Pernah mengalami di suatu kondisi hasil kerjamu hanya dibayar
dengan segelas kopi dan sebungkus rokok? Bukan dengan uang tunai! Saya pernah. Alasannya
simple saja bukan karena tidak butuh uang tapi saat itu rasanya kopi lebih
dibutuhkan untuk meningkatkan stamina dan konsentrasi. Sama halnya dengan
rokok, semacam peransang kinerja otak agar lebih kreatif. Bisa dibilang
suplemen dan mood boosters untuk menjalani hari yang padat. Ini pendapat
menurut saya saja yah tanpa bermaksud apalagi menghimbau agar mengkonsumsi kopi
dan rokok selagi kerja. Tiap orang punya caranya sendiri agar lebih bersemangat
dalam bekerja, itu sudah pasti.
Nah, yang ingin saya ceritakan di sini bukan tentang soal
kerjaan, bayaran, atau mood boosters tiap orang yang berbeda-beda. Tapi, lebih
kepada intisari dari kopi dan rokok, khususnya dalam keseharian saya. Jadi,
sebelum membaca lebih lanjut lebih baik tepiskan dahulu segala pendapat negatif
dan bahaya dari kopi dan rokok atau lebih baik tidak usah dilanjutkan. Setuju?
Kita mulai dari sini ...
Kopi selalu dipaksakan berjodoh dengan rokok. Betul kah
dipaksakan? Atau karena memang mereka sudah berjodoh?
Pada kenyataannya memang tidak semua orang itu peminum kopi.
Dan tidak semua orang adalah perokok. Tapi keberadaan kopi dan rokok memang
tidak dapat dipisahkan begitu saja. Coba kita sama-sama selisik lebih dalam. Hampir
sebagian besar di cafe atau coffee shop terdapat ruangan smoking area,
walaupun ditempatkan terpisah, di luar dengan kapasitas yang lebih kecil dan
kurang nyaman tanpa sofa. Tidak jarang juga di beberapa cafe atau coffee shop
lebih mengedepankan kenyamanan ruangan smoking area. Masih mau bukti?
Coba
melipir di jalanan, ada berapa banyak kios, warung kecil di pinggir jalan yang
menyediakan air panas untuk seduh kopi sachet lengkap dengan bangku ala
kadarnya. Rasanya kurang pas kalau sudah ada kopi ngga ngerokok, atau sudah
ngerokok asem ngga ada kopi. Ini berdasarkan dari hasil survey pada segelintir
orang secara sembarang.
Intinya adalah kopi sangat erat hubungannya dengan
rokok, begitupun sebaliknya. Mereka saling mengisi satu sama lain.
Mereka adalah sepasang kekasih yang kesepian. Begitu seorang
teman dekat menamainya.
*
Bagaimana mungkin menamai mereka sepasang tapi ko kesepian?
Saya tanyakan hal itu padanya.
Duduknya langsung tegap, condong ke depan, mengambil cangkir
kopi kemudian menghirup aromanya amat perlahan. Cangkir kopinya memang masih
panas, dari seberang meja saya masih melihat kepulan asapnya. Setelah
menghirupnya, dia menyeruput pelan-pelan seakan bunyinya akan membangunkan bayi
yang baru terlelap setelah menangis seharian.
Saya pikir setelah dia meminum kopinya, dia akan langsung
menjawab.
Kemudian dia mengambil sebatang rokok, mengetuk-ngetuk ujung
filter ke atas meja “Supaya padat”, jelasnya karena saya melihatnya dengan
ekspresi penuh tanda tanya. Mengambil korek membakar rokoknya. Ada jeda waktu
yang panjang seakan terhisap bersamaan dengan saat dia mengisap rokoknya
dalam-dalam. Bara api tersulut dalam keheningan. Lalu menghembuskan asapnya seolah
beban hidupnya ikut terangkat seiring dengan asap yang terbang bersama angin
sore hari ini.
Saya masih duduk menatapnya, menunggu jawaban.
“Sepasang kekasih yang kesepian. Kamu mau tahu mengapa saya
menyebut mereka demikian?”
“Iya, maka dari itu saya ngajak kamu ngopi hari ini.”
“Kalau saya ternyata tiba-tiba tidak bisa datang, apa yang
kamu lakukan?”
“Kesal yang pasti!”
“Tapi kamu sudah ada di tempat ini. Pulang? Pergi ke tempat
lain? Atau ke mana?”
“Karena sudah ada di sini yah pesan minum.”
“Minum apa?”
“Kopi.”
“Sendirian?”
“Yah, karena kamu tidak datang terpaksa menikmatinya
sendirian.”
“Tepat!”
“Maksudnya?”
“Kamu bisa tetap menikmati kopi dan rokok dalam
kesendirian.”
“Ya, tentu saja. Lantas apa hubungannya dengan pertanyaan
saya tadi di awal tentang sepasang kekasih yang kesepian?”
“Begini ...”
Lagi sebelum menjelaskan dia memulai ritual meminum kopinya
dan membakar rokoknya sebelum menjelaskan. Saya harus bersabar menunggunya.
“Lihat, tangan kanan saya memegang rokok sedangkan tangan
kiri menggengam cangkir kopi. Apa yang kamu tangkap?”
“Kamu sedang minum kopi sambil ngerokok???”
“Buka sedikit pikiranmu. Semua yang ada di kehidupan ini ada
maknanya. Segala perbuatan yang kamu lakukan harus ada tujuannya. Kita punya
dua tangan sudah pasti ada tujuannya. Tangan kanan dan tangan kiri punya
fungsinya masing-masing. Tidak adil jika saya memegang rokok pakai tangan kanan
dan mengambil cangkir memakai tangan yang sama. Walaupun bisa saja saya berbuat
seperti itu. Intinya adalah keseimbangan.”
“Iyaa ...” dengan raut muka bertanya karena sesungguhnya
saya memang tidak mengerti arah pembicaraannya.
“Boleh saya bertanya?”
“Silakan, tapi pertanyaan saya belum dijawab loh.”
“Dalam sehari berapa gelas kopi yang kamu minum?”
“Dua hingga tiga gelas. Tergantung banyaknya pekerjaan.”
“Berapa bungkus rokok yang kamu habiskan dalam sehari?”
“Rata-rata satu bungkus. Tergantung tingkat stress.”
“Tergantung ....” jawabnya sambil menghembuskan asap,
menjentikkan abunya pada asbak lalu melanjutkan.
“Artinya ketidakpastian. Dan yang pasti hanya ada kopi dan
rokok yang setia menemani dalam keadaan apa pun.”
“Iyaa, tapi di mana korelasinya sehingga menjadi sepasang
kekasih yang kesepian.” sebenarnya apa yang ingin dia ungkapkan. Saya yang
terlalu bodoh tidak dapat menangkap makna dibalik kata-katanya atau dia hanya bermain-main
dengan kata saja.
“Kopi paling pas menurut saya diminum selagi panas. Rokok hanya
kumpulan tembakau dalam kertas papir tanpa bara api. keduanya sama-sama
membutuhkan energi panas walaupun medianya berbeda. Sudah mulai mengerti?”
“Samar-samar ....”
“Kopi hitam yang saya minum akan menyisakan ampas. Rokok
yang kita hisap akan meninggalkan sisa-sisa abu dan puntung dalam asbak.
Keduanya meninggalkan jejak sebelum tandas.”
“Tapi kopi yang saya minum tak berampas.”
“Saya lebih beruntung kalau begitu.”
“Kenapa beruntung?”
“Setidaknya setelah tegukan terakhir, ampas ini masih setia
menemani saya. Coba kopimu? Setelah tegukan terakhir apa yang tersisa?”
“Tidak ada ....”
“Masih ada rokok yang bisa menemanimu untuk dibakar lagi.”
“Lalu?”
“Kopi hitam yang saya minum dan kamu yang pesan kopi susu
berasal dari sumber yang sama, hanya cara penyajiannya saja yang berbeda. Ada
yang suka pahit tanpa gula, ada yang menambahkan gula, susu, creamer, buah-buahan, ice cream, bahkan
sedikit alkohol. Masalah selera saja. Sama halnya dengan manusia yang berasal
dari sumber yang sama, Yang Maha Kuasa. Manusia satu dengan manusia lainnya
diracik sedemikian rupa hingga terlihat berbeda satu sama lain. Masalah sudut
pandang saja. Sayangnya, mereka lebih menitikberatkan pada perbedaan. Coba
lihat kopi kita akur-akur saja di atas meja.
“Ehmpp iyaa ....” pembicaraan ini rasanya semakin melantur.
“Sedangkan rokok bagi saya adalah seni.”
“Seni?”
“Merokok adalah seni.” Dia mengambil satu batang dari
bungkus rokoknya, mengetuk-ngetuknya di atas meja. “Yang saya lakukan adalah
memadatkan tembakau di dalamnya, membakarnya, mengisapnya, lihat bara api menyatukan
tembakau di dalam kertas merangsak hingga ke ujung filter menghasilkan asap
masuk terhisap ke dalam bibir. Dan di olah secara naluriah oleh perokok. Semua itu
proses dan hasil akhirnya adalah asap tembakau yang terhembus. Pembakaran sempurna.”
“Kamu terlalu berfilosofi.”
“Kopi dan rokok bagi saya adalah kehidupan. Kopi hangat dan
bungkus rokok yang ada di meja kita merupakan hasil dari proses yang panjang. Begitu
kamu menghirup aroma kopinya dan membakar batang rokokmu itulah awal kehidupan
di mulai. Kopi hangat yang sudah tersaji jika tidak kau minum, semut dan serangga
kecil biadab itu akan menghabisinya tanpa ampun. Begitu pula rokok yang sudah
kau bakar lalu didiamkan di asbak akan habis dengan sendirinya oleh angin. Dan
hidupmu akan berlalu begitu saja termakan usia tanpa pernah kau mengecap intisari dari kehidupan di
dalamnya. Sia-sia.”
“Ya ya ya, masuk akal.”
“Mereka, kopi dan rokok, banyak berperan dalam hidup saya. Banyak
karya saya terlahir bersama mereka. Walaupun mereka bisa berdiri sendiri dengan
peranan dan fungsinya serta resiko kesehatan yang ditimbulkan tapi disadari
atau tidak, mereka saling melengkapi, saling mengisi satu sama lain, saling
dibutuhkan. Mereka lebih dari sahabat yang akan selalu ada di saat-saat kau
terpuruk atau hanya ingin berteman dengan sepi. Mereka ....”
“Sepasang kekasih yang kesepian.”
***
Saya peminum kopi sendiri, tanpa ada emosi meluap tidak ada sebatang rokok.
ReplyDeleteTeh, tulisannya meuni alus :)
Asik. Makasih yah. Cheers akh!
ReplyDelete