24 August 2012

Sebab Secangkir Teh


Memasuki semester akhir kuliah, aku memutuskan untuk bekerja magang di sebuah kafe. Selain untuk mengisi waktu luang, menambah uang saku, juga mendapatkan pengalaman. Terkadang lelah dan penat setelah seharian menguras otak dengan bahan makalah, sorenya harus membuang tenaga melayani pengunjung kafe. Terlanjur sudah membubuhkan tanda tangan dalam surat kontrak kerja selama setahun, aku hanya berusaha menjalankan keduanya sebaik mungkin.

Suasana kafe sedang sepi, hanya ada beberapa sekelompok pemuda, sepasang kekasih, dan seorang pria sendirian. Sebagian besar pengunjung kafe memang suka berlama-lama di sini, suasana yang nyaman dengan sofa-sofa empuk untuk ngobrol, berbagai menu makanan ringan, aneka minuman, serta akses internet. Sehingga pergantian pengunjung juga tidak begitu banyak, membuat aku bisa bernapas sedikit sekedar melanjutkan bahan makalah apalagi dengan akses internet gratis.

Memasuki umur tiga bulan di kafe ini, aku sudah bisa menghapal wajah dan beberapa nama pengunjung tetap dan pesanan mereka. Sepasang kekasih yang selalu datang saat awal bulan, Ratna dengan pesanan yoghurt blueberry dan coffee latte untuk Angga. Seorang pria yang duduk di kursi yang sama setiap sabtu membawa laptop, cappuccino caramel, dan pancake original.

“Sore Mas Rafa. Ini menunya, mau langsung pesan sekarang?” sambutku kepada pengunjung.
“Sore juga, Mba. Biasa yah.” ujarnya.
“Ice Cappuccino Caramel dan Pancake Original. Kita ada menu baru ngga mau coba?” saranku.
“Nanti aja yah. Pesen yang biasa aja.”
“Oke, ditunggu yah.”
“Makasih Mba.”

Memasuki umur enam bulan di kafe ini, aku sudah menguasai beberapa resep dari koki yang baik hati membagi ilmunya. Bahan makalah masih berkutat di bab yang sama, kekurangan data. Pria yang selalu duduk di kursi yang sama, Rafa, kali ini tidak datang setiap sabtu. Hampir setiap hari dia datang ke kafe, bukan untuk memesan tapi menunggu di parkiran hingga kafe tutup dan mengantarkan aku pulang.

Memasuki umur sepuluh bulan di kafe ini, aku diberi kesempatan untuk menjadi supervisor, dengan kenaikan gaji yang lumayan. Bahan makalah untuk skripsi telah selesai pada detik-detik terakhir, setelah diterima tinggal menunggu jadwal sidang. Semakin banyak waktu luang hingga tanpa mikir panjang aku mengambil kesempatan itu, menjadi supervisor.

“Memang kamu mau kerja di kafe ini terus?” tanya Rafa setelah mengetahui keputusanku.
“Belum tahu juga, mumpung ada kesempatan. Kenapa ngga diambil, iya kan?”
“Kalau udah jadi Supervisor, setiap aku ngopi gratis dong!”
“Kepalamu!” candaku.

Memasuki umur dua tahun di kafe ini, jabatanku berubah menjadi manager. Sidang telah kukalahkan dengan nilai memuaskan dan kemeriahan wisuda sudah berlalu. Hubunganku dengan Rafa juga berlanjut ke arah yang lebih serius, komitmen seumur hidup.

“Kamu yakin, nak? Sudah kenal keluarganya belum?” selidik Ibu di telepon.
“Yakin, Bu. Sudah beberapa kali aku diajak ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya. Nanti ibu juga ketemu bisa menilai sendiri. Besok kami berangkat pagi.”
“Kamu ngga pernah cerita punya pacar tahu-tahu mau nikah. Gimana Ibu ngga kaget.”
“Udah malam, Ibu istirahat. Besok takut kesiangan malah ketinggalan pesawat. Nanti ceritanya dilanjut kalau sudah sampai.”

Enam bulan yang lalu, perangai Rafa mulai berubah atau mataku mulai terbuka melihat kelakuan aslinya. Rafa selalu mencari-cari celah kesalahanku hingga akhirnya kami kerap kali bertengkar. Kata-kata cinta yang manis dulu berubah menjadi makian hingga telingaku merah padam mendengarnya. Melirik pada gadis-gadis berpakaian minim, namun mendelik saat aku menyapa ramah pengunjung kafe atau akrab dengan para pegawai.

“Putus?” ujarnya dengan nada tinggi. “Kamu minta putus! Segampang itu!”
“Sudahlah aku cape berantem terus. Kamu juga cape kan. Lebih baik kita akhiri saja.”

Setelah mendengar ucapan putus dariku, Rafa melunak. Meminta maaf dan berjanji untuk berubah. Malam itu, dia manis sekali membuatkan secangkir teh untuk menenangkan emosiku. Hatiku luluh kembali. Setiap kali kami bertengkar, Rafa selalu meminta maaf penuh haru dan membuatkan aku secangkir teh. Cangkir teh yang dapat membuat aku lupa untuk apa kami bertengkar, teh yang membuat cintaku kembali menggelora padanya, teh yang tak pernah berhasil aku habiskan karena kami telah berpindah ke ranjang. Cintaku terlalu membara hingga tak sanggup menunggu menghabiskan teh di cangkir.

“Rafa, sebelum pulang ke apotik sebentar yah.” mintaku saat pulang kerja.
“Kenapa kamu sakit? Mau obat apa”
“Udah telat tiga minggu. Aku takut.”

Menunggu selama sepuluh menit bagaikan bertahun-tahun. Dengan gemetaran aku memandangi test pack. Ada dua garis berwarna merah di sana.

Aku mengambil cuti panjang yang sebelumnya tidak pernah kugunakan. Setelah memesan tiket pesawat ke Surabaya, aku mulai packing. Saat sedang memasukkan baju Rafa ke dalam koper, di tumpukan kemeja kerjanya terselip sebundel kertas koran, isinya daun teh yang telah dikeringkan.

“Ini apa?” tanyaku saat dia pulang kantor.

Mukanya pucat, memandangi daun teh di tanganku, terdiam.

“APA?” paksaku.
“Teh yang biasa kau minum.” katanya agak terbata.
“Jadi selama ini kau sengaja membuat aku ha ....”

***


6 comments:

  1. daun teh kering bisabikin apa yah?

    ReplyDelete
  2. tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan

    ReplyDelete
  3. Dalam "Sebab Secangkir Teh" Teh dibuat sebagai minuman perangsang. Dalam kehidupan sehari-hari daun teh kering mungkin bisa dijadikan apa saja. Kebetulan saya bukan ahli teh, jadi maaf jika saya tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. :))

    ReplyDelete