15 January 2015

Pelangi

 Kalau aku iya, bakal aku kejar kamu sampai dapat!

*

Gemeresik dedaunan tersapu angin menambah keheningan di antara kami. Tersibukkan dengan apa yang ada di dalam pikiran kami masing-masing. Aku tentang dia, kita. Dia tentang entahlah mungkin banyak hal dan sedikit aku. Tidak pernah berhasil menyelami apa yang ada di dalam pikirannya.

"Kok, kamu pendiam sekali hari ini?" tanyaku memecahkan sepi.
"Iya yah?" jawabnya sambil memandang satu titik jauh di sana. Menjauhkan aku darinya.
"Iya, tahu! Kamu kenapa?" rajukku, berusaha mencairkan kekakuan.
"Entahlah, banyak hal yang harus dipikirkan!" singkatnya, tanpa menoleh aku yang berada disampingnya.
"Apa tuh? Boleh tahu, ngga?" tanganku menggapai punggungnya, ingin kurengkuh tapi rasa enggan mendahului.
“Mending ngga usah tahu aja yah!” jawabnya sambil menoleh, tersenyum walau tipis.
“Karna aku kah?” masih berusaha menjangkaunya.
“Udahlah ngga penting. Ekspektasi aku aja yang ketinggian.” balasnya, enggan.
“Tentang apa? Karna aku kah? Aku bikin salah yah?” tanyaku sambil menatap matanya, tubuh kami berhadapan.
“Kan aku udah bilang ekspektasi aku yang ketinggian, bukan salah siapa-siapa. Makan yuk! Lapar nih …” suaranya semakin melembut, merajuk. Binaran matanya kembali bersinar.

*

Malam menjelang, kantuk masih belum mau bertamu. Iseng, lihat kontak nama di whatsapp tertera nama dia yang entah mengapa membuat jemariku mengetikkan,

Me : Yuhu …
Ternyata ada WA toh!

Rian : Hai .. hai
      Oh, baru tahu juga ada WA kamu.

Me : :)

Rasa iseng membawa kami mengenang masa yang lalu, rasa yang ketika itu terasa pahit namun saat diceritakan ulang membawa sebuncah perasaan membanggakan. Berhasil terlewati.

*

“Kamu sadar ngga? Kita kaya pacaran tapi ngga pacaran!” tanyanya pada suatu sore yang teramat gelap. Hujan sebentar lagi menyapa.

“Ngga ah! Kita ngga kaya pacaran kok!” tegasku padanya, pada benakku sendiri.

“Iya, bener! Bukan! Bukan pacaran tapi suami-istri.” jelasnya. Antara memperjelas atau mempertanyakan.

“Hah? Suami-istri? Suami-istri gimana maksudnya?

*

Terbangun oleh suara alarm, memborbadir gendang telinga hingga menyisakan nyeri di kepala.

“Rian, itu alarm kamu?” tanyaku setelah menekan tombol dismiss.

“Hemp iya …” setengah sadar dia menjawab.

“Gila, alarm ribut gitu kamu ngga kebangun!”

“Riannn! … bangun!! Kuliah!!!”

“Berisik, bawel!”

*

Tercium aroma kopi pekat ketika kami melangkah ke sebuah coffee shop. Interior yang sengaja didesain dan memberikan suasana feels like home lengkap dengan furniture yang terasa hommy. Tanpa melihat menu, kami berdua tahu akan memesan minuman apa.

“Sebenarnya aku agak terganggu dengan istilah feels like home ini, loh!” ujarku.

“Kok bisa? Kenapa?”

“Yah, kita kan mau ngopi, makan, atau nginap di luar. Tujuannya adalah keluar dari rumah. Eh, ternyata malah dikasih suasana kaya di rumah. Gagal dong! Buat apa keluar kalau toh sama saja kaya di rumah.”

“Baru dengar statement kaya gitu, masuk akal penjelasannya. Tapi, aku punya pengertian lain tentang rumah.”

“Jelas masuk akal. Pengertian yang bagaimana?”

“Dulu aku berpikir, istilah rumah berbentuk, beratap, bertembok, berlantai yang dapat melindungi penghuninya dari panas, dingin, apa pun itu. Sekarang, rumah hanyalah metafor dari seseorang yang menyambut aku pulang kerja, memberikan kenyamanan dan keamanan.”


*

Rian : Besok abis kuliah ke mana?
Me : Pulang paling, kenapa?
Rian : Ngopi yuk!
Me : Yuk!

Sejam kemudian di atas meja sudah ada satu cangkir Americano, satu gelas iced thai tea, satu piring chicken wings, satu nasi putih, dan satu Caesar salad.

“Kamu suka merhatiin orang-orang ngga kalau lagi makan?” tanyanya sambil mengunyah sayap ayam dan tak ketinggalan nasi putih.

“Tergantung ….”

“Apa yang biasanya kamu perhatiin?”

“Penampilan dan tingkah laku sih biasanya.”

“Seperti?”

“Tuh, lihat cewek yang di pojok … dilihat dari penampilannya yang dress up dia pasti menyempatkan diri untuk dandan dan berganti baju. Sementara si cowok dengan kemeja terbuka sampai dua kancing gitu pasti baru pulang kerja.”

“Oh, profiling.”

“Iya begitulah.”

“Menurut kamu mereka pasangan, bukan?”

“Kayanya sih dalam tahap penjajakan. Si cewek tampak agak salah tingkah setiap si cowok mencodongkan dan menatap si cewek.”

“Hemmmp … kamu sadar ngga kalau orang masih pacaran biasanya mereka duduk bersebrangan. Beda halnya kalau suami istri, mereka duduk berdampingan.”

“Masa sih? Ngga ngeh dengan pola seperti itu, tuh!”

“Coba aja perhatiin! Orang-orang mungkin menganggap kita suami-istri.”

Dan entah mengapa setiap kami makan di luar, posisi duduk aku selalu berada di sampingnya.

*

Menjalani hubungan dengannya seakan menghadirkan pelangi dalam hidupku. Pelangi tidak selalu terlihat saat hujan mereda Terkadang hujan turun begitu derasnya hingga mengenyahkan segala rasa di dalam hati. Namun, hujan rintik-rintik menghadirkan rasa baru dari yang sudah ada. Dan pelangi memberikan pantulan cahaya dari senyummu, gambarkan indahnya dirimu. Walau jarang terlihat atau mungkin enggan dilihat.

Hati bukanlah sekedar soal rasa namun kemampuan menyerap dan menyimpan bagaimana caranya untuk merasa. Dan aku masih meraba-raba akan kehadiranmu dalam ruang hati apabila nanti pelangi tidak akan pernah muncul lagi.

“Hei, kok ngelamun?” sikutnya menyenggol lenganku.

“Hehehe ….” tersenyum padanya sambil menggelengkan kepalaku, mengenyahkan pikiran berkecamuk.
"Jadi kamu iya apa ngga?"

Hujan mereda, kali ini pelangi tak muncul. Mungkinkah sebuah pertanda?
Seandainya saja kilau pelangi memantulkan cahayanya, walau samar ... seandainya ... 
Menghabiskan waktu bersamamu adalah sebuah keindahan. Mengenal dirimu mewarnai hari-hariku. Semuanya terasa nyaris sempurna, sayang untuk mengakhirinya.

Seandainya pelangi muncul sore ini ...

Foto dari sini

***

6 comments:

  1. Waw, tulisan ini melompat-lompat. Hap hap hap!

    Melihat pelangi memang menyenangkan ya, Eva. Sudah lama juga aku nggak lihat pelangi di sini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, coba sesuatu yang baru.
      Berhasil kah? Sebab lama tak menulis ....

      Ah ... yah pelangi bagiku sekarang hanyalah sebuah metafor dari perasaan positif. Tak terlihat namun terasa.

      Terima kasih, Ikaaaf :D

      Delete
  2. Main di plot, main di penggambaran yang kurang jelas membebaskan imajinasi pembacanya. Dan main di karakter tokoh, tentu saja, khas eva bangetlah ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya yah? Masih kentara "Eva Bangetnya?"

      Gagal dong :))

      Delete
  3. Iya khas Eva, dan ciri khas itu sesuatu yang positif. Mungkin agak lebih soft aja lompatannya yak heuheu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahahaaa .... ini pada ngomongin khas Eva ...
      Padahal kan aku maunya ngga terlihat khas Eva, gitu!

      Thanks yah anyway :D

      Delete