16 August 2012

Papan Catur


Terbiasa disibukkan dengan padatnya pekerjaan sehari-hari, membuat saya diserang rasa kebosanan menghadapi libur panjang seperti ini. Sudah naluriah tampaknya bagi manusia untuk mengeluh –khususnya saya–, saat sibuk bekerja minta libur, dikasih libur malah ingin segera kembali bekerja. Sebagian teman kantor menikmati liburan dengan pulang kampung, jalan-jalan ke luar kota bahkan ke luar negeri. Kesepian. 

Konsep liburan bagi saya sederhana, terlepas bebas dari segala macam teror yang berhubungan dengan pekerjaan, cukup dengan berdiam diri di rumah, berleha-leha, tidur sepagi dan bangun sesiangan mungkin. Tidak harus menghabiskan gaji berbulan-bulan hanya dalam jarak satu hari-satu minggu habis untuk liburan.

Baru dua hari melewati liburan, sudah gelisah.

Daripada merasa tidak produktif akhirnya saya memutuskan untuk bersih-bersih rumah. Mulai dengan lemari baju, memilih-milih baju yang sudah tidak terpakai lagi, lumayan juga bisa disumbangkan, hitung-hitung amal. Berlanjut membersihkan rak buku yang dipenuhi tumpukan debu. Kemudian beranjak ke gudang, nampaknya akan ada banyak barang tak terpakai di sana.

Gudang dipenuhi dengan dus-dus besar lapuk. Di antaranya dus besar berisi buku-buku bekas SMP, SMA, dan kuliah. Saya keluarkan semuanya dan disimpan dekat dus berisi baju untuk disumbangkan nanti. Dus lainnya hanya sisa perabot Ibu yang rusak dan sisa perkakas ayah, lebih baik dibuang daripada jadi sarang tikus.
Saat itulah saya menemukan papan catur; yang sudah terkelupas pinggiran kayunya, dan cat hitam-putihnya memudar. Saya buka dan menghitung, masih lengkap, ada enam belas buah bidak hitam dan enam belas buah bidak putih. Kembali teringat pada masa itu saat Ayah mengajarkan dan sering kali ‘memaksa’ mengajak saya bermain papan catur.

***

Di mata saya, pada waktu itu Ayah adalah sosok yang pilih kasih. Ayah jarang berbicara panjang lebar dengan anak gadisnya, sementara dengan anak laki-lakinya bicara panjang dan lama diselingi tawa renyah khasnya. Apalagi jika mereka berdua, para lelaki sedang menonton bola. Ramai dan terlihat bahagia.

Hobi Ayah bermain catur, setiap malam minggu pasti ada saja temannya yang diajak ke rumah untuk bermain catur bersama.

Suatu kali Ayah mulai mengajari saya bermain catur, “Kamu tahu, Catur itu bukan sekedar permainan! Tapi ini permainan logika, teknik cara bertahan dan berjuang. Bermain dengan menggunakan strategi.”

Diperkenalkannyalah saya pada Pion yang jumlahnya delapan di baris depan, “Pion adalah prajurit terdepan yang akan menentukan langkah awal strategimu! Salah melangkah mati semua kerajaanmu.”

Dibarisan kedua, ada dua Benteng, “Seperti namanya Benteng berguna untuk melindungi dari serangan. Dia tidak seperti Pion yang dapat lompat satu-dua petak, tetapi berjalan lurus ke depan atau ke samping”.

Lalu dua Kuda, “Kuda hanya bergerak membentuk huruf “L”, Kudalah satu-satunya bidak yang dapat melompati bidak lainnya.”

Ada pula dua Gajah, “Gajah kebalikan dari Kuda, hanya bergerak secara diagonal dan tidak dapat melompati bidak lain.”

Nah ini Raja dan Ratu pertahanan terakhirmu, “Dapat bergerak satu petak ke segala arah.”

Kepala saya; waktu itu masih berusia tujuh tahun, pusing rasanya menghapalkan nama-nama bidak, peraturan bermain, dan langkah-langkah jitu untuk menge-skak-mat lawan. Ingin menangis rasanya, tidak mau bermain catur. Kenapa Ayah tidak bermain monopoli saja dengan saya? Kenapa memilih catur? Ayah jahat!

Tradisi bermain catur di malam minggu ini terus berlangsung hingga usia saya memasuki tujuh belas tahun. Sering kali saya berbohong dengan mengatakan sakit perut-kepala-tidak enak badan, banyak tugas menumpuk, ada kerja kelompok di luar (padahal sedang malam minggu dengan pacar) demi tidak ikut bermain catur!

Setelah Ayah meninggal karena serangan jantung, tidak perlu mencari-cari alasan lagi untuk tidak bermain catur, tidak ada lagi lawan setangguh Ayah, dan malam minggu terasa begitu sepi jika diam di rumah. Kehilangan.

Beranjak dewasa, saya baru menyadari bahwa waktu usia saya tujuh tahun; saat Ayah pertama kali mengajarkan permainan catur, saat itu pulalah merupakan pertama yang kemudian menjadi terakhir kalinya Ayah berbicara panjang-lebar dan lama-lama kepada saya. Tiga jam lamanya Ayah terus berbicara tanpa henti tentang segala macam per-catur-an, yang sayangnya justru malah tidak didengar oleh saya.

Betapa pun saya benci dengan permainan catur, tapi melalui catur inilah saya bisa berlama-lama bersama Ayah. 

“Ayah bingung harus ngobrol apa jika berhadapan dengan perempuan, waktu pacaran dengan Ibu dulu juga begitu. Tapi, Ayah sayang sama kamu. Tidak ingin kehilangan momen bersama tapi juga bingung harus ngobrol tentang apa dengan anak gadisnya. Makanya Ayah mengajak kamu bermain catur, agar dapat bersamamu tanpa perlu repot-repot  memikirkan topik pembicaraan.” Terdengar suara Ibu di belakang saat saya sedang mengelap papan catur yang pinggiran kayunya terkelupas dan warna hitam-putihnya sudah memudar.

***


2 comments:

  1. yang diagonal itu gajah yah ?
    setau saya itu tuh dayang......

    tapi ngga tau juga sech...

    ReplyDelete
  2. Ada banyak nama lain untuk bidak yang itu; gajah, mentri, kuncup, dayang (seperti sebutanmu). Yang saya pake gajah, versi dari wikipedia, biar seragam aja :))

    ReplyDelete