Rumah mungil dengan pekarangan berbagai jenis bunga Ibu Lela
selalu terawat dengan baik. Mulai dari Bunga Matahari, Bunga Anggrek, Bunga
Mawar merah-putih, Bunga Sepatu, hingga Bunga Tulip, semuanya tumbuh subur dan
berbunga. Hidup hanya seorang diri, aku sebagai tetangga terdekatnya sudah sepantasnya
ikut merawat Ibu Lela; yang umurnya sudah lima puluh tahunan.
Ditinggal suami yang terbunuh di medan perang, menjadikan
Laila, anak gadis semata wayang adalah keluarga satu-satunya yang Ibu Lela
miliki.
Lima tahun yang lalu, Ibu Lela terpaksa berpisah dengan
Laila, anak gadis semata wayangnya karena harus mengikut suami yang bertugas di
luar kota. Walaupun berat rasanya ditinggal oleh Laila, Ibu Lela tahu sudah
menjadi kewajiban seorang istri menjadi pendamping kemana pun suaminya pergi. Seperti
juga dirinya yang dulu harus berpisah dengan orang tuanya karena mengikut
suami.
Sejak kepergian Laila, Ibu Lela mulai bercocok tanam untuk
mengusir rasa kesepiannya. Dibelinya bibit-bibit aneka bunga hingga pekarangan
sekarang ditumbuhi aneka bunga.
Setiap pagi dibukanya pintu dan jendela
lebar-lebar, dibersihkannya rumah, memasak nasi dan lauk pauk untuk tiga orang,
setiap harinya, “malu kalau nanti tiba-tiba Laila datang bersama suami, rumah
dalam keadaan berantakan dan tidak ada makanan”, begitu jawabnya padaku.
Menjelang
sore, disiramnya bunga-bunga, dipupukinya mereka agar tumbuh subur tanpa dirusak
hama, “agar Laila dan suaminya disambut dengan bunga-bunga cantik aneka warna
kalau suatu waktu nanti datang”, begitu jawabnya padaku. Hingga malam semakin
larut, baru ditutupnya pintu dan jendela-jendela.
Aku tetangga terdekatnya, yang kebetulan jauh dari Ibu sudah
menganggap Ibu Lela sebagai Ibuku sendiri. Setiap sore, sehabis Ibu Lela
menyiram bunga-bunganya, aku pasti bertamu, minum teh di teras sambil ngobrol
panjang lebar tentang masa lalunya. Jika ada makanan berlebih, aku pasti
mengirimkannya pada Ibu Lela.
Lima tahun sudah berlalu, semenjak Laila pergi hingga
sekarang dia tidak pernah datang kembali. Sebagai seorang Ibu wajar jika Ibu
Lela merasa khawatir, apakah anak dan menantunya baik-baik saja? Apakah mereka
sudah lupa alamat rumah hingga tidak pernah mengiriminya surat? Apakah mereka
sedang kesulitan keuangan hingga tidak bisa pulang?
Pertanyaan itulah yang sering dipertanyakan Ibu Lela saat
menjelang sore sambil menikmati teh bersamaku. Aku hanya menjawab agar Ibu Lela
tidak perlu merasa khawatir, suatu hari nanti mungkin Laila akan kembali pulang.
Lima tahun lamanya Ibu Lela setia menanti kedatangan anak semata wayangnya
bersamaku dan secangkir teh di sore hari.
“Sudah malam, Bu. Sebentar lagi suami saya datang. Saya cuci
cangkir dulu yah.” menjadi kebiasaan bagiku untuk membantu mencuci cangkir
bekas kami minum teh, membantunya menyalakan lampu-lampu, menutup pintu dan
jendela sebelum pulang.
Suara gerbang berderit terdengar dari dapur. Langkah terseret
menginjak rumput, kemudian bunyi pintu terbuka.
“Ibu ... Ibu Aku pulang!”
Ibu Lela dan aku langsung keluar, terdiam memandang sosok
tamu di hadapan kami.
“Ibu! Tante Ina!”
Sosok perempuan itu langsung menghampiri Ibu Lela, berlutut
dan memeluk kakinya sambil menangis.
“Ibu, Laila pulang Bu!”
“Laila?”
“Iya, Bu ini Laila, anak Ibu.”
“Laila?”
“Ibu tidak lagi mengenali aku? Ini Laila bu!”
Ibu Lela dan aku terpaku melihat sosok perempuan asing yang
menyeruak datang tiba-tiba masuk ke rumah. Perempuan gelandangan ini mengaku
bernama Laila. Bagaimana mungkin dia Laila. Perempuan berdaster rombeng,
membawa gembolan kain kumal, rambutnya tidak karuan –di sisi kirinya panjang,
di sisi kanannya pendek, nampak sudah bertahun-tahun tidak mengenal sampo,
wajahnya kotor penuh debu dan jerawat, giginya hancur, tubuhnya penuh luka
lebam dan bekas terbakar. Kakinya tak bersandal dan terlihat kuku-kuku kakinya
panjang serta hitam.
“Kamu bukan Laila!”
“Aku Laila, anak Ibu satu-satunya.”
“Kamu bukan Laila! Kamu bukan anakku! Tidak mungkin! Laila selalu
merawat penampilannya, wajahnya mulus, rambutnya panjang hitam, Laila cantik!”
“Ini semua perbuatan Yudas Ibu! Dia ingin menjualku menjadi
TKI ke Arab karena usahanya bangkrut. Aku menolak dan dia menghajarku
habis-habisan.”
“Yudas suami Laila, pria gagah yang tampan dan sangat
mencintai anakku, tidak mungkin dia melakukan itu.”
“Dulu dia begitu baik, Ibu. Uang telah membutakan matanya. Setiap
hari disiksanya aku, tapi aku berhasil kabur darinya setahun yang lalu. Mencari-cari
jalan pulang dan akhirnya aku pulang, Ibu”
“Bukan, kamu bukan Laila.”
“Tante Ina tolong jelaskan pada Ibuku. Bantu Ibu mengingat.”
Aku kembali mengingat-ingat rupa Laila, gadis lugu yang
cantik. Banyak fotonya tersebar di rumah ini, aku membandingkan wajah perempuan
asing di depanku dengan foto yang terpasang di dinding.
“Kamu bukan Laila.” Jawabku.
Tangis perempuan itu semakin keras, meraung-raung, mengguncang-guncangkan
kaki Ibu Lela.
“Pergi dari sini! Dasar gelandangan!”
Kami pun berusaha keras mengusir perempuan asing yang masih melekat di kaki
Ibu Lela.
“Baiklah, jika Ibu menginginkan aku pergi dari sini. Tapi aku
Laila, anak Ibu satu-satunya.”
“Ina, tutup pintu dan jendela-jendela. Kunci gerbangnya. Aku
tidak ingin ada orang gila masuk ke rumah lagi dan mengaku sebagai Laila.”
Perempuan asing, berdaster kumal, tidak bersandal itu pun
pergi. Meninggalkan bunyi gerbang berderit yang ditutupnya kembali. Memandang lama
ke dalam rumah, ke pekarangan penuh bunga aneka warna, “Ibu, Laila sudah pulang
Bu ...” kemudian berbalik dan melangkah pergi ditelan gelapnya malam.
***
Gambar diambil dari sini
Sedih banget baca cerita ini :'(
ReplyDeleteJangan sampai kita menjadi Perempuan Asing! :)))
ReplyDeleteUm... Mba'e tertohok ih... Berkerut kening'ku. *Hiks
ReplyDelete