Masih saja kuingat bagaimana kau sering mempertanyakan
arti sebuah lagu bagiku. Seberapa penting lagu itu menyimpan kenangan di
hatiku. Kau tak pernah tahu karena kau tidak pernah menghargai arti sebuah lagu
yang menjelma dari tetesan kenangan dalam tiap liriknya, dalam petikan
melodinya. Kau tidak pernah menghargai apa pun.
Sebut aku perempuan kuno dengan pemikiran yang kolot.
Iya, impianku sangat sederhana terlalu dangkal malah bila disandingkan dengan
gelar pendidikan dan pengalaman kerjaku. Memiliki keluarga kecil bahagia dengan
dua anak cukup. Sesederhana itu impian yang ingin kurajut denganmu. Tapi apakah
kita mempunyai mimpi yang sama? Kau tidak pernah punya impian apa pun untuk
diraih.
Rumah kontrakan kecil yang hanya mempunyai tiga ruangan,
satu ruang serba guna sebagai ruang tamu-ruang makan-dapur, satu ruang kamar
tidur, dan satu ruang kamar mandi menjadi sangat luas karena hanya aku
penghuninya –bukan kita –. Entah sesibuk apa pekerjaanmu hingga menahan dan
mencegahmu untuk pulang ke rumah. Rumah yang kita sepakati menjadi dasar
membangun pernikahan kita. Makan malam yang khusus kubuatkan untukmu sudah
menjadi dingin, setiap malamnya. Kopi yang kubuatkan sebagai menambah
semangatmu tidak pernah tersentuh, setiap paginya. Kau tidak pernah ada.
Impianku yang sederhana saja nampaknya sulit untuk
digapai. Kau tidak pernah tahu setiap pagi kujemur bantal sebelum ke kantor
karena basah sisa menangis semalaman. Bukan karena aku menunggumu, bukan karena
aku sedih tanpa kehadiranmu. Tapi, gunjinggan para tetangga dan teman kantor
yang membicarakan kelakuanmu, suamiku.
“Mba Sri ini rajin sekali, bantal guling dijemur tiap
hari. Mas-nya ngga pulang lagi ya semalam?” Sapa tetangga di pagi nan cerah.
“Maklum banyak kerjaan, Bu, Mari saya duluan.” Ucapku
sambil lalu.
__
“Sri, maaf yah sebelumnya. Tapi, kamu harus tahu, kemarin
kayanya aku lihat suamimu makan bareng cewe lain deh.” Teman kantor
mendatangiku di kubikal pada pagi yang masih cerah.
“Paling bareng kliennya.” Ucapku tak ambil peduli.
__
“Cie yang nonton bareng suami. Sombong amat!” Seru teman
kantor lainnya saat makan siang nan terik.
“Hah? Nonton? Sombong? Apaan sih.”
“Tadi malam nonton bareng ama suami kan? Gw duduk tiga
baris di atas lo. Gw mau samperin tapi lo udah keburu kabur.”
“Oh .. kebelet pipis.” Singkatku. Sudah setahun ini aku
tidak nonton bioskop.
__
“ Mba Sri, punya saudara di daerah kemang yah?” Tanya
satpam saat baru saja keluar dari kantor di sore yang mendung.
“Kemang? Kenapa, Pak?”
“Kebetulan rumah saya di daerah situ, suka lihat motor
suaminya Mba Sri di sana.”
“Iya, saudara suami saya ada yang tinggal di sana. Mari,
Pak saya duluan ya.”
__
Selalu saja ada kabar tentangmu yang tersampaikan ke
telingaku, tidak sekalipun aku menanggapinya. Karena aku percaya padamu,
suamiku. Kau tidak pernah menjaga kepercayaanku.
Terkutuklah panggilan alam di malam yang dingin, menghentikan
betapa indahnya mimpi barusan. Terdengar suara bisik-bisik di ruang tamu,
membuatku lupa hal yang membangunkanku.
“Telpon sama siapa sih
malam-malam gini?” Tanyaku yang tampaknya membuatnya terkaget.
“Biasalah klien. Memang suka ngga
tahu waktu!” Jawabmu agak terbata-bata.
“Memangnya ngga bisa ditunda
sampai besok pagi?”
“Urgent, Say! Udah kamu kembali
tidur sana.”
“Iya, kamu juga. Besok kesiangan
ngantor loh!”
Sengaja aku menunggumu tertidur,
rasa penasaran membawaku mengambil BlackBerry, menggoreskan relung luka.
Mas, kayanya aku hamil deh.
PING!!!
PING!!!
Alarm berbunyi, 05.30 A.M
Aku lempar Blackberry ke arah
dadanya sambil berteriak, “Bangun!”
“Mas, selama ini aku diam bukan
karena aku bodoh. Diam bukan berarti tidak peduli. Aku mencoba mempertahankan
pernikahan kita. Pernikahan yang dibangun atas rasa cinta kita berdua. Selama
ini aku bertahan dan sekarang aku tidak sanggup lagi mempertahankannya. Untuk
apa aku terus bertahan menjaga sesuatu yang tidak ada artinya bagimu. Sesuatu
yang kau hancurkan begitu saja. Maaf.”
“Sri, aku bisa jelasin semuanya.
Ini cuma salah paham.”
“Sudah cukup. Tidak perlu
dijelasin. Sudah cukup ...”
Malam itu aku langsung naik
travel pulang ke Bandung. Perjalanan malam sunyi dan sepi karena sebagian besar
penumpang tertidur. Pemandangan di luar sana, begitu kelam, sekelam hatiku. Membuatku
tersadar betapa bodohnya aku selama ini yang selalu membuka pintu maaf
selebar-lebarnya untukmu. Karena di dasar hatiku aku masih mempercayai bahwa
kau akan berubah suatu saat nanti. Aku hanya perlu bersabar dan menunggu saat
itu tiba. Kau tidak pernah berubah.
Sebuah lagu berbunyi mengagetkan
lamunanku, rupanya handphone pemilik salah satu penumpang yang tertidur pulas,
tidak terangkat.
I don’t wanna fall in love
Just wanna have a little fun
Then you came and swept me up
And now I’m done, so done
Fallen madly deeply I
Surprised myself enough to find
That what’s begun
Is love
And now I’m done, so done
I’m done*
Kuresapi liriknya, berharap penumpang itu tetap tertidur agar lagunya tidak berhenti. Rasanya lagu ini bernyanyi untukku.
Aku tidak pernah meminta cinta, kau yang berikan. Kau yang berjanji untuk merajut mimpi bersama hingga keriput menghiasi wajah kita. Tapi aku lupa karena kau selalu ingkar.
Biarkan aku merajut helai demi helai mimpiku dalam kesendirian.
Kuharap kau menemukan cincin yang kutaruh di atas kulkas saat bangun nanti, karena kisah kita sudah berakhir, sudah cukup.
***
(End)
Gambar dari sini |
*Lagu Pussycat Dolls dengan Judul I'm Done
No comments:
Post a Comment