16 April 2014

Delapan Belas Orang

Delapan belas orang dipersatukan dalam sebuah ruangan berAC yang entah mengapa sudah sering dimatikan tetap saja membuat suasana tetap dingin dan tak menghentikan keinginan untuk bolak-balik ke kamar mandi. Mungkin itu juga menjadi penyebab para lelaki betah mengenakan jas kebesaran mereka (termasuk saya), jas dengan logo pasca sarjana selama di dalam kelas.

Adalah 19 Agustus tahun lalu, saya menginjakkan kaki di kampus Enhai, yang lebih tepatnya disebut Sekolah Tinggi Pariwisata. Mengikuti program pasca sarjana dengan tanpa tujuan selama dua tahun. Tidak ada alasan khusus mengapa saya memilih bidang pariwisata untuk sekolah S2 terlebih lagi saya lulusan sastra yang benang merahnya sangat tipis dengan kepariwisataan. 

Jujur, (awalnya) saya merasa minder kembali duduk dibangku perkuliahan yang sudah saya tinggalkan hampir lima tahun lamanya. Selain faktor pendidikan yang tidak sejalur, faktor usia (uhhukk), faktor pengetahuan minim tentang kepariwisataan beserta isu-isu terbaru (isu lama saja ngga tahu apalagi yang terbaru, helokk!), faktor biaya (pffuuuutt, tarik napas dalam), faktor membagi waktu antara kuliah-kerja-hangout-nongkrong-curhat time-ngelamun-ngopi time-belanja-liburan-nulis!, dan faktor lainnya yang cukup membebani pikiran hingga minder tak terhindari. 

Terlepas apa pun faktor yang sudah saya tuliskan di atas, pada akhirnya di sinilah saya berada bersama tujuh belas orang lainnya yang memiliki satu tekad bulat, satu tujuan untuk lulus bersama tepat pada waktunya.

Nyatanya waktu berjalan cukup cepat, satu semester terlewati. Masih ada satu setengah semester lagi di depan yang harus dilalui. Apakah jalanannya akan mulus seperti jalan tol? Tapi kan mau masuk tol juga harus bayar, belum lagi di sepanjang tol cipularang ada banyak rest area, ditambah suka longsor pula, belum lagi perbaikan jalan bikin macet, dan hemp kayanya analoginya salah ini!

Anyway, mari saya kenalkan angkatan 2013 progam pasca sarjana STP Bandung yang terdiri dari delapan belas orang,

1. Agung Yoga Asmoro, seorang pengusaha (yang kata saya) sukses dalam menjalankan biro usaha Lintang Buana tour and travel operator di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Walaupun kepribadiannya agak arogan tapi sepadan dengan perjuangannya yang dimulai dari minus bukan nol hingga akhirnya bisa sukses seperti sekarang. Seorang teman yang enak diajak diskusi soal bisnis.

2. Aji Prasetya Hadi, seorang yang baru saja merasakan bahagia plus repotnya jadi Bapak. Kerap telat masuk kuliah pagi sebab mandiin dulu Aisyah, anaknya. Dan Semester dua ini jarang masuk sebab sibuk jeprat sana jeprit sini. Hasil jepretannya bisa dilihat di One Eye Photography. Teman ngobrol yang nyaman sebab bisa saling merekomendasikan usaha masing-masing.

3. Amalia Juliana Monika Intan, seorang yang benar-benar (menurut saya) lugu dalam pemikiran, tindak tanduk, serta bertutur kata. Dibalik keluguannya dia berhasil menciptakan kreasi cemilan dari sayur mayur dan marketing dari Marta Catering. Teman yang menjadikan (saya berasa) dewasa sebab keluguannya itu.

4. Anggie Tri Purnamasari, seorang pribadi yang mudah tersentuh hatinya. Polos serta jujur dan suka tolong menolong namun tidak gemar menabung. Teman yang menyenangkan meluapkan emosi.

