“Hah, lo putus? Serius?!”
“Kenapa putus?”
“Sayang banget udah
lama pacaran kenapa putus?”
“Jadi lo serius putus
ama dia? Atau sekedar cari sensasi?”
“Kenapa kamu putusin
dia? Kurang baik apa dia sama kamu?”
***
Dirinya
yang juga terpuruk, tidak siap saat dihujani begitu banyak pertanyaan
bertubi-tubi yang justru datang dari teman dekatnya. Pertanyaan dengan kata
tanya ‘kenapa’ dan ‘kenapa’ dari sekian banyak kata tanya yang ada, semakin
lama semakin menyudutkannya bahwa keputusan yang diambilnya adalah sebuah kesalahan.
Sulit baginya untuk mengeluarkan rentetan kata yang dapat membungkam
mulut-mulut kelaparan jawaban.
Tidak
bisakah mereka membiarkan dirinya terbenam dalam kesendirian. Mereka tidak
pernah tahu, bagaimana dirinya selalu dikekang dan dipenjara. Perjuangan yang membutuhkan
pengorbanan untuk sebuah kata kebebasan, bebas dalam kesendirian.
Bolehkah
dia mendapat sedikit penghargaan atas usaha yang berhasil dicapainya itu?
Penghargaan dengan tanpa banyak bertanya lalu menyudutkannya karena telah
mengambil langkah yang salah, menurut mereka. Toh, selama ini dia menjalani
hidupnya seorang diri. Tidak ada yang pernah tahu sebenarnya apa isi hatinya,
hingga akhirnya dia menemukan aku, atau lebih tepat aku yang menemukannya.
***
Pertemuanku
dengannya memang terjadi secara kebetulan. Melalui jejaring sosial secara tidak
sengaja aku follow akun twitternya. Twitnya yang mengandung canda, kopi, amarah, dan terkadang luka,
entah mengapa justru membuat aku semakin penasaran ingin mengenal lebih dalam
pribadi di balik akun twitter itu.
Lupa, iya aku lupa bagaimana awal mulanya sehingga aku follow dia dan menemukan luka di sana walaupun kata-katanya ditulis
dalam canda.
Ini
suatu kebetulan yang aneh karena dalam sebuah acara peluncuran buku, aku
menemukan dia di sana seorang diri. Tak mungkin salah, aku cek akun twitternya, ini wajah yang sama, twitnya terakhir juga mengatakan dia
sedang menghadiri peluncuran buku yang selama ini selalu dinantinya. Ada
sesuatu yang tidak bisa kujelaskan mengapa akhirnya aku memberanikan diri untuk
menyapanya di peluncuran buku itu.
“Hai”
“Hai
juga” dia membalas dengan pandangan bertanya.
“@pekatnyasenja
kan? Gw @sangkalapagi.”
“Oh
jadi kamu sangkalapagi itu, abis foto profilenya
Sunrise mulu.”
“Hahaha,
disesuaikan dengan nama akunnya dong. Memang sengaja datang ke peluncuran Partikel yah? Sendiri?”
“Iya,
udah lama banget nunggu seri Supernovanya
Dee keluar lagi. Makanya langsung datang ke sini, hari ini diluncurkan secara
serentak di beberapa kota, salah satunya ya di Bandung. Kamu datang untuk Partikel juga?”
Kutunjukkan
buku yang baru kubeli, sebuah buku Auto-biography
seorang fotographer muda dan kumpulan
foto-foto terbaiknya.
“Ini,
gw datang ke sini untuk buku ini bukan untuk Partikel. Pas lagi bayar lihat ada rame-rame dan mahluk alien terus
jadi penasaran deh. Eh malah ketemu pekatnyasenja di sini saat senja pula.
Hehehe. Ouh iya gw Rafael.”
“Senja”
dia menyambut tanganku, hangat.
“Nama
lo benaran Senja?”
“Iya,
kenapa?”
“Keren
namanya, unik.”
“Masa?
Bukannya pasaran yah?”
“Ngga
kok, jarang gw temui nama Senja. Eh, datang sendiri?”
“Iya”
“Oh”
Tiba-tiba
salah tingkah, ditengah peluncuran buku yang didominasi oleh segerombolan orang,
dia datang sendiri. Walaupun dia menjawab pendek-pendek dan seakan seperlunya
tapi dia cukup ramah untuk ukuran orang asing seperti aku yang mengajak berkenalan.
“Eh,
saya duluan yah. Mau ke kasir sebelum semakin panjang antriannya.”
“Oh
oke Senja”
Senja,
nama aslinya memang Senja. Entah mengapa sejak pertemuan yang tidak sengaja itu
aku mulai memperhatikan setiap timelinenya.
Setiap buka twitter yang pertama
kulakukan selalu mencarinya, apa yang dia tulis, apa yang dia rasakan, apa saja
kegiatannya hari ini. Mulai follow
akun-akun yang dia follow dan
berharap akan ada peluncuran buku lainnya, agar kami dapat bertemu kembali.
Hari
pun berlalu, kesibukanku sebagai Fotografer
Freelance membuatku jarang buka twitter
dan Senja pun berlalu begitu saja. Minggu-minggu ini memang hari yang berat
untukku, ditunjuk untuk mengurus serta mendokumentasikan sebuah acara fashion show, cukup banyak menyita
waktu. Malam ini aku dan beberapa panitia yang terlibat acara fashion show rapat di sebuah cafe di Dipatiukur,
Bandung. Ada banyak agenda rapat yang harus dibicarakan dan persiapan yang
dilakukan.
Saat
itulah aku menemukan Senja, lagi, seorang diri. Hanya ada secangkir kopi,
laptop, asbak berisi puntung rokok yang menemaninya. Nampaknya dia sudah cukup lama
di sana, seorang diri.
Sengaja
aku tidak menyapanya, ingin kuselesaikan rapat ini dengan cepat lalu
menghampirinya. Ada semacam kerinduan yang tidak jelas datangnya. Selama rapat,
entah sudah berapa kali aku bolak-balik meliriknya, memastikan apakah dia masih
ada di sana, apakah dia menyadari aku memperhatikan terus, apakah dia masih
mengingat aku. Untunglah rapat kali ini tidak bertele-tele dan akhirnya
selesai. Setelah mengulas job desk
masing-masing, aku pun pamit, pindah ke mejanya.
“Malam,
Senja. Boleh duduk?”
“Oh,
Hai. Ehm kamu sudah duduk baru minta ijin.”
“Heheheh,
Lagi ngapain?”
“Menyendiri”
“Ganggu
donk”
“Kamu
sendiri lagi apa?”
“Habis
meeting sama anak-anak, lagi ada proyekan. Eh, serius gw ganggu yah, ya udah
deh pindah meja lagi.”
“Hahaha,
ngga kok.”
Dan
pembicaraan pun mengalir, menghabiskan bergelas-gelas kopi, berbatang-batang
rokok. Ada banyak perbedaan di antara kita, salah satunya mengenai kopi. Aku
lebih suka cappuccino, tidak pahit tapi manis, sama seperti aku menyukai
gadis-gadis yang berparas manis. Hal itulah yang sempat menjadi bulan-bulanannya,
“lelaki macam apa yang menyukai cappuccino” ledeknya. Dia menguruiku “Cappuccino
itu untuk seorang yang lembut, bahkan aku yang seorang perempuan pun tidak suka
dengan kelembutan foam cappuccino”. Karena
dia penikmat kopi tubruk, kopi hitam dengan sedikit gula, pekat. Seperti nama
akun twitternya @pekatnyasenja.
Perbedaan
lainnya adalah, bagiku pagi adalah semangat. Baginya pagi adalah waktu untuk
tidur. Seperti namanya, dia saat suka dengan senja, saat langit mengeluarkan
semburat jingga, romantis. Dengan adanya perbedaan di antara kita itu lah, aku
semakin tertarik padanya, secara pribadi.
Tak
terasa sudah setahun kami berteman, ada banyak hal yang tak terduga kutemui
dalam dirinya. Kadang dia ingin dimengerti, didengar, dimanja, layaknya
perempuan pada umumnya. Di sisi lain dia ingin dijauhi, dihindari, tak ingin
dijumpai, bahkan bertegur sapa di twitter.
Uring-uringan, sungguh! Menghadapinya saat sikap antipatinya muncul dan
berusaha menghiburnya adalah sia-sia. Kesendirian baginya adalah sakral, hanya
untuk dirinya sendiri, tidak ingin berbagi dengan siapa pun, termasuk aku,
teman terdekatnya satu tahun terakhir ini. Putus asa. Dia menginginkan
pertemanan, aku ingin lebih. Tapi, saat aku mulai menjauh, dia mulai
menghampiri. Tarik ulur. Bosan.
Lambat
laun, aku mulai mengerti asal muasal sikap antipatinya timbul-tenggelam. Aku
menyukainya sejak pertama bertemu di peluncuran buku itu. Aku rasa dia pun
mulai tertarik padaku, dengan seringnya kita jalan bareng, makan bareng, ngopi bareng, ngerokok bareng, bahkan menyendiri bareng. Menyendiri di saat kita
sedang bersama.
Dia
belum bisa melupakan cinta lamanya, sepenuhnya.
Sahabatnya,
temannya, hampir semua orang yang mengenal kisah cinta lamanya itu mulai
menjauhinya perlahan. Mereka tidak mengerti mengapa dia memutuskan untuk
berpisah setelah menjalin hubungan selama dua belas tahun.
Aku.
Apalah artinya sangkala pagi bagi seorang pekatnya senja.
Pagi
yang selalu bersinar. Senja yang selalu meredup.
Selama
ini, pagi merupakan sosok pengisi kekosongan belaka bagi senja tanpa pernah
mampu membuatnya penuh.
Saat
aku berhadapan dengannya, dalam benaknya, ini
bukan wajah yang sama.
Tanganku
mengenggam tangannya, ini bukan tangan
yang sama.
Bibirku
mulai mengecup kening, mata, hidung, pipi, dan bibirnya, ini bukan bibir yang sama.
Pelukanku
di malam-malam yang dingin, ini bukan
pelukan yang sama.
Ringkih!
Itulah yang dia rasakan saat aku mulai menyentuhnya, sangat halus. Dia selalu
terhenyak saat aku tiba-tiba membelai rambutnya, ini bukan belaian yang sama. Ada trauma di sana. Kutanyakan hal ini
padanya perlahan, tidak ada paksaan baginya untuk segera menjawab. Masa lalu
betapa pun pahitnya biarkan menjadi bagian masa lalunya. Aku adalah masa
sekarangnya.
Matanya
mulai berkaca-kaca, tubuhnya gemetaran saat dia menceritakan apa yang telah
dilaluinya dengan cintanya yang lama. Hanya kepahitan yang kudengar, bukan,
bukan karena aku cemburu. Hanya kepahitan. Dirinya terpenjara, terlalu banyak
aturan yang harus dipenuhinya. Dirinya tersiksa, satu tamparan untuk aturan
yang dilanggar, satu pukulan sebagai hukuman, satu tendangan agar dia jera. Semakin dia berontak semakin erat rantai menjeratnya.
Bagaimana
mungkin dia dapat melupakan cinta lamanya yang sudah berdiam terlalu lama
dihatinya. Dua belas tahun lamanya, cinta itu berkarat di sana. Terbiasa dengan
sentuhan yang sama lalu tiba-tiba seorang yang asing menyentuhnya tentu akan
membuat tubuhnya berontak walaupun ada bagian dalam relung hatinya yang
mendamba. Tidaklah heran jika temannya menyayangkan hubungan itu berakhir
seperti ini, bukan di pelaminan. Tapi temannya tidak tahu dan tidak pernah mau
tahu, luka dihatinya, luka ditubuhnya.
Manusia
dua belas tahun itu telah mendominasi seluruh hidupnya. Mengaturnya sedemikian
rupa hingga dia tidak punya waktu di dalam kesendiriannya. Ini lah yang menjadi
penyebab dia sangat menikmati kesendiriannya sekarang.
Jengah!
Mendengar cerita cinta lama itu keluar dari mulutnya. Melihat bekas luka
siksaan di tubuhnya. Melihat hatinya berkarat. Bagaimana mungkin dia dapat
bertahan selama itu dua belas tahun lamanya. Hingga tiba pada suatu titik
dimana dia tidak sanggup lagi berjalan tertatih-tatih bersama cinta lamanya. Dia
mengakhirinya dengan penuh luka di sekujur tubuh dan senyum manis tulus di
bibirnya.
“Sudah setahun berlalu, ada aku!!!” ingin
kuteriakkan itu ke dalam hatinya. Dua belas tahun lamanya dia terluka, setahun
perjuanganku tentulah bukan apa-apa. Kukembalikan pada sang waktu dan kembali
berharap agar tidak perlu menunggu selama itu untuk memulihkan hatinya. Sama
seperti dulu ketika aku berharap dipertemukan kembali dengannya dalam suatu
peluncuran buku.
***
Kuubah
nama akun twitterku, @manisnyasenja.
Setelah dua tahun, dia mulai membuka hatinya, walaupun belum sepenuhnya.
Seringkali kujumpai senyum diselingi tawa kecilnya, betapa manisnya kau, Senja.
Aku telah menemukanmu, manisnya Senja dalam kepekatan cinta yang telah dilalui.
Perlahan dia mulai menyukai cappuccino dan membenci kopi hitam. Seperti yang
pernah dia katakan, cappuccino itu untuk seorang yang lembut. Kau tak akan
pernah tahu kelembutan dalam cangkir cappuccino, jika kau belum pernah
merasakan kepahitan dalam kopi hitam. Kupersembahkan cappuccino ini untuk
Senja. Senja yang menyemburatkan warna jingga dan Senja yang tersenyum manis sambil menikmati cappuccino bersamaku.
***