04 January 2013

Pertemuan

Sebuah tulisan fiksi #KisahKejutan kolaborasi dengan @bintangberkisah

___


Maria nyaris terlonjak kaget saat matanya menangkap sosok lelaki jangkung berkacamata dan berparas wajah baik-baik duduk manis di pojok kafe. Sosok itu tampak sedang menunggu seseorang setelah melalui perjanjian yang dibuat sematang-matangnya. Sejenak Maria ragu, apakah ia akan mendekat atau menghindarinya. Namun ia pun telah terlanjur membuat janji dengan seseorang di kafe itu, seseorang yang sudah sangat lama dinantikannya. Seseorang, yang kemudian mulai ia ragukan lamat-lamat jati dirinya.

Dulu, lelaki yang sedang duduk di bagian pojok kafe itu amat dikenalnya. Ah, siapa yang tak mengenal luar dalam mantan kekasih sendiri? Sandy memiliki goresan kisah menarik di hatinya. Namun itu dulu, ketika mereka belum memutuskan hubungan, menyudahi untuk bersayang-sayangan. Tepatnya, Maria lah yang meminta putus. Tanpa alasan. Tanpa belas kasihan.

Kisah cinta Maria dan Sandy telah berlangsung dua tahun lamanya. Bosan, tentu saja. Tak lagi ada kejutan yang membuat hatinya riang berbunga-bunga. Tak lagi ada sengatan gairah dalam tiap perjumpaan. Mereka terlanjut terbiasa satu sama lain, sampai-sampai tak lagi merasakan beda ketika ada ataupun tiada. Jenuh, itulah ungkapan sesungguhnya. Apalagi, saat itu Maria mulai tergoda oleh sosok lain yang lebih memacu hasratnya. Ia punya insting bahwa lelaki baru yang sedang diincarnya akan menjadi sosok yang berpotensi meruapkan kembali semangat hidupnya. Maria yang sudah bosan sekaligus merasa bersalah, memutuskan untuk memutus hubungan. Sandy, biarlah menjadi sekedar masa lalunya, mencari sendiri kebahagiaan tanpa perlu melibatkan dirinya lagi.

Sudah lama sekali mereka tak lagi saling berhubungan. Sandy memang masih berusaha beberapa kali menghubunginya. Bagaimanapun, masih ada sisa cinta dan kesetiaan di hati pria itu. Namun Maria telah merasa enggan. Pikirnya, lebih baik menyudahi setuntas-tuntasnya daripada meninggalkan sisa-sisa akar yang nantinya akan susah tercerabut. Salah-salah, ia yang akan terbelit. Pikirnya, ia tak mau memberi harapan palsu pada Sandy, yang pikirnya, tak punya harapan untuk masa depannya. Maria semakin menjauh, tanpa pernah menyadari bahwa Sandy menjadi semakin rapuh.

Waktu bergulir setapak demi setapak. Bahkan merajut dan menghabisi hubungan cinta pun seperti membalik telapak tangan bagi Maria. Lelaki tampan nan menawan itu telah ia dapatkan, telah pula ia campakkan. Kisah cintanya berganti-ganti, namun tak jauh berbeda, melulu menuangkan warna yang sama.

Namun yang ini, yang sekarang, agak berbeda. Seseorang yang semula ia kenal secara asal di media sosial ternyata cukup mampu membetikkan rasa penasarannya. Bahkan diam-diam, hasratnya berdesir tiap kali mereka bertukar sapa tanpa perlu saling hadir. Rasa ini jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Maria tertarik bukan karena ketampanan, bukan karena kejantanan. Ia terpesona oleh sebuah pembawaan yang dihadirkan dalam imajinasinya.

Prasetya. Sedemikian sederhana nama akun yang mampu membuatnya berbunga-bunga. Sosok misterius itu hanya punya kata-kata, hanya punya pancaran semangat dan sedikit banyak keramahan yang mampu membuat kejenuhannya meleleh. Terlebih, ia sangat rendah hati meski banyak hal yang mampu membuatnya meninggikan diri. Kata-katanya banyak dikutip disana-sini. Karya-karyanya bahkan telah terbit berulang-ulang. Ia sangat layak dikagumi.

