13 August 2012

Menyuarakan Hari Merdeka


Malam ini saya akan tidur dengan perut kenyang lagi, berbuka di masjid dengan tajil kolak pisang, menerima nasi bungkus yang dilemparkan dari sebuah mobil saat lampu merah menjadi hijau. Beralaskan koran di lantai ubin sebuah toko roti “Merdekalah”, sarung kumal yang sudah tercampur dengan segala macam jenis bebauan, berselimutkan langit hitam kelam yang kadang diintip kerlap-kerlip bintang, seperti malam-malam sebelumnya.

Beberapa warga sibuk berkutat dengan tampah, bambu, tali tambang, cat merah-putih, bendera, dan perkakas lainnya. Sebagian menghias gapura di depan gang, sebagian mempersiapkan area lomba khas tujuh belas agustus-an, sisanya sekelompok anak muda menghabiskan malam menunggu imsak.

Terdengar sayup-sayup petikan gitar dari sekelompok anak muda di ujung sana,
Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam

Terjerumus dalam lubang jalanan

Digilas kaki sang waktu yang sombong

Terjerat mimpi yang indah, lelah.

(Belum Ada Judul – Iwan Fals)

***

Surat Perintah Sebelas Maret 1966, ramai sekali diberitakan di seluruh radio lokal. Sebuah surat berisi perintah yang menginstruksikan Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi keamanan dan menjamin ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. “Situasi memang sedang genting dimana-mana terjadi demonstrasi, apakah dengan keluarnya supersemar keadaan menjadi lebih baik? Semoga saja.” selintas dalam benak saya.

“Mas, Lebaran nanti bisa kan kita ke Klaten, kasian Ibu sudah lama nda di jenguk.” pinta Yanti, wanita asal Klaten yang sudah dua tahun menjadi istri saya. Wajah bulat telur, mata bulat-besar, alis tebal, serta kulit nya yang sawo matang langsung membuat saya terpesona dari pandangan pertama.
“Kamu sedang hamil tua terlalu riskan bepergian naik dokar.” Berusaha menghiburnya sambil mengelus-elus perut buncitnya, mengalihkan perhatian.
”Hei, jagoan sedang apa di sana? Sudah jangan tendang-tendang, Ibumu meringis tuh”
“Besok buka dirumah nda, Mas? Mau dimasakin sayur apa?”
“Apa saja yang kamu masak, saya makan.”

Berpuluh-puluh meter jauhnya, di sebuah markas tersembunyi, sekelompok orang sedang rapat serius. Menggenakan pakaian hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki, menyisakan sepasang mata merah nyalang.

Prankkk
Kaca jendela pecah.
Pintu pintu diterobos.

Berpasang-pasang mata nyalang membawa senjata tajam menerobos masuk pintu-pintu terkunci dan jendela-jendela tertutup. Para pria digiring dengan paksa ke dalam sebuah truk setelah dihajar babak belur. Diambang batas sadar, diantara tumpukan tubuh lebam, samar terdengar lolongan para wanita memanggil suami, ayah, kakak, anak mereka di kejauhan. Suara Yanti terdengar lirih untuk yang terakhir kalinya.

“MAS .... MAS KARYO ..... MAS KARYO ... MAU DIBAWA KEMANA SUAMIKU!!!”

***

Entah sudah berapa lama saya pingsan, rasa sakit menyerang di sekujur tubuh. Gelap. Kepala tertutup kain hitam. Ngilu, berusaha bangkit, kaki dan tangan terikat begitu kencang. Dimana ini? Terasa begitu dingin, lembab, sepi yang mencekam, dan semilir tercium bau amis-pesing. Dimana ini? Ya Tuhan apa yang sebenarnya terjadi? Yanti! Apakah terjadi sesuatu padanya? Oh Tuhan selamatkan Yanti dan Anak Hamba ya Tuhan.

“Erggg ..” erang seseorang, tak jauh dariku.
“Halo? Siapa di sana? Halooo”
“Kepalaku aaahhh kepalaku”
“Namaku Bujang. Siapa di sana?”
“Saya Karyo dari Desa Paseban. Tempat apa ini? Kenapa kita dibawa ke sini?”
“Entah tempat apa ini. Kepalaku ditutup saat diangkut ke truk. Para ninja itu menuduhku PKI.”
“Ninja? Ninja siapa? PKI!! Tapi saya bukan anggota PKI! Mengapa saya ikut dibawa juga?”
“Orang-orang memanggilnya ninja, berpakaian hitam-hitam, hanya matanya saja yang terlihat. Ada mulut-mulut yang mengatakan jika aku, kamu, kami, kita semua antek-antek PKI.”
“Berani-beraninya menuduh saya!! Saya tidak tahu apa-apa dan tidak pernah berurusan dengan PKI!!! Hei, keluarkan saya!!!!”
“Sttt, jangan berteriak! Nanti mereka mendengar! Dihabisinya kau!” suara parau lelaki di kejauhan.
“Siapa di sana? Mereka? Mereka siapa?”
“Jangan berteriak, bodoh!” suara lelaki yang lain.
“Siapa kalian ini?” 
“Kami juga sama sepertimu adalah korban dari lahirnya sebuah orde yang baru. Mereka menghabisi seluruh keluarga yang di duga adalah antek-antek PKI.”
“Mereka juga mengangkut siapa saja pendukung rezim Soekarno.”
“Segala perbedaan keyakinan-kepercayaan dimusnahkan. Hapus bersih!”
“Hapus bersih? Keluarga saya tidak tahu apa-apa, istri saya sedang hamil tujuh bulan. Bagaimana nasibnya ya Tuhan.”
“Istriku baru saja melahirkan, entah bagaimana nasibnya”
“Pikirkan saja nasibmu di sini, sudah untung tidak dikubur hidup-hidup. Salam kenal saya Kasim.”
“Karyo.”
“Salam, Paet.”
“Mahmud!”
“Sukab di sini.”
“Gumira.”
“Liong
“Jianli, Sepupu Liong“ 

Bahkan seorang pembunuh sadis pun berhak untuk diadili sebelum di masukan ke dalam bui. Kami tidak pernah diadili, tidak pernah tahu apa kesalahan kami. Dicap sebagai tahanan politik dengan masa tahanan yang tidak terbatas. Tidak ada sanak keluarga yang datang menjenguk, entah memang sudah tidak ada yang tersisa, entah takut ikut diangkut karena berkeluarga dengan tahanan politik, entah tidak tahu harus mencari informasi kepada siapa. Entahlah ...

Awal lahirnya orde yang baru sudah banyak korban yang berjatuhan, semasa pertumbuhannya makin banyak lagi jumlah korbannya hingga tidak dapat teridentifikasikan lagi. Banyak orang tiba-tiba hilang saat sedang beli rokok di kios depan, saat menyebrang di jalan, bahkan di kamarnya sendiri. Lelaki berotot dengan tato sepanjang tubuhnya berserakan di gang-gang kecil, tak bernyawa. Misterius. Semakin hari semakin sedikit surat kabar yang masih memberitakan kabar kondisi terbaru, hingga akhirnya tidak ada sama sekali. Siaran radio hanya memutarkan tembang-tembang kenangan, tidak ada berita.

Tahun demi tahun telah berganti, wakil presiden berganti, presidennya masih sama. 
Kami masih ditahan, tanpa pernah diadili.
Ada rasa syukur terselip di hati, bahwa anak yang tak terlahir, sesungguhnya lebih beruntung daripada bertumbuh bersama orde baru; terus membangun di tanah yang katanya sengketa, digusur-diambil paksa tanpa ganti rugi, ditinggalkan menggelandang, luntang-lantung di jalanan.

