24 December 2013

Malam Natal 2013

Dua tahun terakhir ini saya berada di rumah pada Malam Natal. Tidak ada perayaan khusus untuk merayakannya selain tepat tengah malam nanti kami sekeluarga duduk bersama, berpegangan tangan, dan menaikkan Doa. Mengucap syukur untuk satu tahun yang telah terlewati. 

Malam Natal kali ini tidak ada yang istimewa bagi saya, semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mama dan Papa menonton Tivi di bawah, Oki dan saya sibuk dengan laptopnya sendiri. Akan tetapi itu sudah membuat Mama dan Papa bahagia karena kami semua sekeluarga akhirnya dapat berkumpul di rumah.

Natal adalah harapan akan keselamatan dan bukti kasih Tuhan kepada umatNya. Tidak perlu pesta hingar bingar untuk merayakannya. Cukup dengan kesederhaan, kerendahan hati, suka cita, dan damai.

Selamat Hari Natal 2013.


Foto dari google

***



22 December 2013

Ada Namaku Disebut

Kemarin malam, Adik saya, Oki pulang teramat larut. Karena Miki, anjing saya teramat girang menyambut kedatangan Oki maka Mama dan Papa pun terbangun oleh gonggongannya. Entah sebab alasan mimpi indah mereka terganggu atau memang sudah waktunya untuk menegur kelakuan Oki. Pasalnya, semenjak menginjak bangku perkuliahan kesibukan Oki melebihi orang yang bekerja. Pergi pagi dan pulang di saat penghuni rumah sudah terlelap dengan dalih sibuk ngerjain tugas. Bener kah?

Prosesi tegur menegur menjadi alot karena (salahnya) Oki menjawab terus,

"Sibuk apa sih kamu? Kuliah ngalahin orang kerja! Bener ngerjain tugas?" tegur Mama.
"Ah, alasan. Paling juga nongkrong!" samber Papa.
"Bener ngerjain tugas kok! Ya udah kalo ngga percaya mah!" balas Oki agak nyolot.
"Dikasih tahu orang tua ngelawan!" Mama mulai emosi.
"Enggak ngelawan kok!" jawab Oki agak ketus.
"Kamu pikir Papa bodoh! Mana ada kuliah sampai tengah malam! Alasan mejeng doang!" Papa jadi emosi.
"Malu tahu sama tetangga pulang tengah malam!" sahut Mama.
"Mending kalo ngehasilin duit!" Papa memanas.
"Ngga ingat dulu kamu, Mama marahin Kakak pulang malam terus! Sekarang kamu malah lebih parah."

Kakak? Kenapa saya jadi disebut-sebut?

"Papa udah tua, pengen pensiun. Cape kerja terus, kamu tahu ngga? Mikir, Ki! Dewasa sedikit bisa ngga? Kalau Papa pensiun siapa yang bayar kuliah kamu! Papa kuliahin kamu biar kamu bisa diandalkan. Kalau gini terus mau jadi apa kamu?!?"

Deg!
Tiba-tiba saya merasa tersindir oleh perkataan Papa. Selama ini saya berpikir sudah cukup mapan dengan membiayai sendiri keperluan saya, dengan tidak meminta lagi kepada mereka. Namun, nyatanya saya hanyalah semacam parasit lajang, mengutip dari Buku Ayu Utami. Masih tinggal bersama orang tua yang artinya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal termasuk air-listrik-cucian, makan, bahkan perlengkapan mandi di usia yang tidak lagi remaja. 

Pembicaraan semakin memanas tapi terdengar sayup-sayup karena saya tenggelam bersama pikiran saya. Hingga akhirnya dikejutkan gebrakan meja. Amarah memuncak! 

Dan pagi tadi saya dibangunkan oleh suara gaduh yang entah sebabnya apa mungkin sisa emosi semalam namun efeknya jelas sangat terasa,

"Baru bangun? Engga bisa bangun lebih pagi apa? Udah tahu pagi-pagi riweuh, mau ke Gereja bukannya bantu-bantu Mama dulu ngurus rumah!"
"Ya kenapa ngga dibangunin pagi-pagi?" balas saya asal masih ngumpulin nyawa udah disembur omelan.
"Inisiatiflah! Bangun siang, rezekinya dipatok ayam!"
"..."

Di mobil menuju ke Gereja, kami, Mama-Papa-Saya, sepanjang perjalanan diam dan disibukkan dengan pikiran masing-masing. Bukankah seharusnya memasuki Rumah Tuhan disertai rasa damai?

Begitu memulai beribadah, perlahan emosi saya mereda, dan saya yakin emosi mereka pun sirna. Saat sedang Doa Syafaat (menaikkan doa untuk orang lain; bangsa dan negara, gereja, anggota jemaat yang lain, dll) kertas buletin gereja saya terjatuh tepat di kaki Mama. Ketika hendak mengambil kertas, samar-samar saya mendengar nama saya disebut, Berkati Eva dalam pekerjaannya supaya namaMu dimuliakan, dekatkan Eva dengan jodoh yang seiman dan sepadan sesuai dengan kehendakMu, Tuhan....

Deg!
Rasanya seperti ah rasanya seperti ... yang pasti mata saya tiba-tiba kelilipan.
Selesai ibadah, saya langsung memeluk Mama mengucapkan Selamat Hari Ibu, Mama membalas pelukan dengan hangat, membelai rambut saya sambil berkata, "Mama pengen rainbow cake." Seakan tidak ada kejadian apa-apa pagi tadi. Ah, that is the reason why I love her so much, superb Mama.

Dan, iya hari ini berketepatan dengan Hari Ibu yang juga Hari Ulang Tahun Embah ke delapan puluh tahun, saya hanya mampu mengucapkan Selamat Ulang Tahun Embah, semoga selalu diberikan kesehatan, dan Selamat Hari Ibu untuk semua kaum Ibu, teruntuk Embah, khususnya Mama. Wanita terhebat!


Happy Birthday Embah and Happy Mother's Day, Mam. :D

***

19 December 2013

Gila

Siang yang terik agaknya membuat emosi orang-orang mulai memanas. Dapat kulihat asap membumbung keluar dari tiap orang membentuk kata cacian dan makian yang entah ditujukan kepada siapa. Semua orang menggila.

Sepasang kekasih saling meneriaki hingga muka keduanya merah padam. Si lelaki mulai menunjuk-nunjuk tepat di hidung si perempuan hingga matanya berkaca-kaca. Pecahan kaca yang keluar dari mata perlahan menggores pipi si perempuan. Darah mengucur mengenai telunjuk si lelaki yang kemudian dijilatnya. Aku panik! Aku mual! Orang-orang melihat dan menikmati romantisme sepasang kekasih seakan mereka sedang saling menyuapi ice cream strawberry sundae. Gila! Semua orang jadi gila!