Namun satu hal yang membuat Maria teramat girang, teramat beruntung. Usahanya yang spekulatif membuahkan hasil yang menyenangkan. Posisinya bukan lagi sekedar seorang pengagum biasa. Mereka telah berteman lebih dekat, bersikap lebih akrab. Demikianlah anggapan Maria. Media-media yang lebih pribadi mulai menjadi pilihan. Surat-surat elektronik mulai kerap berbalas-balasan. Sekiranya, banyak hal yang mereka ceritakan. Mulai dari cara menulis yang baik, dukungan berimajinasi, kisah-kisah cinta, kompleksitas persahabatan, kesenjangan orang tua, masalah pendidikan, pemerintahan, hingga ternak peliharaan.

Pesan-pesan singkat pun mulai banyak bertebaran, memberi jeda pada kesibukan. Senyatanya, keintiman di antara mereka bukan tercipta dari bibit-bibit kemesuman, melainkan dari banyak tanya yang terlontar, banyak cerita yang tersiar. Kendati begitu, Prasetya telah mengisi relung-relung imajinasi Maria sebagai sosok yang menerbitkan harapan cintanya. Memang terlalu dini untuk mengatakan bahwa Maria jatuh cinta pada sosok Prasetya. Namun perasaan kagum itu mulai sedikit berlebih. Perasaannya seringkali berloncatan dan menari kesana-kemari, tanpa dapat ia kendalikan.

Hingga tibalah saat pertemuan. Pada akhirnya, ide ini menuntut untuk dilontarkan. Maria setengah memaksa, setengah merayu, bahwa pertemuan itu akan menjadi peristiwa penting baginya.

“Ada hal yang sedikit kukhawatirkan, bahwa pertemuan akan membawa perubahan, atau perbedaan kedekatan kita yang sudah terjalin sedemikian manis dan tulus. Tak ada yang berani menjaminku…” kata Prasetya melalui surat terakhirnya.

“Aku yang menjamin. Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Apa kau dapat mempercayaiku?” balas Maria melalui pesan singkatnya.

“Aku yang seharusnya bertanya, apakah aku dapat mempercayaimu?” jawab Prasetya, mengembalikan pertanyaannya.

Detik-detik pertemuan itu telah memaparnya pada sebuah kejadian yang sama sekali tak diduganya. Bukan Prasetya, sosok dalam imajinasinya, yang duduk di tempat yang telah disepakatinya. Melainkan Sandy, mantan kekasihnya, yang telah ia kenal baik di masa lalunya. Sempat ada keraguan bahwa kejadian itu hanya sekedar kebetulan belaka. Barangkali Sandy memang kebetulan sedang berada di kafe tersebut, dan Prasetya belum masuk ke kafe tersebut. Namun beragam pembuktian melemahkan prasangkanya. Sandy lah yang memakai baju dengan warna yang Maria dan Prasetya sepakati. Sandy yang meletakkan novel terbaru bertanda-tangan Prasetya pesanan Marian di atas meja, bersebelahan dengan secangkir kopi yang telah setengah dingin. Dan Sandy pula melempar senyum penuh arti ke arahnya saat menyadari kedatangannya.

Maria sempat terpaku. Kakinya terasa begitu berat, seolah tak lagi punya kendali untuk bergerak ke arah tertentu. “Ah, apa yang harus kulakukan?” batin Maria, mulai merasa panik.

*

“Mariaa ....” gerakan bibirnya menegaskan bahwa aku di sini dan melihat kedatanganmu seraya melambaikan tangan. Sial! Sudah terlambat bagi Maria untuk melangkah mundur. Mata mereka terlanjur saling tatap.

Maria masih terpaku di tempatnya, mencoba mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Prasetya,

“Ada hal yang sedikit kukhawatirkan, bahwa pertemuan akan membawa perubahan, atau perbedaan kedekatan kita yang sudah terjalin sedemikian manis dan tulus. Tak ada yang berani menjaminku…”

“Aku yang menjamin. Takkan ada yang berubah meski kita bertemu untuk pertama kali atau seribu kali ke depan. Apa kau dapat mempercayaiku?”

