Memasuki semester akhir kuliah, aku memutuskan untuk bekerja
magang di sebuah kafe. Selain untuk mengisi waktu luang, menambah uang saku,
juga mendapatkan pengalaman. Terkadang lelah dan penat setelah seharian
menguras otak dengan bahan makalah, sorenya harus membuang tenaga melayani
pengunjung kafe. Terlanjur sudah membubuhkan tanda tangan dalam surat kontrak
kerja selama setahun, aku hanya berusaha menjalankan keduanya sebaik mungkin.
Suasana kafe sedang sepi, hanya ada beberapa sekelompok
pemuda, sepasang kekasih, dan seorang pria sendirian. Sebagian besar pengunjung
kafe memang suka berlama-lama di sini, suasana yang nyaman dengan sofa-sofa
empuk untuk ngobrol, berbagai menu makanan ringan, aneka minuman, serta akses
internet. Sehingga pergantian pengunjung juga tidak begitu banyak, membuat aku
bisa bernapas sedikit sekedar melanjutkan bahan makalah apalagi dengan akses
internet gratis.
Memasuki umur tiga bulan di kafe
ini, aku sudah bisa menghapal wajah dan beberapa nama pengunjung tetap dan
pesanan mereka. Sepasang kekasih yang selalu datang saat awal bulan, Ratna
dengan pesanan yoghurt blueberry dan coffee latte untuk Angga. Seorang pria
yang duduk di kursi yang sama setiap sabtu membawa laptop, cappuccino caramel, dan pancake
original.
“Sore Mas Rafa. Ini menunya, mau
langsung pesan sekarang?” sambutku kepada pengunjung.
“Sore juga, Mba. Biasa yah.”
ujarnya.
“Ice Cappuccino Caramel dan
Pancake Original. Kita ada menu baru ngga mau coba?” saranku.
“Nanti aja yah. Pesen yang biasa
aja.”
“Oke, ditunggu yah.”
“Makasih Mba.”
Memasuki umur enam bulan di kafe
ini, aku sudah menguasai beberapa resep dari koki yang baik hati membagi
ilmunya. Bahan makalah masih berkutat di bab yang sama, kekurangan data. Pria yang
selalu duduk di kursi yang sama, Rafa, kali ini tidak datang setiap sabtu. Hampir setiap hari dia datang ke kafe, bukan untuk memesan tapi menunggu di parkiran
hingga kafe tutup dan mengantarkan aku pulang.
Memasuki umur sepuluh bulan di
kafe ini, aku diberi kesempatan untuk menjadi supervisor, dengan kenaikan gaji
yang lumayan. Bahan makalah untuk skripsi telah selesai pada detik-detik
terakhir, setelah diterima tinggal menunggu jadwal sidang. Semakin banyak waktu
luang hingga tanpa mikir panjang aku mengambil kesempatan itu, menjadi
supervisor.
“Memang kamu mau kerja di kafe
ini terus?” tanya Rafa setelah mengetahui keputusanku.
“Belum tahu juga, mumpung ada
kesempatan. Kenapa ngga diambil, iya kan?”
“Kalau udah jadi Supervisor,
setiap aku ngopi gratis dong!”
“Kepalamu!” candaku.
Memasuki umur dua tahun di kafe
ini, jabatanku berubah menjadi manager. Sidang telah kukalahkan dengan nilai
memuaskan dan kemeriahan wisuda sudah berlalu. Hubunganku dengan Rafa juga
berlanjut ke arah yang lebih serius, komitmen seumur hidup.
“Kamu yakin, nak? Sudah kenal
keluarganya belum?” selidik Ibu di telepon.
“Yakin, Bu. Sudah beberapa kali
aku diajak ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya. Nanti ibu juga ketemu
bisa menilai sendiri. Besok kami berangkat pagi.”
“Kamu ngga pernah cerita punya
pacar tahu-tahu mau nikah. Gimana Ibu ngga kaget.”
“Udah malam, Ibu istirahat. Besok
takut kesiangan malah ketinggalan pesawat. Nanti ceritanya dilanjut kalau sudah
sampai.”
Enam bulan yang lalu, perangai
Rafa mulai berubah atau mataku mulai terbuka melihat kelakuan aslinya. Rafa
selalu mencari-cari celah kesalahanku hingga akhirnya kami kerap kali bertengkar.
Kata-kata cinta yang manis dulu berubah menjadi makian hingga telingaku merah
padam mendengarnya. Melirik pada gadis-gadis berpakaian minim, namun mendelik
saat aku menyapa ramah pengunjung kafe atau akrab dengan para pegawai.
“Putus?” ujarnya dengan nada
tinggi. “Kamu minta putus! Segampang itu!”
“Sudahlah aku cape berantem
terus. Kamu juga cape kan. Lebih baik kita akhiri saja.”
Setelah mendengar ucapan putus
dariku, Rafa melunak. Meminta maaf dan berjanji untuk berubah. Malam itu, dia
manis sekali membuatkan secangkir teh untuk menenangkan emosiku. Hatiku luluh kembali. Setiap
kali kami bertengkar, Rafa selalu meminta maaf penuh haru dan membuatkan aku secangkir teh. Cangkir teh yang dapat membuat aku lupa untuk apa kami bertengkar, teh yang
membuat cintaku kembali menggelora padanya, teh yang tak pernah berhasil aku
habiskan karena kami telah berpindah ke ranjang. Cintaku terlalu membara hingga tak sanggup menunggu menghabiskan teh di cangkir.
“Rafa, sebelum pulang ke apotik sebentar
yah.” mintaku saat pulang kerja.
“Kenapa kamu sakit? Mau obat apa”
“Udah telat tiga minggu. Aku takut.”
Menunggu selama sepuluh menit
bagaikan bertahun-tahun. Dengan gemetaran aku memandangi test pack. Ada dua
garis berwarna merah di sana.
Aku mengambil cuti panjang yang sebelumnya tidak pernah kugunakan. Setelah memesan tiket pesawat ke Surabaya,
aku mulai packing. Saat sedang
memasukkan baju Rafa ke dalam koper, di tumpukan kemeja kerjanya terselip sebundel kertas koran, isinya daun
teh yang telah dikeringkan.
“Ini apa?” tanyaku saat dia
pulang kantor.
Mukanya pucat, memandangi daun
teh di tanganku, terdiam.
“APA?” paksaku.
“Teh yang biasa kau minum.” katanya
agak terbata.
“Jadi selama ini kau sengaja
membuat aku ha ....”
***
Bagus :D
ReplyDeleteThank u :))
ReplyDeletedaun teh kering bisabikin apa yah?
ReplyDeleteApa aja bisa :))
ReplyDeletetidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan
ReplyDeleteDalam "Sebab Secangkir Teh" Teh dibuat sebagai minuman perangsang. Dalam kehidupan sehari-hari daun teh kering mungkin bisa dijadikan apa saja. Kebetulan saya bukan ahli teh, jadi maaf jika saya tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. :))
ReplyDelete