13 July 2011

Kebaya Punya Cerita

Sore itu, langitnya agak mendung seperti hari ini, betapa indahnya. Saya duduk di teras rumah menunggu anak semata mayang yang baru berusia 8 tahun pulang dari sekolahnya. Di kejauhan terlihat sosok gadis belia bersama ibunya. Mereka mendekat dan mulai memasuki pekarangan. Mereka meminta saya untuk menjahitkan kebaya pengantin untuk pernikahan si gadis, 3 bulan lagi.

Obrolan pun dilanjutkan di ruang kerja saya dengan teh dan kue ala kadarnya. Kami terlibat diskusi seru untuk menentukan bahan dan detail lainnya. Terlihat bahwa dia sudah memikirkan dengan matang apa yang diinginkannya, dia bicara dengan penuh semangat; "aku ingin memakai kebaya modern, kebaya model gaun yang panjang, dengan garis leher rendah, memanjang saja jangan model V-Neck karena sudah banyak model itu, ujung lengannya melebar dengan motif layer lalu di atas lengannya dibuat seperti sayap hingga berakhir di dada". Berhenti sejenak dan memandangi saya takut dianggap berlebihan. Saya tersenyum dan menjawab, model yang bagus kok, teruskan. Dia pun meneruskan, "Bagian bawahnya dibiarkan melebar dan jika berjalan akan seperti menari-nari di atas lantai. Bagaimana? Apakah sulit, tante?" Tidak, tentu saja tidak.

Setelah dia mendengar bahwa saya menyanggupi, wajahnya semakin bahagia, nampak seperti anak kecil yang diberi permen setelah dia belajar seharian. Mereka pun pulang dengan rasa tidak sabar ingin melihat sketsa desainnya. Akhirnya, anakku pulang, tak sabar mendengar ceritanya tentang kejadian di sekolah. Setelah mengurus rumah, anak, dan suami. Saya kembali ke ruang kerja saya, mencoba melukiskan apa yang ada dalam benak si gadis dan menambahkan sedikit untuk mempercantik desainnya. Entah sudah berapa kertas yang ku buang, entah ini sudah jam berapa, akhirnya selesai juga.

Dua hari kemudian, mereka datang lagi, menagih desain sketsa kebayanya yang tentu saja sudah kusiapkan. Mereka terlihat sangat puas. Diskusi kami lanjutan dengan pemilihan bahan; satin dan organdi tentu saja akan sangat indah dan menawan. Tile dan brokat, mungkin sedikit payet jangan terlalu banyak sebagai hiasan untuk mempercantik di sekitar leher.

Setelah itu, kami, saya dan sang gadis mencari bahan untuk kebayanya. Dia sangat ingin menemani saya dan terlibat dalam pemilihan bahan dengan tukang kain. Bukan karena dia tidak percaya saya akan manipulasi harga, tetapi dia ingin menjadikan kebaya ini adalah kebaya terbaiknya yang akan dia pakai hanya sekali seumur hidup. Sayang, dia tidak mengerti tentang jahit-menjahit sehingga dia ingin melihat dan merasakan proses awal sampai akhir.

Selama satu bulan penuh gadis ini selalu datang ke tempat saya, melihat bagaimana saya memotong kain, mengguntingnya membuat pola, menjahitnya satu per satu. Perlahan dia mulai membantu saya, yah sekedar membereskan sisa potongan kain, mengambilkan benang, memasukkan benang, memotong kain yang berlebih, atau sekedar bermain dan membantu anak saya mengerjakan tugas sekolahnya. Dia, pelanggan yang merangkap sebagai asisten walaupun saya sudah punya 4 orang asisten di rumah.

Menginjak bulan kedua, dia mulai jarang datang. Mungkin karena disibukkan dengan persiapan yang lainnya. Tentu saja saya mengerti. Hanya saja ada rasa kehilangan karena dia selalu menemani dan membantu saya setiap harinya sebulan kemarin.

Kebayanya sudah setengah jadi, hanya tinggal memasang payet dan fitting ulang supaya pas ukurannya. Beberapa kali saya telepon nomor yang dia berikan; tidak pernah ada yang mengangkat, beberapa kali pula saya kirim pesan; tidak pernah ada balasan. Dia sudah berpesan pada saya, jangan dulu pasang payetnya karena dia ingin melihat, belajar, dan memasangnya sendiri. Ini memang momen berharga bagi dirinya, saya mengerti, namun jika harus menunggu kabar darinya saya justru takut kebaya ini tidak akan selesai tepat pada waktunya.

Seminggu tidak ada kabar.

Dua minggu masih tidak ada kabar.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mulai memasangnya dan menyelesaikannya. Saya meminta kepada asisten saya untuk mendokumentasikannya, siapa tahu saja tiba-tiba gadis itu datang. Jadi saya tinggal menyerahkan rekamannya sehingga dia tetap tidak kehilangan satu momen pun dalam proses pembuatan kebaya ini.

Satu bulan lagi adalah hari pernikahannya, saya mulai gelisah. Kebaya telah selesai, menanti untuk dipakai sang empunya. Saya gantung dengan rapi di ruang kerja saya. Bangganya saya melihat desain hasil karya buatannya.

Tiga minggu menjelang, saya benar-benar gelisah. Betapa bodohnya saya dulu, hanya menanyakan nomor teleponnya saja, tidak meminta alamat lengkap dan data lainnya.
Kalau sudah kejadian seperti ini baru teringat betapa pentingnya sekedar bertanya tentang alamat rumah pelanggan. Kekhawatiran saya bukan soal pembayaran; memang baru setengahnya yang sudah dibayarkan, namun lebih kepada perasaan si gadis. Sinar matanya yang begitu hidup saat pertama kali datang ke rumah saya sore itu, semangatnya yang menggebu-gebu saat memilih bahan kebayanya sendiri, kesetiaan dan kesabarannya menemani dan menunggu tiap proses pembuatan kebaya itu.

Sudah puluhan kebaya yang saya jahitkan untuk para gadis menjelang hari besarnya, ulang tahun, wisuda, pertunangan, dan pernikahan. Semuanya berjalan dengan lancar dan berlalu begitu saja. Berbeda, saat menjahitkan kebaya gadis ini, seperti menjahitkan kebaya untuk anak sendiri. Semangat yang terpancar membias menjadi semacam energi tambahan untuk saya. Cinta yang terpancar menjadi aura magis setiap sulaman benang.

Tiga minggu menjelang, masih belum ada tanda kehadirannya. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Apakah pernikahan mereka ditunda, dibatalkan? Apakah terjadi masalah dengan calon suaminya atau berseteru dengan keluarganya? Hal-hal semacam itu memang sering terjadi saat menjelang pernikahan. Cinta yang berakhir di pelaminan memang sering dideru dan didera masalah untuk ujian mental mereka nantinya. Pernikahan bukan hanya sekedar mengucap janji, pesta resepsi pernikahan, akan tetapi sebuah tanggung jawab yang dipikul bersama.

Terkadang saya yang terkena imbasnya, ada beberapa kebaya tak bertuan yang menjadi penghias etalase rumah saya. Tolonglah, saya tidak ingin menjadikan kebaya gadis ini menjadi salah satu pajangan di etalase, kebaya tak bertuan. Kebaya - kebaya dalam etalase itu mempunyai ceritanya sendiri; ada yang tiba-tiba merasa tidak berjodoh dan membatalkan pernikahannya; ada yang tidak mampu membayar setelah kebayanya selesai jadi terpaksa saya menyewakannya; ada pula yang mendadak menemukan penjahit lain yang mungkin lebih murah sehingga kebayanya ditinggalakan begitu saja. Setiap kebaya mempunyai ceritanya sendiri. Kebaya punya cerita.



***


Sore ini, langitnya mendung, saya duduk di teras seperti biasa menunggu anak saya pulang sambil membaca koran yang tak sempat dibaca pagi tadi. Hari Senin selalu menjadi hari paling sibuk. Membaca berita di koran atau melihatnya di televisi justru malah membuat semakin depresi, betapa manusia itu semakin jahat akhir-akhir ini. Tapi ada satu foto yang nampaknya familiar, samar-samar terlihat seperti foto gadis itu. Aku membaca judulnya,


Gadis Belia Ditemukan Bunuh Diri Akibat Depresi

Ditemukan seorang gadis bunuh diri karena trauma yang telah menyerangnya selama sebulan terakhir. Calon suaminya ditemukan terbunuh di sebuah hotel bersama pelacur dua bulan yang lalu. Motif pembunuhan dicurigai karena terlibat hutang piutang. Si gadis bunuh diri dengan memotong urat nadinya dikamarnya yang sudah dihiasi dengan Bunga Melati. Mayat ditemukan oleh ibunya yang biasa mengantarkan sarapan dan obat anti-depresan sebulan terakhir ini sesuai dengan ajuran dokter. Kepolisian setempat menyatakan jam kematian, 08.00 WIB. Tidak ada pesan singkat yang ditinggalkan gadis itu, hanya sebuah sketsa baju kebaya dengan darah yang menetes dari urat nadinya. Minggu, 10 Oktober 2011.



Tanganku mendadak gemetaran, langsung lari mencari kalender.
Tiga bulan yang lalu, saya dan gadis itu melingkari kolom tanggal di kalender itu,
10-10-10, menandainya dengan spidol merah, The Wedding Day.



12 juli 11
02.20

No comments:

Post a Comment