'“Nek, kenapa setiap kali hujan turun Ibu selalu duduk dekat
jendela sambil tersenyum?”
“Ibumu sedang menyambut kedatangan Ayah.”
***
Ibu memang mencintai hujan
melebihi apa pun di dunia ini sejak kecil, termasuk aku sebagai putrinya. Nenek
bilang, Ibu paling suka hujan-hujanan. Jika rinai hujan sudah menyentuh atap rumah, dia akan segera berlari keluar
dan menarikan sebuah tarian, “Tarian Hujan”, Kata Ibu.
Nenek sudah lelah dan
menyerah untuk melarang Ibu agar tidak hujan-hujanan karena Ibu tidak pernah
jatuh sakit setelah hujan-hujanan. Tidak seperti anak lainnya yang demam dan
panas tinggi setelah bermain air.
Hujan turun tak henti-hentinya
selama berhari-hari hingga air meluap dan banjir melanda. Ibu juga tidak pernah
sekali pun absen menarikan tarian hujannya. Hujan kali ini berbeda, membuat Ibu
sakit demam tinggi tidak turun-turun. Mungkin ini disebabkan tidak adanya
persediaan air bersih, makanan yang layak, obat-obatan, dan baju hangat di
tempat pengungsian darurat. Curah hujan yang tinggi membuat air terus meluap
sehingga mereka semua terpaksa mengungsi ke tempat yang kering. Bantuan dan
relawan datang tepat di saat beberapa orang sudah terkapar terserang demam,
diare, dan gatal-gatal.
Saat itulah Ibu bertemu dengan
Ayah, seorang pemuda kota yang sedang co-ass dan menjadi relawan. Ayah merawat
Ibu yang sudah tergolek lemah tak berdaya, kehilangan banyak cairan dan gizi
serta demam yang tak kunjung turun. Tak lama setelah keadaan normal kembali,
Ibu dan Ayah pacaran. Setahun kemudian mereka menikah dan lahirlah aku. Ibu
menamaiku aku, Rinai.
Saat itu usiaku masih sangat
kecil, aku tidak mengerti mengapa Ibu yang selalu terlihat riang menangis
berhari-hari bahkan berminggu-minggu lamanya sepanjang malam. Tapi, jika langit
sudah memperlihatkan awan gelap aku dapat melihat senyum tipis Ibu. Ibu akan
duduk manis di dekat jendela menunggu rintik-rintik hujan turun. Ibu tidak pernah
menarikan “Tarian Hujan” lagi setelah Ayah pergi dari rumah.
*
“Sudah jangan menangis terus. Aku
pergi untuk kamu dan Rinai.”
“Kerjaan kamu di sini kan sudah
enak. Kenapa harus melanjutkan sekolah lagi? Kenapa harus keluar negeri?”
“Aku ingin punya klinik sendiri,
ini jalan yang harus aku tempuh.”
“Tapi aku dan Rinai butuh kamu.
Aku butuh kamu.”
“Dua tahun. Aku cuma minta dua
tahun.”
“Swedia itu jauh, kan?”
“Sudah jangan menangis terus,
nanti Rinai bangun. Jangan menambah beban kepergianku. Aku akan rajin
mengirimimu surat.”
Di rumah Nenek, semua sanak
saudara berkumpul melepas kepergian Ayah ke Swedia untuk melanjutkan gelar
dokternya. Aku yang masih kecil tidak mengerti bahwa itu adalah saat
terakhir aku bertemu dengan Ayah. Yang aku tahu semua saudara berkumpul dan
banyak sekali makanan manis. Ibu dan pamanku mengantar kepergian Ayah ke
bandara. Aku di rumah bermain bersama sepupu dan Nenek yang menjagaku.
“Kamu, baik-baik yah. Jaga
kesehatan. Jangan hujan-hujanan nanti kalau sakit aku yang repot harus terbang
ke Bandung untuk ngobatin.”
“Iya, kamu juga hati-hati di
sana. Belajar yang rajin biar cepat lulus dan pulang ke rumah.”
“Aku akan merakit mesin penenun
hujan di sana. Hingga terjalin terbentuk awan yang melimpahkan curah hujan
hanya untukmu.”1
Dalam perjalanan pulang paman
terus menghibur Ibu yang masih menangis, kesepian dan kerinduan yang pertama kali menyerang Ibu. Nenek sedang menonton sinetron sambil sesekali melihatku yang sedang
bermain di luar. Dalam sekilas berita diberitakan “Terjadi kecelakaan pesawat
pada penerbangan International dari Bandung ke Swedia. Hampir dapat dipastikan tidak ada penumpang yang selamat.”
*
“Rinaiiii ....”
“Iya, Bu.”
“Ayah sedang menenun, lihat
awannya gelap sekali. Buatkan teh sebentar lagi Ayah datang.”
Rinai hujan perlahan turun, suara gemercik merdu terdengar menyentuh atap rumah, membasahi halaman rumah. Di sudut
jendela, Ibu menikmati tehnya sambil tersenyum, menyambut Ayah.
***
Gambar dari sini |
Note.
1. Petikan lirik Frau, Mesin Penenun Hujan.
Coba deh bacanya sambil buka www.rainymood.com
suka ini! :*
ReplyDeleteaaakhhh maaccihhh yah :D
ReplyDelete