28 May 2012

Cappuccino Senja


“Hah, lo putus? Serius?!”
“Kenapa putus?”
“Sayang banget udah lama pacaran kenapa putus?”
“Jadi lo serius putus ama dia? Atau sekedar cari sensasi?”
“Kenapa kamu putusin dia? Kurang baik apa dia sama kamu?”

 ***

Dirinya yang juga terpuruk, tidak siap saat dihujani begitu banyak pertanyaan bertubi-tubi yang justru datang dari teman dekatnya. Pertanyaan dengan kata tanya ‘kenapa’ dan ‘kenapa’ dari sekian banyak kata tanya yang ada, semakin lama semakin menyudutkannya bahwa keputusan yang diambilnya adalah sebuah kesalahan. Sulit baginya untuk mengeluarkan rentetan kata yang dapat membungkam mulut-mulut kelaparan jawaban.
Tidak bisakah mereka membiarkan dirinya terbenam dalam kesendirian. Mereka tidak pernah tahu, bagaimana dirinya selalu dikekang dan dipenjara. Perjuangan yang membutuhkan pengorbanan untuk sebuah kata kebebasan, bebas dalam kesendirian.
Bolehkah dia mendapat sedikit penghargaan atas usaha yang berhasil dicapainya itu? Penghargaan dengan tanpa banyak bertanya lalu menyudutkannya karena telah mengambil langkah yang salah, menurut mereka. Toh, selama ini dia menjalani hidupnya seorang diri. Tidak ada yang pernah tahu sebenarnya apa isi hatinya, hingga akhirnya dia menemukan aku, atau lebih tepat aku yang menemukannya.

***

Pertemuanku dengannya memang terjadi secara kebetulan. Melalui jejaring sosial secara tidak sengaja aku follow akun twitternya. Twitnya yang mengandung canda, kopi, amarah, dan terkadang luka, entah mengapa justru membuat aku semakin penasaran ingin mengenal lebih dalam pribadi di balik akun twitter itu. Lupa, iya aku lupa bagaimana awal mulanya sehingga aku follow dia dan menemukan luka di sana walaupun kata-katanya ditulis dalam canda.

Ini suatu kebetulan yang aneh karena dalam sebuah acara peluncuran buku, aku menemukan dia di sana seorang diri. Tak mungkin salah, aku cek akun twitternya, ini wajah yang sama, twitnya terakhir juga mengatakan dia sedang menghadiri peluncuran buku yang selama ini selalu dinantinya. Ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan mengapa akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapanya di peluncuran buku itu.

“Hai”
“Hai juga” dia membalas dengan pandangan bertanya.
“@pekatnyasenja kan? Gw @sangkalapagi.”
“Oh jadi kamu sangkalapagi itu, abis foto profilenya Sunrise mulu.”
“Hahaha, disesuaikan dengan nama akunnya dong. Memang sengaja datang ke peluncuran Partikel yah? Sendiri?”
“Iya, udah lama banget nunggu seri Supernovanya Dee keluar lagi. Makanya langsung datang ke sini, hari ini diluncurkan secara serentak di beberapa kota, salah satunya ya di Bandung. Kamu datang untuk Partikel juga?”
Kutunjukkan buku yang baru kubeli, sebuah buku Auto-biography seorang fotographer muda dan kumpulan foto-foto terbaiknya.
“Ini, gw datang ke sini untuk buku ini bukan untuk Partikel. Pas lagi bayar lihat ada rame-rame dan mahluk alien terus jadi penasaran deh. Eh malah ketemu pekatnyasenja di sini saat senja pula. Hehehe. Ouh iya gw Rafael.”
“Senja” dia menyambut tanganku, hangat.
“Nama lo benaran Senja?”
“Iya, kenapa?”
“Keren namanya, unik.”
“Masa? Bukannya pasaran yah?”
“Ngga kok, jarang gw temui nama Senja. Eh, datang sendiri?”
“Iya”
“Oh”

Tiba-tiba salah tingkah, ditengah peluncuran buku yang didominasi oleh segerombolan orang, dia datang sendiri. Walaupun dia menjawab pendek-pendek dan seakan seperlunya tapi dia cukup ramah untuk ukuran orang asing seperti aku yang mengajak berkenalan.

“Eh, saya duluan yah. Mau ke kasir sebelum semakin panjang antriannya.”
“Oh oke Senja”

Senja, nama aslinya memang Senja. Entah mengapa sejak pertemuan yang tidak sengaja itu aku mulai memperhatikan setiap timelinenya. Setiap buka twitter yang pertama kulakukan selalu mencarinya, apa yang dia tulis, apa yang dia rasakan, apa saja kegiatannya hari ini. Mulai follow akun-akun yang dia follow dan berharap akan ada peluncuran buku lainnya, agar kami dapat bertemu kembali.

