11 December 2012

Rinai Hujan dan Ibu


'“Nek, kenapa setiap kali hujan turun Ibu selalu duduk dekat jendela sambil tersenyum?”

“Ibumu sedang menyambut kedatangan Ayah.”

***

Ibu memang mencintai hujan melebihi apa pun di dunia ini sejak kecil, termasuk aku sebagai putrinya. Nenek bilang, Ibu paling suka hujan-hujanan. Jika rinai hujan sudah menyentuh  atap rumah, dia akan segera berlari keluar dan menarikan sebuah tarian, “Tarian Hujan”, Kata Ibu. 
Nenek sudah lelah dan menyerah untuk melarang Ibu agar tidak hujan-hujanan karena Ibu tidak pernah jatuh sakit setelah hujan-hujanan. Tidak seperti anak lainnya yang demam dan panas tinggi setelah bermain air.

Hujan turun tak henti-hentinya selama berhari-hari hingga air meluap dan banjir melanda. Ibu juga tidak pernah sekali pun absen menarikan tarian hujannya. Hujan kali ini berbeda, membuat Ibu sakit demam tinggi tidak turun-turun. Mungkin ini disebabkan tidak adanya persediaan air bersih, makanan yang layak, obat-obatan, dan baju hangat di tempat pengungsian darurat. Curah hujan yang tinggi membuat air terus meluap sehingga mereka semua terpaksa mengungsi ke tempat yang kering. Bantuan dan relawan datang tepat di saat beberapa orang sudah terkapar terserang demam, diare, dan gatal-gatal.

Saat itulah Ibu bertemu dengan Ayah, seorang pemuda kota yang sedang co-ass dan menjadi relawan. Ayah merawat Ibu yang sudah tergolek lemah tak berdaya, kehilangan banyak cairan dan gizi serta demam yang tak kunjung turun. Tak lama setelah keadaan normal kembali, Ibu dan Ayah pacaran. Setahun kemudian mereka menikah dan lahirlah aku. Ibu menamaiku aku, Rinai.

Saat itu usiaku masih sangat kecil, aku tidak mengerti mengapa Ibu yang selalu terlihat riang menangis berhari-hari bahkan berminggu-minggu lamanya sepanjang malam. Tapi, jika langit sudah memperlihatkan awan gelap aku dapat melihat senyum tipis Ibu. Ibu akan duduk manis di dekat jendela menunggu rintik-rintik hujan turun. Ibu tidak pernah menarikan “Tarian Hujan” lagi setelah Ayah pergi dari rumah.

*

“Sudah jangan menangis terus. Aku pergi untuk kamu dan Rinai.”
“Kerjaan kamu di sini kan sudah enak. Kenapa harus melanjutkan sekolah lagi? Kenapa harus keluar negeri?”
“Aku ingin punya klinik sendiri, ini jalan yang harus aku tempuh.”
“Tapi aku dan Rinai butuh kamu. Aku butuh kamu.”
“Dua tahun. Aku cuma minta dua tahun.”
“Swedia itu jauh, kan?”
“Sudah jangan menangis terus, nanti Rinai bangun. Jangan menambah beban kepergianku. Aku akan rajin mengirimimu surat.”

Di rumah Nenek, semua sanak saudara berkumpul melepas kepergian Ayah ke Swedia untuk melanjutkan gelar dokternya. Aku yang masih kecil tidak mengerti bahwa itu adalah saat terakhir aku bertemu dengan Ayah. Yang aku tahu semua saudara berkumpul dan banyak sekali makanan manis. Ibu dan pamanku mengantar kepergian Ayah ke bandara. Aku di rumah bermain bersama sepupu dan Nenek yang menjagaku.

“Kamu, baik-baik yah. Jaga kesehatan. Jangan hujan-hujanan nanti kalau sakit aku yang repot harus terbang ke Bandung untuk ngobatin.”
“Iya, kamu juga hati-hati di sana. Belajar yang rajin biar cepat lulus dan pulang ke rumah.”
“Aku akan merakit mesin penenun hujan di sana. Hingga terjalin terbentuk awan yang melimpahkan curah hujan hanya untukmu.”1

Dalam perjalanan pulang paman terus menghibur Ibu yang masih menangis, kesepian dan kerinduan yang pertama kali menyerang Ibu. Nenek sedang menonton sinetron sambil sesekali melihatku yang sedang bermain di luar. Dalam sekilas berita diberitakan “Terjadi kecelakaan pesawat pada penerbangan International dari Bandung ke Swedia. Hampir dapat dipastikan tidak ada penumpang yang selamat.

*

“Rinaiiii ....”
“Iya, Bu.”
“Ayah sedang menenun, lihat awannya gelap sekali. Buatkan teh sebentar lagi Ayah datang.”

Rinai hujan perlahan turun, suara gemercik merdu terdengar menyentuh atap rumah, membasahi halaman rumah. Di sudut jendela, Ibu menikmati tehnya sambil tersenyum, menyambut Ayah.

***

Gambar dari sini

Note.
1. Petikan lirik Frau, Mesin Penenun Hujan.
Coba deh bacanya sambil buka www.rainymood.com


2 comments: