13 March 2012

Berdialog dengan diri sendiri

Hari ini, sengaja saya kosongkan semua jadwal. Ingin berdiam diri saja dirumah menunggu kedatanganmu. Mandi agak sore, selain karena malas juga menghemat air. Setidaknya agar tidak terlalu lama menunggumu, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu, cermin.

Cermin, sudah lama rasanya kita tidak saling bicara dari hati ke hati lagi, seperti dulu. Yah, mungkin salahku juga karena diburu waktu, jadi hanya selintas saja menyapamu. Menyapamu hanya untuk melihat apakah riasanku luntur, baju yang kukenakan sudah cukup pantas.

Tapi, hari ini sengaja saya luangkan waktu untukmu. Saatnya berdialog dengan diri sendiri.

“Kamu tahu tidak mengapa Ibu dan Ayah menamaiku dengan Eva, tidak fiona. Aku suka nama Fiona?" 
“Karena Eva artinya Hawa. Hawa adalah perempuan pertama yang diciptakan Tuhan. Itulah alasannya, kau kan anak perempuan pertama.”
“Iya, aku mengerti. Sebagai si sulung, aku mempunyai tanggung jawab yang berat. Memberikan contoh yang baik bagi adikku dan membanggakan ayah.” 
“Contoh yang baik dengan merokok? Adikmu yang masih SMA sekarang mulai merokok. Membanggakan ayah dengan bekerja sebagai freelancer? Tidak ada gaji tiap bulannya, jam kerja yang tidak beraturan. Masihkah ayah merasa bangga padamu?” 
“Aku tidak pernah menyuruh adikku untuk merokok. Dia merokok demi dirinya sendiri. Biarkan saya dan adikku dan semua perokok aktif berhenti dengan sendirinya. Akan datang saatnya nanti, entah kapan aku juga tak tahu. Masalah pekerjaan, setidaknya aku bisa menghidupi diri sendiri. Tidak lagi meminta, walaupun belum bisa memberi banyak.” 
“Uangmu selalu dihabiskan dengan cangkir-cangkir cappuccino di cafe mahal. Seharusnya uang itu bisa ditabung untuk keperluan lainnya.” 
“Kebahagiaanku hanya cukup dengan menikmati secangkir cappuccino yang enak, yang enak itu adanya di cafe mahal, tauk! Secangkir cappuccino, sebuah novel, dan sebungkus rokok sudah membuatku bahagia. Bukan belanja, jalan-jalan ke Bali, atau jalan-jalan ke luar negeri. Kebahagiaanku itu sederhana.” 
“Akh, sudahlah. Kamu memang keras kepala dan sedikit egois. Sudah malam, sebaiknya kamu mulai belajar menulis. Apakah cita-cita membuat novel itu masih ada?” 
“Hahahahaha ... iya yah aku keras kepala dan egois? Lagipula aku menghabiskan cangkir cappuccino selalu seorang diri dari hasil keringatku sendiri. Cita-cita itu masih ada hanya sedang tidur. Mungkin sebentar lagi akan kubangunkan.” 
“Kalau begitu bersiap lah. Mulai menabung kata dan belajar merangkainya menjadi sebuah cerita.” 
Masih on progress. Aku juga akan menulis hasil percakapan kita ini.” 
“Senangnya, sering-seringlah berdialog denganku, berdialog dengan diri sendiri! Jangan hanya numpang ngaca doank, donk!


No comments:

Post a Comment