Seorang gadis belia tiba-tiba saja menyanyi sambil menari, mengajak orang-orang di sekitarnya untuk ikut berdansa bersama. Namun, orang-orang terlalu egois, menutup diri, dan memandang gadis ceria itu penuh kecurigaan. Hal itu yang membuat si gadis tersinggung dan mulai memukul-mukul orang di sekitarnya dengan sapu. Aku panik! Aku muak! Apa sih yang ada di dalam pikiran orang-orang ini? Apa salahnya dengan si gadis, lagi-lagi mereka hanya melirik seakan si gadis hanyalah tukang sapu jalanan. Gila! Semua orang menggila!

Seorang ibu berulang kali menampar anaknya di depan publik dan tidak ada seorang pun yang peduli terhadap kejadian tersebut. Mereka, orang-orang yang telah dibutakan nuraninya. Aku muak! Aku murka! Kali ini aku tidak bisa tinggal diam dan membiarkan hal itu. Mereka sama sekali tidak peduli seakan si Ibu sedang mendandani si anak. Demi Tuhan di mana letak hati nurani orang-orang! Semua orang menggila!

Belum juga tanganku meraih si anak, ada sepasang tangan yang menyergap kedua tanganku. Apa-apaan ini!!! Bukan aku yang harusnya kalian tangkap! Tapi Ibu itu! Orang-orang itu! Bukan aku!!! Semua orang telah menggila!!! Bukan aku yang seharusnya kalian tangkap!


Foto dari google

18 December 2013

Rinjani

Apakah kalian setuju dengan pendapat love is blind? Hahahahaaa, aku rasa hanya anak-anak remaja saja yang sedang kasmaran ala cinta monyet yang mengatakan demikian. Bukan, bukan sinis tapi realis, Nona!
Cinta itu tidak buta! Cinta itu bodoh! Menjadi bodoh atau membodohi diri sendiri. Yah semacam itulah.

Mari aku perkenalkan dengan seorang wanita yang nampaknya berhasil membuat kepintaranku memudar di hadapannya, aku tekankan sekali lagi hanya di hadapannya saja. Rinjani namanya, tinggi semampai, rambut hitam panjang selalu di kuncir kuda. Entahlah mengapa di sebut kuncir kuda, mungkin karena ada kesamaan dengan ekor kuda? Perangainya seperti ombak, ketika surut riak-riak kecilnya sungguh menggemaskan. Menjengkelkan dibuatnya ketika emosinya sedang pasang.

Apa? Jangan berasumsi terlalu jauh. Aku hanya menyukai sosoknya yang supel, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan dibuat nyaman olehnya. Tidak. Tidak! Oh tentu saja aku tidak mencintainya, atau setidaknya belum. Ah, jangan sampai! Masalahnya adalah yah dia mampu membuat aku merasa bodoh dan cerdik menutupi kesalahannya seakan itu bukan kesalahannya.

"Halo, aku udah di dekat terminal nih. Kamu jadi jemput aku?" tanyanya di telepon.
"Udah di terminal kok." balasku sambil menantikan kedatangan bis yang ditumpanginya.
"Ini udah di terminal, kamu di mana?" tanyanya agak panik.
"Sebelah kanan." ujarku sambil melambai ke arah bis yang baru datang.
"Mannaaaa? Aku ngga liat??????" suaranya panik.
"Aku lihat kamu kok, duduk di bangku kedua kan? Aku di kanan!" menghela napas.
"Iya! MANA!?!?" semakin panik dan kesal.
"Jan, Rinjani kanan oi kanan!!! Kamu liat ke kiri itu!" ucapku kesal menahan tawa.
"Ngomong dong dari tadi!!!!" 
"Aku kan ... kan tadi ...."
"BERISIK!"

*

"Jadi, gimana di perjalanan? Cape?" tanyaku mengalihkan emosinya.
"Cape lah, duduk terus, pantatnya kebakar!" serunya sambil lalu.
"Kebakar? Kebakar gimana?" ujarku penuh tanda tanya.
"Panas maksudnya!" ralatnya masih sambil lalu.
"Oh, panas kirain kebakar. Panas sama kebakar kan beda."
"Tapi kamu ngerti kan maksud aku????" tegasnya.
"Iya, maaf yah."
"Hemphh."
"...."

*

"Jan ...."
"Yah?"
"Boleh tanya?"
"Ya bolehlah, tanya apa sih?"
"Tapi kamu jawabnya serius."
"Kalau dua rius boleh ngga?"
"Ih, serius ah!"
"Kenapa sih? Mau tanya apa sih? Kok jadi kikuk gitu? Emangnya mau tanya apa? Pasti kamu mau tanya sesuatu yang bikin aku marah, aku kesel, mau ngomongin masa lalu? Kerjaan? Apa sih cepetan ngomong! Jangan bertele-tele deh. Ayo, cepetan tanya!"
"Ngga jadi!"
"Kenapa? Takut aku tersinggung yah? Ngga apa-apa kok, sok tanya aja. Selama aku bisa jawab aku bakalan jawab kok, beneran. Kamu mau tanya apa sih tumben pake minta ijin dulu. Ayo tanya akoh tanya akoh dong!"
"Kadang aku bingung ngehadapin emosi kamu yang naik turun secepat itu. Kaya naik roller coaster tahu."
"Wah, roller coaster. Terakhir naik itu waktu es em pe deh."
"Oh yah?"
"Iya, perpisahan es em pe ke Dufan seru banget lah ada yang sampai nangis, muntah-muntah. Ahahahaaa. Kamu kapan ke Dufan?"
"Ngga ingat, udah lama banget."
"Oh, ya udahlah yah. Ngantuk nih. Tidur aja yuk!"
"Heemm, iya. Selamat tidur."

Rasanya sudah cukup sampai di sini perkenalan kalian dengan Rinjani. Masih banyak yang ingin kuceritakan namun malam datang lebih cepat, lagipula ada beberapa kisah yang ingin kusimpan hanya untukku sendiri. Well, love is not blind.  Seperti dalam lirik lagunya Robbie Williams, something stupid like I love you.


***


08 November 2013

Cappuccino Braga Huis

Logo Braga Huis. Foto Pribadi.

Postingan Pernak-pernik Cappuccino sebelumnya, saya membahas Cappuccino Rocca and Co di daerah Progo. Kali ini kita jalan-jalan di seputaran daerah Braga. Iya, rasanya hampir semua orang khususnya orang Bandung mengenal jalan ini karena peninggalan bangunan Belandanya yang kental dan galeri seni lukisnya di sepanjang jalan. Tak heran banyak wisatawan asing apalagi domestik suka berfoto ria di sana. Dan memang kerap kali dijadikan lokasi untuk foto pre-wedding.

Sampailah saya pada sebuah bangunan heritage yang berlogo Braga Huis. Cafe Resto yang ternyata sudah berdiri sejak tahun 2011 memang sangat menjaga bangunan aslinya. Berada di sana serasa sedang bertamu ke rumah orang Belanda pada jamannya ditambah dengan playlist alunan jazz klasik. Kata Huis itu sendiri artinya rumah dalam Bahasa Belanda.

