Sumber : Google |
"Apa resolusi kamu?"
"Pindah kerja."
"Cari suami."
"Menikah."
"Punya gadget baru."
"Have a better future."
"Cari pacar."
"Skripsi kelar."
"Kuliahin adik."
"Make a lot of money."
"Go travelling."
"Enjoy life."
"Jadi nomor satu?"
Menanyakan tentang resolusi menjelang akhir tahun kepada beberapa rekan memang sudah semacam ritual wajib buat saya. Hal ini sebagai bahan pertimbangan buat saya dalam membuat resolusi. Dari resolusi yang sudah disebutkan di atas, otomatis saya jadi berasumsi tentang keadaan atau pencapaian yang sudah-sedang-belum mereka dapatkan. Kerjaan baru, mungkin sudah bosen dengan kerjaan yang lama atau bermasalah dengan tempat kerjanya. Cari pacar, pasangan, jodoh, yah berarti belum punya, dan lain-lainnya. Memasuki tahun baru pastinya semua orang termasuk saya mengharapkan segala sesuatunya baru, menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Agak terkejut mendengar jawaban dari rekan yang tidak perlu saya sebutkan namanya, menjawab pertanyaan saya dengan pertanyaan, "Jadi nomor satu?".
Menjadi nomor satu bukan lah hal yang tidak mungkin, apalagi didukung oleh kemampuan, bakat, dan erja keras yang dimiliki seseorang. Mengapa ragu untuk sesuatu yang belum dicoba?
Penjelasan saya nampaknya membuat dia mau bercerita panjang lebar soal "menjadi nomor satu". Dia pun mulai menceritakan kisahnya,
*
Sepanjang saya duduk di bangku sekolah, rangking yang saya dapat selalu dua. Tidak pernah menjadi rangking satu atau pun tiga. Satu sisi, bagus karena dapat mempertahankan prestasi. Sisi lain, tidak ada peningkatan. Menjadi rangking dua selalu dijadikan cadangan jika si rangking satu berhalangan dalam lomba cerdas cermat yang mewakili sekolah.
Menjadi wakil ketua dalam organisasi unit kegiatan mahasiswa malah membuat ruang kerja saya terbatas. Semua susunan kegiatan dan keputusan ada ditangan ketua, akan tetapi proses pengerjaannya tanggung jawab saya. Lagi, saya hanya jadi cadangan jika si ketua berhalangan hadir.
Penghasilan saya cukup sebagai asisten manager. Jenjang karir sebagai manager sudah didepan mata untuk jangka waktu lima tahun lagi. Jadi, saya harus berpuas diri menjadi asisten dulu. Lagi, kerjaan asisten itu intinya adalah back up kerjaannya si manager.
Siapa yang tidak bahagia jika kecengan kita bersedia jadi pacar kita? Yah, walaupun si kecengan sudah mempunyai pacar. Hubungan kami didasari suka sama suka dan saya bersedia menjadi selingkuhannya. Kami pacaran jika si pacar sedang tidak ada. Lagi-lagi, saya terjebak menjadi cadangannya seseorang.
Sebentar, jangan komentar dulu!
Saya cerita ini bukan untuk mengeluh atas keadaan yang saya ciptakan sendiri. Sungguh! Saya tidak menyesalinya. Tapi, terkadang bosan juga rasanya selalu menjadi yah dijadikan cadangan terus.
Makanya, saya tidak mau muluk-muluk membuat resolusi yang bahkan saya tahu tidak mungkin dapat mencapainya. Sudah cukup dalam semua hal saya menjadi cadangannya orang. Biarkan kali ini saya menjadi nomor satu baginya.
*
Resolusi memang dibuat sebagai target apa yang ingin kita capai dalam tahun ini dengan mengingat kembali apa yang sudah atau belum tercapai di tahun yang lalu. Dari sharing bersama rekan, saya jadi mengambil kesimpulan hendaklah membuat resolusi itu doable. Ingin punya rumah tapi kerjaan juga belum ada? Ingin cari pasangan hidup tapi sibuk kerja dan menutup diri dari pergaulan? Tidaklah berlebihan berharap menjadi nomor satu bagi seseorang yang sudah kita jadikan nomor satu di hidup kita sendiri. Jadi apa resolusi kamu?
***
Menjadi nomor satu untuk diri sendiri, mungkin baiknya begitu buat temanmu. Agaknya lingkungan membuat dia sendiri menomorduakan diri sendiri :)
ReplyDeleteIya susah memang membuat menjadi nomor satu bagi diri sendiri ketika lingkungan menjadikan dia sebagai nomor kedua. Keknya sik gitu :D. Thanks anyway.
Delete