Hari pun berlalu, kesibukanku sebagai Fotografer Freelance membuatku jarang buka twitter dan Senja pun berlalu begitu saja. Minggu-minggu ini memang hari yang berat untukku, ditunjuk untuk mengurus serta mendokumentasikan sebuah acara fashion show, cukup banyak menyita waktu. Malam ini aku dan beberapa panitia yang terlibat acara fashion show rapat di sebuah cafe di Dipatiukur, Bandung. Ada banyak agenda rapat yang harus dibicarakan dan persiapan yang dilakukan.

Saat itulah aku menemukan Senja, lagi, seorang diri. Hanya ada secangkir kopi, laptop, asbak berisi puntung rokok yang menemaninya. Nampaknya dia sudah cukup lama di sana, seorang diri.
Sengaja aku tidak menyapanya, ingin kuselesaikan rapat ini dengan cepat lalu menghampirinya. Ada semacam kerinduan yang tidak jelas datangnya. Selama rapat, entah sudah berapa kali aku bolak-balik meliriknya, memastikan apakah dia masih ada di sana, apakah dia menyadari aku memperhatikan terus, apakah dia masih mengingat aku. Untunglah rapat kali ini tidak bertele-tele dan akhirnya selesai. Setelah mengulas job desk masing-masing, aku pun pamit, pindah ke mejanya.

“Malam, Senja. Boleh duduk?”
“Oh, Hai. Ehm kamu sudah duduk baru minta ijin.”
“Heheheh, Lagi ngapain?”
“Menyendiri”
“Ganggu donk”
“Kamu sendiri lagi apa?”
“Habis meeting sama anak-anak, lagi ada proyekan. Eh, serius gw ganggu yah, ya udah deh pindah meja lagi.”
“Hahaha, ngga kok.”
Dan pembicaraan pun mengalir, menghabiskan bergelas-gelas kopi, berbatang-batang rokok. Ada banyak perbedaan di antara kita, salah satunya mengenai kopi. Aku lebih suka cappuccino, tidak pahit tapi manis, sama seperti aku menyukai gadis-gadis yang berparas manis. Hal itulah yang sempat menjadi bulan-bulanannya, “lelaki macam apa yang menyukai cappuccino” ledeknya. Dia menguruiku “Cappuccino itu untuk seorang yang lembut, bahkan aku yang seorang perempuan pun tidak suka dengan kelembutan foam cappuccino”. Karena dia penikmat kopi tubruk, kopi hitam dengan sedikit gula, pekat. Seperti nama akun twitternya @pekatnyasenja.

Perbedaan lainnya adalah, bagiku pagi adalah semangat. Baginya pagi adalah waktu untuk tidur. Seperti namanya, dia saat suka dengan senja, saat langit mengeluarkan semburat jingga, romantis. Dengan adanya perbedaan di antara kita itu lah, aku semakin tertarik padanya, secara pribadi.

Tak terasa sudah setahun kami berteman, ada banyak hal yang tak terduga kutemui dalam dirinya. Kadang dia ingin dimengerti, didengar, dimanja, layaknya perempuan pada umumnya. Di sisi lain dia ingin dijauhi, dihindari, tak ingin dijumpai, bahkan bertegur sapa di twitter. Uring-uringan, sungguh! Menghadapinya saat sikap antipatinya muncul dan berusaha menghiburnya adalah sia-sia. Kesendirian baginya adalah sakral, hanya untuk dirinya sendiri, tidak ingin berbagi dengan siapa pun, termasuk aku, teman terdekatnya satu tahun terakhir ini. Putus asa. Dia menginginkan pertemanan, aku ingin lebih. Tapi, saat aku mulai menjauh, dia mulai menghampiri. Tarik ulur. Bosan.

Lambat laun, aku mulai mengerti asal muasal sikap antipatinya timbul-tenggelam. Aku menyukainya sejak pertama bertemu di peluncuran buku itu. Aku rasa dia pun mulai tertarik padaku, dengan seringnya kita jalan bareng, makan bareng, ngopi bareng, ngerokok bareng, bahkan menyendiri bareng. Menyendiri di saat kita sedang bersama.

Dia belum bisa melupakan cinta lamanya, sepenuhnya.

Sahabatnya, temannya, hampir semua orang yang mengenal kisah cinta lamanya itu mulai menjauhinya perlahan. Mereka tidak mengerti mengapa dia memutuskan untuk berpisah setelah menjalin hubungan selama dua belas tahun.

Aku. Apalah artinya sangkala pagi bagi seorang pekatnya senja.
Pagi yang selalu bersinar. Senja yang selalu meredup.
Selama ini, pagi merupakan sosok pengisi kekosongan belaka bagi senja tanpa pernah mampu membuatnya penuh.

Saat aku berhadapan dengannya, dalam benaknya, ini bukan wajah yang sama.
Tanganku mengenggam tangannya, ini bukan tangan yang sama.
Bibirku mulai mengecup kening, mata, hidung, pipi, dan bibirnya, ini bukan bibir yang sama.
Pelukanku di malam-malam yang dingin, ini bukan pelukan yang sama.
Ringkih! Itulah yang dia rasakan saat aku mulai menyentuhnya, sangat halus. Dia selalu terhenyak saat aku tiba-tiba membelai rambutnya, ini bukan belaian yang sama. Ada trauma di sana. Kutanyakan hal ini padanya perlahan, tidak ada paksaan baginya untuk segera menjawab. Masa lalu betapa pun pahitnya biarkan menjadi bagian masa lalunya. Aku adalah masa sekarangnya.

Matanya mulai berkaca-kaca, tubuhnya gemetaran saat dia menceritakan apa yang telah dilaluinya dengan cintanya yang lama. Hanya kepahitan yang kudengar, bukan, bukan karena aku cemburu. Hanya kepahitan. Dirinya terpenjara, terlalu banyak aturan yang harus dipenuhinya. Dirinya tersiksa, satu tamparan untuk aturan yang dilanggar, satu pukulan sebagai hukuman, satu tendangan agar dia jera. Semakin dia berontak semakin erat rantai menjeratnya.

Bagaimana mungkin dia dapat melupakan cinta lamanya yang sudah berdiam terlalu lama dihatinya. Dua belas tahun lamanya, cinta itu berkarat di sana. Terbiasa dengan sentuhan yang sama lalu tiba-tiba seorang yang asing menyentuhnya tentu akan membuat tubuhnya berontak walaupun ada bagian dalam relung hatinya yang mendamba. Tidaklah heran jika temannya menyayangkan hubungan itu berakhir seperti ini, bukan di pelaminan. Tapi temannya tidak tahu dan tidak pernah mau tahu, luka dihatinya, luka ditubuhnya.

Manusia dua belas tahun itu telah mendominasi seluruh hidupnya. Mengaturnya sedemikian rupa hingga dia tidak punya waktu di dalam kesendiriannya. Ini lah yang menjadi penyebab dia sangat menikmati kesendiriannya sekarang.

Jengah! Mendengar cerita cinta lama itu keluar dari mulutnya. Melihat bekas luka siksaan di tubuhnya. Melihat hatinya berkarat. Bagaimana mungkin dia dapat bertahan selama itu dua belas tahun lamanya. Hingga tiba pada suatu titik dimana dia tidak sanggup lagi berjalan tertatih-tatih bersama cinta lamanya. Dia mengakhirinya dengan penuh luka di sekujur tubuh dan senyum manis tulus di bibirnya.

 “Sudah setahun berlalu, ada aku!!!” ingin kuteriakkan itu ke dalam hatinya. Dua belas tahun lamanya dia terluka, setahun perjuanganku tentulah bukan apa-apa. Kukembalikan pada sang waktu dan kembali berharap agar tidak perlu menunggu selama itu untuk memulihkan hatinya. Sama seperti dulu ketika aku berharap dipertemukan kembali dengannya dalam suatu peluncuran buku.

***

Kuubah nama akun twitterku, @manisnyasenja. Setelah dua tahun, dia mulai membuka hatinya, walaupun belum sepenuhnya. Seringkali kujumpai senyum diselingi tawa kecilnya, betapa manisnya kau, Senja. Aku telah menemukanmu, manisnya Senja dalam kepekatan cinta yang telah dilalui. Perlahan dia mulai menyukai cappuccino dan membenci kopi hitam. Seperti yang pernah dia katakan, cappuccino itu untuk seorang yang lembut. Kau tak akan pernah tahu kelembutan dalam cangkir cappuccino, jika kau belum pernah merasakan kepahitan dalam kopi hitam. Kupersembahkan cappuccino ini untuk Senja. Senja yang menyemburatkan warna jingga dan Senja yang tersenyum manis sambil menikmati cappuccino bersamaku.


***


4 comments: