Kalau aku iya, bakal aku kejar kamu sampai
dapat!
*
Gemeresik dedaunan
tersapu angin menambah keheningan di antara kami. Tersibukkan dengan apa yang
ada di dalam pikiran kami masing-masing. Aku tentang dia, kita. Dia tentang
entahlah mungkin banyak hal dan sedikit aku. Tidak pernah berhasil menyelami apa yang ada
di dalam pikirannya.
"Kok, kamu pendiam
sekali hari ini?" tanyaku memecahkan sepi.
"Iya yah?"
jawabnya sambil memandang satu titik jauh di sana. Menjauhkan aku darinya.
"Iya, tahu! Kamu
kenapa?" rajukku, berusaha mencairkan kekakuan.
"Entahlah, banyak
hal yang harus dipikirkan!" singkatnya, tanpa menoleh aku yang berada
disampingnya.
"Apa tuh? Boleh
tahu, ngga?" tanganku menggapai punggungnya, ingin kurengkuh tapi rasa
enggan mendahului.
“Mending ngga usah tahu
aja yah!” jawabnya sambil menoleh, tersenyum walau tipis.
“Karna aku kah?” masih
berusaha menjangkaunya.
“Udahlah ngga penting. Ekspektasi
aku aja yang ketinggian.” balasnya, enggan.
“Tentang apa? Karna aku
kah? Aku bikin salah yah?” tanyaku sambil menatap matanya, tubuh kami
berhadapan.
“Kan aku udah bilang
ekspektasi aku yang ketinggian, bukan salah siapa-siapa. Makan yuk! Lapar nih
…” suaranya semakin melembut, merajuk. Binaran matanya kembali bersinar.
*
Malam menjelang, kantuk
masih belum mau bertamu. Iseng, lihat kontak nama di whatsapp tertera nama dia yang entah mengapa membuat jemariku
mengetikkan,
Me : Yuhu …
Ternyata
ada WA toh!
Rian : Hai .. hai
Oh, baru tahu juga ada WA kamu.
Me : :)
Rasa iseng membawa kami
mengenang masa yang lalu, rasa yang ketika itu terasa pahit namun saat diceritakan ulang membawa sebuncah perasaan membanggakan. Berhasil terlewati.
*
“Kamu sadar ngga? Kita
kaya pacaran tapi ngga pacaran!” tanyanya pada suatu sore yang teramat gelap.
Hujan sebentar lagi menyapa.
“Ngga ah! Kita ngga kaya
pacaran kok!” tegasku padanya, pada benakku sendiri.
“Iya, bener! Bukan! Bukan
pacaran tapi suami-istri.” jelasnya. Antara memperjelas atau mempertanyakan.
“Hah? Suami-istri?
Suami-istri gimana maksudnya?
*
Terbangun oleh suara
alarm, memborbadir gendang telinga hingga menyisakan nyeri di kepala.
“Rian, itu alarm kamu?”
tanyaku setelah menekan tombol dismiss.
“Hemp iya …” setengah
sadar dia menjawab.
“Gila, alarm ribut gitu
kamu ngga kebangun!”
“Riannn! … bangun!!
Kuliah!!!”
“Berisik, bawel!”
*
Tercium aroma kopi pekat
ketika kami melangkah ke sebuah coffee
shop. Interior yang sengaja didesain dan memberikan suasana feels like home lengkap dengan furniture
yang terasa hommy. Tanpa melihat
menu, kami berdua tahu akan memesan minuman apa.
“Sebenarnya aku agak
terganggu dengan istilah feels like home
ini, loh!” ujarku.
“Kok bisa? Kenapa?”
“Yah, kita kan mau ngopi,
makan, atau nginap di luar. Tujuannya adalah keluar dari rumah. Eh, ternyata
malah dikasih suasana kaya di rumah. Gagal dong! Buat apa keluar kalau toh sama
saja kaya di rumah.”
“Baru dengar statement
kaya gitu, masuk akal penjelasannya. Tapi, aku punya pengertian lain tentang
rumah.”
“Jelas masuk akal.
Pengertian yang bagaimana?”
“Dulu aku berpikir,
istilah rumah berbentuk, beratap, bertembok, berlantai yang dapat melindungi
penghuninya dari panas, dingin, apa pun itu. Sekarang, rumah hanyalah metafor
dari seseorang yang menyambut aku pulang kerja, memberikan kenyamanan dan
keamanan.”