5. Antonius Rizki Krisnadi, seorang yang moody berat hingga sering tidak mengacuhkan diri ketika kami sedang berkumpul di kantin namun menjadi cerewet nan bawel ketika dia sedang mood. Biar bagaimanapun pribadi yang menyenangkan serta mampu memeriahkan dan menceriakan suasana. Teman yang asyik untuk berbagi, tepatnya meminta dibagi koleksi film.

6. Azis Abdul Latif Muslim S., seorang yang mengendarai mobil patroli bertuliskan 'Polisi Kehutanan' sebab memang bekerja di kawasan konservasi Tangkuban Perahu. Melanjutkan S2 memang berkaitan erat dengan kebutuhan dan hasratnya memajukan serta melestarikan kawasan tersebut. Teman yang bisa mengaburkan antara ngobrol dan dinasehati rasanya sama.

7. Dadan Ramdani, seorang PaLuGaDa, apa yang Loe mau Gue ada. Semua ciri-ciri makelar sejati ada dalam sel-sel darahnya. Teman yang cerdas dalam menangkap peluang apa lagi yang bisa diperjual-belikan? (Jangan jual BB gueh semureh itu, DADAN!!!!)

8. Dani Adiatma, seorang yang tiba-tiba muncul dan ikutan dalam percakapan jika mengeluarkan kata kunci yang tepat. Bisnis usahanya di bidang manajemen catering, sekarang sedang rajin fitness dan kabarnya sudah turun 17 kg dalam 7 bulan, DANI KAMU HEBAT!!!

9. Handika Fikri Pratama. seorang perantau dari Bengkulu, fresh graduate, menjalani hubungan LDR dan iya cukup sekian, terima kasih. Baru tersadar pribadinya yang memang pendiam atau masih jadi pendiam membuat saya jarang berbicara banyak dengan dia. Nah!

10. I Wayan Thariqy Kawakibi P., seorang yang berkecimpung dalam jasa tour dan travel ini asalnya dari Padang, tapi namanya Bali banget, lama tinggal di Yogyakarta, dan sekarang menetap di Bandung. Kami biasa memanggilnya 'Uda', sapaannya orang Padang. Teman yang lebih sering bicara dengan lawan bicaranya di telepon daripada yang berada di depannya.

11. Karima Ayu Permatasari, ini yang termuda di antara kami karena mengikuti kelas akselerasi. Walaupun masih belia tetapi wawasan, pergaulan, dan penampilannya dapat membaur dengan kami yang dewasa dinamis. Berkuliah karena akan meneruskan usaha Papanya dalam bidang tour dan travel. Teman yang seru, heboh, kocak, konyol, dan juga pengertian ketika saya salah ngomong dia tahu apa yang sebenarnya saya maksud. Gitu!

12. Maya Savitri, Ibu muda dengan dua anak, usianya 42 tahun namun terlihat seperti masih 30an. Daya tangkap dan serapnya melebihi kapasitas otak kami apalagi kalau udah urusan perhitungan, heempp faktor ibu rumah tangga kali yah. Pokoknya BU MAYA HEBAT!!!

13. Muchammad Luthfi, seorang yang tampak malas-malasan, tidak pedulian, tidak punya tujuan hidup namun selalu menyerahkan tugas tepat pada waktunya. Dan, iya masa depannya boleh dibilang sangat cerah dan menjanjikan. Teman yang dapat diandalkan kalau ngga bawa kendaraan sebab searah rumahnya. (akhirnya nemu jugaakkk aakkk).

14. Nur Maimunah, Ibu muda yang berasal dari Makassar ini ternyata lulusan sastra juga (saya ngga sendirian!!!), bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kupang membuatnya terpisah dari suami karena ditugaskan untuk sekolah S2. Semangat, Bu Nur!

15. Rizki Nurul Nugraha, Ini juga sama Ibu muda yang sudah memiliki dua anak. Memiliki banyak usaha sampingan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu sakin banyaknya. Kefasihannya dalam berbicara (baca: cerewet) adalah modal dasar bagaimana dia dapat menarik pelanggan untuk membeli produk-produknya. (00)9

16. Rizky Aidina Aria Paramarta, seorang yang baru saja bertunangan ini rencana nikahnya kapan yah? #Eh 
Ada fakta menarik tentang Rizky yang satu ini, selepas makan siang pasti dia ngga pernah masuk kelas. Sampai-sampai kami suka taruhan perkara dia masuk atau ngga setelah jam makan siang. Syukurlah, semester dua ini dia rajin masuk (dan sial bagi yang taruhan dia ngga masuk).

17.Shadiqurahman Johan, seorang yang begitu ... begitu ... begitu ... yah begitu-begitu aja orangnya. Teman yang selalu mengingatkan akan kodratnya wanita ketika premanisme dalam diri saya menyeruak keluar. Salam klakson, tin tin.

Dan terakhir,

18. Saya sendiri, seorang yang menuliskan ini karena ternyata membutuhkan waktu lebih dari satu semester untuk dapat saling mengenal pribadi dari mereka. Mungkin, terdengar atau sentimentil tetapi di semester dua ini adalah waktu terakhir di mana kami semua berada dalam satu kelas sebelum pembagian yang memisahkan delapan belas orang ke dalam tiga jurusan; pariwisata, perhotelan, dan perjalanan.

Delapan belas orang dengan segala perbedaan latar belakang. motivasi serta tujuan yang berbeda dipersatukan dalam Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung Angkatan XIII. 

Foto diambil Aji

Merekalah yang memberi arahan kepada saya jalan mana yang akan saya lalui ke depannya. Tujuan apa yang ingin saya peroleh? Tidak mudah, pasti! Namun, selalu ada jalan ketika ada kemauan.
Mereka juga yang membuat rasa percaya diri saya muncul dan minder terkikis perlahan (agaknya malah kelewat PD ini! :D).

Kami, berdelapan belas orang dapat saling bahu membahu agar tetap lulus bersama di Hari Wisuda pada waktunya nanti atau justru malah saling sikut menyikut agar dapat lulus duluan. Entahlah ...

Harapan saya cuma satu, agar kebersamaan yang sudah terjalin ini tetap harmonis sehingga kami semua dapat lulus bersama tahun ini. Boleh minta amin-nya? AMIN!

***

07 April 2014

Soal Tissue

Kami bertengkar lagi. Kali ini lebih hebat daripada hari-hari sebelumnya sepanjang usia pacaran kami yang baru saja genap satu bulan.
Yah wajarlah jikalau kami sering mungkin teramat sering bertengkar, maklum masih dalam tahap penjajakan saling mengenal kebiasaan masing-masing. Belum pernah kulihat raut mukanya begitu merah padam. 

Adalah dua hari yang lalu pertengkaran kami disebabkan oleh film The Wolf of Wall Street. Layaknya sepasang kekasih yang pergi ke bioskop membeli popcorn dan soda, dia malah memilih membeli burger dan jus. Sangat tidak efisien, saos sambal dan mayonnaisenya mengotori tangan dan bajunya.

"Kenapa nggak beli popcorn aja sih? Repot tahu makan burger gelap-gelapan." 
"Lagi pengen!"

*

"Ada tissue?"
"Tuh kan, kata gue juga apa! Ngga bisa dibilangi sih. Jadinya belepotan kemana-mana tuh!"
"Mana?"
"Apa?"
"Tissue!"
"Ngga punya!"
"Rese!"
"Siapa? Gue? Loe ngatain gue rese, Hah!!!"

Terdengar suara ssstttttt dari arah samping, depan, dan belakang kursi yang dengan terpaksa menghentikan sedikit adu argumen kami. Perempuan mana yang ngga jengkel disebut rese sama pacarnya sendiri. Kekesalan hati pun hilang dengan sendirinya seiring selesainya film. Kami pun bergandengan tangan keluar bioskop menuju parkiran.

"Jadi, kesetiaan pria itu akan diuji saat dia sedang berada di atas, sedangkan wanita diuji saat si pria sedang berada di bawah. Iya kan? Semakin kaya semakin banyak selingkuhannya."
"Ah, ngga juga!", sahutnya dingin.
"Tapi kan banyak buktinya yang-"
"Tergantung orangnya! Tiket parkir di Loe?"
"Iya."

Nah, saat akan mengantar aku pulang di tengah keseruan membicarakan soal gantengnya Leonardo motornya tiba-tiba menepi ke pinggir.

"Kenapa nih motornya?", tanyaku agak khawatir.
"Abis bensin kayanya."
"Hah? Habis bensin? Memangnya loe ngga ngecek? Ngga ketahuan apa?"
"Ya Loe turun dulu biar gue bisa ngecek.", ujarnya sambil membuka jok motor.
"Kan ada di situ, situ tuh keliatan.", protesku sambil menunjuk ke dashboard motornya.
"Rusak."
"Rusak?? Terus darimana Loe tahu kalau bensinnya habis?"
"Kira-kira aja."
"Kok dikira-kira sih! Aneh banget! ... Jadi, beneran habis bensin?"
"Iya."
"Terus, gimana?"
"Loe mau tunggu di sini apa ikut dorong motor?"
"Ih, parah yah Loe masa Gue ditinggal di sini sendirian!"
"Ya udah nih pegangin helm Gue!"
"Ihhh, Loe tuh yah!"
"Loe kalau ngomel-ngomel mulu Gue tinggal!"
"Tapi kan-"

Rombongan Vespa yang sedang konvoi melintas dengan bunyi klakson sirine, suara mesin knalpot yang cukup memekakkan telinga.

"Jauh ngga sih pom bensinnya?", gerutuku.

Motor melintas dengan raungan knalpot dan menyisakan asap mengepul.

"APA?", teriaknya.
"Ya ngga usah teriak juga kali!"

Mobil ambulance melintas dari arah yang berlawanan, entah membawa orang ke UGD entah berisi jenazah entah si supir hanya ingin diperlancar dan dipercepat jalannya menuju rumah.

"Loe naik angkot aja pulangnya, yah?", tanyanya setelah jalanan kembali sepi.
"Kenapa?"
"Masih jauh pom bensinnya. Ntar kaki Loe lecet!"

Aku memandang kakiku yang menggunakan heels berpita merah muda, sedikit kotor di pinggirnya sebab jalanan agak becek. Betis dan telapak kakiku sudah mulai terasa nyeri tapi,

"Enggak kok. Ngga mau naik angkot!"
"Ya udah."

*

Melihat di kejauhan plang merah putih, pom bensin itu rasanya seperti menemukan air dingin segar di tengah teriknya padang pasir. Akhirnya!

"Loe ada lima belas ribu?"
"Buat bensin?"
"Iya. Duit Gue habis."

Coba kalau tadi dia ngga beli burger dan jus kan masih bersisa uangnya,

"Nih ...."

*

"Mau langsung pulang atau makan dulu?", tanyanya setelah isi bensin.
"Pulang aja! Duitnya juga habis, kan?"
"Biasa ngomongnya, bisa? Ngga usah ketus! Rese banget sih, Loe!"
"Loe tuh yah ngatain Gue rese, Loe tuh yang Rese!"

Lampu hijau perlahan berubah menjadi kuning kemudian menjadi merah,

"Para pengemudi yang terhormat, Selamat datang di area RHK. RHK adalah Ruang Henti Khusus Sepeda Motor, agar lebih aman dan tertib. Kendaraan roda empat atau lebih, berhentilah di belakang area merah ruang henti khusus, terima kasih."

"Tuh cewek dibayar berapa yah buat ngomong gitu terus?"
"Rekaman kali!", ujarnya dingin.
"Udah sih ngga usah rese, Gue juga tahu kali itu di rekam!"
"Yang rese itu Loe bukan Gue!"

"Mau dibawa kemana hubungan kita, jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta. Teteh cantik bagi recehnya dong!"

"Ada seribu ngga?"
"Bayar bensin juga kan Gue minta sama Loe."

"Teh ...."

"Minta? Bukan, pinjem yah ....?" 

"Teh .... Teteh .... "

"Ya udah ntar Gue ganti kalau Loe keberatan! Lima belas ribu doang, rese!"

"Ngga ada receh, maaf yah, De!"

