12 March 2013

Menjelang Malam

Sinar matahari sore menyelinap masuk melalui kaca jendela buram, kusen berdebu, dan tirai kumal berwarna gading. Menjingga kemerahan, senja.
Dari celah tirai pantulan sinarnya membias bersama debu-debu yang beterbangan. Membentuk sulur-sulur kristal kemerahan, terus berputar mengitari seluruh kamar kostku. Cantik.
Lamat-lamat kupandangi, keindahan yang selalu membangunkan dan menemaniku.
Kusibakkan tirai kumal, bukan karena aku lupa mencucinya hanya saja memang tidak ada tirai yang lain. Kubuka jendela agar sirkulasi udara lancar, tidak pengap.

Beruntungnya aku mendapat kamar di pojok dengan jendela tepat menghadap ke barat, arah datangnya senja sebelum ditenggelamkan malam. Melalui jendela ini pula aku dapat melihat jalan setapak di belakang. Jalan yang selalu dilaluinya saat akan pergi atau pulang kerja kemudian menghilang di ujung gang kecil.

Sudah tiba waktunya untuk mandi dan bersiap-siap.
Sengaja aku meletakkan meja rias di dekat jendela, agar aku dapat melihat kedatangannya.

Duduk diam di mulut kusen dengan rambut yang masih terbalut handuk, menyesap teh dan sebatang rokok. Menunggunya.
Itu dia datang! Seperti biasanya, bulu dadanya mengintip malu-malu dari balik seragam kemeja yang tiga kancing teratasnya dibiarkan terlepas. Kemejanya dibiarkan keluar dari celana bahan hitam, menutupi ikat pinggang kulit hitamnya. Kupandangi lekat-lekat punggung pemilik dada bidang itu hingga menghilang di ujung jalan.

Beberapa menit lagi dia akan keluar untuk mencari makan malam, mungkin setelah istirahat sejenak duduk selonjoran kaki kemudian mandi. Aku harus sudah siap.

Kububuhkan alas bedak agar pori-pori wajahku yang seperti kulit jeruk tertutupi merata sebelum kutaburi bedak.
Kugambar alisku membentuk bulan sabit. Eyeshadow merah untuk kelopak mataku agar senada dengan gaun yang akan kukenakan malam nanti. Tak lupa eyeliner untuk mempertajam mataku. Maskara tentunya supaya bulu mataku terlihat lentik. Dari ujung mataku, kulihat sosoknya.
Sebagai sentuhan terakhir, kuoleskan lipstick merah. Perlambang berani, penuh gairah dan menantang.

Dia sudah mengganti kemejanya dengan kaos kumal yang tulisannya sudah menghilang, bercelana pendek warna coklat, dan sendal jepit. Dari rambutnya yang basah terpancar kesegaran, ah dia sudah mandi rupanya.

Kembali duduk di mulut kusen dengan rokok terselip di bibir, memperhatikan kedatangannya lalu menghilang di ujung jalan yang lain. Pasti membeli makan malam.

Itu dia datang! Membawa sebungkus makanan dalam kantong plastik hitam.
Buru-buru aku keluar dari kamar kost, berlagak mengelap sepatu yang akan kukenakan malam nanti sambil pura-pura tidak menyadari kehadirannya. Langkah kaki terseretnya semakin terdengar mendekat, aku masih sok sibuk dengan sepatuku, seperti biasa menunggu dia menyapa duluan.

"Malam, Mas. Wah, hari ini pake gaun merah yah. Keren. Mari saya duluan."

***






8 comments:

  1. ini ceritanya, aku itu banci? (pertanyaanku ambigu deh)

    ReplyDelete
  2. Hahahahahaa .... Anggap saja tokoh aku itu hanyalah seorang wanita yang terjebak di dalam tubuh pria.

    ReplyDelete
  3. Bisa menebak dari awal. Tapi tetep aja diksinya asik ^_^

    ReplyDelete
  4. Ouh iya? Di bagian mana yang ketebaknya? WOW WOW WOW *harus tiga kali karna ngga bisa salto* Prestasi banget loh bagi gw karna dibilang diksinya asik. ^_^ Thankkk uuuuu V :D

    ReplyDelete
  5. cerita yang segar... terus menulis lebih banyak lagi, Eva... :)))

    ReplyDelete
  6. merasakan nuansa teaterikal... tulisan ini punya panggung...

    ReplyDelete
  7. Whuuua, benar kah? He he he thank u :D

    ReplyDelete