Bekerja sebagai guru bukan hanya persoalan membuat materi pembelajaran lalu mengajarkannya pada anak didik dan menguji mereka dengan soal-soal serta mengurus administrasi sekolah. Namun harus mampu menyelami lebih dalam karakteristik masing-masing anak didiknya. Inilah yang masih menjadi kelemahanku. Anak-anak kelas satu sekolah dasar masih merasakan euphoria taman anak-anak. Mereka belum terbiasa dituntut untuk bisa menulis dan membaca dengan baik, benar, cepat, dan tepat. Kesabaran dan ketelatenan adalah kunci utama dari pekerjaan ini, pahlawan tanpa tanda jasa.
Dari dua puluh dua anak didikku, secara kasat mata mereka semua tampak sama. Anak kecil yang menangis pada jam pertama karena ditinggal oleh Ibunya, karena tidak bisa mengerjakan soal yang kuberikan, karena mengompol, atau mereka yang riang gembira menyambut istirahat tiba karena sudah tidak sabar lagi untuk bermain, berlarian di halaman depan kelas.
Suatu hari aku membagikan kertas gambar ukuran A2, pelajaran menggambar dimulai. Suasana kelas menjadi ricuh, mereka berlarian saling meminjam yang berakhir saling berebut mendapatkan pensil warna. Sengaja aku tidak memberikan tema tertentu agar mereka dapat mengembangkan imajinasinya. Hanya ada satu anak yang duduk diam di kursinya menatap kertas gambar yang masih putih polos belum tersentuh, seolah tidak ada keributan di sekitarnya.
“Belum mulai menggambar?” tanyaku.
“Sudah.”
“Gambar apa?” tanyaku sambil mengerutkan kening karena kertas gambarnya masih kosong.
“Damai.”
“Damai? Gambarnya mana?” sebagai gurunya aku merasa dibodohi. Bagaimana mungkin anak yang masih mengompol ini bisa mengerti arti kedamaian.
“Bu guru tidak lihat? Kertas putihnya damai, kalau Jeremy gambar pake pensil nanti putihnya jadi hitam. Tidak damai lagi.”
Sebentar lagi jam sekolah berakhir, aku memberikan kertas gambar lagi kepadanya.
“Ini Ibu kasih lagi, gambar pemandangannya di rumah. Besok Jeremy jangan lupa bawa lagi kertas gambarnya ke sekolah yah, yang sudah digambar pemandangan.”
Dia menerima kertas gambarnya dengan tersenyum mengiyakan lalu segera keluar kelas bersama temannya.
*
Awalnya kukira Jeremy hanyalah anak yang pemalu, hampir tidak pernah bicara dan selalu menolak jika disuruh tampil maju di depan kelas. Dia hanya menjawab saat aku bertanya dan menyebut namanya. Selalu sendiri, bermain dengan kesendirian saat jam istirahat.
Kejadian siang tadi membuatku bertanya-tanya dan berpikir ada sesuatu di dalam diri Jeremy. Selepas mengerjakan administrasi sekolah, aku sengaja menelepon rumahnya mengatakan kepada orang tuanya bahwa hari ini ada jadwal kunjungan rutin sekolah agar mereka tidak menaruh curiga.
Ibunya menyambut kedatanganku dengan ketus karena tidak pernah tahu ada kunjungan rutin sebelumnya, dia tidak siap.
Rumah mungil tanpa halaman nampak berantakan, ruang tamu yang berfungsi sebagai ruang keluarga dipenuhi dengan barang-barang. Botol-botol bir kosong tergeletak di sudut ruangan, meja tanpa taplak diselimuti debu dan abu rokok. Dinding putih di ruang tamu menjadi hamparan canvas lukisan abstrak, peninggalan jejak kakak-kakaknya Jeremy. Kaos kaki yang terlepas dari sepatu tergolek dimana-mana membuatku harus waspada saat melangkah. Terdengar lagu yang dinyalakan keras-keras.
Jeremy spoke in class today
Jeremy spoke in class today
Try to forget this...
Try to erase this...
From the blackboard.*
“Jo, kecilkan suaranya!!! Kunjungannya memang selalu dadakan? Saya tidak punya waktu untuk bereskan rumah dulu.” Ujar Ibunya, menangkap basah saat aku mengedarkan pandangan di ruang tamu.
“Iya, saya minta maaf, tampaknya bagian tata usaha melewatkannya.”
“Tujuannya apa kunjungan ini?” tangannya mempersilahkan aku duduk sebelum menyalakan rokok.
“Tujuannya agar pendidikan anak selaras di rumah maupun di sekolah, sudah menjadi kewajiban saya sebagai wali kelasnya untuk menyelaraskan hal itu. Di sekolah ada banyak keterbatasan, selain waktu, perhatian juga terbagi untuk anak yang lainnya, agar lebih fokus makanya diprogram kunjungan rutin.”
Ibunya menatapku dalam diam, kemudian berteriak “Jonas ambil air putih untuk Bu guru”
“Jeremy berapa bersaudara, Bu?” menahan napas agar tidak batuk karena kepulan asap.
“Lima. Dia anak keempat. Johanes kakak yang pertama baru masuk smp. Jonas kelas 6. Joshua kelas 3. Jeremy lalu Josephine, adiknya masih tiga tahun.”
“Jeremy termasuk anak yang pendiam di sekolah, apakah kalau di rumah dia pendiam juga?”
“Dibandingkan dengan kakak-kakaknya dia memang lebih pendiam. Tuh liat tembok penuh coretan bekas kakak-kakaknya. Belum ada waktu buat cat ulang warna putih, biar kembali damai suasana.”
*
Kunjungan sore yang melelahkan, membuat kepalaku pening diselimuti asap rokok yang rasanya melekat di sekujur tubuh. Mendengar penuturan dari Ibunya, aku merasa menaruh simpati yang dalam terhadap Jeremy. Dibesarkan dengan rasa kasih sayang yang tersisa dari kakak-kakaknya dan harus membagi sisanya untuk adik yang masih kecil. Tidur bersama dalam satu kamar, berbagi kasur dengan kedua kakaknya.
Kehilangan sosok ayah yang bekerja di luar kota dan pulang ke rumah hanya untuk tidur seharian. Tidak pernah bertegur sapa, cenderung tidak peduli terhadap perkembangan anak-anaknya, setidaknya itu yang aku tangkap dari hasil kunjungan tadi.
Sehari-hari hanya bersama kakak-kakaknya yang tak acuh membuatnya lebih merasa dekat dengan Ibunya. Itu yang menyebabkan dia begitu mengagungkan warna putih, warna kesukaan ibunya yang dia percayai membawa rasa damai.
Dia tidak pernah mau membubuhkan warna lain di atas warna putih polos. “Putih itu damai” ucapan Ibunya terpatri lekat dalam ingatan, membuatnya ketakutan akan merusak rasa damai jika menodai putih dengan warnai yang lain. Beruntunglah buku tulis tercipta dengan garis-garis penanda penegasan, sehingga dia bisa leluasa menggoreskan pena di atasnya. Jeremy, kau memang berbeda.
*
Masih ada dua puluh menit sebelum memasuki jam pertama, aku masih di ruang guru menyiapkan materi untuk hari ini. Mengetahui latar belakang keluarga Jeremy mau tidak mau justru membuatku salah tingkah, apakah aku bisa memandang dia dengan pandangan yang sama? Dengan umur yang masih belia dia mencoba memaknai kehidupan di balik warna.
Lamunanku terganggu karena muridku Anto menghampiriku sambil terengah-engah,
“Bu guru. Denis nangis. Jeremy mukul ... gambar ...” Ucapnya terbata-bata.
Tanpa menunggu kalimat Anto selesai aku langsung berlari menuju kelasku.
Denis yang melihat kedatanganku segera menghampiri dan memelukku
“Bu guru tadi Denis dipukul Jemmy.”
“Kenapa Denis dipukul”
“Denis mau ikut gambar juga. Tapi ngga boleh sama Jemmy”
“Jeremy lagi gambar apa? Ayo kita lihat ke kelas.”
Memasuki ruang kelas, aku tertegun menyaksikan gambar pemandangan di papan tulis seluas 50 x 80 cm. Jeremy menggambar gunung dengan kapur putih, lembah yang berwarna merah, matahari kecil bersinar kekuningan, di atas puncak gunung ada anak kecil dengan jarinya membentuk huruf V. Dia menggambar sambil bernyanyi Jeremy spoke in class today ...
“Jeremy?”
“Bu guru ini gambar pemandangannya sudah selesai.”
***
*Lagu Jeremy by Pearl Jam
How wonderful that a little boy like Jeremy knows the meaning of peace.
ReplyDeleteHa ha ha ... hanya saja akh sudahlah. Jeremy spoke in class today *stuck in my head dari kemarin nie lagu* :))
ReplyDeletehe definitely different... putih oh putih...
ReplyDeleteapa benar putih itu damai?
Kata Ibunya Jeremy sih begitu .... :))
ReplyDeleteSalam kenal...
ReplyDeleteMembaca tulisan ini, saya seperti masuk kedalam alur ceritanya, keren sekali mbak :))
Hi Mia, Salam kenal juga :))
ReplyDeleteJeremy memang memikat yah. Terima kasih yah.
Kok sedih yah ceritanya? Terharu . . .
ReplyDeleteIya, aku juga sedih dan terharu ... Jeremy oh Jeremy :))
ReplyDeleteEhmmmm... Keren dan Hebat bgt..... Memberi banyak inspirasi bagi dunia pendidikan... Terus berkarya!!! JLU....
ReplyDeleteEh, ada Ibu Guru beneran mampir. He he he. Thanks yah :) JLU too
ReplyDeleteUkh... Aku suka alurnya. Entah kenapa, aku suka dengan karakter si Jeremy.
ReplyDeleteJeremy memang istimewa, Liiaaaa :D
ReplyDelete