Jadi, seperti apa sih atmosphere di dalamnya. Yuk kita intip,

Penampakan luar. Foto dari wikimapia.

Interior di dalamnya. Foto Pribadi.

Interior di dalam. Foto Pribadi.

Interior di dalamnya. Foto Pribadi.

Interior di dalamnya. Foto Pribadi.

Tempatnya barista racik kopi. Foto Pribadi.

Begitu masuk aroma kopinya kentara banget tercium. Walaupun interiornya macam Tuan Noni Belanda tapi menu yang disajikan bukan khas belanda kok, cukup variatif lah. Mulai dari aneka nasi goreng, aneka mie, kwetiau, sop buntut sampai steak. Sayangnya, menu lightmeals yang ditawarkan tidak terlalu banyak ragamnya. Harusnya ada bitter balen sebagai salah satu makanan khas Belanda. Lagipula tujuan saya ke sini bukan nyari makan melainkan nyari cappuccino. 

Nah, yang khas dari Cafe Resto ini adalah kopi nusantaranya. Ada Kopi Aceh Gayo, Bali Kintamani, Toraja Kalosi, dan Sumatra Lintong. Biji kopi terpilih asli dari Indonesia. Untuk alatnya mereka menggunakan alat dari luar negeri seperti French Press alat penyaring kopi khusus dari Perancis. Lalu Syphon alat mengolah bubuk kopi dengan cara diluapkan dan Vietnamese Drip, alat pengolah bubuk kopi dari Vietnam. Itu sebab logonya Braga Huis adalah alat glinder kopi.

Menu Kopi Nusantara. Foto Pribadi.


Ah, cappuccino pesanan saya sudah datang. Penampakan latte artnya kurang rapi, mungkin milk foamnya kurang panas atau barista masih dalam proses belajar. Aromanya harum dan kuat banget. Rasanya pas. Manis, pahit, pekatnya pas, tidak perlu menambahkan lagi gula. Terkadang saya suka jengkel sendiri kalau menemukan cappuccino pahit, harus dikasih gula yang artinya akan merusak keindahan latte art. 
Well, dengan datangnya pesanan saya maka berakhir juga tulisan ini. Nambah lagi koleksi cappuccino latte art saya. Mari ngapucino. #Cheers.

Cappuccino Braga Huis. Foto Pribadi.

Penasaran? Datang saja langsung ke Jalan Braga No. 47 Bandung
Untuk info detail follow twitternya @BragaHuis



-Salam Cappuccinoholic-

10 October 2013

Kebanggaan

Ketika dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, apa arti kebanggaan bagi saya? Terus terang saya agak mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Ada banyak kejadian yang membuat saya merasa harus bangga pada diri sendiri. Pasalnya adalah saya termasuk tipe orang yang sederhana, yang cepat puas terhadap kinerja diri sendiri kemudian membanggakannya kepada orang lain. 

Contoh, saat pertama kali naik angkutan umum sendiri ke sekolah, saya luar biasanya bangga atas keberanian dan kemandirian saya. Namun, respon teman-teman ketika mendengarnya menganggap hal tersebut adalah sepele, tidak ada yang patut dibanggakan dari seorang anak yang naik angkutan umum. 

Mereka berpendapat seperti itu karena tidak tahu latar belakang saya yang terbiasa diantar-jemput oleh supir jemputan sebelumnya. 
Nah, bayangkan seorang anak yang mau sekolah tinggal menunggu jemputan datang ke rumah, duduk manis di mobil, lalu sampailah ke sekolah. Begitu pun ketika pulang sekolah diantar hingga ke rumah. 
Sampai ada kejadian, supir jemputan mendadak sakit, tidak ada satu orang pun yang dapat mengantarkan ke sekolah. Masa iya jadi tidak sekolah? Sejujurnya, ya lebih baik bolos karena ketidaktahuan jalan menuju ke sekolah belum lagi ketakutan tersesat, diculik, dan sebagai sebagainya. Namun, ada sesuatu yang menggerakkan si anak ini untuk bisa ke sekolah bagaimanapun caranya. 
Jadi, sudah sepantasnya saya merasa bangga pada waktu itu berani naik angkutan umum dan sampai di sekolah dengan selamat walaupun sedikit telat. :D

Contoh lain, ketika tulisan saya dikritik habis-habisan oleh teman yang kebetulan berkecimpung dalam dunia kepenulisan, yang mengatakan bahwa tulisan saya jauh dari layak, entah dari segi karakter, cerita, diksi, tanda baca, pokoknya tidak ada satu bagian pun yang terlewatkan untuk dikomentarin. Satu hal yang terbersit dalam pikiran saya, bagaimana pun caranya tulisan ini -yang dia bilang tidak layak- harus lolos seleksi!
Dan nyatanya tulisan saya, "Kopi Jingga" lolos seleksi kemudian dijadikan buku Antologi "In The Name Off Love". Siapa coba yang tidak merasa bangga jika karyanya diapresiasi oleh orang banyak? Sudah selayaknya saya merasa bangga, lagipula ini merupakan buku Antologi pertama saya. Silakan cari di toko buku terdekat kalau mau baca, lah malah jadi promosi :D. Iya dong sebagai salah satu bentuk bangga akan hasil karya sendiri.

Kesimpulannya, kebanggaan bagi saya sifatnya personal. Setiap orang pasti punya standarisasi kebanggaannya masing-masing. Perbedaaan standarisasi inilah yang membuat satu kejadian menjadi momen membanggakan atau kejadian lumrah, yang berlalu begitu saja. Ada rangkaian proses sebab-akibat yang menjadi titik awal sebelum kita melakukan suatu perbuatan atau usaha. Perbuatan atau usaha yang hasil akhirnya tentu saja membanggakan.
Jika kita tidak bangga atas jerih payah usaha kita sendiri bagaimana orang lain dapat menghargai dan ikut merasa bangga juga?

Seperti tokoh Lena dalam Buku Cine Us berharap dapat memenangkan Lomba Festival Film Remaja agar bisa membanggakan dirinya pada teman-teman yang tidak percaya akan kemampuannya.

Sebagai penutup tulisan, mari kita tonton Cine Us Book Trailer :D







***

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Artikel CineUs Book Trailer Bersama Smartfen dan Noura Books. Cek di sini untuk lengkapnya.

30 September 2013

Cappuccino Rocca and Co

Sudah lama yah engga posting pernak-pernik cappuccino. :D
Oh iya, Selamat Hari Kopi Sedunia teman-teman cappuccinoholic.

