01 February 2014

Kenapa harus Apa Kabar?

Hai V,

Wow, sudah setahun yah kita tidak saling surat menyurat lagi. Apa kabarmu? Cuma basa-basi sih karena nampaknya semua orang memulainya dengan pertanyaan itu, iya kan? Dan hampir sebagian besar menjawab baik. Padahal jelas terlihat hidung merah, memakai syal dan jaket tebal, ada koyo di kepala, atau utang numpuk, baru dipecat, baru diputusin, ketahuan selingkuh, ngga punya duit, dan lainnya yang menggambarkan bahwa keadaan dan atau situasinya sedang tidak baik-baik saja. Yah, mungkin namanya juga basa-basi atau kata sopan dari bukan urusanmu. Ya kali. He he he.

Kan aneh rasanya jika kita berjumpa setiap hari dan masih menanyakan apa kabar? Akan terlihat seperti ini,

Hari pertama
"Hai, apa kabar?"
"Baik. Kamu?"
"Baik juga."
"Oke."

Hari kedua
"Hai, apa kabar?"
"Baik sih. Kamu?"
"Baik juga sih."
"Oke."

Hari ketiga
"Hai, apa kabar?"
"Kayaknya sih baik. Kamu?"
"Baik juga sih kayaknya."
"Oke."

Hari keempat
"Hai, apa kabar?"
"Baik, kaya kemarin!"
"Aku juga baik kaya kemarin."
"Ooooke."

Hari kelima
"Hai, apa kabar?"
"Sama kaya kemarin!"
"Iya, aku juga sama kaya kemarin."
"OKE."

Aneh kan? Aneh ngga? Iya aneh kan! Mengapa tidak memulainya dengan pertanyaan lain seperti Bagaimana kabarnya? Gimana kabarnya? Dengan melemparkan kalimat tanya yang lain selain apa, menunjukkan hubungan yang lebih dekat dan personal, orang pun cenderung menjawab lebih panjang dari sekedar baik saja. Kita seperti terdoktrin apabila ada yang bertanya apa kabar, apa pun keadaannya jawablah dengan baik. Sama halnya kalau mau makan cuci tangan dulu. (sama ngga sih? anggap aja sama lah yah). Well, it's just my opinion anyway. He he he.

Jadi, gimana kabarnya kamu? :D


Salam super hangat,

Eva

4 comments: