18 August 2015

Drama Empat Babak

Sudah lama tulisan ini tersimpan dalam draft, penggalan kisah drama yang terjadi dalam hidup saya selama delapan bulan terakhir. 

Sulit sekali menulis ketika masih terlarut dalam perasaan. Setiap kata mengandung kenangan yang membawa kembali pada masa yang lalu. Terlalu melarutkan diri dalam kenangan hanya akan membuat luka semakin menganga. Jadi, sudah waktunya untuk melepaskan. Dan salah satu cara terbaik untuk melepaskan kenangan adalah dengan menulisnya.

Awalnya tulisan ini dibuat dengan ending penuh kejutan menyenangkan. 
Sebab Sang Sutradara punya skenario lain, sebagai aktor, saya hanya mampu menjalankan peran yang sudah diberikan. Inilah drama empat babak,


*

Babak Satu, Pertemuan

I still remember the feeling 
I felt when 
I first started talking to you *


Tidak ada yang lebih hebat daripada secangkir kopi untuk mencairkan suasana. Itulah yang saya rasakan ketika kekakuan dan kekikukan menyerang kala berada di tempat asing dengan wajah yang tidak familiar. Dalam ruangan serba guna penerimaan mahasiswa baru ketidaknyamanan tersamarkan dengan memasang wajah ketus.
Dia melirik, tersenyum, mengulurkan tangannya,

"Saya Yoga"

"Eva"

Perlu waktu seminggu untuk dapat beradaptasi dengan segala jenis karakter di dalam ruangan kelas. Dua minggu untuk tahu siapa yang bisa dijadikan teman sekedar ngobrol, salah satu kriterianya tentu saja kopi.

"Beres kuliah kami mau ngopi, kamu ikut mobil aku saja!"

"Oh iya, di mana? Ngga usah saya bawa motor."

"Di Wastukencana. Ngga apa-apa, nanti aku antar lagi ke kampus. Yah?"

"Tapi ...."

"Yuk, yang lain udah berangkat."

Kaki saya langsung mengikuti langkahnya menuju parkiran namun hati saya menggerutu. Di mobil, berdua dengannya mulut saya kelu. Dia banyak bicara tentang kisah hidupnya yang saya tidak mau tahu, lalu tiba-tiba,

"Nyuci mobil dulu yah, malu kotor banget."

"Oh ... lama ngga? Mereka kan nungguin."

"Nggalah bentar ... kalau ngga ngantri!"

Lagi-lagi kaki saya mengikuti langkahnya ke ruang tunggu, hati saya teramat kesal dengannya terlebih pada kaki-kaki yang bergerak sendiri tanpa menunggu komando.
Dia pun melanjutkan kisah hidupnya yang sempat terputus tadi tanpa memedulikan raut muka kesal saya. 


*

"Besok ada acara ke mana, ngopi yuk!"

"Jam berapa?"

"Sore aja, ada temen yang cocok kayanya ngobrol sama kamu?"

"Oh ya? Oke!"

Cangkir demi cangkir kopi menghiasi setiap pertemuan kita. Menjadi saksi bagaimana pahit dan keras hidup yang sudah dan sedang kamu jalani. Sementara saya ... ah masih menjadi parasit lajang.

Menjadi teman seperkopian kamu, saya merasa memiliki nilai lebih. Walaupun kerap kali kamu memonopoli pembicaraan dan cenderung mengajari. Dimaklumi, mengingat pengalaman dan sepak terjang kamu dalam dunia bisnis sudah banyak membuahkan hasil.

Jujur saja, saya sebagai teman seperkopian merasa kagum.

Namun, kekaguman ini sering disalahartikan oleh perasaan ketika ajakan ngopi menjadi ajakan nonton. Sesuatu yang terjadi di luar kebiasaan dari pola biasanya membuat saya bertanya-tanya sekaligus menduga-duga sambil tersipu.


**


Babak Dua, Kesepakatan

He is not my boyfriend, 
he's just somebody I'm trying on
-Sex & The Cities-


Rupanya hubungan kami semakin lama semakin dekat. Saya merasa bangga tentu saja pada diri sendiri karena mampu menjadi teman ngobrol yang cukup nyaman untuknya. Sedikit sekali rupanya di antara teman-teman gaulnya, dia menemukan sosok yang dapat bercerita mengenai apa saja dan siapa saja. Di antara yang sedikit itu, saya salah satunya.

Kami, memiliki sebuah kesepakatan untuk menjadi teman dekat yang dapat diandalkan satu sama lain. Seperti kelemahannya dalam bangun pagi, dia mengandalkan saya untuk membangunkannya pagi-pagi. Dan kekurangan saya dalam mengukur estimasi waktu, dia bantu mengarahkan agar bisa tepat waktu. 

