Tidak ada yang abadi dalam sebuah pertemuan karena akan tiba juga sebuah perpisahan. Pertanyaannya adalah kesan apa yang ingin kau kenang dalam sebuah pertemuan. Akankah pertemuan pertama mengundang pertemuan selanjutnya, atau justru menjadi yang terakhir. Setidaknya tinggalkan satu kesan pada pertemuan yang kau jumpai, kesan yang akan kau kenang dan menjadi topik hangat saat pertemuan kedua dan seterusnya.
***
Hari itu aku sedang santai. Malam masih lama menjelang. Jarang-jarang kejadian seperti itu terjadi, yang harus kulakukan adalah memanfaatkannya secara maksimal. Ada satu keinginan yang belum sempat terwujud. Saat itu adalah waktu yang tepat.
Kuganti seragam kantor dengan celana pendek, kaos oblong kumal, memakai sendal jepit, membawa serta blackberry. Berkendara seorang diri menuju pantai yang hanya berjarak tiga puluh menit dari tempatku bekerja. Akan kuabadikan senja untukmu yang tergila-gila pada semburat jingganya. Aku ingat betul betapa mengiri hatimu pada tempat di mana aku menghabiskan hari, rutinitas tanpa jeda.
"Jadi kamu tinggal di Pantai?"
"Iya, kenapa?"
"Asyik banget yah!"
"Ngga ah, biasa aja."
"Asyik tahu! Ahhhh aku iri."
"Ko bisa?"
Kemudian kamu menjabarkan panjang lebar betapa pantai menyimpan sudut-sudut eksotis, ruang magis, romantisme tanpa terkesan picisan. Pantai mempunyai daya pikat tersendiri bagimu. Senja merah menjingga, turun perlahan dari langit, barisan awan colombus, membulat, dan tertelan di atas lautan. Deburan ombak menentramkan gemuruh jiwa serta mendamaikan gejolak hati. Butiran pasir melekat erat pada jemari kaki lalu tersingkir oleh buih putih ombak. Kamu telah membuka sebagian mata yang selama ini tertutup, iya membuat aku lebih menyukai tempatku berada. Sebab kau menyukainya.
"Hai, lagi apa :D" tanyaku di bbm saat sedang berjalan terseok-seok di atas pasir.
"Lagi lucu-lucunya :P" jawabmu kekanak-kanakan.
"Mari merapat ke pantai." kataku sambil menunggu kedatangan senja.
"Akkhhhh pantaaaaiiiiiiiiii" jawabmu lengkap dengan koleksi emoticon yang juga kekanak-kanakan.
Kamu tahu demi mendapatkan foto senja yang sempurna aku harus melesat ke tengah lautan. Air laut sudah setengah pinggang. Tangan kuangkat tinggi-tinggi agar riak gelombang ombak tidak membasahi blackberryku. Sebenarnya aku tidak perlu bersusah diri seperti ini karena kamu juga tidak pernah meminta foto senja tapi aku ingin memberikan yang terbaik, foto senja tercantik.
Ada rasa kikuk menyergap saat akan kukirimkan foto itu untukmu atau mungkin akibat kedinginan, celanaku basah. Hinggap rasa lega saat aku tahu kamu senang bukan kepalang akan foto itu yang kamu jadikan profile picture di bbm serta status bertuliskan, "Senja di sana, cantik".
_
Aku ingin mengenal lebih dalam di balik sosok penyuka senja, maka dari itu aku datang berkunjung ke kotamu. Bandung, hari itu tidak terlalu bersahabat. Awan mendung menyelimuti langit. Tak lama hujan turun. Pertemuan pertama kita disambut dengan rinai hujan. Malam itu, sepanjang jalan tergenang air. Genangan air yang menutupi lobang membuat cipratan kecoklatan mengenai celana panjangku. Semuanya berlalu begitu saja tanpa ada kesan yang berarti. Ah yah kecuali adegan mengejar truk barang, kendaraan kantor yang membawaku pulang gratis.
"Berhenti di sini!" kataku saat melihat truk melaju dari arah yang berlawanan.
Bunyi rem berdecit. Maaf, aku tidak tahu kalau kamu kagetan.
"Di sini? Katanya mau ke terminal?"
"Ngga jadi, putar arah bisa? Mau naik truk aja."
Kamu memutar dan menambah kecepatan, mengejar truk yang mulai hilang di kegelapan malam.
_
Masih penasaran. Seharian bersamamu tidak membuatku cukup mengenalmu lebih jauh lagi. Kembali, kedatanganku disambut rinai hujan di kotamu. Aku terharu, sungguh! Dalam kesakitanmu, kamu masih mau menjemput dan menemuiku. Sudahlah kamu tidak pandai menyembunyikan wajah pucatmu. Namun, sebab hal itu aku berkesempatan menunjukkan perhatianku lebih padamu tanpa menimbulkan efek salah tingkah.
"Kamu sakit yah?" tanyaku khawatir.
"Ngga ko. Cuma kecapean aja kali." ucapmu dari bibir yang pucat.
"Minum vitamin, minum air putih yang banyak, makan yang banyak. Jangan kebanyakan begadang makanya, tidur delapan jam itu wajib. Harus maksimalkan waktu istirahat. Dan jangan hujan-hujanan mulu. Boleh sentuh kening kamu? Mau ngecek aja panas apa ngga?"
"...."
Sepulang dari kotamu, demam menjalar sekujur tubuh. Rupanya ada tetesan air hujan yang terbawa pulang.
_
Pertemuan ketiga, hujan dengan setia menyambut kedatanganku. Itu sebabnya kupanggil dirimu Dewi Hujan. Selalu ada rinai hujan di antara kita. Dampaknya, aku selalu membawa baju kotor lembab akibat kehujanan.
"Kenapa setiap kali ke sini pas hujan aja yah?" tanyaku di sela-sela pembicaraan.
"Ehmm, mungkin karena lagi musim hujan." jawabmu sekenanya.
"Kamu memang Dewi Hujan." kataku mengoda.
"Siapa? Aku? Ah masa sih. Bentar lagi hujannya juga reda." ujarmu sambil tersipu.
Hujan masih setia menguyur selama dua jam ke depan.
_
Dalam pertemuan keempat, matahari bersinar dengan semangatnya. Akan tetapi, kamu masih Dewi Hujan bagiku. Walaupun tidak ada rinai hujan yang membasahi tetap saja ada bagian yang terbasahi. Seperti saat kamu tumpahkan segelas kopi ke celanaku, bajuku. Air putih yang kamu semprotkan pada wajahku karena tak berhasil menelannya sesaat sebelum tertawa. Kuah mie instant yang mengenai lengan bajuku. Atau pundakku saat menonton Habibie Ainun.
_
Selalu ada kesan yang tertinggal dalam setiap pertemuan. Dan entahlah mengapa saat mengenang sosokmu jejaknya tidak pernah lepas dari kata basah. Kamu memang Dewi Hujan yang membasahi kekeringan relung hatiku.
Uwowww Uwowww kalimat terakhirnya...
ReplyDeleteuwwoowwww fakta uwooouuuuwww :D
Deletejadi... ini teh fiksi ato fakta?
ReplyDeleteKira-kira?
ReplyDelete