Hari ini kita jalan-jalan ke daerah Progo, Bandung yuk. Di sepanjang Jalan Progo sekarang sudah dipadati oleh berbagai macam jenis cafe. Mulai dari Tokyo Connection, Humming Bird, The Strudles, Giggle Box, Kopi Progo, ah semuanya sudah pernah. Bosan, pengin nyoba yang baru. Hemp, kebetulan banget di sampingnya Kopi Progo ada cafe baru buka, Rocca And Co. Harus diceki-ceki nih :D

Jl. Progo No 16. Foto Pribadi

Jika konsep cafe tetangganya bernuansa chick, ructic, -yang hampir di semua cafe menggunakan konsep yang sama- Rocca muncul dengan konsep berbeda, nuansa retro.

Bar Rocca and Co. Foto Pribadi

Sepintas, dilihat dari luar kaya yang kecil tempatnya. Tapi, begitu masuk cukup luas juga. Area parkir depan dapat menampung lima-enam mobil, dibelakangnya masih ada tapi karena berupa gang kecil jadi jalur keluar masuknya agak repot. Area dibagi menjadi tiga bagian, bagian depan dengan pemandangan jalan progo, bagian dalam khusus untuk non-smoking area, dan bagian belakang yang didominasi oleh warna coklat kayu serta batu bata.

Bagian depan Rocca. Foto Pribadi

Bagian dalamnya. Foto Pribadi

Bagian Belakang. Foto Pribadi

Tempat Cashiernya di dalam situ. Foto Pribadi

Akhirnya cappuccino saya datang juga,

Cappuccino Rocca And Co. Foto Pribadi

Cappuccino cantik dengan angsa sebagai latte artnya. Best cappuccino!
Cappuccino yang enak menurut saya adalah campuran antara kopi, susu, dan foamnya pas. Sehingga rasa pekatnya kopi terasa lembut manis, tidak pahit atau pahang. Dan karena ada latte art sebagai toping (apa pun bentuknya) diharuskan rasa cappuccinonya pas, tidak perlu ditambahkan lagi gula supaya latte artnya tidak rusak. Cappuccino He he he. Akh, ini kan masalah lidah yah? Kembali lagi ke selera asal.

Deal! Rocca And Co masuk ke dalam list cappuccino terenak. :D #cheers.

Daripada penasaran mending langsung saja main ke sini, yuk ke Jalan Progo No 16. Bandung.
Follow juga akunnya @RoccaAndCo

Sstt, kalau ke tempat ini kalian harus nyobain menu varian pizzanya. Enaaakkkkk semuanyaaaa :3


-Salam Cappuccinoholic-

18 September 2013

Lumrah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lumrah itu biasa lazim. Kelumrahan (baru tahu ada jenis kata ini) itu keadaan (prihal) lumrah, kebiasaan. Cek aja di sini.

Terus? Kenapa memangnya? AADL, Ada Apa Dengan Lumrah? Siapanya Pak Lurah? Begini,

Minggu lalu saya mengunjungi si pacar yang kebetulan kerjanya di Pangandaran yah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, melepas rindu sekalian liburan gitu. Kami berkendara menggunakan motor. Ada kejadian yang membuat saya berpikir dan memang kepikiran terus bahkan sampai detik saya menuliskan ini tentang kata lumrah.

"Ke mana kita hari ini?" tanya saya di gudang tempat dia bekerja.
"Ke pasir putih!" jawabnya sambil mengeluarkan motor.

"Hayu?" ajaknya keheranan karena saya masih berdiam diri menunggu.
"Ngga pake helm?" tanya saya.

Sontak dia dan anak buahnya tertawa mendengar saya melontarkan pertanyaan seperti itu. Mereka tertawa, saya kebingungan. Tanpa memperpanjang kebingungan kami pun melaju menuju pasir putih melewati jalan protokol, jalan yang sama digunakan oleh bis antarkota.

Di depan ada lampu lalu lintas yang memperlihatkan warnanya merah. Dan apakah artinya jika lampunya sedang merah, anak-anak? Iya, betul sekali! Artinya berhenti!
Tapi kami oh bukan dia (kan dia yang nyetir saya dibonceng tidak tahu apa-apa, sungguh) sama sekali tidak menggubris lampu merah yang sudah puluhan tahun berdiri sepanjang siang dan malam.

"Lampunya merah deh tadi." ujar saya lebih menyakinkan diri saya sendiri.
"Iya." katanya seperti menjawab 'jangan lupa makan, yah?'
"Terus? Kenapa engga berhenti?" lagi saya menyakinkan diri saya sendiri kalau merah itu artinya berhenti.
"Engga ada yang berhenti juga kok." ucapnya ringan seringan kerupuk yang tadi pagi kami makan.

Sebentar! Masa iya dari sepuluh kecamatan yang jumlah penduduknya sekitar 450 ribu jiwa (sumber dari sini) sama sekali tidak ada yang berhenti di lampu lalu lintas? Dan sama sekali tidak ada yang pakai helm? Padahal tepat di pintu masuk mau ke Pangandaran, persis perempatan lampu lalu lintas itu terdapat pos polisi lumayan besar. Walaupun memang tampaknya tidak berpenghuni juga sik.

Si pacar agaknya mendengar apa sedang berkecamuk dalam pikiran saya, dia menjelaskan,

"Pangandaran itu semacam little texas, di mana peraturan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak berjalan dengan maksimal. Jadi yah lumrah saja engga pake helm atau terobos lampu merah." jelasnya sambil nyengir.

Saya angguk-angguk mencerna apa yang baru saja dikatakannya, dia menambahkan,

"Gimana mau ngelanggar kan aturannya juga engga ada. Semuanya bebas di sini mah, jangan samakan dengan kondisi di Bandung."

Sampailah kami di pintu masuk taman wisata cagar alam, hanya dengan membayar Rp 7.000 per orang dapat menikmati pemandangan di dalamnya seharian. (Boleh dibilang ini murah banget untuk kawasan konservasi seluas ± 530 hektar). 

Apakah sebagian dari kalian mengernyitkan alis 'Ngapain ke sana? Apa yang mau dilihat selain pepohonan, monyet, syukur liat rusa atau binatang unik lainnya?'

Iya, tentu saja kalian hanya akan lihat apa yang terlihat tanpa tahu ada cerita apa dibaliknya. Yang terbayang adalah rasa lelahnya duluan harus berjalan sekian kilo. Ini disebabkan karena TIC (tourism information center) merupakan bangunan pajangan belaka. Tidak ada guide yang stand by (entah karena pas kami ke sana di hari kerja pada jam kerja pula). Dan agaknya jasa guide hanya disediakan untuk wisatawan asing saja, memangnya wisatawan domestik tidak butuh info apa gimana? 
Kembali ke harga masuk yang murah banget pantas saja kawasan menjadi sangat tidak terpelihara dengan baik, minim budget untuk biaya operasional kali yah. Seharusnya perum perhutani dan dinas pariwisata bekerja sama melakukan 'sesuatu'. Pangandaran termasuk dari salah satu kawasan DMO (Destination Management Organization) loh yang visinya kaya Agnes 'Go International'. Nah, kan mulai ngelantur.

