat kukira kau sedang terbuai mimpi.

“Telpon sama siapa sih malam-malam gini?” Tanyamu mengagetkan aku.
“Biasalah klien. Memang suka ngga tahu waktu!” Jawabku meyakinkan.
“Memangnya ngga bisa ditunda sampai besok pagi?”
Urgent, Say! Udah kamu tidur lagi sana.”
“Iya, kamu juga. Besok kesiangan ngantor loh!”

Tanpa sepengetahuanku, dia mulai mengecek chat history BlackBerry, yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya.

“Bangun!” Aku terbangun karena rasa ngilu di dada. Dia melempar Blackberry ke arah dadaku.
Sekuat tenaga aku mencoba membuka mata dan mengambil apa yang telah dia lempar. Kubaca apa yang tertera di layar. Percakapan terakhirku dengan Nina.

Mas, kayanya aku hamil deh.
PING!!!
PING!!!

“Aku bisa jelasin, aku jelasin semuanya.”

“Mas, selama ini aku diam bukan karena aku bodoh. Diam bukan berarti tidak peduli. Aku mencoba mempertahankan pernikahan kita. Pernikahan yang dibangun atas rasa cinta kita berdua. Selama ini aku bertahan dan sekarang aku tidak sanggup lagi mempertahankannya. Untuk apa aku terus bertahan menjaga sesuatu yang tidak ada artinya bagimu. Sesuatu yang kau hancurkan begitu saja. Maaf.”

I see your blue eyes every time I close mine
You make it hard to see
Where I belong to, when I'm not around you
It's like I'm not with me


Betul, untuk apa mempertahankanmu sementara aku tidak bisa menjagamu. Pahit rasanya melepas kepergianmu. Wanita yang sudah menemani dan melayaniku selama tiga tahun lamanya. Tidak ada lagi gengaman tangan hangat pada malam yang dingin. Terbangun dengan suara alarm bukan tangan lembutmu yang menyentuh punggungku. Pergi ke kantor tanpa kopi dan roti buatanmu. Tumpukan baju kotor sudah siap di jemput untuk di cuci, sayangnya tidak ada yang menjemputnya sekarang. Gelas dan piring kotor masih tersebar di penjuru ruang, tidak ada yang mengangkatnya ke bak cuci.

Rumah ini dipenuhi oleh jejakmu, Sri. Bau tubuhmu menyelimuti udara di setiap ruangan, melekat di kursi, kasur, bantal, semuanya. Aku kehilanganmu. Aku merindukanmu.

I see your blue eyes every time I close mine
You make it hard to see
Where I belong to, when I'm not around you
It's like I'm not with me


Masih pantaskah aku merindukanmu? Setelah menyia-nyiakan cintamu. Penyesalan memang selalu terjadi di akhir, rasa kehilangan timbul karena dia sudah tidak ada di sampingku lagi sekarang. Sri, betapa bodohnya aku. Betapa aku membutuhkanmu sekarang. Aku merindukanmu.

And now I miss everything about you
(Still, you're gone)
I can't believe it, I still want you
(And I'm lovin' you, I never should've walked away)
After all the things we've been through
(I know it's never gonna come again)
I miss everything about you, without you


Kejadian yang lalu biarlah berlalu, semoga kamu mendapatkan jodoh yang lebih baik, jauh berkali lipat baiknya dari aku. Apakah kau tahu bahwa aku merindukanmu? Ah, sudahlah, kau tak perlu tahu.

But I never told you what I should have said
No, I never told you, I just held it in


“Mas, jangan ngelamun ah. Bahaya!” Ucapan wanita yang duduk di samping membuyarkan lamunanku. “Kamu lagi mikirin apa sih! Hati-hati dong nyetirnya, kandunganku kan lemah!”.
“Iya iya, sorry. Eh, ini lagunya siapa yah?” Sebuah lagu mengalun di radio saat kami berdua akan pergi ke dokter kandungan.
“Colbie. Kenapa?”
“Judulnya apa?”
“I Never Told You, kenapa sih. Sejak kapan kamu begitu peduli dengan lagu?”
“Ngga apa-apa Ninaku sayang.” 

Sri, akhirnya aku mengerti mengapa sebuah lagu memiliki jiwa. Lagu ini seperti membawa jiwaku kembali padamu. Aku merindukanmu, Sri.

***

(Part1)

Gambar dari sini

*Lagu Colbie Caillat dengan Judul I Never Told You