22.50 ... saya melirik jam digital di atas meja. Gelisah menunggu kepulangannya, tidak seperti biasanya dia belum pulang. Tidak ada kabar, tidak ada tanda-tanda kepulangannya, nasi goreng ala kadarnya sudah dingin di meja makan. Beberapa jam lagi, umur bertambah. Ini adalah ulang tahun pertama saya dengan status sudah bersuami.
Kami memang baru menikah delapan bulan yang lalu, rumah kecil yang kami sewa ini sudah lebih dari cukup sebagai modal menjalani mahligai pernikahan. Memasak merupakan kekurangan terbesar saya sebagai seorang istri. Tumbuh menjadi wanita karier melahirkan kemandirian, terbiasa akan kesendirian tanpa perlu mengandalkan orang lain.
Hal ini lah yang membuat saya terbuai akan makanan cepat saji, praktis. Lambat laun, keadaan lah yang mengharuskan saya belajar memasak. Rumah kontrakan kecil ini, pemakaian listrik, telepon, air, dan kebutuhan rumah tangga lainnya menunggu untuk dibayar setiap bulannya. Memasak merupakan salah satu jalan keluar untuk berhemat, walaupun dengan keterbatasan menu makanan dan rasanya yang masih jauh dari sekedar kata cukup enak.
23.50 ... kembali saya melirik jam di atas meja itu. Sepuluh menit lagi genaplah umur ini memasuki angka dua puluh lima. Beberapa ucapan selamat sudah disampaikan oleh teman-teman di jejaring sosial, sebagian ada pula yang kirim pesan langsung melalui telepon genggam.
Sementara dia, sang suami entah berada dimana, terus mencoba meneleponnya, gelisah dan khawatir, ini tidak seperti biasanya. Tidak ada jawaban. Jika memang mendadak rapat dengan klien, biasanya dia selalu telepon; mengucap maaf tidak bisa menemani makan malam dan membiarkan saya tidur lebih dulu tanpa menunggunya. Tapi, tidak kali ini. Ada apa sebenarnya, mungkinkah ada sesuatu yang terjadi padanya. Oh, Tuhan tolonglah hari ini hari ulang tahun saya, jagalah dia, kembalikan dia dalam pelukan dengan selamat dan utuh.
00.10 ... telepon berdering! Ini pasti dia.
“Halo-halo-halo-halo birthday girl eh, birthday wife”“Ohhhh, kamu. Thanks yah, dear.”“Yey, kecewa gitu aku telepon. Ups! Lagi asyik ama sang suami yah? Hehehehe. Oke, silakan deh dilanjutkan ehmmpp ehmmppnya. Aku cuman mau bilang selamat ulang tahun doang kok. Wish you all the best and bla-bla-bla yah say. Daaahhh”“Dasar! Iyah, iyah, amin min min. Thanks banget yah. Dahh”
02.00 ... entah sudah berapa puluh ucapan selamat dan doa yang disampaikan melalui orang-orang, namun tidak darimu, sang suami. Teleponmu pun akhirnya sama sekali tidak bisa dihubungi. Teman sekantormu hanya segelintir orang yang saya tahu nomornya pun tidak tahu keberadaanmu, terakhir mereka melihatmu di kantor jam delapan malam tadi. Ini sudah jam dua pagi dan masih belum ada kabar darimu.
Dimanakah kamu berada? Kemana kamu pergi? Mengapa tidak lantas pulang jika memang tidak ada kerjaan di kantor? Mengapa mendadak tidak ada kabar darimu di hari ini, hari ulang tahun pertama saya sebagai istrimu? Apakah kamu baik-baik saja? Oh, Tuhan. Tolonglah kembalikan dia dengan selamat dan utuh. Tolonglah Tuhannnn...
Terbangun mendengar suara gerbang terbuka kemudian menyusul gerung suara motornya, melirik jam 05.30, rupanya saya tertidur di kursi. Segera beranjak, membuka pintu, dan menghampirinya.
“Darimana, Mas? Kenapa baru pulang jam segini? Kenapa ngga ngabarin, handphonemu mati? Kemana aja sih?”“Aku capai!”“Iya, saya juga capai menunggu. Menunggumu semalaman tanpa kabar tanpa tahu harus mencari kabar kepada siapa? Menunggu dengan gelisah. Hanya capai jawabmu!”“Aku capai! Lelah! Dan mengantuk! Nanti saja bahasnya! Aku mau tidur!”“Kamu kenapa sih? Ada masalah apa sih? Ngga biasanya kamu seperti ini! Kamu mabok? Bau minuman badanmu!”“Heh, berapa kali aku bilang aku capai. Aku mau tidur. Jangan memancing emosi. Iya! Aku habis minum. Kenapa?!”“Kenapa? Kenapa hari ini, hari ini hari ulang tah......”“Demi Tuhan!!!!!!!!!!!!!!!!! Hanya ulang tahun saja yang ada di otakmu! Apa yang kamu harapkan?? Aku datang membawa kado untukmu?!? Itu yang kamu tunggu semalam? Kado? Bukan aku? Sudahlah. Aku mau tidur!”
Pintu kamar pun tertutup dengan kencangnya, kalender di dinding agak bergoyang sedikit karenanya. Terdengar sayup makiannya lalu hening seketika.
***
Minggu depan adalah hari ulang tahunnya. Aku bingung harus memberi kado apa untuknya. Setiap kutanyakan kado apa yang dia mau, dia selalu bilang terserah. Kata terserah yang terlontar dari mulut seorang perempuan selalu rancu artinya. Aku tahu dia pasti mengharapkan kado dariku, tapi aku bingung, kado seperti apa yang dia suka. Pusing, ada hal lain yang lebih penting daripada prihal sepele tentang kado untuk dipikirkan.
Aku bukanlah pria yang romantis, yang akan membelikannya bunga mawar putih, bunga kesukaannya; yang membawanya makan malam romantis dengan lilin temarang, kau tahu berapa penghasilanku dan berapa harga sebuah makan malam romantis itu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah pas-pasan.
Delapan bulan lamanya kami menikah, tinggal di dalam rumah kontrakan kecil ini, mencoba hidup layaknya suami istri yang bahagia.
Aku tahu dia berusaha keras untuk belajar memasak untuk menekan pengeluaran kami, walaupun terkadang aku bingung bagaimana menghabiskan masakannya yang terkadang terlalu asin atau terlalu hambar tanpa membuatnya kecewa.
Menikah denganku mungkin suatu beban yang berat untuknya, hidup serba hemat, mengurus rumah, dan melayaniku sebagai suami. Meninggalkan kehidupannya yang kaya akan aktivitas, terbiasa mengurus keperluannya sendiri, tidak perlu berpikir jika membeli suatu barang.
Keputusan yang berat namun kami yakin bahwa kami dapat melaluinya, hal itu lah yang sering aku katakan padanya, bahwa kami bisa melaluinya. Tiga hari lagi adalah ulang tahunnya, aku benar-benar bingung dan gelisah. Mengetahui harapannya mendapat kado, kado yang bahkan aku tidak tahu apa itu. Masih tergiang di kepalaku saat bulan lalu dia mengingatkan tentang hari ulang tahunnya,
“Mas, kamu masih ingat ngga temanku yang kemarin baru nikah itu?.”“Oh, dia? Iya, kenapa?”“Iya, tadi dia tiba-tiba ngajak chatting. Sudah lama banget ngga pernah chatting, terus dia cerita dibelikan cincin berlian sama suaminya pas ulang tahun. Huh, dasar cuman mau pamer doang.”“Kamu juga punya kan?”“Tapi itu kan hadiah pernikahan dari Ibumu. Eh, hari ini tanggal 30, sebulan lagi saya ulang tahun lho. Ultah pertama sebagai seorang istri, istrimu. Jadi, mau ngasih kado saya apa?”“Masih sebulan lagi kok udah nagis kado? Kamu mau cincin berlian? Kawin saja sana sama suaminya. Masak dulu yang bener, perutku selalu mules habis makan masakanmu”“Kamu itu kan pelupa! Makanya harus diingatkan terus. Sebulan lagi .... sebulan lagi ... dapat kado pertama dari suami tercintahhhh...”
Mencubit perutku, lalu masuk ke dapur membuat nasi goreng untuk makan malam, masakan satu-satunya yang akhirnya kuakui enak. Itu sebulan yang lalu saat semuanya masih baik-baik saja.
PHK masal melanda kantor tempatku bekerja. Kupikir dengan statusku sebagai karyawan tetap yang sudah mengabdi lima tahun akan menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk tidak terkena imbasnya.
Namun, ternyata kebijakan perusahaan berkata lain. Aku adalah salah satu orang dari puluhan karyawan lainnya yang mendapat PHK itu. Waktu kami, para karyawan ter-PHK hanya sebulan untuk menyelesaikan sisa pekerjaan dan membereskan barang-barang, hanya sampai akhir bulan, tepat di hari ulang tahunnya.
Bagaimana caranya aku memberitahukan hal ini padanya, di saat dia sudah sebulan mengharap. Gaji terakhir dan pesangon yang akan kuterima nanti harus lah cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, sampai aku mendapat pekerjaan lagi. Rasanya bisa kusisihkan sedikit uang untuk membelikan sebuah kado untuknya.
Besok adalah hari ulang tahunnya, hari terakhir aku bekerja di sini, mendapatkan gaji terakhir dan sedikit pesangon. Semua itu luluhlantak karena teman-teman karyawan tanpa sepengetahuanku berdemo menuntut keadilan atas PHK masal ini. Gaji pun tak kudapatkan, sirna semua harapanku, berguguran semua rencana yang sudah kususun matang-matang. Tak mungkin aku pulang dengan tangan kosong dan di sambut dengan wajah yang tertekuk. Minuman adalah pelampiasan bagi kaum-kaum pelarian seperti aku. Ingin sejenak menghindar dari semua yang ada di depan mata, sebentar saja, sekedar mencicip tetes kebebasan dari kuali kemelut yang membelenggu.
***
Hening, kesunyian yang tiba-tiba mengerjap membuat saya enggan menyusulnya. Membiarkannya tidur setelah dimabukkan minuman keras adalah pilihan yang tepat. Masih terlalu pagi untuk memasak namun mata sudah tidak mengantuk. Membuat kopi untuk saya nikmati sendiri, masuk ke ruang kerja yang menyatu dengan ruang tamu dan ruang makan, menyingkap semua gorden, mematikan lampu, menyalakan komputer dan menulis dalam temaram.
08.00 masih belum terbangun, enggan rasanya membuka kamar yang telah ditutupnya kencang itu. Namun, sebuah kewajiban mengarahkan kaki ke depan pintu, mengetuk sebentar, membukanya perlahan, memungut baju-bajunya di lantai dan menggoncangkan tubuhnya,
“Mas ... Mas ... Mas bangun, sudah jam 8. Nanti telat ngantor loh! Mas ... Mas ...”
Tangan saya ditepisnya lalu dia membalikkan tubuhnya.
“Mas ... Ayo dong bangun, sudah jam 8."
Saya meraba keningnya, tidak panas, tidak demam. Mungkin hanya pusing akibat semalam. Melangkah ke dapur dan membuatkannya susu untuk sekedar mengusir pusingnya.
“Mas, ini minum susunya, mumpung masih panas. Pasti pusing kan? Biar saya telepon temanmu yah hari ini kamu ngga ngantor, gimana? Minum susunya terus tidur lagi. Supaya pas bangun segeran badannya terus kita jalan-jalan, hari ini kan ulang tah... ”
Belum juga saya beranjak dari kasur, gelas susu yang masih dalam genggamanku jatuh, pecah bergelas-gelas kaca dan isinya mengotori karpet kelabu sebagian menetes di sprei dan celana. Kaget saat dia tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan menahan lenganku dengan kuat.
“Kamu kenapa sih??!”
Saya berusaha melepaskan lengan dari cengkramannya yang semakin erat menancap. Tanpa sadar kaki menapak tepat diantara pecahan kaca. Semakin kuat saya berusaha melepaskan, semakin kuat dia menarik.
“Kamu apa-apaan sih! Lepasin, Mas!”“Dasar perempuan tengik!”“Lepasin!!!!”“Hanya ulang tahun saja dalam otakmu, hah!!!!”
Semakin kuat dia menarik, semakin kuat pula saya berpijak di atas pecahan kaca. Darah yang mengalir membuat pertahanan saya melemah. Pandangan menjadi kabur dan sesak menyerang. Semakin memberontak, semakin mendorong tubuh saya perlahan terjatuh dari kasur, mendarat tepat di atas pecahan kaca. Semakin kuat bantal itu menekan pernapasan, semakin menancap pecahan demi pecahan gelas ke punggung di atas himpitan tubuhnya. Tak ada lagi tenaga yang tersisa, tak mampu lagi untuk bertahan, tak sanggup lagi berjuang mencari celah bernapas, dalam kesesakkan masih tercium samar harum samponya melekat di bantal. Bantal yang menyatukan kami sebagai alas pengantar mimpi sambil berpegangan tangan di malam-malam dingin.
“INI MAKAN ULANG TAHUNMU!”
***
Mendengarnya berniat menelepon teman kantor yang senasib ter-PHK-kan, mendengar kata ulang tahun dari mulutnya, seketika membuatku gelap mata. Aku tidak boleh membiarkannya melakukan hal itu. Aku harus melarangnya menelepon. Aku harus menghentikan omong kosongnya tentang hari ulang tahun sialan itu. Bantal ini akan menutup mulutnya yang selalu mengeluarkan kata ulang tahun. Persetan dengan ulang tahun!
Tubuhnya tergolek tak bernyawa, dia sudah tidak memberontak lagi, dia sudah tak mampu mengeluarkan kata-kata ulang tahun sialan itu selamanya.
Melangkah keluar, mengambil rokok dan melihat komputer masih menyala. Pemborosan!
Sebelum kumatikan komputer, kuambil koreknya yang selalu tersimpan di laci. Ada benda aneh, semacam termometer dengan dua garis merah di dalamnya. Apa ini! Ada dokumen yang belum disave, ceroboh! Menulis apa dia,
Jumat, 30 Maret 2012
Hari ini hari ulang tahun saya yang kedua puluh lima, silver girl ucap teman. Saya bukan silver girl lagi sekarang, Teman. But I’m silver wife who become a mother, soon :D
Telat datang bulan dua minggu memang bukan berarti apa-apa. Namun, rasa penasaran membuat saya jadi tidak sabar menunggu. Tanpa memberitahunya saya membeli testpack kemarin. Hanya sekedar iseng dan hanya ingin tahu apakah saya memang ... dan ternyata saya HAMIL. Whuaaa ini adalah hadiah terindah bagi saya. Rasanya ingin segera meneleponnya akh tidak, tidak, lebih baik menunggunya pulang saja, walaupun dia baru saja beranjak ke kantor. Hari ini waktu berjalan sangat lambat, sudah tak sabar ingin memberitahu seluruh jagat raya. Menunggunya pulang ke rumah terasa berabad-abad lamanya. Ingin berbagi kado dari Tuhan ini hanya dengannya. Sungguh tidak mengharapkan dan membutuhkan kado apa pun karena saya sudah memilikinya di dalam rahim.
***
No comments:
Post a Comment