21 December 2015

Setangkup Syukur Rasa Strawberry


Hari ini jalanan dibasahi lagi oleh hujan. Entahlah, hujan selalu memunculkan sisi sentimentil saya terhadap sesuatu. Galau? Oh, bukan. Saya lebih senang menyebutnya dengan istilah peka. Perasaan saya jadi lebih peka jika melihat atau mendengar suara hujan. Seperti sore ini ketika perlahan bulir air mulai turun membasahi jaket, terbayang secangkir kopi dan setangkup roti bakar. Sambil berteduh dan menghangatkan badan, saya menuju sebuah kedai, tidak terlalu mewah, sederhana namun cukup nyaman.

Ah, ya roti bakar rasa strawberry menjadi pilihan pasangan cappuccino saya. Rasa strawberry yang manis-manis kecut berbaur dengan cappucino yang pahit-pahit manis adalah kesempurnaan rasa untuk hujan sore ini.

Roti Bakar Strawberry

Roti bakar rasa strawberry dengan toping es krim strawberry saya sudah datang!
Suapan sendok pertama penuh dengan es krim melumer dalam mulut saya, sebagian rasa manis langsung tertelan meluncur bebas ke kerongkongan dan tersisa rasa kecut yang menempel pada langit-langit mulut. Lucu dan aneh yah? Pada awalnya rasa manis yang pertama datang hingga menimbulkan senyum bahagia. Lalu, rasa kecut mulai mendominasi dan manis pun berlalu begitu cepat. Kepergiannya sama cepatnya dengan kedatangannya.

Pada garpu pertama, saya mulai memakan rotinya yang sudah tercampur dengan es krim. Renyah dan empuk serta kecut dan manis ini mengingatkan saya akan sebuah kejadian ketika smartphone saya terjatuh. Dia terjatuh dari saku jaket ketika saya sedang di atas motor. Pasrah adalah ketika menyadari dia tidak di sana, pasrah ketika mencoba menghubungi nomornya sudah tidak aktif. Kecut sekali rasanya hati ini!

Terkadang strawberry memberi manis di awal, namun ada kalanya kecut pertama yang dirasakan. Seperti masalah smartphone ini, kekecutan hati akan keteledoran saya tidak bisa ditawar lagi. Hingga esok paginya ada pesan masuk mengatakan bahwa smartphone saya ditemukan dan akan dikembalikan. Ini adalah rasa dari yang paling termanis yang pernah saya rasakan. Sungguh, luar biasanya manisnya.

Cangkir Cappuccino

Cappuccino di sini rupanya pekat, tegukan pertama begitu pahit dan panas menyerang lidah saya. Serangan mendadak yang belum terpikirkan bagaimana untuk mengantisipasinya. Cappuccino itu dikenal sebagai kopi penuh kelembutan. Campuran susu dan foam menjinakkan kadar pahit dan asam dari biji kopi. Seperti cappuccino yang biasanya saya minum, dia seharusnya lembut, tidak terlalu pekat. Pekatnya cappuccino melekat di rongga mulut bersama dengan lidah yang terbakar, meninggalkan sesak di relung hati, Menyisakan lubang. Seperti jerawat yang belum siap, dipaksa matang, tercabuti, kemudian meninggalkan pori-pori besar di kulit. Sulit tertutupi. Walaupun pondation dapat menutupi dengan sempurna namun lubang itu tetap ada di sana.

Hampir jarang saya lakukan, namun akhirnya saya mutuskan untuk menambahkan sedikit gula pada cappuccino untuk menyelamatkan sore yang syahdu ini. Bagaimana pun manisnya gula hanya bersifat sementara ... tapi saya ingin cappuccino saya cukup manis.


Kehilangan handphone memang kecut tapi manis pada akhirnya karena masih ada seseorang di luar sana yang mau bersusah payah menghubungi dan mengembalikannya pada saya. 
Kehilangan seseorang yang disayangi dengan sepenuh hati memang sesak dan pahit, apalagi hilangnya tiba-tiba tanpa ada pertanda dan aba-aba, itu rasanya luar biasa menyakitkan. 

Namun, masih ada orang baik yang mau mengembalikan handphone saya. Dan, saya pun percaya masih ada orang lain di sana yang lebih pantas untuk saya sayangi dengan sepenuh hati dan jiwa hingga kematian memisahkan.


Oh iya, sementara itu ... agaknya saya harus sedikit mencampur cappuccino dengan gula. Sebab, setelah yang pahit, manis datang tanpa diduga. Masalahnya, saya belum tahu apakah kedatangan si manis yang tak terduga akan sama nantinya dengan kepergiannya yang tak terduga juga? Atau justru malah akan bertambah manis dan selamanya manis? Entahlah ... klisenya adalah hanya waktu yang dapat menjawab .... 

Ha ha ha ha .... roti bakar ini berhasil sudah mengacak-acak perasaan saya!
Menjadi momentum pengingat untuk diri saya sendiri bahwa terlepas dari rasa manis, kecut, pahit, sesak, sakit, senang, luka, bahagia, ada rasa yang lebih besar dan luar biasa menyelimuti semua perasaan yang berkecamuk. Rasa syukur. Bersyukur akan perasaan yang telah saya hadapi, bersyukur atas apa yang telah terlewati, bersyukur terhadap semua perkara yang telah terjadi, bersyukur selalu untuk apa dan siapa pun dalam kehidupan saya.

Tidak salah memang keputusan saya untuk berteduh dan memilih kedai sederhana ini bersama pesanan saya secangkir cappuccino dan setangkup syukur rasa strawberry.

Rupanya hujan sudah reda, tulisan ini pun selesai sampai di sini. Sudah saatnya saya melanjutkan perjalanan sebelum akhirnya kembali pulang.

Terima kasih
dan
Selamat Malam


***



4 comments:

  1. "Perasaan saya jadi lebih peka jika melihat atau mendengar suara hujan." So do I. 'Cause I'm a pluviophile. ^^

    aakkk! keren! beranjak dari roti bakar strawberry dan cappuccino bisa terlahir analogi yang keren tentang cinta. *touched*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahah begitu pun syukur dapat ditemukan di mana saja...

      Thank you Sin.

      Delete