Kamar 202
Apa salahnya jika perempuan seperti aku menginap sendirian hanya dengan membawa satu tas kecil. Untuk apa membawa begitu banyak barang jika hanya akan menghabiskan satu malam saja, merepotkan. Aku bisa melihat di dalam kepalanya bertaburan tanda tanya. Entah dia mempertanyakan bawaanku berupa satu tas kecil saja atau tujuan aku menginap dan akankah ada tamu lain yang ikut menginap. Dasar resepsionis kepo! Urus saja bagaimana meningkatkan pelayanan di hotel ini daripada mengurusi tamu. Huh.
Ada apa sih dengan seorang perempuan yang menginap di hotel sendirian? Memangnya aneh yah? Nah kan apa kubilang perempuan itu seorang diri juga. Mengapa dia melempar senyum sarat pertanyaan. Mau tak mau aku pun membalas senyumnya. Ditangannya ada dua rokok merek berbeda, rupanya ada seseorang yang menunggu di dalam.
Kamar 203
“Ada rokoknya?”
“Ada. Eh, barusan ada cewek cek in sendirian loh.”
“Mana rokoknya? Terus?”
“Nih. Keliatannya cewek baik-baik, engga kaya perek. Ngapain yah dia nginap di sini? Apa dia sama kaya kita? Mau kopi?”
“Engga.”
“Jangan-jangan dia kabur dari rumah hempp atau diusir. Soalnya dia engga bawa baju, cuma tas kecil doang. Mana mungkin dalam tas sekecil itu muat baju, belum peralatan mandi, make up, ya kan kamu tau sendiri peralatan cewek itu banyak. Heh! Dengerin aku engga sih?”
“Sini ...” tangannya menepuk pinggiran kasur mengundangku duduk di sampingnya.
Dia berkata, “Sudahlah untuk apa mengurusi orang. Yang perlu kamu urus itu aku.”
“Tapi, hunny....” Bibirnya melumat kata-kata yang belum sempat kuucapkan, tangannya mulai bergerilya membuka satu persatu pakaian yang menjadi penghalang tubuh kami menyatu. Ah, semoga saja suami sering-sering dinas ke luar kota, aahhh ....
Kamar 205
Sial! Mereka melakukannya lagi! Terkutuk dinding tipis hotel. Shit! Mengapa kantor merekomendasikan hotel sekelas melati. Seharusnya untuk sekaliber pegawai loyal seperti aku, kantor menyediakan akomodasi minimal berbintang dua.
Desahannya semakin keras, dinding semakin bergetar, kuat banget tuh laki? Ini sudah ketiga kalinya! Apakah mereka memakai gaya konvensial, woman on top, atau doggie style. DAMN! Mengapa aku jadi membayangkannya?!!? Arrghh!
Fokus! Presentasi besok akan menjadi penentu jenjang karirku. Fokus! Data statistik tahun lalu mencapai kenaikan hingga 20 persen. Hal ini disebabkan adanya pergeseran dalam strategic market position. Posisi seperti apa kira-kira yang digunakan untuk menghasilkan desahan bikin merinding. Aarrggg!!! Fokus!!! Harus dihentikan.
Ada baiknya mungkin jika,
“Halo, hei sudah tidur?”
“Halllooooo, belum. Kenapa, ada apa, sayang?”
“Engga, susah tidur. Lagi apa?”
“Lagi ngecek hasil ulangan anak-anak kemarin. Gimana bahan presentasinya, beres?”
“Begitulah. Aku kangen!”
“Hahaaaaa....”
“Kok ketawa?”
“Ahahhaa. Sayang, kamu itu bilang kangen hanya kalau lagi pengin doang. Aku sibuk. Pake sabun aja gih.”
Fuck!!!
Kamar 202
Aku sudah di kamar dua kosong dua tepat jam sepuluh malam seperti permintaannya. Seharusnya dia sudah berada di sini satu jam yang lalu. Jauh-jauh aku terbang dari Jakarta menuju kotamu. Menemuimu. Lalu meninggalkanmu esok pagi. Cepatlah datang.
Kamar 203
“Hunny, tidur?”
Hanya dengkuran halus yang terdengar. Kebiasaan deh setelah puas kemudian pulas. Apakah ini pendengaranku saja atau memang cewek di depan kamar itu bolak-balik membuka pintu kamar?
Apakah dia sedang gelisah? Menunggu room service atau tamu yang tak kunjung datang?
Masih muda rupanya. Cantik. Familiar, pernah ketemu di mana yah?
Kamar 202
Sudah tengah malam, masih belum nampak juga batang hidungnya. Mungkinkah dia lupa nomor kamar yang dipesan atas namanya sendiri? Koridor lantai dua ini begitu sepi. Bias lampu temaram, hening mencengkram. Para tamu hotel nampaknya sudah terlelap, aku masih terjaga. Menunggumu.
Sebuah pesan masuk,
“Kamar 202 kan?”
Sudah berulang kali kubalas pesannya, iya aku ada di kamar dua kosong dua sesuai dengan permintaannya. Mengapa dia terus saja mempertanyakan perkara nomor kamar. Yang seharusnya bertanya itu aku, kapan kamu datang? Sambil menunggu kedatangannya, kembali aku melihat pesan-pesan masuk darinya.
“Bisa datang? Banyak masalah yang saya hadapi. Butuh kamu.”
“Senangnya, kamu mau meluangkan waktu. Saya pesankan hotel untukmu. Semalam saja? Yakin? Jangan lupa bawa memori card.”
“Hotel Melati kamar 202. Saya datang jam 10.”
“Sudah datang? Maaf tak bisa menjemput di bandara. Rapat parlemen terus menguras waktu saya. Sabar. Kamar 202 kan? Secepatnya saya ke sana.”
“Kamar 202 kan?”
*
Lobby Hotel
“Maaf, atas ketidaknyamanannya. Untuk sementara semua tamu tidak diperkenankan meninggalkan hotel sampai penyelidikan selesai”, pesan Bapak Polisi bertubuh gempal menggantikan posisi resepsionis.
“Pak, saya harus pergi sekarang. Ada rapat penting yang harus saya presentasikan. Pekerjaan saya taruhannya. Hidup mati saya bergantung pada rapat ini, Pak.” protes seorang tamu berpakaian parlente.
“Perempuan yang mati terbunuh itu bergantung pada kami. Semakin cepat kami mengungkap pembunuhnya semakin cepat Anda keluar dari sini. Jadi, kami mohon kerjasamanya. Terima kasih.” Hardik seorang polisi intel yang bertompel besar menyembul di balik jaket kulit hitam.
Sementara itu,
“Hunny, aku takut.” Bisik seorang tamu perempuan berwajah pucat.
“Tenang, kalau kamu tenang mereka tidak akan bertanya macam-macam pada kita. Mereka akan berpikir bahwa kita adalah sepasang suami istri bernasib sial karena menginap di hotel yang salah untuk liburan.” Ucap seorang tamu berwajah brewok menyakinkan tamu lain di sebelahnya.
“Tapi ....”
“Kalau kamu tenang, mereka tidak akan menyangka bahwa kita sedang selingkuh. Istriku dan suamimu tidak akan tahu. Lagipula kasus pembunuhan perempuan di kamar hotel hanya akan ada di kolom kecil, berlalu dan dilupakan orang dalam dua hari tertumpuk dengan kasus korupsi dan kasus lainnya.”
“Hunny! Bukan itu yang aku takutkan!”
“Jadi apa yang kamu takutkan?”
“Pembunuhnya....”
“Hah? APA!”
“Sssttt, pelankan suaramu. Semalam engga bisa tidur, cewek di depan bolak-balik buka pintu kamar terus. Nunggu seseorang pasti. Aku penasaran jadi aku ngintip sampai datang seorang lelaki. Sstt, dia datang.” tangannya mencengkram lengan tamu di sebelahnya sambil berbisik.
“Siapa? Yang mana?”
“Yang bertompel di lehernya.”
“Hah?”
“Selamat pagi Ibu, Bapak. Terima kasih sudah menunggu, silakan ikut saya untuk proses interograsi lebih lanjut.” Sapa polisi intel bertompel.
***