“Apa kabar?” lamunan Maria terhenti sosok itu sudah ada di hadapannya. Entah Sandy entah Prasetya.

“Eh, baik ....”

“Kamu tambah cantik. Ayo, kita duduk. After you.” Prasetya mengisyaratkan agar Maria berjalan terlebih dahulu.

“Mau pesan makanan sekarang?”

“Minum saja, aku sudah makan.”

“Green Tea Latte tanpa whipped cream?” Maria terperangah ia masih mengingat minuman kesukaannya. Ia masih Sandy yang dulu dikenalnya. Seorang lelaki gentlemen yang selalu menaruh perhatian hal-hal kecil kesukaan Maria.

“Aku tidak mengerti ... Aku merasa dibohongi ... Aku aku merasa dibodohi ....”

“Aku tidak membohongimu, Maria. Tidak pula membodohimu. Tidak pernah terpikirkan sekali pun terlintas dalam benakku untuk berbuat hal seperti itu.”

“Jadi, siapa kamu sebenarnya?”

“Panggil saja Prasetya. Aku akan merasa lebih dihargai jika kamu memanggil aku dengan nama itu sekarang. Ini buku yang kamu pesan, sudah aku bubuhkan tanda tangan.”

Maria menerima dan membukanya, di dalamnya ada tanda tangan atas nama Prasetya dan catatan,

To : Dearest Maria yang selalu
bergairah
dan bersemangat
untuk menikmati
setiap detik dalam hidupnya.
Happy Reading.

"Hahahaaa apakah aku memang tampak selalu bergairah dan bersemangat yah?”

“Aku mengenalmu sebagai pribadi yang demikian. Dan jika gairahmu telah redup maka kau akan mencari yang lain, sesuatu atau seseorang yang dapat mengembalikan rasa. Aku, Prasetya telah belajar banyak dari Sandy, Maria. Terima kasih untukmu. Yakin tidak ingin memesan makanan?”

“Terima kasih untuk apa?”

“Kau telah menularkan banyak hal positif dalam hidupku beberapa tahun terakhir ini tanpa kau sadari. Aku lebih bergairah dalam menjalani hari-hariku. Aku bisa menjadi objek sekaligus subjek untuk hal-hal tertentu, tulisanku salah satunya. Melihat satu objek dari berbagai sisi yang berbeda. Sudut pandang mempengaruhi segala sesuatunya. Contohnya, gelas kopi ini. Saat kita melihat gelas dari depan maka akan terlihat isi kopinya yang tinggal setengah. Coba kau lihat dari atas, hanya ada segenang air kecoklatan tanpa tahu kedalaman isinya. Begitu pun jika kau melihatnya dari bawah. Itulah yang aku pelajari darimu.”

"Whuuua, kau banyak berubah rupanya.”

“Lebih tepatnya kau yang mengubah aku. Selama ini, yah harus kuakui aku terlalu mengejarmu, terlalu menggebu-gebu masuk ke dalam duniamu tanpa perlu memahami apa isi duniamu. Banyak hal yang menarik dalam dunia tulis menulis walaupun kau tahu sendiri itu bukanlah bidangku.”

“Aku tidak bermaksud, sungguh ... aku hanya ....”

“Maria, biarkan masa lalu tetap menjadi masa yang telah berlalu. Kita sedang menikmati masa kini, saat ini dan biarlah mengalir secara natural tanpa dibebani oleh yang lalu. Sejujurnya, aku terpuruk dalam kubangan masa lalu yang telah kau tinggalkan. Berteman dengan sepi. Bergumul dengan sunyi. Bermandikan lumpur penyesalan dalam kubangan dan menjadi seorang pesakitan hingga kata-kata mulai bermunculan di sini, di dalam kepalaku. Berputar-putar membentuk suatu pola, sebuah kalimat. Kalimat demi kalimat menjeratku semakin dalam membuat jemariku gemetaran. Yang akhirnya kutuangkan, kutumpahkan semua isi kepalaku ke dalam bentuk tulisan. Sebuah karya sebagai sumbangan untuk peradaban.”

