Sudah berjam-jam lamanya kami di
tempat ini. Sebuah kedai kopi kecil dengan bangku kayu rotan yang tidak nyaman
untuk duduk berlama-lama, menu makanan ala kadarnya, poster event kadarluasa
yang masih menempel, belum lagi kebisingan kendaraan karena terletak di pinggir
jalan. Tapi, kamu selalu memilih untuk bertemu di sini, “Kopinya enak!” alasanmu
setiap kutanya mengapa tidak ke tempat lain. Bagiku semua kopi sama saja, hari
ini aku malas berargumen dengannya, kuiyakan saja daripada kami malah berantem
dan tidak jadi bertemu.
“Maaf, Mba-Mas kami mau last
order. Ada tambahan pesanan?”
“Udah mau tutup yah. Kamu masih mau
pesan?” tanyanya.
“Ngga, Makasih Mas”. Jawabku.
Aku melirik ke arah dinding, jam
dua belas malam. Sudah empat jam kami bersama, berbasi-basi, ngobrol tentang
keseharian. Jus stoberi pesananku masih setengah, sementara dia sudah
menghabiskan dua cangkir kopi, kentang goreng tidak tersentuh, sudah dingin. Asbak
dipenuhi puntung rokoknya, menandakan dia sedang gelisah.
“Sudah malam, sebentar lagi
tutup. Pulang yuk!” rayuku.
“Ngga mau pulang!”
“Terus kemana?”
“Ngga tahu, pokoknya ngga mau
pulang titik!” tangannya mengapit lenganku semakin erat.
Menggemaskan jika dia sudah
merengek manja seperti ini. Rambut panjangnya dibiarkan terurai mengenai pahaku
saat dia menyandarkan kepala dibahuku. Kubelai-belai halus.
“Besok datang?” tanyanya masih
bersandar kebahuku.
“Maunya gimana?” kutanya balik.
“Terserah kamulah.”
“Kalau disuruh datang, aku pasti
datang. Kalau ngga, yah mending dirumah.”
“Tuh kan! Kamu ngga pernah
inisiatif dari dulu!” kembali menengakkan kepalanya dan menatap mataku lekat.
“Jadi maunya gimana?” tanyaku
polos sambil merengkuhnya kembali kepelukanku.
“Coba saja ....” kalimatnya tidak
selesai, tersedat.
“Lho ko malah nangis, jangan
nangis. Besok matanya sembab jadi tidak cantik lho” tanganku menghapus air
matanya.
“Sudahlah antarkan aku pulang!”
“Katanya ngga mau pulang?”
“Sekarang mau!”
Selama dalam perjalanan,
tangannya memeluk erat di belakang, mungkin karena udara yang dingin.
Tiba-tiba dia minta diturunkan,
padahal masih sekitar tujuh-enam rumah lagi.
“Aku turun di sini saja.”
“Yakin?”
“Iya”
Melepaskan helm dan
menyerahkannya kepadaku. Rambutnya sedikit berantakan.
“Terima kasih yah sudah
menemaniku malam ini.”
“Iya, sama-sama.” merapikan rambutnya.
“Langsung pulang?”
“Mungkin!”
“Kamu hati-hati yah.” menggengam
tanganku sebentar kemudian pergi.
“Senja, sebentar!” langsung turun
dari motor dan mengejarnya.
Memeluknya lama sekali, mencium
keningnya.
“Selamat berbahagia. Selamat
menempuh hidup baru. Dia memang lelaki pilihan orang tuamu yang beruntung. Sekali lagi
selamat yah. Jangan nangis, nanti orang bertanya-tanya kenapa mata pengantinnya
sembab.”
Berjalan menuju motor tanpa
berpaling lagi ke belakang. Menyalakan Ipod, memasang aerphone, memakai helm,
menuju entah kemana. Hari ini malas pulang!
Mengalun lagu Glenn Fredly - Akhir
Cerita Cinta dalam playlist,
Kini harus aku lewati
Sepi hariku tanpa dirimu lagi
Biarkan kini ku berdiri
Melawan waktu tuk melupakanmu
Walau pedih hati namun aku bertahan
***
No comments:
Post a Comment