22 March 2013

Rumput Tetangga Memang Selalu Terlihat Lebih Hijau

Dalam minggu ini, ada banyak kejadian seru-menggebu-mengharu-biru yang lalu lalang di depan saya. Kenapa lalu lalang? Karena yah cuma sekedar numpang lewat saja *nyapa-nyapa kemudian pergi balik lagi dadah-dadah terus hilang* bukan suatu peristiwa yang benar-benar saya alami namun efek yang ditimbulkan memberikan kesan tersendiri bagi saya.

Ceritanya dimulai dari ... ini enaknya dari mana yah. Ehmmppp, jadi begini ....

Cerita pertama, tentang sepupu saya yang seorang workaholic sejati. Hidupnya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja. Sosok wanita karier mandiri sebab menjadi tulang punggung keluarga. Baru saja membeli mobil yang kemudian menjadi pergosipan di dalam keluarga besar. Ibunya yang merupakan Bude saya sakit, jadi kami sekeluarga berkunjung ke rumahnya *udah berbulan-bulan ngga ke sana*. Betapa kami dibuat terperangah ber-wah-wah melihat kulkas baru, komputer layar datar baru, laptop baru, televisi layar datar yang besar. Intinya banyak barang elektronik baru di rumahnya. Bahagia dan bangga melihatnya sudah sukses seperti sekarang. Hal ini membuat mama dan papa bertanya pada saya, "Kapan kamu kaya sepupumu itu?".

Hingga pada Selasa lalu dia mengajak saya bertemu sekedar quality time sisterhood *tumben ini tumben banget*. Kami bertukar banyak cerita tentang apa saja, siapa saja. Dan .... rupanya penghasilan selama dia bekerja dihabiskan untuk membayar kartu kredit yang jumlahnya semakin membesar. Gali-tutup lubang, gonta-ganti kartu di bank ini-itu. Betapa besar harga yang harus dibayar untuk dapat dipandang sebagai wanita karier sukses oleh keluarga besar, bahkan Ibunya sendiri.

Diakhir pertemuan saya dengannya, saat akan membayar bill, dia berpesan,
"Va, kopi lo gw aja yang bayar."
"Oke. Gw emang akting aja ngeluarin dompet."
"Tapi, lo janji ngga akan cerita ke siapa-siapa termasuk nyokap lo."
"Nggalah! Tapi tapi tapi beliin gw J.co dong sekotak."
"Sialan lo!"

__

Cerita kedua, tentang seorang teman kuliah yang sudah menikah tiga tahun lalu, semenjak menikah kami tidak pernah jalan bareng lagi. Hanya bertukar kabar seperlunya saja apalagi dengan kondisi dia sekarang yang sudah memiliki anak. Gaya hidupnya meningkat, terlihat dari foto-foto yang diupload via facebook; dinner di cafe ini di cafe itu, liburan di pulau ini di pulau itu. Menyenangkan rasanya melihat keadaannya yang sekarang, jauh teramat jauh lebih baik dibandingkan saat kuliah dulu. *Ahhh, kemudian berandai-andai enaknya punya suami yang kaya gitu*.

Hingga hari ini kami tidak sengaja bertemu di sebuah cafe. Saya sedang meeting dengan calon klien, dia sedang menunggu anaknya yang les piano.

"EVVVVVVAAAAAAAAAAAAAAAAA".
"Haiiiiii haaaiii ikh ngga nyangka ketemu lo di sini" *sengaja tanpa nama untuk mencegah pihak-pihak berasumsi negatif*
"Apa kabar lo?"
"Yah, gini lah nyari orang yang mau kawin. he he he. Duh, yang abis liburan ke Thailand."
"He he he."
"Liburan mulu lo kerjanya sekarang. Honeymoon terus yeh."
"Ngga juga sih, sebenarnya ....."

Kejadian sebenarnya adalah mereka pergi liburan setelah mengalami pertengkaran hebat. Suaminya kerap kali ketahuan selingkuh. Setiap kali dia meminta cerai, suaminya melunak dan mengajak liburan untuk memperbaiki hubungan.

"Maksud lo?"
"Yah gitu, Va. Setiap kali dia ketangkep basah, kita tuh berantem ampe gw kabur ke rumah nyokap. Ngga lama dia datang jemput terus ngajak liburan berdua."
"Bentar. Perasaan lo sering banget deh pergi liburan?"
"Iya, sering ketahuan."
"Dan lo masih mempertahankan pernikahan lo?"
"Anak gw apa kabar kalau cerai?"
"Mau sampai kapan lo diginiin terus?"
"Gw juga ngga tahu. Pengen banget cerai dari dia. Tapi, gw mikir dan mikir lagi. Anak gw siapa yang biayain nanti? Gw kan ibu rumah tangga. Umur segini mau kerja apa gw. Kapan lagi gw bisa jalan-jalan ke luar negeri!"
"Ngga gini caranya kali."
"Mas, billnya! Va, gw cabut sekarang yah anak gw rewel nanti kalo gw telat jemput."
"Ya udah, sampai ketemu lagi. Masih kangen ikh gw."
"Ntar deh kita ketemuan lagi, oke. Udah kopi lo sama gw aja."
"Asik. Sering-seringlah ketemu biar gw dapat kopi gratis lagi."
"Kampret lo."

__


Dua sosok yang saya ceritakan di atas merupakan sosok yang selalu saya idam-idamkan, *masuk dalam list andaikan gw jadi dia*. Sebab selama ini yang saya lihat hanyalah tampilan luarnya saja tanpa tahu ada apa di baliknya.

Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau dibandingkan rumput sendiri, bukan? Permasalahannya adalah apakah kita tahu seberapa besar pengeluaran yang dikeluarkan tetangga kita untuk membuat rumputnya jauh lebih hijau daripada punya kita? Mampu kah kita mengeluarkan biaya yang sama dengan tetangga kita? Sementara di dalam rumah dibiarkan berantakan, kosong melompong.

Dan satu hal yang paling penting sebelum saya mengakhiri tulisan yang agaknya cukup panjang ini adalah cobalah lihat dulu halaman depan rumah sebelum melihat halaman tetangga, memangnya di depan rumah ada rumputnya???

***

Gambar dari sini

6 comments:

  1. Memiriskan tapi bikin ngakak. Pas banget lahhh dibaca sambil minum segelas hot cappuccino (gratisan) wkwkwkwk :D

    ReplyDelete
  2. Di mana-mana yang namanya gratisan itu mank lebih enak. Cini-cini aku sediakan telinga untuk curhat asal dapat cappuccino gratis :D

    ReplyDelete
  3. Gimana kalo sebaliknya? *mental gratisan* :p

    ReplyDelete
  4. Va, jangan bilang-bilang ya | iya nggak akan kok (cuma dicurhatin di blog)

    Ahahahahaha

    ReplyDelete
  5. kan kan kan itu kan ....... ahahaaa

    ReplyDelete