***

Krisis Moneter melanda, massa yang entah bergerak dengan ketulusan hati atau ada yang menyentil hatinya mengerahkan pasukan untuk demonstrasi. Para mahasiswa dari berbagai Universitas bersatu padu menuju satu tempat, Gedung DPR/MPR. Demonstrasi berujung kerusuhan-penjarahan-pemerkosaan, belum lagi tekanan pihak politk dan militer, akhirnya membuat Presiden Soeharto yang sudah terpilih selama tujuh kali, mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. 

Korban telah berjatuhan, meninggalkan kenangan yang tak terhapuskan, Tragedi Mei 1998.

Akhir dari orde baru yang kemudian dielu-elukan sebagai Puncak Revolusi, membuka pintu teralis besi yang telah mengurung kami bertahun-tahun lamanya. Lahir dan matinya orde ini selalu disambut dengan kemeriahan tragedi.

“Akhirnya, kebebasan.”
“Kemerdekaan!”
“Mau kemana kita sekarang? Sudah lupa jalan pulang, banyak bangunan baru. Bingung.”
“Saya mau ke Klaten. Barangkali Yanti pulang ke sana, menunggu saya.”
“Ikutlah denganku ke Bandung, banyak perempuan geulis.”
“Sudahlah Karyo, kita ikut Bujang ke Bandung. Usaha kita di sana.”
“Iya, kita sudah puluhan tahun bersama. Tidak ada yang tersisa lagi. Di Bandung masih ada sepupuku, siapa tahu bisa numpang dicarikan kerja.”
“Tapi ..”
“Ah, sudah 32 tahun berlalu. Tak habis-habisnya persediaan air mata kau.”
“Kalau bukan kita-kita ini ya kau sendiri yang peduli dirimu sendiri.”
“Jangan sia-sia kemerdekaan ini! Inilah saat-saat yang dinantikan, bebas!”
“Masa lalu jadikan sejarah, tutup buku, kemudian bakar! Sekarang, saatnya menikmati hidup!”
“Merdeka!”
“Bandung kita?”
“Merdeka!”


***
Sekali merdeka tetap merdeka.Selama hayat masih di kandung badan.Kita tetap setia tetap setia.Mempertahankan Indonesia.Kita tetap setia tetap setia.
Membela negara kita.
(Hari Merdeka (17 Agustus 1945) –H.Mutahar)

Iringan musik penuh semangat menghentak dari paduan suara anak SD Merdeka Jaya. Seragam merah putih lengkap dengan dasi-topi merah berbaris rapi sambil bernyanyi sahut menyahut, ada yang tidak hapal rupanya. Pembina Upacara berdiri bersiap pidato menggengam kertas di saku seragam safari; yang baru tadi pagi disetrika pembantunya sambil berdendang. 
Petugas Tata Usaha bersiul-siul mengikuti irama, menyiapkan berkas-berkas sebelum liburan panjang sambil berpikir tampaknya Lebaran tahun ini gagal lagi pulang kampung.
Penjaga sekolah berlagu dalam hati untuk menahan kantuk, sebab menonton bola semalam suntuk di pos ronda.
Ibu-ibu di gang sempit-kecil tengah bersiap, memasak aneka kolak-minuman segar-aneka kue untuk bazzar nanti sore, pinggulnya menari mengikuti musik.
Gadis remaja yang hendak pulang kampung naik kereta ikut bernyanyi saat ojek melintas lapangan upacara.
Hingar-bingar kemeriahan Hari Merdeka, membangunkan saya yang masih beralaskan koran, berselimutkan sarung kumal. “Sudah pagi rupanya!” membereskan koran yang berserakan sebelum penjaga toko datang, mengusir tempat tidur saya. 
Berjalan menuju lampu merah sambil bersenandung “sekali merdeka tetap merdeka, tetap setia, tetap setia, membela negara kita.”

***


Dirgahayu Indonesia yang ke-67 tahun.

Sumber :


No comments:

Post a Comment