*
Rian : Besok abis kuliah
ke mana?
Me : Pulang paling, kenapa?
Rian : Ngopi yuk!
Me : Yuk!
Sejam kemudian di atas
meja sudah ada satu cangkir Americano, satu
gelas iced thai tea, satu piring chicken wings, satu nasi putih, dan satu
Caesar salad.
“Kamu suka merhatiin
orang-orang ngga kalau lagi makan?” tanyanya sambil mengunyah sayap ayam dan
tak ketinggalan nasi putih.
“Tergantung ….”
“Apa yang biasanya kamu
perhatiin?”
“Penampilan dan tingkah
laku sih biasanya.”
“Seperti?”
“Tuh, lihat cewek yang di
pojok … dilihat dari penampilannya yang dress
up dia pasti menyempatkan diri untuk dandan dan berganti baju. Sementara si
cowok dengan kemeja terbuka sampai dua kancing gitu pasti baru pulang kerja.”
“Oh, profiling.”
“Iya begitulah.”
“Menurut kamu mereka
pasangan, bukan?”
“Kayanya sih dalam tahap
penjajakan. Si cewek tampak agak salah tingkah setiap si cowok mencodongkan dan
menatap si cewek.”
“Hemmmp … kamu sadar ngga
kalau orang masih pacaran biasanya mereka duduk bersebrangan. Beda halnya kalau
suami istri, mereka duduk berdampingan.”
“Masa sih? Ngga ngeh
dengan pola seperti itu, tuh!”
“Coba aja perhatiin!
Orang-orang mungkin menganggap kita suami-istri.”
Dan entah mengapa setiap
kami makan di luar, posisi duduk aku selalu berada di sampingnya.
*
Menjalani hubungan
dengannya seakan menghadirkan pelangi dalam hidupku. Pelangi tidak selalu
terlihat saat hujan mereda Terkadang hujan turun begitu derasnya hingga mengenyahkan
segala rasa di dalam hati. Namun, hujan rintik-rintik menghadirkan rasa baru
dari yang sudah ada. Dan pelangi memberikan pantulan cahaya dari senyummu,
gambarkan indahnya dirimu. Walau jarang terlihat atau mungkin enggan dilihat.
Hati bukanlah sekedar
soal rasa namun kemampuan menyerap dan menyimpan bagaimana caranya untuk
merasa. Dan aku masih meraba-raba akan kehadiranmu dalam ruang hati apabila nanti
pelangi tidak akan pernah muncul lagi.
“Hei, kok ngelamun?”
sikutnya menyenggol lenganku.
“Hehehe
….” tersenyum padanya sambil menggelengkan kepalaku, mengenyahkan pikiran berkecamuk.
"Jadi kamu iya apa ngga?"
Hujan mereda, kali ini pelangi tak muncul. Mungkinkah sebuah pertanda?
Seandainya saja kilau pelangi memantulkan cahayanya, walau samar ... seandainya ...
Menghabiskan waktu bersamamu adalah sebuah keindahan. Mengenal dirimu mewarnai hari-hariku. Semuanya terasa nyaris sempurna, sayang untuk mengakhirinya.
Seandainya pelangi muncul sore ini ...
Foto dari sini |
***
Waw, tulisan ini melompat-lompat. Hap hap hap!
ReplyDeleteMelihat pelangi memang menyenangkan ya, Eva. Sudah lama juga aku nggak lihat pelangi di sini.
Iya, coba sesuatu yang baru.
DeleteBerhasil kah? Sebab lama tak menulis ....
Ah ... yah pelangi bagiku sekarang hanyalah sebuah metafor dari perasaan positif. Tak terlihat namun terasa.
Terima kasih, Ikaaaf :D
Main di plot, main di penggambaran yang kurang jelas membebaskan imajinasi pembacanya. Dan main di karakter tokoh, tentu saja, khas eva bangetlah ya...
ReplyDeleteIya yah? Masih kentara "Eva Bangetnya?"
DeleteGagal dong :))
Iya khas Eva, dan ciri khas itu sesuatu yang positif. Mungkin agak lebih soft aja lompatannya yak heuheu
ReplyDeleteAhahahaaa .... ini pada ngomongin khas Eva ...
DeletePadahal kan aku maunya ngga terlihat khas Eva, gitu!
Thanks yah anyway :D