Sebulan yang lalu, keputusan saya untuk bercerai sudah bulat. Sebulat cinta saya pada Sasti. Sasti memang tidak lebih cantik atau lebih sabar dibandingkan istri saya. Namun, kepribadiannya menyegarkan semangat dan memotivasi saya akan makna hidup.
Ana, istri yang sudah mendampingi saya selama delapan tahun sudah menaruh curiga ketika saya mulai berdekatan dengan Sasti. Saya pun tidak ambil pusing akan kecurigaannya karena memang tidak ada lagi cinta yang bersemi di antara kami.
Malam itu, seperti biasa Ana tertidur dengan TV masih menyala, menunggu kepulanganku. Biasanya saya bangunkan dia untuk pindah. Tapi, malam itu, saya ajak dia bicara, mengutarakan maksud untuk bercerai.
"Kenapa?" tanyanya menahan amarah.
"Saya rasa kamu sudah tahu jawabannya?"
"Iya, tapi kenapa sekarang?"
"Karena saya tidak mau berpura-pura lagi."
"Iya, tapi kenapa sekarang?"
"Karena saya tidak mau berpura-pura lagi."
"Beri aku waktu sebulan, setidaknya sampai Aya masuk SD."
"Kamu tidak perlu khawatir akan Aya, saya masih ayahnya dan Aya akan menjadi tanggungan saya."
"Kasih aku waktu sebulan, setelah itu terserah kamu..." tangisnya mulai pecah.
Saya tinggalkan dia menangis di ruang tamu. Keputusan saya sudah bulat dan tangisan dari air matanya tidak akan mengubah apa pun.
Suara alarm membangunkan tidur yang belum pulas, terdapat secarik kertas di atas meja. Kami memang sudah lama berpisah ranjang semenjak Aya masuk TK. Ana tidur bersama Aya sementara saya di kamar tamu, sebabnya kepulangan saya yang larut malam sering kali membuat Aya terbangun dan terjaga lalu jadi rewel.
"Apa maksudnya ini?" tanyaku padanya di dapur saat dia sedang menyiapkan sarapan untuk kami, saya dan Aya.
"Bukankah sudah tertulis dengan jelas? Aku hanya minta tiga hal selama sebulan sebelum kamu hemmmppp" ucapannya terhenti dan matanya melirik Aya, "Cerai ...." ucapnya tanpa suara takut Aya mendengar.
Tanpa ambil pusing, saya iyakan permintaannya akan tiga hal itu.
"Bisa dimulai hari ini?" tanyanya sambil tersenyum.
"Iya, semakin cepat semakin baik."
"Aya, mulai hari ini Ayah yang mengantarkan ke sekolah yah. Nanti siang Mami yang jemput. Setuju?"
"Horeee... Horee... Asyik..." histerisnya Aya sambil berlari dan lompat ke pangkuan saya.
Itulah hal pertama yang Ana minta selama sebulan untuk saya lakukan setiap harinya.
*
*
Hari Sabtu, Aya libur. Saya terbebas dari tugas mengantarkan dia ke sekolah. Kesempatan ini bisa saya manfaatkan untuk jemput Sasti dulu sebelum ke kantor.
Ketika hendak pergi, saat menutup pintu mobil, Aya kecil berlari, mengetuk jendela kaca mobil dan berkata, "Ayah, Ayah .... Ayah, lupa yah?"
"Lupa apa, sayang?"
"Ayah belum cium Aya sama Mami." celotehnya sambil menjulurkan lidah.
Dengan enggan saya turun dari mobil menghampiri Ana yang berdiri di depan pintu, Aya kecil mengikuti di belakang.
"Ayah pergi yah, hati-hati di rumah." Saya kecup kening Ana sekilas.
"Jagain Mami yah, jangan nakal! Ayah berangkat yah." kening dan pipi Aya saya cium sambil cubit kecil.
Mencium kening Aya dan Ana sebelum berangkat kerja merupakan hal kedua yang dia minta.
*
*
Nah, hal ketiga ini rupanya membuat Sasti agak geram. Saya ceritakan semua kejadian dan permintaan Ana agar perceraian dapat diproses dengan segera.
"Konyol banget sih permintaannya!" ketus Sasti setelah membaca tulisan Ana.
"Ya, gimana lagi? Saya harus penuhi agar prosesnya bisa lancar. Kan ini juga demi kita."
"Yang pertama dan kedua oke lah! Tapi yang ketiga?? Kamu jadi ngga punya waktu untuk aku? Tiap pagi harus antar Aya dulu, pulang kerja langsung pulang! Kapan kamu ada waktunya untuk aku?"
"Saya ngga tahu harus gimana lagi selain memenuhi permintaannya. Ini kan cuma sebulan saja. Setelah itu waktu saya untuk kamu semua, sayang. Kamu tahu kan saya sayang sama kamu, hal seperti ini ngga akan merubah sayangnya saya sama kamu, Sasti cantik."
"Ya, terserah deh." ketusnya menangkis tangan saat akan saya rengkuh.
"Jangan begitu dong, Kangen nih."
"Sudah sana pulang, bentar lagi kan jam tidurnya Aya tuh!"
"Sudah sana pulang, bentar lagi kan jam tidurnya Aya tuh!"
"Iya, tapi saya masih kangen. Sabar yah. Nanti saya hubungi kamu malam kalau sempat!
"Ngga usah, deh. Kemarin juga ditungguin mana ngga nelepon. Sudah, sana! Gih, sana ... sanaa!"
"Ngga usah, deh. Kemarin juga ditungguin mana ngga nelepon. Sudah, sana! Gih, sana ... sanaa!"
Hal ketiga yang Ana minta yaitu membacakan dongeng sebelum tidur untuk Aya. Perkara yang cukup sulit sebab jam tidurnya jam 8 malam. Jam di mana saya menghabiskan waktu bersama Sasti. Pantas dia marah sekali dan keberatan mengenai permintaan Ana yang ketiga.
Berulang kali saya jelaskan pada Sasti bahwa semua ini saya lakukan demi dia, demi bersamaan kita, apa pun akan saya lakukan untuk selalu bersamanya.
Mengenai Ana? Ah, dia perempuan sederhana dengan pemikiran sederhana yang terkadang kesederhanaanya begitu merumitkan. Seperti permintaannya akan tiga hal yang harus saya lakukan, begitu sederhana sampai terkadang saya tidak habis pikir apa maunya Ana sebenarnya.
"Mana Aya?"
"Di kamar sudah menunggu. Hem ... Ayah?"
"Apa?"
"Cuci mukalah dulu, ganti bajunya. Mami temanin Aya dulu sambil nunggu Ayah."
"Iya"
Hubungan saya dengan Ana memang sudah lama dingin, hambar dan hampa. Tidak ada percikan, getaran, atau desiran dalam denyut nadi yang membuat rasa sayang itu penuh. Kosong. Hingga kehadiran Sastilah yang mengisi menjadi penuh.
"Hari ini cerita apa yah? Ayah bingung, udah abis dongengnya ...."
"Ayah, Ayah ...."
"Iya?"
"Cerita itu ayah, itu, cerita waktu Aya masih bayi aja. Maaaaamiiiii .... sini Ayah mau cerita Aya, Mammiii .... sini."
Malam itu adalah malam kedua puluh dua. Saya ceritakan pada Aya bagaimana Ayahnya ketakutan dan panik saat Ana akan melahirkan. Kejadian-kejadian menegangkan saat itu namun betapa konyol ketika diceritakan ulang. Tiba-tiba saja saya merasa penuh melihat binar bahagia Aya, tawa renyahnya menertawakan kelakuan Ayahnya, dan Ana .... ah, lama sekali rasanya tidak melihat tawa dia yang lepas. Bertumpu di bantal Hello Kitty Aya dalam lampu tidur temaram Ana terlihat cantik sekali, Ada damai menyelimuti ketika melihat pancaran wajah mereka.
Iya, malam kedua puluh dua kami bertiga tidur bersama. Kehangatan dan kenyamanan yang selama ini saya cari nyatanya ada di depan mata. Inilah keluarga saya, di mana saya sayang pada mereka berdua, Aya kecil yang mau masuk SD dan Ana tercinta. Kesederhanaannya menaklukkan segala kerumitan yang sebenarnya saya cari sendiri. Adalah dengan tiga hal sederhana Ana dapat membuat desiran dan percikan yang terpendam itu muncul kembali, membuncah.
Sasti? Ah ... di kepala dan hidup saya cuma ada Ana seorang.
Berulang kali saya jelaskan pada Sasti bahwa semua ini saya lakukan demi dia, demi bersamaan kita, apa pun akan saya lakukan untuk selalu bersamanya.
Mengenai Ana? Ah, dia perempuan sederhana dengan pemikiran sederhana yang terkadang kesederhanaanya begitu merumitkan. Seperti permintaannya akan tiga hal yang harus saya lakukan, begitu sederhana sampai terkadang saya tidak habis pikir apa maunya Ana sebenarnya.
"Mana Aya?"
"Di kamar sudah menunggu. Hem ... Ayah?"
"Apa?"
"Cuci mukalah dulu, ganti bajunya. Mami temanin Aya dulu sambil nunggu Ayah."
"Iya"
Hubungan saya dengan Ana memang sudah lama dingin, hambar dan hampa. Tidak ada percikan, getaran, atau desiran dalam denyut nadi yang membuat rasa sayang itu penuh. Kosong. Hingga kehadiran Sastilah yang mengisi menjadi penuh.
"Hari ini cerita apa yah? Ayah bingung, udah abis dongengnya ...."
"Ayah, Ayah ...."
"Iya?"
"Cerita itu ayah, itu, cerita waktu Aya masih bayi aja. Maaaaamiiiii .... sini Ayah mau cerita Aya, Mammiii .... sini."
Malam itu adalah malam kedua puluh dua. Saya ceritakan pada Aya bagaimana Ayahnya ketakutan dan panik saat Ana akan melahirkan. Kejadian-kejadian menegangkan saat itu namun betapa konyol ketika diceritakan ulang. Tiba-tiba saja saya merasa penuh melihat binar bahagia Aya, tawa renyahnya menertawakan kelakuan Ayahnya, dan Ana .... ah, lama sekali rasanya tidak melihat tawa dia yang lepas. Bertumpu di bantal Hello Kitty Aya dalam lampu tidur temaram Ana terlihat cantik sekali, Ada damai menyelimuti ketika melihat pancaran wajah mereka.
Iya, malam kedua puluh dua kami bertiga tidur bersama. Kehangatan dan kenyamanan yang selama ini saya cari nyatanya ada di depan mata. Inilah keluarga saya, di mana saya sayang pada mereka berdua, Aya kecil yang mau masuk SD dan Ana tercinta. Kesederhanaannya menaklukkan segala kerumitan yang sebenarnya saya cari sendiri. Adalah dengan tiga hal sederhana Ana dapat membuat desiran dan percikan yang terpendam itu muncul kembali, membuncah.
Sasti? Ah ... di kepala dan hidup saya cuma ada Ana seorang.