10 March 2013

Pencuri Waffer

Menjelang liburan panjang suasana di stasiun begitu hiruk-pikuk. Gerombolan manusia hilir mudik membawa berbagai macam bawaan belum lagi pedagang asongan menambah ricuh dengan bebas keluar masuk. Sudah kugitari lorong demi lorong mencari kursi kosong, jadwal keberangkatan masih sejam lagi. Sambil menunggu kereta aku mampir ke sebuah toko membeli camilan, waffer coklat.

Ah, untunglah ada sepasang kekasih yang beranjak. Segera kutempati kursi kosong itu. Membaca buku adalah salah satu cara untuk membuang waktu. Kulirik jam tinggal empat puluh lima menit lagi. Tak akan terasa jika kuhabiskan waktu sambil membaca buku dan menikmati camilan.

Entah sudah berapa halaman kubaca, terlalu larut ke dalam rangkaian kata-kata yang begitu puitis. Penulis buku ini pastilah seorang pria romantis. Tanpa kusadari, seorang pria duduk di sampingku. Mengutak-atik layar handphonenya sambil memakan wafferku tanpa malu.

Kulirik lagi jam di tanganku, masih lima belas menit.
Pria tadi masih bermain dengan handphonenya sambil sesekali mengambil waffer tanpa memperdulikan kehadiranku, sang empunya.

Berani sekali dia berbuat begitu! Di manakah letak kesopanan sekarang ini berada?
Seorang pria asing memakan waffermu tanpa meminta ijin! Sungguh kurang ajar!

Aku mengambil satu waffer tanpa melihat pria itu sambil terus membaca untuk menyembunyikan rasa kesal.  Dia pun mengambilnya satu. Kalau saja bukan di tempat umum nan ramai ini pasti sudah kuserbu dia dengan serangan kata cacian penuh makian. Akan kutampar keras-keras mulutnya yang mengunyah waffer milikku.

Hingga tersisa satu waffer. Apa yang akan kulakukan? Apa yang akan dia lakukan?

Aku mencoba berkonsentrasi membaca buku tanpa acuh terhadap kehadiran pria itu. Tetap diam sambil menduga-duga apakah kuambil saja sebelum diambilnya. Sungguh terlalu, belum selesai memikirkan langkah selanjutnya dia sudah mengambilnya. Waffer yang setengahnya dia makan hingga tersisa satu pun diambilnya pula. Kesal bukan kepalang!

Dia mengambil waffer yang tinggal satu-satunya kemudian membaginya menjadi dua. Sambil tersenyum gugup menyodorkannya padaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pria gila!

Kuambil waffer yang diserahkannya dengan ketus, bagaimanapun itu kepunyaanku, hakku.

Beruntunglah, akhirnya keretaku datang juga. Buku yang sedang kubaca langsung kumasukkan ke dalam tas. Pergi melengos tanpa menoleh padanya, pria tak tahu aturan-norma-kesopanan-kurang ajar-terima kasih.

Akhirnya terbebas juga dari pria kurang ajar itu. Duduk di dekat jendela, menghela napas panjang-panjang agar emosiku kembali stabil. Perjalanan kali ini akan terasa sangat lama dan panjang. Wafferku sudah habis dimakan olehnya. Ah, hanya ada buku yang akan menemaniku.

Terkaget dan kebingungan, napasku tertahan saat kuambil buku di dalam tas ada sekotak waffer masih utuh di dalamnya. Jadi, waffer itu miliknya?

***



Note:
Diambil dari ide yang sama dalam Drama Sepotong Kue karya Ncuz yang dipentaskan oleh anak-anak Teater Topeng.

6 comments:

  1. Akkhh, senangnya. Terima kasih :D *aku kan memang keren*

    ReplyDelete
  2. ini mana lagi ya sambungannya? lama banget gw nungguin lanjutan cerita yang ini. duh lah



    *ini bersambung kan?*

    ReplyDelete