12 March 2014

Tiket Terakhir

Bekerja sebagai penjaga tiket kereta api, aku menjumpai berbagai tipe manusia. Tipe manusia berdasarkan jenis kelas tiket yang biasa mereka beli; kelas eksekutif, kelas bisnis, dan kelas ekonomi.
Manusia yang biasa membeli tiket kelas eksekutif tentulah berasal dari golongan yang mampu karena harga tiket ini paling mahal. Mereka adalah orang yang mengutamakan kenyamanan selama dalam perjalanan. Selain dilengkapi dengan AC, mereka juga dapat menikmati fasilitas hiburan audio/visual. Bisa memesan makanan/minuman dan menikmatinya di tempat duduk yang nyaman. Kalau bosan bisa jalan-jalan ke gerbong restorasi (kereta makan) yang didesain sebagai mini bar dan yang asyiknya mereka dapat berkaraoke ria. Mereka tidak begitu mementingkan penampilan tapi yang jelas mereka bersih dan rapi. Barang yang mereka bawa juga rasanya tidak begitu banyak sebagian hanya membawa ransel atau koper kecil. Dan serunya beberapa dari mereka justru lebih ramah dan tidak terlalu terburu-buru, setidaknya menurut pengalamanku.

Manusia yang biasa membeli tiket kelas bisnis termasuk golongan menengah. Harganya lebih murah dibandingkan dengan tiket eksekutif. Walaupun tidak dilengkapi dengan AC bagi mereka duduk di kelas bisnis sudah cukup nyaman. Kebanyakan orang yang membeli kelas bisnis ini eksekutif muda yang memakai kemeja dan celana/rok bahan. Tak jarang juga kutemui beberapa mahasiswa pada awal bulan. Yang pasti beberapa di antara mereka banyak sekali yang menenteng tas laptop. Mereka tidak terlalu ramah dan sepertinya selalu diburu oleh waktu. Mungkin kelas bisnis ini memang untuk golongan pebisnis ya.

Yang terakhir dan yang paling banyak adalah manusia yang membeli tiket kelas ekonomi. Tidak ada AC pastinya. Walaupun kelas ekonomi ini jumlah tempat duduknya paling banyak, 106 orang per kereta, tetap saja masih ada penumpang yang berdiri karena tidak kebagian tiket. Sayangnya, mereka tetap harus membayar sama dengan mereka yang duduk. Barang yang mereka bawa justru lebih banyak dibandingkan kelas lainnya. Berbagai ukuran koper dari yang super besar sampai super kecil. Kelas ekonomi ini jauh dari rasa nyaman ditambah pedagang asongan yang kadang masuk seenaknya ke dalam gerbong saat kereta berhenti, memberi jalan kereta kelas lain melintas kereta eksekutif selalu diprioritaskan.
Ah, tahu apa aku ini yang hanya lulusan SLTA membicarakan tentang tipe manusia dari tiket yang mereka beli.

Aku memang lulusan SLTA di sebuah sekolah pinggiran di Bandung. Dengan status sosial dan keadaan keuangan keluarga yang serba terbatas, aku tak mungkin melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku ingin sekali merasakan menjadi anak kuliahan. Seperti mereka, anak kuliah yang biasa membeli tiket, mereka terlihat keren. Tapi tak usahlah aku kuliah di luar kota cukup kuliah di Universitas Negeri di Bandung yang lulusannya menjadi guru, agar aku bisa mendidik adik-adikku yang tak sekolah sekarang.

Sebagai anak perempuan pertama, aku cukup beruntung bisa merasakan bangku sekolah sampai SLTA. Teman-teman seangkatanku malah belum lulus sudah dipaksa keluar dan disuruh bekerja lalu kemudian dikawinkan oleh orangtuanya. Untunglah, Ibu tidak ikut-ikutan memaksaku juga. Ibu memang perempuan yang hebat, menafkahi kami bertiga, aku dan kedua adikku, seorang diri. Ayahku yang hanya kuli bangunan sudah lama meninggal, tertimpa reruntuhan batu saat pembanguan mall di daerah Gatot Subroto. Waktu ayah meninggal, aku masih SMP. Walaupun aku tidak tahu kejadian yang sebenarnya tapi ayah masuk koran dan beberapa media sempat mampir ke rumah untuk menanyakan perasaan Ibu. Ibu sedih dan menangis tiada henti tentu saja tidak bisa bicara banyak. Selama seminggu berbagai media terus berdatangan silih berganti, kami sampai ngutang teh ke warung-warung sepanjang gang untuk menjamu mereka. Peristiwa itu memang menghebohkan, tapi hanya seminggu. Kemudian kembali sepi. Perusahaan tempat ayah bekerja, memberikan pesangon cukup besar untuk Ibu sebagai rasa turut berduka cita dan menghimbau agar Ibu tidak terlalu banyak bercerita kepada media. Uang pesangon itulah yang dapat menyekolahkan aku sampai lulus.