"Ah si Teteh rese! Mau dibawa kemana hubungan kita .... Pak, bagi recehnya, dong!"

Lampu berubah hijau, si pengamen kecil pun menepi berkumpul bersama teman-temannya sambil menghitung kepingan receh.

"Dasar kurang ajar! Kecil-kecil ngatain orang! Udah malam juga harusnya tidur di rumah bukannya kelayapan di jalanan, kurang ajar!"

"Dah percuma, dianya juga ngga denger! Namanya juga anak kecil."
"Justru itu kalau dari kecil udah kurang ajar gimana nanti gedenya. Orangtuanya ngga bener, ngga bisa ngajarin! Harusnya-"
"Lapar nih!"
"Hah? Apa?"
"Lapar!"
"Mau makan apa?"
"Bebas!"
"Pecel ayam?"
"Malas."
"Nasi goreng? Kwetiau? Mie Goreng?"
"Malas."
"Steak?"
"Mahal."
"Baso?"
"Ogah."
"Apa atuh?"

Tak lama kemudian dia berhenti di Mesin ATM.

"Tunggu bentar."
"Iya."

Setelah keluar dari mesin ATM, dia pun terus berjalan menjauhi motornya, menengok ke belakang sambil bilang, "Yuk!".
Aku pun mengejarnya, "Kemana?"
"Sate Padang!"
"Ouh."

"Bilang dong mau makan sate padang."

"Nih, kembalian!", dia letakkan satu lembar lima puluh ribu di meja.
"Apaan?", ujarku kaget.
"Ganti bensin tadi."
"Udah ngga usah ih! Gue kan becanda doang."
"Becanda kok ngga pada tempatnya!"

"Mau pakai lontong apa nasi?", tanya si penjual sate.

"Nasi.", jawabku.
"Lontong.", jawabnya.

"Loe kenapa sih hari ini? Lagi sensi yah?", tanyaku sambil menikmati sate padang yang pedasnya mencapai level tiga.
"Biasa aja!"
"Biasa aja gimana? Dikit-dikit marah, dikit-dikit bete. Ngga bisa diajak becanda.", seruku dengan keringat mulai bercucuran kepedesan.
"Udah deh makan aja, ngga usah rese!", jawabnya dingin.
"Tuh kan! Hari ini Loe ngatain Gue rese mulu!", keringat dan ingus dari hidung mulai mengalir.

"Pak, ada tissue?", tanyaku kepada si Bapak penjual sate.
"Maaf, Neng habis tissuenya belum beli lagi.", jawab si Bapak tanpa rasa bersalah.

"Cewek kok ngga pernah bawa tissue!", ketusnya.
"Memangnya cewek harus selalu bawa tissue!"
"Mantan cewek-cewek Gue selalu bawa kok!"
"Mantan cowok-cowok Gue ngga pernah minta tissue, ngga pernah persoalin soal tissue, ngga pernah ngatain Gue cewek rese, ngga pernah mogok karena kehabisan bensin, ngga pernah minjem duit buat bayar bensin!"
"Loe tuh yah bener-bener rese jadi cewek! Pacaran aja sana sama mantan cowok-cowok Loe."
"Loe yang rese jadi cowok! Mereka udah pada kawin!"
"Makanya selalu bawa tissue! Tuh ingus Loe meler!"
"Loe juga ingusan!"

Muka kami merah padam sebab emosi yang bergejolak ditambah cita rasa pedas dari sate padang yang membuat kami berdua ingusan kaya anak kampung. Dalam hati aku mengutuk semuanya gara-gara The Wolf of Wall Street, kalau saja malam itu kami tidak menonton film, dia tidak akan memesan burger yang mengotori polo shirt barunya, yang menjadi sumber akar kekesalannya, dan aku tidak perlu merasa bersalah sebab tidak membawa tissue. Namun, di satu sisi berkat ketidakhadiran si tissuelah yang melunturkan kekesalan hatinya.
Ah, pokoknya ingatkan aku untuk selalu membawa tissue saat pergi bersamanya lagi yah.


***