07 April 2014

Soal Tissue

Kami bertengkar lagi. Kali ini lebih hebat daripada hari-hari sebelumnya sepanjang usia pacaran kami yang baru saja genap satu bulan.
Yah wajarlah jikalau kami sering mungkin teramat sering bertengkar, maklum masih dalam tahap penjajakan saling mengenal kebiasaan masing-masing. Belum pernah kulihat raut mukanya begitu merah padam. 

Adalah dua hari yang lalu pertengkaran kami disebabkan oleh film The Wolf of Wall Street. Layaknya sepasang kekasih yang pergi ke bioskop membeli popcorn dan soda, dia malah memilih membeli burger dan jus. Sangat tidak efisien, saos sambal dan mayonnaisenya mengotori tangan dan bajunya.

"Kenapa nggak beli popcorn aja sih? Repot tahu makan burger gelap-gelapan." 
"Lagi pengen!"

*

"Ada tissue?"
"Tuh kan, kata gue juga apa! Ngga bisa dibilangi sih. Jadinya belepotan kemana-mana tuh!"
"Mana?"
"Apa?"
"Tissue!"
"Ngga punya!"
"Rese!"
"Siapa? Gue? Loe ngatain gue rese, Hah!!!"

Terdengar suara ssstttttt dari arah samping, depan, dan belakang kursi yang dengan terpaksa menghentikan sedikit adu argumen kami. Perempuan mana yang ngga jengkel disebut rese sama pacarnya sendiri. Kekesalan hati pun hilang dengan sendirinya seiring selesainya film. Kami pun bergandengan tangan keluar bioskop menuju parkiran.

"Jadi, kesetiaan pria itu akan diuji saat dia sedang berada di atas, sedangkan wanita diuji saat si pria sedang berada di bawah. Iya kan? Semakin kaya semakin banyak selingkuhannya."
"Ah, ngga juga!", sahutnya dingin.
"Tapi kan banyak buktinya yang-"
"Tergantung orangnya! Tiket parkir di Loe?"
"Iya."

Nah, saat akan mengantar aku pulang di tengah keseruan membicarakan soal gantengnya Leonardo motornya tiba-tiba menepi ke pinggir.

"Kenapa nih motornya?", tanyaku agak khawatir.
"Abis bensin kayanya."
"Hah? Habis bensin? Memangnya loe ngga ngecek? Ngga ketahuan apa?"
"Ya Loe turun dulu biar gue bisa ngecek.", ujarnya sambil membuka jok motor.
"Kan ada di situ, situ tuh keliatan.", protesku sambil menunjuk ke dashboard motornya.
"Rusak."
"Rusak?? Terus darimana Loe tahu kalau bensinnya habis?"
"Kira-kira aja."
"Kok dikira-kira sih! Aneh banget! ... Jadi, beneran habis bensin?"
"Iya."
"Terus, gimana?"
"Loe mau tunggu di sini apa ikut dorong motor?"
"Ih, parah yah Loe masa Gue ditinggal di sini sendirian!"
"Ya udah nih pegangin helm Gue!"
"Ihhh, Loe tuh yah!"
"Loe kalau ngomel-ngomel mulu Gue tinggal!"
"Tapi kan-"

Rombongan Vespa yang sedang konvoi melintas dengan bunyi klakson sirine, suara mesin knalpot yang cukup memekakkan telinga.

"Jauh ngga sih pom bensinnya?", gerutuku.

Motor melintas dengan raungan knalpot dan menyisakan asap mengepul.

"APA?", teriaknya.
"Ya ngga usah teriak juga kali!"

Mobil ambulance melintas dari arah yang berlawanan, entah membawa orang ke UGD entah berisi jenazah entah si supir hanya ingin diperlancar dan dipercepat jalannya menuju rumah.

"Loe naik angkot aja pulangnya, yah?", tanyanya setelah jalanan kembali sepi.
"Kenapa?"
"Masih jauh pom bensinnya. Ntar kaki Loe lecet!"

Aku memandang kakiku yang menggunakan heels berpita merah muda, sedikit kotor di pinggirnya sebab jalanan agak becek. Betis dan telapak kakiku sudah mulai terasa nyeri tapi,

"Enggak kok. Ngga mau naik angkot!"
"Ya udah."

*

Melihat di kejauhan plang merah putih, pom bensin itu rasanya seperti menemukan air dingin segar di tengah teriknya padang pasir. Akhirnya!

"Loe ada lima belas ribu?"
"Buat bensin?"
"Iya. Duit Gue habis."

Coba kalau tadi dia ngga beli burger dan jus kan masih bersisa uangnya,

"Nih ...."

*

"Mau langsung pulang atau makan dulu?", tanyanya setelah isi bensin.
"Pulang aja! Duitnya juga habis, kan?"
"Biasa ngomongnya, bisa? Ngga usah ketus! Rese banget sih, Loe!"
"Loe tuh yah ngatain Gue rese, Loe tuh yang Rese!"

Lampu hijau perlahan berubah menjadi kuning kemudian menjadi merah,

"Para pengemudi yang terhormat, Selamat datang di area RHK. RHK adalah Ruang Henti Khusus Sepeda Motor, agar lebih aman dan tertib. Kendaraan roda empat atau lebih, berhentilah di belakang area merah ruang henti khusus, terima kasih."

"Tuh cewek dibayar berapa yah buat ngomong gitu terus?"
"Rekaman kali!", ujarnya dingin.
"Udah sih ngga usah rese, Gue juga tahu kali itu di rekam!"
"Yang rese itu Loe bukan Gue!"

"Mau dibawa kemana hubungan kita, jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta. Teteh cantik bagi recehnya dong!"

"Ada seribu ngga?"
"Bayar bensin juga kan Gue minta sama Loe."

"Teh ...."

"Minta? Bukan, pinjem yah ....?" 

"Teh .... Teteh .... "

"Ya udah ntar Gue ganti kalau Loe keberatan! Lima belas ribu doang, rese!"

"Ngga ada receh, maaf yah, De!"

"Ah si Teteh rese! Mau dibawa kemana hubungan kita .... Pak, bagi recehnya, dong!"

Lampu berubah hijau, si pengamen kecil pun menepi berkumpul bersama teman-temannya sambil menghitung kepingan receh.

"Dasar kurang ajar! Kecil-kecil ngatain orang! Udah malam juga harusnya tidur di rumah bukannya kelayapan di jalanan, kurang ajar!"

"Dah percuma, dianya juga ngga denger! Namanya juga anak kecil."
"Justru itu kalau dari kecil udah kurang ajar gimana nanti gedenya. Orangtuanya ngga bener, ngga bisa ngajarin! Harusnya-"
"Lapar nih!"
"Hah? Apa?"
"Lapar!"
"Mau makan apa?"
"Bebas!"
"Pecel ayam?"
"Malas."
"Nasi goreng? Kwetiau? Mie Goreng?"
"Malas."
"Steak?"
"Mahal."
"Baso?"
"Ogah."
"Apa atuh?"

Tak lama kemudian dia berhenti di Mesin ATM.

"Tunggu bentar."
"Iya."

Setelah keluar dari mesin ATM, dia pun terus berjalan menjauhi motornya, menengok ke belakang sambil bilang, "Yuk!".
Aku pun mengejarnya, "Kemana?"
"Sate Padang!"
"Ouh."

"Bilang dong mau makan sate padang."

"Nih, kembalian!", dia letakkan satu lembar lima puluh ribu di meja.
"Apaan?", ujarku kaget.
"Ganti bensin tadi."
"Udah ngga usah ih! Gue kan becanda doang."
"Becanda kok ngga pada tempatnya!"

"Mau pakai lontong apa nasi?", tanya si penjual sate.

"Nasi.", jawabku.
"Lontong.", jawabnya.

"Loe kenapa sih hari ini? Lagi sensi yah?", tanyaku sambil menikmati sate padang yang pedasnya mencapai level tiga.
"Biasa aja!"
"Biasa aja gimana? Dikit-dikit marah, dikit-dikit bete. Ngga bisa diajak becanda.", seruku dengan keringat mulai bercucuran kepedesan.
"Udah deh makan aja, ngga usah rese!", jawabnya dingin.
"Tuh kan! Hari ini Loe ngatain Gue rese mulu!", keringat dan ingus dari hidung mulai mengalir.

"Pak, ada tissue?", tanyaku kepada si Bapak penjual sate.
"Maaf, Neng habis tissuenya belum beli lagi.", jawab si Bapak tanpa rasa bersalah.

"Cewek kok ngga pernah bawa tissue!", ketusnya.
"Memangnya cewek harus selalu bawa tissue!"
"Mantan cewek-cewek Gue selalu bawa kok!"
"Mantan cowok-cowok Gue ngga pernah minta tissue, ngga pernah persoalin soal tissue, ngga pernah ngatain Gue cewek rese, ngga pernah mogok karena kehabisan bensin, ngga pernah minjem duit buat bayar bensin!"
"Loe tuh yah bener-bener rese jadi cewek! Pacaran aja sana sama mantan cowok-cowok Loe."
"Loe yang rese jadi cowok! Mereka udah pada kawin!"
"Makanya selalu bawa tissue! Tuh ingus Loe meler!"
"Loe juga ingusan!"

Muka kami merah padam sebab emosi yang bergejolak ditambah cita rasa pedas dari sate padang yang membuat kami berdua ingusan kaya anak kampung. Dalam hati aku mengutuk semuanya gara-gara The Wolf of Wall Street, kalau saja malam itu kami tidak menonton film, dia tidak akan memesan burger yang mengotori polo shirt barunya, yang menjadi sumber akar kekesalannya, dan aku tidak perlu merasa bersalah sebab tidak membawa tissue. Namun, di satu sisi berkat ketidakhadiran si tissuelah yang melunturkan kekesalan hatinya.
Ah, pokoknya ingatkan aku untuk selalu membawa tissue saat pergi bersamanya lagi yah.


***



7 comments:

  1. betapa emosi itu memang selalu bisa menjadikan rumit sebuah masalah kecil, pelik jadinya.

    Asyik dapet bacaan kaya gini. *langsung ngaca*

    ReplyDelete
  2. Ahahahahaa, oh yah?
    Ah, lagipula bukan hidup namanya jika kau tidak menemukan masalah, sekecil apa pun itu. Persoalan kecil besarnya masalah itu kembali lagi kepada setiap individu dalam menyingkapinya.
    #Cheers

    ReplyDelete
  3. trouble is friend... *joget joget*

    ReplyDelete
  4. Ada adegan sate padang nyah!!! :D

    ReplyDelete
  5. Sate padang is the best solution! he he he :D

    ReplyDelete
  6. nggg... is this for real?

    mati aja lu ngatain rese! bah!

    ReplyDelete
  7. Ahahahaha, 50% based on fact and the rest is just fiction.
    Nah, kan!

    ReplyDelete