Singkat cerita, sebelum jauh memasuki ke dalam hutan cagar alam menuju pasir putih si pacar sibuk ngubek-ngubek mencari kayu sambil berpesan masukin semua kresek ke dalam tas. (sebelumnya kami belanja minuman dan cemilan).

"Buat apa bawa kayu?"
"Nanti kamu juga tahu." katanya sok misterius.

Belum sampai sepuluh menit, kami disambut para monyet, ulang! segerombolan monyet yang menatap nyalang dengan rasa ingin tahu yang besar pada tas kami. Dengan sigap si pacar berulang kali menghentakkan kayu hingga mereka (baca: para monyet) berhamburan pergi ketakutan.

Mereka, para monyet pergi, si pacar melanjutkan perjalanan, saya (lagi) kebingungan.

Bayangkan, seandainya saya pergi sendirian atau bersama teman-teman tanpa si pacar tanpa penduduk lokal. Akan ada adengan tarik menarik antara kami versus monyet. Dan bagaimana dengan wisatawan lain yang tidak tahu menahu kebringasan monyet penghuni cagar alam? Tidak ada info apa pun bagi para wisatawan mengenai hal ini. (sangat disayangkan padahal ini penting banget menyangkut keselamatan!)

Si pacar agaknya mendengar lagi apa sedang saya pikirkan, atau sebenarnya memang saya bersuara, entahlah, tapi dia bilang gini,

"Perangai monyet seperti itu disebabkan oleh wisatawan juga kok. Sudah ada larangan untuk tidak memberi makan tapi tetap saja ada yang bandel. Jadinya si monyet merasa lumrah untuk mengambil makanan orang bahkan merebut paksa."

Lagi! Kata lumrah yang terucap. 

Mungkin, para wisatawan itu juga berpikir lumrah saja memberi makan monyet penghuni cagar alam tanpa tahu akibat ke depannya apa sebab tidak adanya info yang menerangkan demikian. Sama halnya dengan si monyet yang merasa lumrah mengambil makanan bahkan barang milik wisatawan, kelumrahan. 

Jadi, intinya adalah kata lumrah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya demografi, geografi, lingkungan, kondisi yang membuat sesuatu akhirnya menjadi biasa karena terbiasa atau dijadikan biasa (agak belibet engga sik?). Apa yang lumrah bagi saya belum tentu lumrah bagi kalian. Saling melumrahi sajalah yah, (mulai tervickykan).

***

[Lanjutan]
Karena gagal mengambil makanan si monyet mengambil pasta gigi si pacar.
Dan si monyet lainnya mengambil kaos bule yang lagi dijemur karena si bule engga punya makanan. 
Entah harus ketawa atau marah.

*

Embedded image permalink
Akhirnya santai di pasir putih setelah melewati barikade monyet :D

04 September 2013

Kamar Hotel

Kamar  202

Apa salahnya jika perempuan seperti aku menginap sendirian hanya dengan membawa satu tas kecil. Untuk apa membawa begitu banyak barang jika hanya akan menghabiskan satu malam saja, merepotkan. Aku bisa melihat di dalam kepalanya bertaburan tanda tanya. Entah dia mempertanyakan bawaanku berupa satu tas kecil saja atau tujuan aku menginap dan akankah ada tamu lain yang ikut menginap. Dasar resepsionis kepo! Urus saja bagaimana meningkatkan pelayanan di hotel ini daripada mengurusi tamu. Huh.

Ada apa sih dengan seorang perempuan yang menginap di hotel sendirian? Memangnya aneh yah? Nah kan apa kubilang perempuan itu seorang diri juga. Mengapa dia melempar senyum sarat pertanyaan. Mau tak mau aku pun membalas senyumnya. Ditangannya ada dua rokok merek berbeda, rupanya ada seseorang yang menunggu di dalam.

Kamar 203

“Ada rokoknya?”
“Ada. Eh, barusan ada cewek cek in sendirian loh.”
“Mana rokoknya? Terus?”
“Nih. Keliatannya cewek baik-baik, engga kaya perek. Ngapain yah dia nginap di sini? Apa dia sama kaya kita?  Mau kopi?”
“Engga.”
“Jangan-jangan dia kabur dari rumah hempp atau diusir. Soalnya dia engga bawa baju, cuma tas kecil doang. Mana mungkin dalam tas sekecil itu muat baju, belum peralatan mandi, make up, ya kan kamu tau sendiri peralatan cewek itu banyak. Heh! Dengerin aku engga sih?”
“Sini ...” tangannya menepuk pinggiran kasur mengundangku duduk di sampingnya.
Dia berkata, “Sudahlah untuk apa mengurusi orang. Yang perlu kamu urus itu aku.”
“Tapi, hunny....” Bibirnya melumat kata-kata yang belum sempat kuucapkan, tangannya mulai bergerilya membuka satu persatu pakaian yang menjadi penghalang tubuh kami menyatu. Ah, semoga saja suami sering-sering dinas ke luar kota, aahhh ....

Kamar 205

Sial! Mereka melakukannya lagi! Terkutuk dinding tipis hotel. Shit! Mengapa kantor merekomendasikan hotel sekelas melati. Seharusnya untuk sekaliber pegawai loyal seperti aku, kantor menyediakan akomodasi minimal berbintang dua.
Desahannya semakin keras, dinding semakin bergetar, kuat banget tuh laki? Ini sudah ketiga kalinya! Apakah mereka memakai gaya konvensial, woman on top, atau doggie style. DAMN! Mengapa aku jadi membayangkannya?!!? Arrghh!

Fokus! Presentasi besok akan menjadi penentu jenjang karirku. Fokus! Data statistik tahun lalu mencapai kenaikan hingga 20 persen. Hal ini disebabkan adanya pergeseran dalam strategic market position. Posisi seperti apa kira-kira yang digunakan untuk menghasilkan desahan bikin merinding. Aarrggg!!! Fokus!!! Harus dihentikan.

Ada baiknya mungkin jika,
“Halo, hei sudah tidur?”
“Halllooooo, belum. Kenapa, ada apa, sayang?”
“Engga, susah tidur. Lagi apa?”
“Lagi ngecek hasil ulangan anak-anak kemarin. Gimana bahan presentasinya, beres?”
“Begitulah. Aku kangen!”
“Hahaaaaa....”
“Kok ketawa?”
“Ahahhaa. Sayang, kamu itu bilang kangen hanya kalau lagi pengin doang. Aku sibuk. Pake sabun aja gih.”
Fuck!!!

Kamar 202

Aku sudah di kamar dua kosong dua tepat jam sepuluh malam seperti permintaannya. Seharusnya dia sudah berada di sini satu jam yang lalu. Jauh-jauh aku terbang dari Jakarta menuju kotamu. Menemuimu. Lalu meninggalkanmu esok pagi. Cepatlah datang.

Kamar 203

“Hunny, tidur?”

Hanya dengkuran halus yang terdengar. Kebiasaan deh setelah puas kemudian pulas. Apakah ini pendengaranku saja atau memang cewek di depan kamar itu bolak-balik membuka pintu kamar?
Apakah dia sedang gelisah? Menunggu room service atau tamu yang tak kunjung datang?
Masih muda rupanya. Cantik. Familiar, pernah ketemu di mana yah?

Kamar 202

Sudah tengah malam, masih belum nampak juga batang hidungnya. Mungkinkah dia lupa nomor kamar yang dipesan atas namanya sendiri? Koridor lantai dua ini begitu sepi. Bias lampu temaram, hening mencengkram. Para tamu hotel nampaknya sudah terlelap, aku masih terjaga. Menunggumu.

Sebuah pesan masuk,

“Kamar 202 kan?”

Sudah berulang kali kubalas pesannya, iya aku ada di kamar dua kosong dua sesuai dengan permintaannya. Mengapa dia terus saja mempertanyakan perkara nomor kamar. Yang seharusnya bertanya itu aku, kapan kamu datang? Sambil menunggu kedatangannya, kembali aku melihat pesan-pesan masuk darinya.

“Bisa datang? Banyak masalah yang saya hadapi. Butuh kamu.”

“Senangnya, kamu mau meluangkan waktu. Saya pesankan hotel untukmu. Semalam saja? Yakin? Jangan lupa bawa memori card.”

“Hotel Melati kamar 202. Saya datang jam 10.”

“Sudah datang? Maaf tak bisa menjemput di bandara. Rapat parlemen terus menguras waktu saya. Sabar. Kamar 202 kan? Secepatnya saya ke sana.”

“Kamar 202 kan?”

*

Lobby Hotel

“Maaf, atas ketidaknyamanannya. Untuk sementara semua tamu tidak diperkenankan meninggalkan hotel sampai penyelidikan selesai”, pesan Bapak Polisi bertubuh gempal menggantikan posisi resepsionis.

“Pak, saya harus pergi sekarang. Ada rapat penting yang harus saya presentasikan. Pekerjaan saya taruhannya. Hidup mati saya bergantung pada rapat ini, Pak.” protes seorang tamu berpakaian parlente.

“Perempuan yang mati terbunuh itu bergantung pada kami. Semakin cepat kami mengungkap pembunuhnya semakin cepat Anda keluar dari sini. Jadi, kami mohon kerjasamanya. Terima kasih.” Hardik seorang polisi intel yang bertompel besar menyembul di balik jaket kulit hitam.

Sementara itu,

“Hunny, aku takut.” Bisik seorang tamu perempuan berwajah pucat.

“Tenang, kalau kamu tenang mereka tidak akan bertanya macam-macam pada kita. Mereka akan berpikir bahwa kita adalah sepasang suami istri bernasib sial karena menginap di hotel yang salah untuk liburan.” Ucap seorang tamu berwajah brewok menyakinkan tamu lain di sebelahnya.

“Tapi ....”

“Kalau kamu tenang, mereka tidak akan menyangka bahwa kita sedang selingkuh. Istriku dan suamimu tidak akan tahu. Lagipula kasus pembunuhan perempuan di kamar hotel hanya akan ada di kolom kecil, berlalu dan dilupakan orang dalam dua hari tertumpuk dengan kasus korupsi dan kasus lainnya.”

“Hunny! Bukan itu yang aku takutkan!”

“Jadi apa yang kamu takutkan?”

“Pembunuhnya....”

“Hah? APA!”

“Sssttt, pelankan suaramu. Semalam engga bisa tidur, cewek di depan bolak-balik buka pintu kamar terus. Nunggu seseorang pasti. Aku penasaran jadi aku ngintip sampai datang seorang lelaki. Sstt, dia datang.” tangannya mencengkram lengan tamu di sebelahnya sambil berbisik.

“Siapa? Yang mana?”

“Yang bertompel di lehernya.”

“Hah?”

“Selamat pagi Ibu, Bapak. Terima kasih sudah menunggu, silakan ikut saya untuk proses interograsi lebih lanjut.” Sapa polisi intel bertompel.


*** 

05 August 2013

Puasa Day#27 : Buka Bersama

Selain makanan khas, yang fenomenal dari Bulan Puasa menurut saya terletak pada acara Buka Bersama-nya. Entah buka bersama keluarga besar, keluarga pacar, teman kantor, relasi, teman TK sampai Kuliah, teman se-genks, teman se-club, teman di dunia maya, dan golongan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Iya kan? Coba lihat lagi jadwal kamu kemarin, hari ini, dan besok buka bersama siapa saja?

Momentum ini pun membuat beberapa rumah makan dan hotel giat mempromosikan paket buka bersama. Hanya dengan membayar sekian mendapatkan makanan ini-itu serta free tajil. Dan hampir semua rumah makan menyediakan free tajil.
Tak jarang pula beberapa perusahaan mengadakan acara resmi seperti seminar, gathering, fashion show, charity dan acara lainnya yang diakhiri dengan buka bersama.
Banyak juga perorangan yang mengelar acara buka bersama di panti asuhan, di jalanan, di Masjid, atau di tempat lainnya dengan tujuan beramal.
Buka bersama memang menjadi suatu ajang temu kangen; reuni, ajang mempererat tali persaudaraan serta bisnis, waktunya berbagi, atau sekedar ngumpul-ngumpul hore. Dengan dalih bosan makan masakan rumah dan butuh suasana baru. 

Saya termasuk orang yang sering datang ke acara buka bersama. Di mana ada makanan saya pasti hadir! He he he. Mereka tahu saya bukan seorang Muslim yang menjalankan ibadah puasa, menahan lapar dan haus seharian. Tetapi, mereka tetap mengundang saya untuk datang berpartisipasi. (engga ada gue engga seru soalnya :P). Intinya kan menikmati dalam kebersamaan.

Namun, seiring dengan seringnya saya ikut buka bersama timbullah pertanyaan. Sebelumnya saya minta maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, dan bukan bermaksud untuk sok tahu apalagi menghakimi. Mengapa saat acara buka bersama hanya segelintir orang yang katakanlah ingat untuk melaksanakan ibadah sholat magrib? Padahal hampir di setiap rumah makan disediakan mushola. Katanya kalau beribadah di bulan puasa akan berlipat-lipat kali pahalanya? Belum lagi absen tarawih? 

Karena inilah yang saya tangkap dalam beberapa acara buka bersama. Setelah ngebatalin dengan tajil, sebagian ada yang permisi ke mushola, sebagian langsung makan, sebagian malah memilih bakar rokok. Yah, mungkin pemahaman saya terbatas dan hanya melihat di permukaan menjadikan saya kurang mengerti yang sebaiknya dilakukan terlebih dahulu itu yang mana? Lagipula nampaknya setiap orang mempunyai alasannya tersendiri. Akhir kata, semoga saja kamu termasuk ke dalam segelintir orang itu yah? Iya.