"Kamu ngga lagi deket sama cowok?"

"Lagi deket kok, kenapa?"

"Oh yah? Sudah waktunya aku mundur. Ngga enak ah nutup jodohnya orang."

"Lah, aku kan deketnya sama kamu gimana ada yang mau ngedeketin???"

"Bener juga yah, makanya jangan posting lagi barengan nanti ada yang ngedeketin jadi mundur."

"Hmmmp .... yang bener tuh yah ngga usah deket!"

"Eh, tapi ... temenin aku sampai beres kuliah lah!"

"Hmpp ...."

"Yah?"

"Iya, aku temenin sampai kamu yang pergi."

Hubungan pertemanan yang menyenangkan sebenarnya jika tidak melibatkan perasaan. Rasa itu timbul dari suatu kebiasaan. Saya jadi mengerti mengapa perjodohan jaman dahulu malah langgeng pernikahannya. Cinta timbul karena terbiasa. Apakah saya pun begitu?

"Kenapa aku yang pergi?"

"Karena aku susah untuk ninggalin jadi mending ditinggalin."

"Wah, kamu mulai sayang sama aku yah?"

"Ya ngga perlu diomongin, kan?"


Dia bukan tipe jenis manusia yang meninggalkan pasangannya begitu saja, mengalami kegagalan ditinggal pasangan tentu saja menimbulkan traumatik. Saya tidak berniat untuk mengulang traumanya lagi. Dan, saya membuat kesepakatan dengan diri sendiri bahwa saya tidak akan meninggalkannya.



**

Babak Tiga, Perencanaan

I turned out liking you
a lot more than
I originally planned*


Dalam sebuah coffee shop yang tidak terlalu ramai pengunjung, kami duduk berdampingan, asbak dipenuhi puntung rokok, dua gelas cappuccino sudah tandas namun kami enggan beranjak, 

"Jadi, sebenarnya kamu itu serius ngga sih ama aku?"

"Kenapa kok tiba-tiba nanya?"

"Aku ngga mau cari pacar, mau cari calon suami. Target aku sebelum umur 30 tahun sudah nikah, gimana mau cari suami kalau bareng sama kamu terus!"

"Ya, paslah kalau gitu."

"Pas apanya?!?"

"Pas sama target kamu, kamu ulang tahun Juni kan? Kita wisuda Mei. Jadi, setelah wisuda aku langsung lamar kamu. Pas ... sebulan sebelum 30!"

"Bentar ... bentar! Kamu mau ngelamar aku???"

"Orang rumah dikabarin lah biar ngga kaget."

"Kamu tuh yah!!!"


*

Sunyi, hanya terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring. Kami sama-sama disibukkan dengan makanan yang tersaji dan isi kepala masing-masing, mencerna.

"Kalau Mama ngga merestui, Eva mundur."

"Kapan mau ngelamarnya?"

"Rencananya Mei, Mah. Habis wisuda."

"Memangnya kamu cinta sama dia?"


Ah, cinta ... cinta ... entah cinta itu apa?
Lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Sejak awal kami berteman dan dekat pun tidak berani terlintas dalam benak bahwa hubungan ini akan melangkah lebih jauh lagi. Terbiasa yang menjadi suatu kebiasaan memunculkan rasa yang mungkin disebut sayang. Tidak mau berharap lebih dari itu. Takut pada harapan kosong.


Namun, dia menyakinkan ini akan berhasil!
Membayangkan dia sebagai seorang suami nampaknya memang sesuai dengan kriteria dan kebutuhan saya. 

"Kamu yakin mau jadi suami aku?"

"Kenapa mesti ngga yakin? Aku melihat dalam diri kamu ada potensi untuk bisa diandalkan dalam mengurus keluarga. Itu yang paling penting bagi aku."

"Hmmpp ... kamu harus extra membimbing aku!"

"Itu kan sudah kewajiban dan tanggung jawab aku sebagai suami."



**


Babak Empat, Perpisahan

There is always that
ONE STUPID MISTAKE
that 
CHANGES EVERYTHING*


Kami sudah merencanakan hidup kami dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Jujur saja, saya agak tergopoh-gopoh mengikuti setiap rincian dari rencana yang dia buat. Sepuluh kali lipat dari apa yang bisa saya bayangkan. Terlalu jauh melihat ke depan sampai akhirnya kadang saya merasa dia tidak melihat apa yang ada di depan matanya saat ini.

Dia tidak melihat betapa kesulitannya saya mengikuti irama langkahnya. Lamaran bulan Mei terpaksa mundur karena kami tidak bisa wisuda bareng. Saya telat empat bulan dari jadwal sidang yang sudah ditetapkan. 

Menghadiri hari wisuda dengan wajah tersenyum merupakan beban bagi saya. Seharusnya saya juga diwisuda, seharusnya saya dilamar. Seharusnya ... siapa yang mengharuskan? Toh, itu semua kan cuma rencana. Siapa yang bisa disalahkan atas kejadian yang tidak sesuai dengan rencana selain diri sendiri?


*

Sempat terpikir untuk mundur sebelum kami meresmikan hubungan, nampaknya saya hanya akan menjadi batu sandungan bagi kehidupan dia. Langkah dan pemikiran kami tidak seirama. 

Setelah dipikir ulang, saya sudah berjanji pada dia dan terlebih pada diri sendiri bahwa saya akan menemaninya hingga selesai.
Saya bertahan. 

Segala keluh kesah, baik dan buruknya saya tetap bertahan.

Sayangnya, dia tidak begitu ...
Ketika dia melihat sisi buruk saya, dia memutuskan untuk pergi, meninggalkan saya.

Bukankah yang seharusnya melihat dan menerima sisi terburuk dari manusia itu adalah pasangannya?

Nampaknya saya memang terlalu banyak berharap dari sebuah rencana. Salahnya saya adalah tidak punya rencana cadangan dan percaya sepenuhnya.
Dari rencana itulah saya menganggap dan memperlakukan dia layaknya seorang suami. Tujuan hidup sudah saya serahkan sepenuhnya pada dia. Sebab memang begitulah kodrat seorang istri, mengikuti apa kata suami.

Ketika saya mampu bertahan menghadapi sisi buruknya, mengapa dia tidak melakukan hal serupa?


If someone seriously wants to be part of your life, 
they will seriously make an effort to be in it. 
No reasons. 
No excuses.

Tuhan menjawab doa setiap umatNya dengan cara yang hanya dimengerti olehNya. Saya berpikir bahwa dia adalah jawaban yang Tuhan berikan. Hampir semua kriteria calon suami yang saya butuhkan ada dalam dirinya. To good to be true
Seperti anak kecil mendapatkan mainan yang selama ini diinginkan, si anak akan menjaga agar mainannya tidak rusak atau hilang.

Mungkin itu yang terjadi, takut kehilangan seseorang yang selama ini diidamkan hingga menjaganya terus agar jangan sampai hilang.
Ketika segala usaha yang dilakukan untuk tetap menjaganya menjadi sia-sia maka muncullah rasa ketidakadilan. 
Semua hal kebaikan sirna begitu saja oleh satu yang buruk.
Inilah yang saya rasakan.

Nila setitik rusak susu sebelanga.

*


Kepergiannya menyadarkan saya bahwa selama ini dia hanya melihat versi terbaik dari diri saya. Bukan salah dia, karena saya memang tidak memperlihatkannya. Bahkan sampai saat ini pun dia tidak pernah melihat bagaimana keadaan saya ketika terpuruk.

Mengapa saya memilih melakukan itu karena saya tahu dan mengerti ada masalah yang lebih besar dan penting dari sebuah perasaan yang harus dia hadapi. Perasaan yang dirasakan bukanlah faktor penting-utama-prioritas dalam hidupnya. Cenderung tidak peduli dan mematikan rasa. 

Sedangkan saya adalah manusia yang kaya akan rasa. Mengolah rasa sudah menjadi bagian dari hidup saya. 

Dengan selesainya babak keempat ini, saya melepaskan semua rasa dari kenangan yang pernah ada bersama dia. Pelan-pelan namanya terkikis dari pikiran saya. Dan saya sudah siap untuk memulai babak yang baru!


***

6 comments:

  1. "He is not my boyfriend,
    he's just somebody I'm trying on"


    Ada beberapa kesamaan drama yang kaubuat ini dengan kisahku. Nantilah semoga bisa kutuliskan.

    Selalu semangat, Eva!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini pun aku posting karena membaca tulisanmu Ikaaf, semacam motivasi untuk berani membuka diri dan hati.

      Tulislah, biar aku pun membacanya.

      Terima kasih banyak Ikaaf. Kamu juga, semangat selalu yah!

      Delete
  2. Semangat, Tanteee! You're gonna find the rightest one in God's rightest time. The one who DESERVES you as who you really are. XOXO

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, ponakanku tersayang ...

      Indeed! Thank you very much, darling! :*

      Delete