30 September 2013

Cappuccino Rocca and Co

Sudah lama yah engga posting pernak-pernik cappuccino. :D
Oh iya, Selamat Hari Kopi Sedunia teman-teman cappuccinoholic.

Hari ini kita jalan-jalan ke daerah Progo, Bandung yuk. Di sepanjang Jalan Progo sekarang sudah dipadati oleh berbagai macam jenis cafe. Mulai dari Tokyo Connection, Humming Bird, The Strudles, Giggle Box, Kopi Progo, ah semuanya sudah pernah. Bosan, pengin nyoba yang baru. Hemp, kebetulan banget di sampingnya Kopi Progo ada cafe baru buka, Rocca And Co. Harus diceki-ceki nih :D

Jl. Progo No 16. Foto Pribadi

Jika konsep cafe tetangganya bernuansa chick, ructic, -yang hampir di semua cafe menggunakan konsep yang sama- Rocca muncul dengan konsep berbeda, nuansa retro.

Bar Rocca and Co. Foto Pribadi

Sepintas, dilihat dari luar kaya yang kecil tempatnya. Tapi, begitu masuk cukup luas juga. Area parkir depan dapat menampung lima-enam mobil, dibelakangnya masih ada tapi karena berupa gang kecil jadi jalur keluar masuknya agak repot. Area dibagi menjadi tiga bagian, bagian depan dengan pemandangan jalan progo, bagian dalam khusus untuk non-smoking area, dan bagian belakang yang didominasi oleh warna coklat kayu serta batu bata.

Bagian depan Rocca. Foto Pribadi

Bagian dalamnya. Foto Pribadi

Bagian Belakang. Foto Pribadi

Tempat Cashiernya di dalam situ. Foto Pribadi

Akhirnya cappuccino saya datang juga,

Cappuccino Rocca And Co. Foto Pribadi

Cappuccino cantik dengan angsa sebagai latte artnya. Best cappuccino!
Cappuccino yang enak menurut saya adalah campuran antara kopi, susu, dan foamnya pas. Sehingga rasa pekatnya kopi terasa lembut manis, tidak pahit atau pahang. Dan karena ada latte art sebagai toping (apa pun bentuknya) diharuskan rasa cappuccinonya pas, tidak perlu ditambahkan lagi gula supaya latte artnya tidak rusak. Cappuccino He he he. Akh, ini kan masalah lidah yah? Kembali lagi ke selera asal.

Deal! Rocca And Co masuk ke dalam list cappuccino terenak. :D #cheers.

Daripada penasaran mending langsung saja main ke sini, yuk ke Jalan Progo No 16. Bandung.
Follow juga akunnya @RoccaAndCo

Sstt, kalau ke tempat ini kalian harus nyobain menu varian pizzanya. Enaaakkkkk semuanyaaaa :3


-Salam Cappuccinoholic-

18 September 2013

Lumrah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lumrah itu biasa lazim. Kelumrahan (baru tahu ada jenis kata ini) itu keadaan (prihal) lumrah, kebiasaan. Cek aja di sini.

Terus? Kenapa memangnya? AADL, Ada Apa Dengan Lumrah? Siapanya Pak Lurah? Begini,

Minggu lalu saya mengunjungi si pacar yang kebetulan kerjanya di Pangandaran yah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, melepas rindu sekalian liburan gitu. Kami berkendara menggunakan motor. Ada kejadian yang membuat saya berpikir dan memang kepikiran terus bahkan sampai detik saya menuliskan ini tentang kata lumrah.

"Ke mana kita hari ini?" tanya saya di gudang tempat dia bekerja.
"Ke pasir putih!" jawabnya sambil mengeluarkan motor.

"Hayu?" ajaknya keheranan karena saya masih berdiam diri menunggu.
"Ngga pake helm?" tanya saya.

Sontak dia dan anak buahnya tertawa mendengar saya melontarkan pertanyaan seperti itu. Mereka tertawa, saya kebingungan. Tanpa memperpanjang kebingungan kami pun melaju menuju pasir putih melewati jalan protokol, jalan yang sama digunakan oleh bis antarkota.

Di depan ada lampu lalu lintas yang memperlihatkan warnanya merah. Dan apakah artinya jika lampunya sedang merah, anak-anak? Iya, betul sekali! Artinya berhenti!
Tapi kami oh bukan dia (kan dia yang nyetir saya dibonceng tidak tahu apa-apa, sungguh) sama sekali tidak menggubris lampu merah yang sudah puluhan tahun berdiri sepanjang siang dan malam.

"Lampunya merah deh tadi." ujar saya lebih menyakinkan diri saya sendiri.
"Iya." katanya seperti menjawab 'jangan lupa makan, yah?'
"Terus? Kenapa engga berhenti?" lagi saya menyakinkan diri saya sendiri kalau merah itu artinya berhenti.
"Engga ada yang berhenti juga kok." ucapnya ringan seringan kerupuk yang tadi pagi kami makan.

Sebentar! Masa iya dari sepuluh kecamatan yang jumlah penduduknya sekitar 450 ribu jiwa (sumber dari sini) sama sekali tidak ada yang berhenti di lampu lalu lintas? Dan sama sekali tidak ada yang pakai helm? Padahal tepat di pintu masuk mau ke Pangandaran, persis perempatan lampu lalu lintas itu terdapat pos polisi lumayan besar. Walaupun memang tampaknya tidak berpenghuni juga sik.

Si pacar agaknya mendengar apa sedang berkecamuk dalam pikiran saya, dia menjelaskan,

"Pangandaran itu semacam little texas, di mana peraturan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak berjalan dengan maksimal. Jadi yah lumrah saja engga pake helm atau terobos lampu merah." jelasnya sambil nyengir.

Saya angguk-angguk mencerna apa yang baru saja dikatakannya, dia menambahkan,

"Gimana mau ngelanggar kan aturannya juga engga ada. Semuanya bebas di sini mah, jangan samakan dengan kondisi di Bandung."

Sampailah kami di pintu masuk taman wisata cagar alam, hanya dengan membayar Rp 7.000 per orang dapat menikmati pemandangan di dalamnya seharian. (Boleh dibilang ini murah banget untuk kawasan konservasi seluas ± 530 hektar). 

Apakah sebagian dari kalian mengernyitkan alis 'Ngapain ke sana? Apa yang mau dilihat selain pepohonan, monyet, syukur liat rusa atau binatang unik lainnya?'

Iya, tentu saja kalian hanya akan lihat apa yang terlihat tanpa tahu ada cerita apa dibaliknya. Yang terbayang adalah rasa lelahnya duluan harus berjalan sekian kilo. Ini disebabkan karena TIC (tourism information center) merupakan bangunan pajangan belaka. Tidak ada guide yang stand by (entah karena pas kami ke sana di hari kerja pada jam kerja pula). Dan agaknya jasa guide hanya disediakan untuk wisatawan asing saja, memangnya wisatawan domestik tidak butuh info apa gimana? 
Kembali ke harga masuk yang murah banget pantas saja kawasan menjadi sangat tidak terpelihara dengan baik, minim budget untuk biaya operasional kali yah. Seharusnya perum perhutani dan dinas pariwisata bekerja sama melakukan 'sesuatu'. Pangandaran termasuk dari salah satu kawasan DMO (Destination Management Organization) loh yang visinya kaya Agnes 'Go International'. Nah, kan mulai ngelantur.

Singkat cerita, sebelum jauh memasuki ke dalam hutan cagar alam menuju pasir putih si pacar sibuk ngubek-ngubek mencari kayu sambil berpesan masukin semua kresek ke dalam tas. (sebelumnya kami belanja minuman dan cemilan).

"Buat apa bawa kayu?"
"Nanti kamu juga tahu." katanya sok misterius.

Belum sampai sepuluh menit, kami disambut para monyet, ulang! segerombolan monyet yang menatap nyalang dengan rasa ingin tahu yang besar pada tas kami. Dengan sigap si pacar berulang kali menghentakkan kayu hingga mereka (baca: para monyet) berhamburan pergi ketakutan.

Mereka, para monyet pergi, si pacar melanjutkan perjalanan, saya (lagi) kebingungan.

Bayangkan, seandainya saya pergi sendirian atau bersama teman-teman tanpa si pacar tanpa penduduk lokal. Akan ada adengan tarik menarik antara kami versus monyet. Dan bagaimana dengan wisatawan lain yang tidak tahu menahu kebringasan monyet penghuni cagar alam? Tidak ada info apa pun bagi para wisatawan mengenai hal ini. (sangat disayangkan padahal ini penting banget menyangkut keselamatan!)

Si pacar agaknya mendengar lagi apa sedang saya pikirkan, atau sebenarnya memang saya bersuara, entahlah, tapi dia bilang gini,

"Perangai monyet seperti itu disebabkan oleh wisatawan juga kok. Sudah ada larangan untuk tidak memberi makan tapi tetap saja ada yang bandel. Jadinya si monyet merasa lumrah untuk mengambil makanan orang bahkan merebut paksa."

Lagi! Kata lumrah yang terucap. 

Mungkin, para wisatawan itu juga berpikir lumrah saja memberi makan monyet penghuni cagar alam tanpa tahu akibat ke depannya apa sebab tidak adanya info yang menerangkan demikian. Sama halnya dengan si monyet yang merasa lumrah mengambil makanan bahkan barang milik wisatawan, kelumrahan. 

Jadi, intinya adalah kata lumrah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya demografi, geografi, lingkungan, kondisi yang membuat sesuatu akhirnya menjadi biasa karena terbiasa atau dijadikan biasa (agak belibet engga sik?). Apa yang lumrah bagi saya belum tentu lumrah bagi kalian. Saling melumrahi sajalah yah, (mulai tervickykan).

***

[Lanjutan]
Karena gagal mengambil makanan si monyet mengambil pasta gigi si pacar.
Dan si monyet lainnya mengambil kaos bule yang lagi dijemur karena si bule engga punya makanan. 
Entah harus ketawa atau marah.

*

Embedded image permalink
Akhirnya santai di pasir putih setelah melewati barikade monyet :D

04 September 2013

Kamar Hotel

Kamar  202

Apa salahnya jika perempuan seperti aku menginap sendirian hanya dengan membawa satu tas kecil. Untuk apa membawa begitu banyak barang jika hanya akan menghabiskan satu malam saja, merepotkan. Aku bisa melihat di dalam kepalanya bertaburan tanda tanya. Entah dia mempertanyakan bawaanku berupa satu tas kecil saja atau tujuan aku menginap dan akankah ada tamu lain yang ikut menginap. Dasar resepsionis kepo! Urus saja bagaimana meningkatkan pelayanan di hotel ini daripada mengurusi tamu. Huh.

Ada apa sih dengan seorang perempuan yang menginap di hotel sendirian? Memangnya aneh yah? Nah kan apa kubilang perempuan itu seorang diri juga. Mengapa dia melempar senyum sarat pertanyaan. Mau tak mau aku pun membalas senyumnya. Ditangannya ada dua rokok merek berbeda, rupanya ada seseorang yang menunggu di dalam.

Kamar 203

“Ada rokoknya?”
“Ada. Eh, barusan ada cewek cek in sendirian loh.”
“Mana rokoknya? Terus?”
“Nih. Keliatannya cewek baik-baik, engga kaya perek. Ngapain yah dia nginap di sini? Apa dia sama kaya kita?  Mau kopi?”
“Engga.”
“Jangan-jangan dia kabur dari rumah hempp atau diusir. Soalnya dia engga bawa baju, cuma tas kecil doang. Mana mungkin dalam tas sekecil itu muat baju, belum peralatan mandi, make up, ya kan kamu tau sendiri peralatan cewek itu banyak. Heh! Dengerin aku engga sih?”
“Sini ...” tangannya menepuk pinggiran kasur mengundangku duduk di sampingnya.
Dia berkata, “Sudahlah untuk apa mengurusi orang. Yang perlu kamu urus itu aku.”
“Tapi, hunny....” Bibirnya melumat kata-kata yang belum sempat kuucapkan, tangannya mulai bergerilya membuka satu persatu pakaian yang menjadi penghalang tubuh kami menyatu. Ah, semoga saja suami sering-sering dinas ke luar kota, aahhh ....

Kamar 205

Sial! Mereka melakukannya lagi! Terkutuk dinding tipis hotel. Shit! Mengapa kantor merekomendasikan hotel sekelas melati. Seharusnya untuk sekaliber pegawai loyal seperti aku, kantor menyediakan akomodasi minimal berbintang dua.
Desahannya semakin keras, dinding semakin bergetar, kuat banget tuh laki? Ini sudah ketiga kalinya! Apakah mereka memakai gaya konvensial, woman on top, atau doggie style. DAMN! Mengapa aku jadi membayangkannya?!!? Arrghh!

Fokus! Presentasi besok akan menjadi penentu jenjang karirku. Fokus! Data statistik tahun lalu mencapai kenaikan hingga 20 persen. Hal ini disebabkan adanya pergeseran dalam strategic market position. Posisi seperti apa kira-kira yang digunakan untuk menghasilkan desahan bikin merinding. Aarrggg!!! Fokus!!! Harus dihentikan.

Ada baiknya mungkin jika,
“Halo, hei sudah tidur?”
“Halllooooo, belum. Kenapa, ada apa, sayang?”
“Engga, susah tidur. Lagi apa?”
“Lagi ngecek hasil ulangan anak-anak kemarin. Gimana bahan presentasinya, beres?”
“Begitulah. Aku kangen!”
“Hahaaaaa....”
“Kok ketawa?”
“Ahahhaa. Sayang, kamu itu bilang kangen hanya kalau lagi pengin doang. Aku sibuk. Pake sabun aja gih.”
Fuck!!!

Kamar 202

Aku sudah di kamar dua kosong dua tepat jam sepuluh malam seperti permintaannya. Seharusnya dia sudah berada di sini satu jam yang lalu. Jauh-jauh aku terbang dari Jakarta menuju kotamu. Menemuimu. Lalu meninggalkanmu esok pagi. Cepatlah datang.

Kamar 203

“Hunny, tidur?”

Hanya dengkuran halus yang terdengar. Kebiasaan deh setelah puas kemudian pulas. Apakah ini pendengaranku saja atau memang cewek di depan kamar itu bolak-balik membuka pintu kamar?
Apakah dia sedang gelisah? Menunggu room service atau tamu yang tak kunjung datang?
Masih muda rupanya. Cantik. Familiar, pernah ketemu di mana yah?

Kamar 202

Sudah tengah malam, masih belum nampak juga batang hidungnya. Mungkinkah dia lupa nomor kamar yang dipesan atas namanya sendiri? Koridor lantai dua ini begitu sepi. Bias lampu temaram, hening mencengkram. Para tamu hotel nampaknya sudah terlelap, aku masih terjaga. Menunggumu.

Sebuah pesan masuk,

“Kamar 202 kan?”

Sudah berulang kali kubalas pesannya, iya aku ada di kamar dua kosong dua sesuai dengan permintaannya. Mengapa dia terus saja mempertanyakan perkara nomor kamar. Yang seharusnya bertanya itu aku, kapan kamu datang? Sambil menunggu kedatangannya, kembali aku melihat pesan-pesan masuk darinya.

“Bisa datang? Banyak masalah yang saya hadapi. Butuh kamu.”

“Senangnya, kamu mau meluangkan waktu. Saya pesankan hotel untukmu. Semalam saja? Yakin? Jangan lupa bawa memori card.”

“Hotel Melati kamar 202. Saya datang jam 10.”

“Sudah datang? Maaf tak bisa menjemput di bandara. Rapat parlemen terus menguras waktu saya. Sabar. Kamar 202 kan? Secepatnya saya ke sana.”

“Kamar 202 kan?”

*

Lobby Hotel

“Maaf, atas ketidaknyamanannya. Untuk sementara semua tamu tidak diperkenankan meninggalkan hotel sampai penyelidikan selesai”, pesan Bapak Polisi bertubuh gempal menggantikan posisi resepsionis.

“Pak, saya harus pergi sekarang. Ada rapat penting yang harus saya presentasikan. Pekerjaan saya taruhannya. Hidup mati saya bergantung pada rapat ini, Pak.” protes seorang tamu berpakaian parlente.

“Perempuan yang mati terbunuh itu bergantung pada kami. Semakin cepat kami mengungkap pembunuhnya semakin cepat Anda keluar dari sini. Jadi, kami mohon kerjasamanya. Terima kasih.” Hardik seorang polisi intel yang bertompel besar menyembul di balik jaket kulit hitam.

Sementara itu,

“Hunny, aku takut.” Bisik seorang tamu perempuan berwajah pucat.

“Tenang, kalau kamu tenang mereka tidak akan bertanya macam-macam pada kita. Mereka akan berpikir bahwa kita adalah sepasang suami istri bernasib sial karena menginap di hotel yang salah untuk liburan.” Ucap seorang tamu berwajah brewok menyakinkan tamu lain di sebelahnya.

“Tapi ....”

“Kalau kamu tenang, mereka tidak akan menyangka bahwa kita sedang selingkuh. Istriku dan suamimu tidak akan tahu. Lagipula kasus pembunuhan perempuan di kamar hotel hanya akan ada di kolom kecil, berlalu dan dilupakan orang dalam dua hari tertumpuk dengan kasus korupsi dan kasus lainnya.”

“Hunny! Bukan itu yang aku takutkan!”

“Jadi apa yang kamu takutkan?”

“Pembunuhnya....”

“Hah? APA!”

“Sssttt, pelankan suaramu. Semalam engga bisa tidur, cewek di depan bolak-balik buka pintu kamar terus. Nunggu seseorang pasti. Aku penasaran jadi aku ngintip sampai datang seorang lelaki. Sstt, dia datang.” tangannya mencengkram lengan tamu di sebelahnya sambil berbisik.

“Siapa? Yang mana?”

“Yang bertompel di lehernya.”

“Hah?”

“Selamat pagi Ibu, Bapak. Terima kasih sudah menunggu, silakan ikut saya untuk proses interograsi lebih lanjut.” Sapa polisi intel bertompel.


***