Malam ini saya akan tidur
dengan perut kenyang lagi, berbuka di masjid dengan tajil kolak pisang,
menerima nasi bungkus yang dilemparkan dari sebuah mobil saat lampu merah
menjadi hijau. Beralaskan koran di lantai ubin sebuah toko roti “Merdekalah”,
sarung kumal yang sudah tercampur dengan segala macam jenis bebauan, berselimutkan
langit hitam kelam yang kadang diintip kerlap-kerlip bintang, seperti
malam-malam sebelumnya.
Beberapa warga sibuk
berkutat dengan tampah, bambu, tali tambang, cat merah-putih, bendera, dan
perkakas lainnya. Sebagian menghias gapura di depan gang, sebagian
mempersiapkan area lomba khas tujuh belas agustus-an, sisanya sekelompok anak
muda menghabiskan malam menunggu imsak.
Terdengar sayup-sayup
petikan gitar dari sekelompok anak muda di ujung sana,
Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah, lelah.
(Belum Ada Judul – Iwan Fals)
Surat Perintah Sebelas
Maret 1966, ramai sekali diberitakan di seluruh radio lokal. Sebuah surat
berisi perintah yang menginstruksikan Letjen Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi keamanan dan menjamin ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan. “Situasi memang sedang genting
dimana-mana terjadi demonstrasi, apakah dengan keluarnya supersemar keadaan menjadi lebih baik?
Semoga saja.” selintas dalam benak saya.
“Mas, Lebaran nanti
bisa kan kita ke Klaten, kasian Ibu sudah lama nda di jenguk.” pinta Yanti,
wanita asal Klaten yang sudah dua tahun menjadi istri saya. Wajah bulat telur, mata
bulat-besar, alis tebal, serta kulit nya yang sawo matang langsung membuat saya terpesona dari
pandangan pertama.
“Kamu sedang hamil tua
terlalu riskan bepergian naik dokar.” Berusaha menghiburnya sambil
mengelus-elus perut buncitnya, mengalihkan perhatian.
”Hei, jagoan sedang apa
di sana? Sudah jangan tendang-tendang, Ibumu meringis tuh”
“Besok buka dirumah
nda, Mas? Mau dimasakin sayur apa?”
“Apa saja yang kamu
masak, saya makan.”
Berpuluh-puluh meter
jauhnya, di sebuah markas tersembunyi, sekelompok orang sedang rapat serius.
Menggenakan pakaian hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki, menyisakan
sepasang mata merah nyalang.
Prankkk
Kaca jendela pecah.
Pintu pintu diterobos.
Berpasang-pasang mata
nyalang membawa senjata tajam menerobos masuk pintu-pintu terkunci dan jendela-jendela
tertutup. Para pria digiring dengan paksa ke dalam sebuah truk setelah dihajar
babak belur. Diambang batas sadar, diantara tumpukan tubuh lebam, samar
terdengar lolongan para wanita memanggil suami, ayah, kakak, anak mereka di
kejauhan. Suara Yanti terdengar lirih untuk yang terakhir kalinya.
“MAS .... MAS KARYO
..... MAS KARYO ... MAU DIBAWA KEMANA SUAMIKU!!!”
Entah
sudah berapa lama saya pingsan, rasa sakit menyerang di sekujur tubuh. Gelap.
Kepala tertutup kain hitam. Ngilu, berusaha bangkit, kaki dan tangan terikat
begitu kencang. Dimana ini? Terasa begitu dingin, lembab, sepi yang mencekam,
dan semilir tercium bau amis-pesing. Dimana ini? Ya Tuhan apa yang sebenarnya
terjadi? Yanti! Apakah terjadi sesuatu padanya? Oh Tuhan selamatkan Yanti dan
Anak Hamba ya Tuhan.
“Erggg
..” erang seseorang, tak jauh dariku.
“Halo?
Siapa di sana? Halooo”
“Kepalaku
aaahhh kepalaku”
“Namaku
Bujang. Siapa di sana?”
“Saya
Karyo dari Desa Paseban. Tempat apa ini? Kenapa kita dibawa ke sini?”
“Entah
tempat apa ini. Kepalaku ditutup saat diangkut ke truk. Para ninja itu
menuduhku PKI.”
“Ninja?
Ninja siapa? PKI!! Tapi saya bukan anggota PKI! Mengapa saya ikut dibawa juga?”
“Orang-orang
memanggilnya ninja, berpakaian hitam-hitam, hanya matanya saja yang terlihat. Ada mulut-mulut yang
mengatakan jika aku, kamu, kami, kita semua antek-antek PKI.”
“Berani-beraninya
menuduh saya!! Saya tidak tahu apa-apa dan tidak pernah berurusan dengan PKI!!!
Hei, keluarkan saya!!!!”
“Sttt,
jangan berteriak! Nanti mereka mendengar! Dihabisinya kau!” suara parau lelaki
di kejauhan.
“Siapa
di sana? Mereka? Mereka siapa?”
“Jangan
berteriak, bodoh!” suara lelaki yang lain.
“Siapa
kalian ini?”
“Kami
juga sama sepertimu adalah korban dari lahirnya sebuah orde yang baru. Mereka
menghabisi seluruh keluarga yang di duga adalah antek-antek PKI.”
“Mereka
juga mengangkut siapa saja pendukung rezim Soekarno.”
“Segala
perbedaan keyakinan-kepercayaan dimusnahkan. Hapus bersih!”
“Hapus
bersih? Keluarga saya tidak tahu apa-apa, istri saya sedang hamil tujuh bulan.
Bagaimana nasibnya ya Tuhan.”
“Istriku
baru saja melahirkan, entah bagaimana nasibnya”
“Pikirkan
saja nasibmu di sini, sudah untung tidak dikubur hidup-hidup. Salam kenal saya Kasim.”
“Karyo.”
“Salam,
Paet.”
“Mahmud!”
“Sukab
di sini.”
“Gumira.”
“Liong“
“Jianli, Sepupu Liong“
Bahkan
seorang pembunuh sadis pun berhak untuk diadili sebelum di masukan ke
dalam bui. Kami tidak pernah diadili, tidak pernah tahu
apa kesalahan kami. Dicap sebagai tahanan politik dengan masa tahanan yang tidak
terbatas. Tidak ada sanak keluarga yang datang menjenguk, entah memang sudah tidak
ada yang tersisa, entah takut ikut diangkut karena berkeluarga dengan tahanan
politik, entah tidak tahu harus mencari informasi kepada siapa. Entahlah ...
Awal
lahirnya orde yang baru sudah banyak korban yang berjatuhan, semasa pertumbuhannya
makin banyak lagi jumlah korbannya hingga tidak dapat teridentifikasikan lagi. Banyak orang
tiba-tiba hilang saat sedang beli rokok di kios depan, saat menyebrang di
jalan, bahkan di kamarnya sendiri. Lelaki berotot dengan tato sepanjang tubuhnya berserakan di gang-gang
kecil, tak bernyawa. Misterius. Semakin hari semakin sedikit surat kabar yang masih memberitakan kabar kondisi terbaru, hingga akhirnya tidak ada sama sekali. Siaran radio hanya
memutarkan tembang-tembang kenangan, tidak ada berita.
Tahun
demi tahun telah berganti, wakil presiden berganti, presidennya masih sama.
Kami
masih ditahan, tanpa pernah diadili.
Ada
rasa syukur terselip di hati, bahwa anak yang tak terlahir, sesungguhnya lebih
beruntung daripada bertumbuh bersama orde baru; terus membangun di tanah yang katanya sengketa, digusur-diambil paksa tanpa ganti rugi, ditinggalkan menggelandang, luntang-lantung di jalanan.
Krisis Moneter melanda, massa yang entah bergerak dengan ketulusan hati atau ada yang menyentil hatinya mengerahkan pasukan untuk demonstrasi. Para mahasiswa dari berbagai Universitas bersatu padu menuju satu tempat, Gedung DPR/MPR. Demonstrasi berujung kerusuhan-penjarahan-pemerkosaan, belum lagi tekanan pihak politk dan militer, akhirnya membuat Presiden Soeharto yang sudah terpilih selama tujuh kali, mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.
Korban telah berjatuhan, meninggalkan kenangan yang tak terhapuskan, Tragedi Mei 1998.
Akhir dari orde baru yang kemudian dielu-elukan sebagai Puncak Revolusi, membuka pintu teralis besi yang telah mengurung kami bertahun-tahun lamanya. Lahir dan matinya orde ini selalu disambut dengan kemeriahan tragedi.
“Akhirnya, kebebasan.”
“Kemerdekaan!”
“Mau kemana kita sekarang? Sudah lupa jalan pulang, banyak bangunan baru. Bingung.”
“Saya mau ke Klaten. Barangkali Yanti pulang ke sana, menunggu saya.”
“Ikutlah denganku ke Bandung, banyak perempuan geulis.”
“Sudahlah Karyo, kita ikut Bujang ke Bandung. Usaha kita di sana.”
“Iya, kita sudah puluhan tahun bersama. Tidak ada yang tersisa lagi. Di Bandung masih ada sepupuku, siapa tahu bisa numpang dicarikan kerja.”
“Tapi ..”
“Ah, sudah 32 tahun berlalu. Tak habis-habisnya persediaan air mata kau.”
“Kalau bukan kita-kita ini ya kau sendiri yang peduli dirimu sendiri.”
“Jangan sia-sia kemerdekaan ini! Inilah saat-saat yang dinantikan, bebas!”
“Masa lalu jadikan sejarah, tutup buku, kemudian bakar! Sekarang, saatnya menikmati hidup!”
“Merdeka!”
“Bandung kita?”
“Merdeka!”
***
Sekali merdeka tetap merdeka.Selama hayat masih di kandung badan.Kita tetap setia tetap setia.Mempertahankan Indonesia.Kita tetap setia tetap setia.
Membela negara kita.
(Hari Merdeka (17 Agustus 1945) –H.Mutahar)
Iringan musik penuh semangat menghentak dari paduan suara anak SD Merdeka Jaya. Seragam merah putih lengkap dengan dasi-topi merah berbaris rapi sambil bernyanyi sahut menyahut, ada yang tidak hapal rupanya. Pembina Upacara berdiri bersiap pidato menggengam kertas di saku seragam safari; yang baru tadi pagi disetrika pembantunya sambil berdendang.
Petugas Tata Usaha bersiul-siul mengikuti irama, menyiapkan berkas-berkas sebelum liburan panjang sambil berpikir tampaknya Lebaran tahun ini gagal lagi pulang kampung.
Penjaga sekolah berlagu dalam hati untuk menahan kantuk, sebab menonton bola semalam suntuk di pos ronda.
Ibu-ibu di gang sempit-kecil tengah bersiap, memasak aneka kolak-minuman segar-aneka kue untuk bazzar nanti sore, pinggulnya menari mengikuti musik.
Gadis remaja yang hendak pulang kampung naik kereta ikut bernyanyi saat ojek melintas lapangan upacara.
Hingar-bingar kemeriahan Hari Merdeka, membangunkan saya yang masih beralaskan koran, berselimutkan sarung kumal. “Sudah pagi rupanya!” membereskan koran yang berserakan sebelum penjaga toko datang, mengusir tempat tidur saya.
Berjalan menuju lampu merah sambil bersenandung “sekali merdeka tetap merdeka, tetap setia, tetap setia, membela negara kita.”
***
Dirgahayu Indonesia yang ke-67 tahun.
Sumber :