Sekali lagi Maria terperangah. Bagaimana mungkin Sandy yang selama ini amat dikenalnya dapat mengucapkan kata-kata yang demikian hebatnya. Bagaimana mungkin dia yang terpuruk setelah ditinggal Maria tanpa belas kasihan bangkit menjelma menjadi sosok yang begitu mengagumkan. Adakah selama dua tahun menjalani hubungan dengan Sandy, Maria melewatkan beberapa momen berlalu begitu saja. Sosok di hadapannya masih orang yang sama dengan karisma yang berbeda, karisma yang selama ini Maria cari-cari. Maria kembali mengingat-ingat bagaimana awal mula hubungan mereka terasa hambar. Sandy tidak pernah berubah. Selalu ada, selalu hadir untuknya. Perhatiannya tidak pernah berkurang. Kasih sayang dan ucapan cinta tidak pernah sekali pun absen darinya. Hanya saja terasa ... terasa ada yang kurang.

Sandy memang selalu ada, setia menemaninya, mendampinginya hingga menjelang pagi saat Maria sedang berhasrat ingin menulis tanpa pernah merasa keberatan. Sandy menyata dalam wujudnya. Tetap saja itu tidak cukup untuk Maria.

Kemudian sosok Prasetya muncul entah darimana, mengisi tiap celah imajinasinya. Ketidakhadiran wujudnya menjelma menjadi suatu inspirasi dan tantangan untuk Maria agar dapat terus menulis. Menulis tentang berbagai hal yang dapat membuat Ia terkesan. Menguliti tulisannya hingga Maria terkadang merasa ditelanjangi. Prasetya yang kritis yang selalu bertanya “Mengapa endingnya begitu? Mengapa tokohnya begini? Apakah konfilknya tidak terlalu flat? Bagaimana kau bisa membuat cerita yang demikian rumit? Apa alasannya kau mengangkat topik itu? Apa yang kau rasakan saat menuliskan cerita ini-cerita itu, Bagaimana proses kreatifnya?” Hal-hal semacam itu lah yang selalu Maria cari selama ini dan semuanya ada dalam diri Prasetya, sosok Sandy yang baru.

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba melamun adakah perkataanku menyinggungmu?”
“Ah, tidak. Aku hanya tidak sabar membaca buku barumu.”
“Malam sudah larut, adakah hal lain yang akan kau kerjakan?”
“Tidak ada, iya tidak terasa waktu cepat berlalu. Sudah saatnya untuk pulang.”
“Mau aku antar? Rumahmu masih di situ?”
“Masih tapi tidak terima kasih.”
“Baiklah, kalau begitu aku duluan. Tidak apa kan? Oh iya, apakah dengan berakhirnya pertemuan kita akan ada sesuatu yang berubah? Seperti yang kukatakan dalam pesan ....”

“Tidak ada yang berubah, aku yang menjaminnya kan, ingat? Percayalah padaku.”
“Terima kasih pertemuan yang menyenangkan. Malam.”
“Maaalaamm ....”

Prasetya pergi begitu saja meninggalkan kesan yang masih ragu ditangkap oleh Maria. Mungkinkah perbuatan Sandy hanya upaya untuk mengembalikan hubungan mereka yang terputus? Atau memang Sandy telah berubah menjadi sosok Prasetya, sosok yang terlahir kembali, sosok yang berhasil bangkit dari keterpurukan cintanya tanpa ada maksud mengenang dan kembali pada cinta lalunya? Apapun alasannya Maria tidak keberatan dan tidak peduli, malam ini ia menemukan gairah cintanya lagi.

Sebuah pesan terkirim,
"Pras, bisa kah kau antar aku pulang?"


***



6 comments:

  1. Terima kasih sudah menulis, Eva... Jaga semangat, ya! :D

    ReplyDelete
  2. Aaakkkk ..... Iya bintang berkisah yang selalu membuat mata berbinar. Eva yang terima kasih :) *Semangat!!!*

    ReplyDelete
  3. metro fiksi dalam bahasaku. inspiratif, dan banyak menemukan kata baru pada fiksi di atas. makasih mbak? salam:)

    ReplyDelete
  4. Yey! Terima Kasih. Salam Kenal juga :)))

    ReplyDelete