Semenjak lulus, aku membantu Ibu berjualan gorengan di stasiun sepanjang hari. Hasilnya lebih dari cukup untuk kami bertiga makan sehari-hari. Apalagi kalau liburan panjang tiba, dagangan Ibu selalu ludes tak bersisa. Saat itulah aku melihat lowongan sebagai penjaga tiket, walaupun syaratnya D3 tapi aku memberanikan diri untuk melamar. Aku bisa mengetik dengan komputer dan mengisi angka-angka dalam kolom excel, walaupun tidak begitu menguasai. Kemampuan Bahasa Inggrisku cukup bagus dari hasil nilai ujian yang tak pernah kurang dari delapan.

Latar belakang pendidikanku yang hanya lulusan SLTA menjadi kendala, ah cuma lulusan SLTA bisa apa memangnya? Tapi aku punya kemauan yang besar untuk belajar. Lagipula aku masih bisa tetap berdekatan dengan Ibu kalau diterima bekerja nanti. Pokoknya aku mau bekerja di Stasiun ini, aku rela walaupun hanya jadi tukang bersih-bersih. Untunglah semangatku memohon-mohon mengibakan mereka. Satu bulan masa uji cobaku, dalam waktu satu bulan aku harus bisa menyesuaikan diri dan menunjukkan kemajuan. Malam itu aku berdoa pada Tuhan sampai tertidur dan tak habis-habisnya mengucapkan terima kasih padaNya.

***

Sebulan, dua bulan, yang menjadi tiga bulan dan tak terasa sudah menginjak satu tahun aku bekerja di sini. Awalnya memang sulit sekali, memasukkan data ke dalam komputer selagi ada penumpang di depan kita, mengingat jadwal kereta setiap gerbongnya, menghitung dan mencocokkan jumlah tiket yang terjual dan uang yang masuk. Sungguh pusing! Ingin menyerah! Terlalu banyak pekerjaan yang dilakukan di saat yang bersamaan. Belum lagi harus berhadapan dengan penumpang yang marah karena kehabisan tiket atau ketinggalan kereta.
Tapi Ibu menyemangatiku, Ibu mengingatkan akan janjiku sendiri yang ingin menyekolahkan adik-adikku setidaknya sampai lulus SLTA. Penghasilan Ibu berjualan gorengan tidak mungkin mencukupi. Iya, aku tahu Ibu. Tapi rasanya sulit sekali kerja sebagai penjaga tiket itu. Aku pikir tidak akan serumit itu.
“Ah, gampang atuh Neng. Masa sudah sekolah sampai SMA ngga bisa?” kata Ibu
Mengingat pesan Ibu dan mungkin karena sudah terbiasa juga menjadi penjaga tiket, aku sudah menemukan ritme kerjaku sendiri. Ternyata tidaklah sesulit yang aku rasakan dahulu. Di tahun pertamaku ini, aku mulai menikmati pekerjaanku. Penghasilanku juga sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami. Adikku dapat meneruskan sekolahnya lagi dan sebagai tambahan uang sakunya sehari-hari, dia berjualan koran saat pagi-pagi sekali sebelum sekolah. Kehidupan kami memang semuanya terpusat di stasiun ini. Stasiun inilah yang secara tidak langsung menghidupi keluarga kecil kami ini.

***

Selalu saja muncul masalah saat semuanya baik-baik saja. Masalah muncul bersamaan dengan selesainya pembangunan Tol Cipularang. Pembelian tiket kereta api mengalami penurunan secara drastis setiap minggunya. Hal ini sudah terjadi selama beberapa bulan dan jika terus terjadi maka nama stasiun ini hanya akan tinggal sejarah, begitu yang terus diucapkan oleh atasanku. “Pemerintah seharusnya melakukan sesuatu, fasilitas sudah kita tingkatkan, kalau masalah ini dibiarkan bisa-bisa gulung tikar. Padahal stasiun ini sudah berdiri sejak 1887, apakah riwayat hidupnya harus berakhir sampai di sini saja”, itu yang terus dikeluhkan oleh atasanku. 
Banyak tenaga kerja yang diperkerjakan di stasiun ini, banyak pula yang mendapat penghasilan melalui stasiun ini, aku salah satunya. Bahkan para pencopet, pengemis, tukang semir sepatu, tukang becak, pedangan asongan, sampai preman pun mendapat penghasilan melalui stasiun ini. Beberapa dari kami memang menggantungkan hidup di stasiun ini. Jika pembelian tiket tidak mengalami kenaikan, maka stasiun ini  terpaksa akan tutup, karena biaya pengeluaran operasional yang tak tertutupi.

Aku belum pernah naik tol dan Tol Cipularang entah berada di mana. Sudah hampir tiga bulan, penjualan tiket terus mengalami krisis. “Siapa sih yang punya ide bikin tol itu?” tanyaku geram. Membuat jarak Bandung-Jakarta menjadi lebih dekat, yang berarti membuat penjualan tiket terus menurun. Siapa yang harus bertanggung jawab? Apa mereka tidak pernah berpikir selalu akan ada korban dari pembangunan yang mereka lakukan? Setelah ayahku menjadi korban. Sekarang puluhan pegawai stasiun kereta api juga terancam menjadi pengganguran.

Ah, tahu apa aku ini yang hanya lulusan SLTA.

Setelah beberapa bulan, akhirnya penjualan tiket mulai stabil lagi. Mungkin mereka menyadari bahwa naik kereta api lebih menyenangkan daripada naik tol, lebih murah. Stasiun ini terselamatkan. Tempat orang-orang singgah untuk akhirnya meneruskan perjalanan mereka sampai tujuan.

Hari-hari pun berjalan seperti bisa. Penjualan tiket akan mengalami puncak kenaikan menjelang long weekend datang atau liburan hari raya keagamaan. Itulah hari tersibuk bagiku. Di sela kesibukanku, ada pria berumur 70 tahunan, dugaanku melihat dari perawakannya yang cukup renta, menggunakan tongkat sebagai tumpuannya saat berjalan. Memakai topi pet, lengkap dengan syal abu-abu, dan jaket yang menutupi kemeja coklat di dalamnya. Pria tua ini tampak linglung dan mendekati loketku,

“Selamat Sore, Pak. Ada yang bisa dibantu? Mau pesan tiket dengan tujuan kemana?”
“Begini Mba, saya sudah dapat tiket tapi saya bingung ini tujuannya ke mana ya? Saya sudah cek jadwal keberangkatan, ada tanggal dan juga ada jam keberangkatan di situ. Saya bingung.”
“Boleh saya lihat tiketnya, Pak?”

Pria tua itu menyerahkan selembar tiket kepadaku, kertasnya keras, seperti kertas ijazahku, warna tintanya emas. Tiketnya berbeda dengan tiket kereta api. Aku belum pernah naik pesawat, mungkinkah ini tiket pesawat. Rasanya terlalu mewah untuk dijadikan tiket. Di dalamnya hanya tertera infomasi jadwal keberangkatan, tanggal keberangkatan, nomor kursi, dan keterangan bahwa tiket tidak bisa diwakilkan. Di belakangnya tidak ada informasi apa-apa, kosong.

“Bapak, dapat tiket ini darimana? Ini bukan tiket kereta api, Pak.”
“Saya juga tidak tahu. Pagi tadi sudah terselip di bawah pintu. Saya kira itu surat cinta untuk cucu saya. Tapi suratnya dialamatkan kepada saya, di dalamnya hanya ada satu tiket itu. Tidak ada yang lain. ”

Aku bingung, tiket itu adalah tiket terindah dan terbagus yang pernah aku lihat. Tintanya yang berwarna emas memancarkan kemilau emas saat membacanya. Di pinggirannya ada semacam hiasan ukiran sayap melengkung dan jika di raba ukiran sayap itu timbul. Pria tua ini akan terus berdiri di depan loket menunggu jawaban. Sementara di belakangnya antrian mulai memanjang. Aku harus melakukan sesuatu.

“Bapak, silahkan duduk dulu, di sana. Saya tanyakan tiket ini kepada atasan saya ya, Pak. Mungkin, beliau lebih tahu dibandingkan saya.”
“Iya, coba tolong tanyakan ya, Mba. Waktunya sebentar lagi, saya tidak ingin ketinggalan kereta.”

Waktunya sebentar lagi ... aku kembali melihat informasi di tiket itu. Jam keberangkatan pukul 16.00 WIB. Sepuluh menit lagi. Langsung aku memencet tombol operator untuk dihubungkan kepada atasan. Aku bicara dengan terburu-buru mengenai tiket ini. Awalnya atasanku tidak menghiraukan, mungkin saja ini salah satu perbuatan orang iseng atau orang gila. Namun, aku jelaskan kembali secara perlahan bagaimana pria tua itu nampak normal, sehat, dan juga kebingungan. Akhirnya atasanku akan menemuiku untuk melihat sendiri tiket itu dan menjelaskan langsung kepada pria tua itu bahwa mungkin saja ini adalah salah satu lelucon yang dibuat cucunya.

Tepat sepuluh menit kemudian, atasanku membawa tiketnya dan menghampiri pria tua yang mulai terantuk-antuk di kursinya. Atasanku menyapa pelan sambil memegang pundak pria tua, aku melihatnya melalui jendela di loket sambil tetap sibuk melayani penumpang lainnya. Tak lama kemudian, atasanku berteriak memanggil ambulan. Beberapa mulai menjerit entah takut atau kaget. Pria tua itu meninggal tepat saat atasanku memegang pundaknya.

Sesuatu mengarahkan Aku berlari menuju pria tua itu duduk, aku tidak peduli dengan antrian yang masih panjang di loketku. Aku tinggalkan begitu saja sesaat mendengar atasanku memanggil ambulan dan melihat pria tua itu jatuh tergolek di lantai.

Aku rebut tiket di tangan atasanku, melirik ke jam dinding di ruang tunggu dan jam yang ada di tiket. Jam 16.00 wib. Aku yakinkan hari ini tanggal yang sama dengan yang tertera di tiket. Dan nomor kursi yang tertera di tiket DEC304SE adalah nomor kursi pria tua itu duduk.

***

2 comments:

  1. ada juga yang tidak mau membeli tiket atau para 'atapers'

    ReplyDelete