***

Ayo, jangan menyerah! Tinggal dua hari lagi loh, semangat! (00)9.
*Masih menanti kiriman parcel dan baju lebaran* :D

Puasa Day#26 : Kampung Gajah

Kampung Gajah

Tiba-tiba Papa menyodorkan dua tiket masuk ke Kampung Gajah. Wow! Ada sisa engga kepake dari bosnya yang pada waktu itu jalan-jalan sekeluarga. Wow lagi! 
Tanggal expirednya 08 Agustus 2013. Ya ampun! Jadilah hari ini kami pergi ke sana, berdua.

Selamat datang di kampung gajah yang engga ada gajahnya satu pun. Percayalah! Ada sih banyak tapi engga bergerak, engga napas alias patung. :D
Letaknya jauh, jauh banget dari rumah saya. He he he. Daerah parompong sana, ke atas dikit lembang deh. Ini beneran namanya wisata keluarga. Ada lebih dari 20 wahana yang bisa dimainkan oleh Ayahnya, Ibunya, serta Anaknya. Selain wahana yang mbanyak itu ada juga ragam makanan, oleh-oleh, dan lainnya di sana. Ibu-ibu demen tuh pasti di sana. Anak-anak? Whua apalagi.

Tapi eh tapi karena kami termasuk golongan remaja dewasa dinamis begitu menginjakkan kaki ke sana agak celingukan. Bingung mau naik wahana apa yang mana???
Oh iya, tiket terusan masuk senilai Rp 200.000 ternyata hanya untuk beberapa wahana saja. Sisanya yah bayar lagi. (dasar otak marketing nih). Masalahnya adalah wahananya untuk anak-anak. Helokkk!!!

Seperti side car macam bom-bom car. (agak geje yah gue main ini ama si Oki). Horse riding? Duh, kasian kudanya. Mini ATV? Mininya beneran mini, cuma cukup setengah pantat. (..")
Ada waterboom tapi kami engga bawa baju renang.

Alhasil kami cuma menikmati empat wahana (yang harus bayar di luar tiket masuk), yaitu;
- Bebek Gowes (entah namanya apa tapi saya menyebutnya gitu), keliling kolam yang cuma seuprit. Caielah romantis banget lah pokoknya.
- Mobil Keliling (ini juga sebutan asal saya), keliling kampung gajah yang amat luas dari atas sampai bawah sampai ke atas lagi. Cape sungguh kalo jalan kaki.
- 4D movie, nonton penggalan film kurang dari sepuluh menit pake kacamata dimensi gitu. Berasa naik roller coaster beneran, pas keluar langsung oleng.
- Futuristic Train, jangan heboh dulu karena namanya. Soalnya ini kereta biasa yang muter-muter doang. Baru juga duduk, ngobrol baru prolog eh udah sampe lagi.

Ya udah gitu doang terus pulang deh. Eh, jangan cancel planning kalian ke sini yah gara-gara baca tulisan ini (ya pede dikit boleh lah). Siapa tahu kalian malah menemukan keseruan yang engga kami temukan. Mungkin, kami memang bukan marketnya kampung gajah. Lagipula kan judulnya juga wisata KELUARGA. :D

Geje di Futuristic Train yang engga futuristic sama sekali

***


Puasa Day#25 : Sahabat

Rasanya saya tidak perlu menjabarkan arti sahabat itu apa? Kalian dapat mendefinisikannya sendiri secara gamblang menurut persepsi dan atau pengalaman masing-masing mengenai sahabat, persahabatan. 
Punya banyak teman, teman dekat, belum tentu memiliki seorang sahabat. Kadang kamu menganggap seseorang adalah sahabatnya kamu sementara orang itu hanya menganggap kamu teman biasa, ada. Pun sebaliknya. 
Bagi saya pribadi, sahabat mempunyai peringkat paling tinggi dibandingkan teman dekat. Bukan bermaksud untuk mengotak-ngotakan pertemanan. Hanya saja ada kalanya sesuatu (apa pun itu) tidak bisa diungkapan kepada seorang teman dekat apalagi sebatas kenalan. 

Sebelumnya saya pernah menuliskan "Kisah Empat Sahabat" di sini. Sebuah tulisan tentang para sahabat dan saya sendiri dalam proses pencapaian resolusi 2012 lalu. Tak terasa persahabatan kami sudah delapan tahun. Namun, setiap kami berkumpul berempat (jarang banget kami dapat berkumpul utuh, empat-empatnya ada) selalu saja menemukan hal baru atau hal yang baru tahu kami ketahui.
Seperti Riri yang ternyata alergi terhadap seafood.
Seperti Nene yang ternyata perfeksionis dibalik sifat lugunya.
Seperti Icha yang selalu mempunyai paham pemikiran di luar kebanyakan orang.
Dan sepertinya mereka engga pernah sadar kalau saya alergi kacang.

Kebetulan Sabtu kemarin Riri datang ke Bandung dan kami bertiga sedang tidak ada acara lain. Momen yang jarang sekali ditemukan ini tidak akan kami sia-siakan.
Jujur, kami berempat adalah empat kepribadian yang berbeda dan saling mendominasi. Berbeda dalam cara pandang, pola pikir, pekerjaan, tipe cowok, jenis film-musik, makanan, segala hal pokoknya. Soal pemilihan makanan misalnya dapat memakan waktu lama dan saling gontok-gontokan untuk mencapai kata mufakat.

Riri : Lapar. Pecel lele enak kayanya.
Icha : Pengen yang berkuah.
Nene : Sushi aja!
Saya : Engga suka sushi!
Nene : Ada ramen, ada bento, ada yang berkuah juga. Hayu lah!
Riri : Pecel lele!
Saya : Ada cappuccinonya engga?
Riri : Kopi item?
Icha : Coklat?
Nene : Errrr! Kalian makan atuh! Ngopi aja sik!
Icha : Hayu atuh!
Riri : Yuk ah!
Saya : Ennngg, tapi tapi tapi
Nene : Udah hayu ikh!!!

Jadilah kami ke apa tuh namanya kalau engga salah Tako Ichi setelah berdebat setengah jam. Nene pesan sushi. Icha pesan misu tohu, Riri dan saya pesan ramen setelah memandangi menu beberapa menit lamanya. Eh, maaf ada satu orang engga kesebut; Reni, Adiknya Riri yang memesan sushi juga. Duh! Heran pada doyan makanan mentah. (..")

Pesanan kami :D

Menyenangkan bersahabat dengan mereka (ya kalo lagi pada happy) sekaligus mengerikan sebab kalau kalah suara bakal jadi pihak yang dibully. Ternyata ada begitu banyak perbedaan yang signifikan di antara kami tapi justru itu yang membuat kami bisa dekat dari dulu hingga sekarang. Kalau kata Icha, kita adalah potongan-potongan puzzle yang berbeda sehingga jika disatukan akan membentuk satu kotak utuh. Intinya adalah penerimaan sebagaimana baik-buruknya karakter sahabat kita. Dengan catatan, jangan pernah sungkan untuk menegur jika buruknya sudah kelewatan. Gituh! :D

Eva, Nene, Icha, Riri :D

Nah, kalau kamu apa pengalamanmu dengan para sahabat?

***

02 August 2013

Puasa Day#24 : Parcel

Tadi pagi kebangun gara-gara Miki ngeggonggong tanpa henti, ada tamu! Siapa sih bertamu kok pagi-pagi sambil lirik jam yang menunjukkan pukul 09.00 WIB. Iya, dalam kamus si gue ini masih pagi banget nget. Ternyata kurir yang mengirimkan paket parcel dari Bapak Anu buat Si Papa. Maaf yah Pak Kurir saya menyambut Anda dengan senyum simpul tipis pagi tadi. Bukan kesel karna merasa dibangunin ya well dikit sik tapi belum sikat gigi. :D

Seperti tahun-tahun sebelumnya setiap Lebaran Papa memang sering dikirimin parcel oleh para relasinya. Giliran Natal malah engga ada satu pun yang ngirim. Sama halnya dengan kartu ucapan, banyak yang ngirim kartu ucapan "Selamat Lebaran" daripada "Selamat Natal". 

Dulu, yang ngirim parcel beneran bentuknya parcel. Isinya terlihat karena dibungkus plastik bening lalu dikasih pita-pita cantik. Dan isinya kebanyakan makanan ringan serta minuman sirup dan atau bersoda. Khong Guan itu pasti engga pernah absen! 
Sekarang, tampilan parcel hanya sebongkah kardus yang isinya rata-rata sembako. Minyak goreng, gula, kecap, bahkan ada juga bumbu dapur lalu makanan ringan. Good Times pasti selalu hadir!

Ini parcel dusnya,

Parcel Lebaran

Oh, bukan! Saya bukan mengeluhkan perkara isinya namun telah terjadi pergeseran apa yah namanya, sebut saja tampilannya. Parcel itu kan identiknya suatu barang yang dibungkus rapi dan dihias cantik. Lah kalo kardus tok apanya yang mau dihias? (ini sih menurut gue aja). :)
Lagian kayanya Mama juga lebih senang dikasih parcel dus isi sembako, mengurangi jatah belanja bulanan. :D

Barusan abis bantu Mama dan Papa bungkusin kue kaleng sama sirup buat para anak buahnya Papa yang dinilai berdedikasi tinggi. Dari 40 anak buah yang dikasih bingkisan (isinya cuma dikresekin jadi agak kurang pas kalo disebut parcel) cuma sepuluh orang. Si Papa memang terkenal galak-sangar-menyeramkan di pabrik. Tapi, kalo si anak buahnya rajin-cekatan-gesit-inisiatif tinggi yah hasilnya gini. Tiap Lebaran dapat bingkisan walaupun ala kadarnya plus uang THR-nya dilebihin. Sayang, peranan saya sebagai buah hati bukan anak buah, engga kebagian deh. #eh #ups #lah.

Parcel memang jadi salah satu bentuk cara sebagian orang berterima kasih, atau sekedar membina hubungan baik khususnya dalam pekerjaan.

Sudahkah kamu menerima parcel hari ini? 
Sudahkah kamu mengirim parcel untuk seseorang?

Hah? Apa?
Oh, perlu alamat saya? Boleh nanti saya kirimin alamatnya yah. Ah, engga usah repot-repot loh padahal. :)))

***

01 August 2013

Puasa Day#23 : Iga Bakar

Pepatah yang mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya itu ternyata (sebagian besar) benar adanya. Ho ho ho, tidak! Saya tidak menceritakannya antara Mama dan saya tapi ini tentang Embah dan Mama. Nah!

Mama tuh yah kalo minta anter mau beli satu barang, ujung-ujungnya malah belanja banyak barang. Dalihnya mumpung lagi ada di tempat belanja. Setelah selesai belanja pasti nanti mampir dulu ke sini mampir dulu ke situ. Lagi, dalihnya mumpung sekalian pergi. 

Seperti siang tadi saat saya akan mengantar Embah ke optik untuk periksa mata.
Sebelumnya di rumah, Mama bilang, "Jangan mampir-mampir dulu. Abis periksa langsung pulang. Bilang sama Embah mobilnya mau dipake gitu sore." (ini beliau ngomong ama Emaknya loh padahal).
Spontan saya balas, "Ah, Mama juga kalo pergi suka mampir-mampir dulu." Sebelum beliau berkomentar lebih lanjut saya langsung pamit pergi.

Di dalam mobil,
"Hari ini engga kerja?" tanya Embah. 
Ya enggalah kalo kerja gimana caranya bisa anterin Embah (dalam hati).
"Engga, Mbah."
"Abis periksa mata nanti anterin ke Apotik yah mau periksa kolesterol."
"Iyaaaa" (nah kan!)

Periksa mata selesai. Periksa kolesterol selesai.
"Di rumah Embah engga punya buah-buahan. Nanti mampir dulu beli apel yah."
Errrr "Iya, Mbah".

"Mama masak apa di rumah?" tanyanya setelah beli apel.
"Ayam goreng kayanya sih. Tadi pergi belum masak soalnya." jawab saya sekenanya.
'Embah sakit lututnya malas masak. Beli makanan jadi aja. Anterin ke situ tuh dekat anu di gang ini."
Euunnggg "Iya, Mbah."

Selagi menunggu Embah memilih makanan jadi, Mama sms,
"Dimana? Kok lama periksa matanya?"
"Lagi anter beli makanan. Si Embah malas masak."
"Mama juga malas masak. Makan di luar aja. Cepet pulang!"

Akhirnya, sampai juga di rumah. Mandi dan bersiap-siap pergi sambil nunggu Papa datang.
"Mau makan apa?" tanya Papa.
"Terserahlah." jawab Oki dan Saya.
"Lagi pengin makan Iga Bakar Mama mah."
"Ajak Ibu sekalian?" Papa nawarin.

Pergilah kami berlima; Embah, Papa, Mama, Oki, dan Saya ke sebuah rumah makan yang jual Iga Bakar. Ada yang tetiba ngidam soalnya.

Ini dia fotonya. Porsi besar dan yummy banget!

Iga Bakar Coto Makasar
Kenyang bego langsung! Kami semua kekenyangan. Beres makan Embah dan Mama langsung makan obat kolesterol. Ya buah memang engga pernah jatuh jauh-jauh dari pohonnya yah. Takut kesasar kali yah.

***