18 September 2013

Lumrah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lumrah itu biasa lazim. Kelumrahan (baru tahu ada jenis kata ini) itu keadaan (prihal) lumrah, kebiasaan. Cek aja di sini.

Terus? Kenapa memangnya? AADL, Ada Apa Dengan Lumrah? Siapanya Pak Lurah? Begini,

Minggu lalu saya mengunjungi si pacar yang kebetulan kerjanya di Pangandaran yah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, melepas rindu sekalian liburan gitu. Kami berkendara menggunakan motor. Ada kejadian yang membuat saya berpikir dan memang kepikiran terus bahkan sampai detik saya menuliskan ini tentang kata lumrah.

"Ke mana kita hari ini?" tanya saya di gudang tempat dia bekerja.
"Ke pasir putih!" jawabnya sambil mengeluarkan motor.

"Hayu?" ajaknya keheranan karena saya masih berdiam diri menunggu.
"Ngga pake helm?" tanya saya.

Sontak dia dan anak buahnya tertawa mendengar saya melontarkan pertanyaan seperti itu. Mereka tertawa, saya kebingungan. Tanpa memperpanjang kebingungan kami pun melaju menuju pasir putih melewati jalan protokol, jalan yang sama digunakan oleh bis antarkota.

Di depan ada lampu lalu lintas yang memperlihatkan warnanya merah. Dan apakah artinya jika lampunya sedang merah, anak-anak? Iya, betul sekali! Artinya berhenti!
Tapi kami oh bukan dia (kan dia yang nyetir saya dibonceng tidak tahu apa-apa, sungguh) sama sekali tidak menggubris lampu merah yang sudah puluhan tahun berdiri sepanjang siang dan malam.

"Lampunya merah deh tadi." ujar saya lebih menyakinkan diri saya sendiri.
"Iya." katanya seperti menjawab 'jangan lupa makan, yah?'
"Terus? Kenapa engga berhenti?" lagi saya menyakinkan diri saya sendiri kalau merah itu artinya berhenti.
"Engga ada yang berhenti juga kok." ucapnya ringan seringan kerupuk yang tadi pagi kami makan.

Sebentar! Masa iya dari sepuluh kecamatan yang jumlah penduduknya sekitar 450 ribu jiwa (sumber dari sini) sama sekali tidak ada yang berhenti di lampu lalu lintas? Dan sama sekali tidak ada yang pakai helm? Padahal tepat di pintu masuk mau ke Pangandaran, persis perempatan lampu lalu lintas itu terdapat pos polisi lumayan besar. Walaupun memang tampaknya tidak berpenghuni juga sik.

Si pacar agaknya mendengar apa sedang berkecamuk dalam pikiran saya, dia menjelaskan,

"Pangandaran itu semacam little texas, di mana peraturan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak berjalan dengan maksimal. Jadi yah lumrah saja engga pake helm atau terobos lampu merah." jelasnya sambil nyengir.

Saya angguk-angguk mencerna apa yang baru saja dikatakannya, dia menambahkan,

"Gimana mau ngelanggar kan aturannya juga engga ada. Semuanya bebas di sini mah, jangan samakan dengan kondisi di Bandung."

Sampailah kami di pintu masuk taman wisata cagar alam, hanya dengan membayar Rp 7.000 per orang dapat menikmati pemandangan di dalamnya seharian. (Boleh dibilang ini murah banget untuk kawasan konservasi seluas ± 530 hektar). 

Apakah sebagian dari kalian mengernyitkan alis 'Ngapain ke sana? Apa yang mau dilihat selain pepohonan, monyet, syukur liat rusa atau binatang unik lainnya?'

Iya, tentu saja kalian hanya akan lihat apa yang terlihat tanpa tahu ada cerita apa dibaliknya. Yang terbayang adalah rasa lelahnya duluan harus berjalan sekian kilo. Ini disebabkan karena TIC (tourism information center) merupakan bangunan pajangan belaka. Tidak ada guide yang stand by (entah karena pas kami ke sana di hari kerja pada jam kerja pula). Dan agaknya jasa guide hanya disediakan untuk wisatawan asing saja, memangnya wisatawan domestik tidak butuh info apa gimana? 
Kembali ke harga masuk yang murah banget pantas saja kawasan menjadi sangat tidak terpelihara dengan baik, minim budget untuk biaya operasional kali yah. Seharusnya perum perhutani dan dinas pariwisata bekerja sama melakukan 'sesuatu'. Pangandaran termasuk dari salah satu kawasan DMO (Destination Management Organization) loh yang visinya kaya Agnes 'Go International'. Nah, kan mulai ngelantur.

Singkat cerita, sebelum jauh memasuki ke dalam hutan cagar alam menuju pasir putih si pacar sibuk ngubek-ngubek mencari kayu sambil berpesan masukin semua kresek ke dalam tas. (sebelumnya kami belanja minuman dan cemilan).

"Buat apa bawa kayu?"
"Nanti kamu juga tahu." katanya sok misterius.

Belum sampai sepuluh menit, kami disambut para monyet, ulang! segerombolan monyet yang menatap nyalang dengan rasa ingin tahu yang besar pada tas kami. Dengan sigap si pacar berulang kali menghentakkan kayu hingga mereka (baca: para monyet) berhamburan pergi ketakutan.

Mereka, para monyet pergi, si pacar melanjutkan perjalanan, saya (lagi) kebingungan.

Bayangkan, seandainya saya pergi sendirian atau bersama teman-teman tanpa si pacar tanpa penduduk lokal. Akan ada adengan tarik menarik antara kami versus monyet. Dan bagaimana dengan wisatawan lain yang tidak tahu menahu kebringasan monyet penghuni cagar alam? Tidak ada info apa pun bagi para wisatawan mengenai hal ini. (sangat disayangkan padahal ini penting banget menyangkut keselamatan!)

Si pacar agaknya mendengar lagi apa sedang saya pikirkan, atau sebenarnya memang saya bersuara, entahlah, tapi dia bilang gini,

"Perangai monyet seperti itu disebabkan oleh wisatawan juga kok. Sudah ada larangan untuk tidak memberi makan tapi tetap saja ada yang bandel. Jadinya si monyet merasa lumrah untuk mengambil makanan orang bahkan merebut paksa."

Lagi! Kata lumrah yang terucap. 

Mungkin, para wisatawan itu juga berpikir lumrah saja memberi makan monyet penghuni cagar alam tanpa tahu akibat ke depannya apa sebab tidak adanya info yang menerangkan demikian. Sama halnya dengan si monyet yang merasa lumrah mengambil makanan bahkan barang milik wisatawan, kelumrahan. 

Jadi, intinya adalah kata lumrah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya demografi, geografi, lingkungan, kondisi yang membuat sesuatu akhirnya menjadi biasa karena terbiasa atau dijadikan biasa (agak belibet engga sik?). Apa yang lumrah bagi saya belum tentu lumrah bagi kalian. Saling melumrahi sajalah yah, (mulai tervickykan).

***

[Lanjutan]
Karena gagal mengambil makanan si monyet mengambil pasta gigi si pacar.
Dan si monyet lainnya mengambil kaos bule yang lagi dijemur karena si bule engga punya makanan. 
Entah harus ketawa atau marah.

*

Embedded image permalink
Akhirnya santai di pasir putih setelah melewati barikade monyet :D

2 comments: