30 October 2012

Yah Inilah Profesiku


Sedari kecil sudah terbiasa diasuh oleh orang lain, mulai dari Embah Putri, Tante-tante, kakak sepupu hingga pembantu karena kedua orang tua sibuk bekerja di pabrik.

Hidup di kelilingi oleh orang-orang yang bekerja di pabrik pada waktu itu nampaknya menyenangkan. Ayah dan Ibu bertemu di pabrik, pacaran kemudian menikah. Sebagian besar pamanku juga bekerja di pabrik yang sama hingga akhirnya menemukan gadis yang aku sebut tante sekarang. Dan cita-citaku jika besar nanti aku juga ingin bekerja di pabrik yang sama.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu rasanya bekerja di pabrik tidaklah semenyenangkan seperti yang aku bayangkan saat kecil dulu. Ibu sering bertengkar dengan Ayah karena tidak pernah libur, tidak pernah ada waktu untuk keluarga, dan selalu mementingkan pekerjaan. Bahkan tidak bisa meluangkan waktunya dua jam saja dari tujuh hari untuk beribadah di Hari Minggu.

Apalagi saat kuliah, jarang sekali bertatap muka dengan Ayah. Aku bangun Ayah sudah pergi ke pabrik sebelum jam 7, Aku pulang selepas jam 9 Ayah sudah terlelap. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan aku tidak terlalu dekat Ayah.

Semakin aku bertumbuh besar, semakin yakin pula bahwa aku tidak ingin bekerja di pabrik. Walaupun aku juga tidak tahu mau bekerja dimana dan sebagai apa.

__

Hingga pada akhirnya aku memutuskan bekerja di bidang Event Organizer. Cukup sederhana kerjanya hanya mengurus acara orang. Walaupun praktek di lapangannya tidak sesederhana itu. Berhubungan dengan berbagai karakter klien yang maunya macam-macam dan tidak jarang pula suka dadakan atau tiba-tiba ada perubahan di menit-menit terakhir. Belum lagi berhubungan dengan pihak ketiga, para vendor yang suka seenaknya, merasa dibutuhkan.

Sampai pernah tertidur hingga tengah malam di percetakan menunggu mereka menyelesaikan materi promosi publikasi yang seharusnya sudah selesai sejak sore tadi.

Berperan sebagai perpanjangan tangan antara klien dan vendor seperti memancing di air keruh kalau kita tidak sigap. Bersitegang dengan mereka, para vendor merupakan makanan sehari-hari, kesalahan mereka akan menjadi kesalahan kami, tim EO di mata klien.

Nah, beda cerita jika klien yang salah  tentunya tim EO lah yang akan menanggung kesalahannya. Sekesal apa pun menghadapi permintaan klien harus tetap dijalankan dengan profesional plus senyuman, begitu kata atasanku. 
Pelanggan adalah Raja, kata pepatah antah berantah. Sedangkan EO tidak menjual produk tetapi jasa. Maka service klien lah yang menjadi modal utama kami, sebagai EO.

Penyampaian ide serta mekanisme konsep hingga eksekusi di lapangan yang melibatkan banyak pihak sering kali menimbulkan percikan konflik jika tidak pandai-pandai merendam emosi.

Entah mengapa, sekesal apa pun dengan pihak klien atau vendor, selelah apa pun dengan kerjaan menumpuk, seletih apa pun badan karena lupa makan dan ngga tidur berhari-hari menyaksikan Event berakhir dengan sukses dan lancar itu rasanya .... ah seperti bisul pecah. Antara rasa lega, bahagia, dan bangga. 
Nyatanya rasa itu bikin ketagihan, lagi, dan lagi.

Oh, iya satu hal yang pasti! Pekerjaan ini sifatnya sangat flexible. Tidak ada tuntuntan untuk ngantor. Jadi, aku bisa berada di rumah sepanjang hari jika tidak ada event. Dapat ngobrol banyak dengan Ibu dan melihat Ayah pulang kerja. Seperti hari ini yang kuhabiskan dengan menulis tentang kisah profesi.

***

Yah Inilah Profesiku

29 October 2012

Selagi Kau Terlelap


Jam menunjukkan angka 02.00 pagi di tempatmu.
Kau pasti sedang membereskan sisa-sisa abu rokok di atas meja kerjamu.
Mengumpulkan dan menyatukannya ke dalam asbak bersama puntung rokok lainnya.
Membuangnya ke tempat sampah di belakang,
Untuk kau bakar pagi nanti beserta sampah yang lainnya.
Mematikan komputer setelah menutup jendela rapat-rapat.
Keluar dari ruangan sambil membawa cangkir yang hanya berisi ampas,
Meletakkannya di tempat cuci piring begitu saja.

Jam menunjukkan angka 02.00 pagi di tempatku.
Gelas kopi tanpa ampas masih setengah gelas.
Berkutat dengan kata-kata yang kadang mengalir deras,
Kadang tersedat, kadang terbendung,
Mencoba merangkainya menjadi kalimat yang utuh,
Dan akan kupersembahkan untukmu.

Jam menunjukkan angka 03.00 pagi di kamarmu.
Kamar yang hanya berisi lemari baju dan kasur.
Tidur meringkuk ke arah kanan,
Menghadap tembok.
Tangan kirimu memeluk guling,
Tangan kananmu tersembunyi dibawahnya.
Seakan ingin menggapai (si)apa di sana.

Jam menunjukkan angka 03.00 pagi di kamarku.
Kopi dalam gelas sudah tandas.
Kantuk belum juga datang.
Kedua tangan masih menari di atas keyboard.
Berharap segera terlelap,
Merasuki alam mimpi dimana kau sudah menunggu.

Jam menunjukkan angka 04.00 di kamarku.
Sayup-sayup adzan subuh memanggil,
Jiwa-jiwa yang haus akan kebutuhan padaNya.
Kantuk masih enggan datang,
Ada yang menunda kehadirannya.
Mungkin, kantuk tahu
Tulisan ini harus terselesaikan.

Jam menunjukkan angka 05.00 di kamarku.
Sebersit sinar menyeruak melalui jendela,
Yang kubiarkan tanpa tirai.
Malam telah direnggut.
Suara ayam menyambut pagi.
Kantuk sudah di pelupuk mata.
Kumatikan laptop.
Gelas kubiarkan di atas meja.
Menyusup masuk dalam selimut,
Meringkuk ke arah kiri,
Tangan kanan memeluk guling,
Tangan kiri tersembunyi dibawahnya.

Jam menunjukkan angka 07.30 di kamarmu dan kamarku.
Wajahku mengarah ke kiri,
Wajahmu masih menghadap ke kanan.
Karena jika kau membuka mata nanti,
Ada aku di hadapanmu.
Dan di bawah guling ada tangan kita saling menggenggam.

Tiada yang lebih indah dan manis,
Saat dua manusia terbangun dari lelapnya malam,
Dengan rambut acak-acakan,
Wajah mengkilap,
Tubuh berkeringat,
Menyapa, “Selamat pagi kamu, bau acem.”
Tersenyum sambil mengecup kening.

***

23 October 2012

Aroma Malam


Tidak selamanya perpisahan itu meninggalkan luka. Tidak selamanya perpisahan itu adalah akhir dari segalanya. Aku buktinya!

Berpisah denganmu adalah jalan keluar yang terbaik bagi kita. Baik bagiku dan baik bagimu. Sudah, percaya sajalah! Lagipula itu kan yang selalu kamu ucapkan bahwa aku adalah yang terbaik untukmu dari baik yang pernah ada. Aku selalu tahu bagaimana cara mengejar apa yang aku inginkan. Aku selalu tahu dan aku selalu bisa. Sedangkan kamu hanya berkutat pada pemikiran tentang mimpi-mimpimu tanpa ada niat untuk berani mewujudkannya. Lalu serta merta menyalahkan aku atas ketidakberdayaanmu.

Aku bisa kapan saja meninggalkanmu, tapi apakah kau bisa pergi dariku?

Tidak ada rasa cinta untukmu lagi, suamiku. Kamu yang sudah mengkhianati cinta kita. Aku sudah muak pada cinta yang mengeluarkan aroma seperti bangkai. Busuk!

__

“Kalau aku punya anak nanti, kamu mau anak perempuan apa laki-laki?” tanyaku sambil bersandar pada dadanya yang bidang.

“Mau perempuan atau laki-laki sama saja. Asal jangan banci! Duh, ngga kebayang nanti dia bilang papa minta uang jajan cyinnn.” Ujarmu sambil mengelus-elus rambutku.

“Jadi kamu yakin mau nikahi aku?”

“Yakin! Kamu itu yang terbaik yang pernah ada.”

“Masa?”

“Iya, aku butuh kamu. Kita percepat saja tanggalnya yah.”

“Lah, kenapa?”

“Aku takut.”

“Takut kenapa?”

“Takut nanti kamu berubah pikiran.”

__

“Kayanya aku telat bulan ini.”

“Ko bisa?”

“Ko nanyanya ko bisa? Ya bisalah! Udah hampir setahun kita nikah kali.”

“Ah, masak aja belum bener apalagi ngurus anak.”

“Mulai sekarang harus hemat, mulai ngumpulin uang buat biaya lahiran. Katanya kalau di operasi bisa puluhan juta.”

“Ya kalau ngga ada duitnya gimana? Ngga usah paksain.”

“Makanya direncanakan!”

“Kamu tuh jadi istri nuntut terus kerjaannya.”

“Bukan nuntut itu kan bagian dari tanggung jawab kamu sebagai suami.”

“Sudah ah. Susah dapat ide kalau diam di rumah. Hari ini aku nginap di kantor saja yah bareng sama anak-anak lain juga.”

“Oh mau nginep. Besok pulang kan?”

“Belum tahu”

__

Seminggu lamanya dia menginap di kantor tanpa mau dihubungi apalagi dihampiri. Sesibuk itu kah pekerjaannya? Tidak memperkenankan istrinya sendiri berkunjung, sekedar melihat keadaannya. Alasan yang dilontarkannya sungguh tidak masuk akal, supaya dia merasa rindu padaku. Sudah seminggu berlalu, pulang ke rumah hanya untuk menukar pakaian kotor dan mengantinya dengan yang bersih. Seminggu yang menjadi sebulan. Rupanya rindu tak jua kunjung menghampirinya.

Sebulan penuh lamanya dia tidak menunjukkan batang hidungnya. Aku pun enggan menghubunginya apalagi jika harus mencarinya.
Pekerjaanku sebagai editor di majalah fashion sudah cukup menyita keseharianku dan kesunyian sudah bersahabat karib denganku. Terbiasa dengan kesendirian.
Walaupun dalam lubuk hatiku terus saja bertanya-tanya, apakah memang harus begini hidup sebagai sepasang suami-istri, apakah dengan hidup terpisah tanpa kabar darimu akan memunculkan rasa rindu yang selalu dia nantikan. Jika memang ini yang membuat dia bahagia, maka aku rela menjalaninya. Karena kamu adalah suamiku.

Tiba-tiba dia datang membawa tumpukan baju kotor beserta surat perceraian.

Apa pun alasan yang kamu kemukakan aku terimakan, pada akhirnya.
Bahwa aku hanyalah sebuah batu sandungan untuk mencapai impianmu.
Impian yang kau sendiri pun takut untuk mewujudkannya. Impian untuk menjelajahi hutan-hutan yang belum terjamah, mendaki gunung-gunung yang belum tersentuh, samudra yang belum terselami. Dengan meninggalkan semua realita yang sudah kita bangun bersama.
Aku hanya seonggok daging dalam pundakmu, membebanimu dalam tiap langkahmu.
Membicarakan dan membayangkan akan hadirnya sosok buah hati saja sudah membuatmu pusing kepala. Hanya tuntutan dan tuntutan yang ada di dalam pikiranmu. Jika kau bisa membuka mata hatimu itu adalah tanggung jawab. Adakah tujuan lain dari menikah selain mempunyai anak dan melihat pertumbuhan anak dengan masa depan yang gemilang?
Dan aku hanyalah seorang perempuan bodoh yang sayangnya telah kaunikahi, yang sialnya tidak mampu mendampingi menggapai impianmu, yang justru lebih memilih bersanding dengan realita.

Entah bermalam-malam kulalui dengan mata sembab dan hidung yang memerah. Menangisi hidupku dan waktu yang terbuang sia-sia untuk mencoba membahagiakanmu. Mengapa dia merasa tidak bahagia hidup denganku bahkan saat usia pernikahan kami belum mencapai dua tahun umurnya?

Ada sesuatu yang kosong merasuki sukmaku namun membuatku bernapas lebih lega. Menyadarkanku satu hal bahwa nyatanya kau memang tidak siap untuk menjadi seorang suami yang bertanggung jawab. Tidak layak untuk menjadi seorang ayah yang dapat mengayomi anak-anaknya kelak.
Selama ini hidupku diselimuti dan terbuai oleh aroma menyengat yang keluar dari tiap kata-kata yang kau janjikan. Menutup hidung dan akal sehatku sakin sengit aromanya. Menjauhkanku dari aroma lain yang nyatanya lebih semerbak mewangi. 

Surat perceraian sudah di tangan. Sebulan kemudian kamu datang dengan wajah brewokan, rambut acak-acakan tak terurus, perut bunyitmu menghilang, dan kusut nan kucel kemejamu. Kamu datang meminta maaf memohon ampun. Gadis lugu yang kau temukan dan kau anggap mampu mengiringi langkah menuju mimpimu itu nyatanya tidak selugu dan sebodoh pikiranmu. Sudah berapa banyak hartamu yang berhasil diraupnya hingga mengenaskan keadaanmu dan membawamu kembali padaku?
Aku maafkan setiap kesalahanmu tanpa perlu mengampuni. Pergilah jauh dari rumahku, badanmu mengeluarkan aroma tajam menusuk-nusuk hidungku, busuk.

Karena malam ini aku hanya ingin mencium angin semilir malam yang tertiup melalui dahan pohon. Aromanya menenangkan jiwa, menghanyutkanku, membawaku pada rasa kenyamanan yang tak pernah bisa aku dapatkan sebelumnya, khususnya darimu.




Kepadamu, tak pernah aku membawa cinta.
Percayalah, cinta hanya akan mengkhianati kita pada akhirnya.
Bau menyengat menusuk hidung hingga relung hati,
Hanya karena cinta telah padam.
Jangan pernah datang membawa cinta untukku.
Cinta sudah membusuk dan kubuang jauh ke sungai sepi.
Biarkan aku menikmati aroma malam
yang menentramkan gemuruh hatiku.


***

Teruntuk seseorang di sana, jangan menangisi bau busuk.
Buang jauh semuanya itu.
Peluk erat.