Terlambat, adalah kata yang sudah mendarah daging baginya. Terlalu dini menyimpulkan. Benarkah? Setidaknya dari beberapa kali kami membuat janji aku lah orang pertama yang selalu hadir lebih dulu.
Dia datang agak tergesa, duduk disamping kursi yang memang sudah kusiapkan untuknya. Menyapa dan bertanya kabar. Kami larut pun larut pada acara gathering itu.
Acara telah selesai, kami masih duduk bersebelahan karena baru saja memesan secangkir cappuccino. Para peserta satu persatu mulai meninggalkan tempat itu. Kami pun berpindah ke tempat yang lebih nyaman dan sekarang dia duduk dihadapanku. Perlahan hujan mulai turun di luar sana.
Berhadapan dengannya, saat itu, sungguh membuatku risih.
Kami adalah dua mahluk yang tercipta dari dua dimensi yang berbeda. Aku si realitis dengan pemikiranku yang terpusat pada masa sekarang, bukan masa lalu, tidak juga masa depan. Dia si pemimpi dengan pemikirannya yang dipenuhi dengan imajinasi dongeng sebelum tidur, yang terkadang saling tumpang tindih antara masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Hujan masih membasahi bumi, matahari perlahan undur diri. Kami masih duduk berhadapan, hanya ada satu cangkir cappuccino dan asbak yang tak dapat menampung lagi puntung – puntung rokok. Kopi dan rokok lah yang menyatukan kami. Ouh iya hujan tentu saja, bagaimana mungkin aku lupa. Kami adalah manusia hujan, begitu dia menyebutnya. Orang – orang mulai berlarian saat gegana hitam muncul, menghindar dari hujan. Kami akan duduk manis di teras menunggu dengan sabar sampai titik – titik air mulai berjatuhan membasahi bumi. Kemudian kami akan menari bersama hujan. Agar tak ada yang tahu bahwa sebenarnya kami sedang menangis, air mata menyaru dengan air hujan. Tapi aku tahu. Dia pun tahu. Hanya kita yang tahu. Kami berbagi rahasia melalui hujan. Malam itu hujan agak deras, aku bisa melihat di matanya bahwa dia ingin berlari ke sana, menyapa hujan. Tidak malam ini dalam benakku yang terbaca olehnya. Apa pun masalah yang menderamu, maaf, aku tidak bisa lagi menemanimu menari di bawah air mata hujan.
Membebaskan Hujan
Ada yang ingin menjaring hujan
Dengan pepatah-petitih tua
Yang tak lekang meski basa –
Hujan buru – buru menghapusnya.
Ada yang ingin mengurung hujan
Dalam sebuah aliena panjang
Yang tak kacau meski kuyup –
Hujan malah sibuk menyuntingnya.
Ada yang ingin membebaskan hujan
Dengan telapak tangan
Yang jari – jarinya bergerak gemas –
Hujan pun tersirap: air mata.
-kumpulan puisi hujan karya Sapardi Djoko Damono-
**
Matahari sudah ditelan malam, satu cangkir menjadi dua cangkir, satu gelas bandrek, sepiring kentang goreng dengan taburan keju, dan asbak yang baru saja diganti lagi oleh pelayan. Sudah dua kali pelayan itu mengganti asbak kami. Sebenarnya aku sudah ingin pulang, tapi dia terus bercerita tentang dongeng yang usang, bagiku. Apakah dia tidak menyadarinya saat itu bahwa kupingku mulai memerah, panas. Aku tidak suka dongeng. Jangan ceritakan padaku tentang dongeng seorang putri yang menikah dengan pangeran berkuda putih. Semua itu hanya ada dalam imajinasimu, pemimpi. Rasanya aku ingin mendobrak masuk dan mencabut semua akar imajinasi di dalam kepalamu. Sudah beberapa bulan kami tidak bertemu, tidak bertukar kabar, tidak adakah satu pun yang bisa dia ceritakan tentang kehidupannya. Jengah, bosan, dan mulai mengantuk. Aku ingin mengakhiri malam ini tanpa menaruh amarah dengannya. Saat aku mau beranjak, dia bilang tunggu sebentar lagi.
“Malam ini indah, kan? Sebentar lagi bintang pasti muncul.”
“Tidak mungkin akan ada bintang, hujan masih mengguyur.”
“Iyah yah, ouh iya aku hampir lupa. Aku ingin memberimu sesuatu.”
“Apa?”
“Ini! Novel terbaruku. Minggu depan baru akan mulai diperbanyak. Tapi aku ingin kau yang pertama memilikinya.”
“Novel?”
Waktu dia memberi Novelnya itu, lidahku kelu. Tidak ada satu kata pun yang terucap, bahkan terima kasih. Ingatanku beralih pada masa itu saat kami sama – sama mempunyai sejuta mimpi. Salah satunya adalah menjadi penulis. Setiap malam, saat kebanyakan orang terlelap dalam tidur. Kami sibuk menabung kata. Saat tabungan kata itu sudah penuh, tiba saatnya kami bersama – sama memecahkannya, menyusunnya kata demi kata hingga terangkai menjadi sebuah tulisan.
Malam demi malam hingga akhirnya kami bersahabat dengan malam. Suara malam lebih merdu, tidak ada kebisingan pekik kendaraan. Suara jangkrik kadang terdengar lirih, gemerisik daun yang tertiup angin malam. Tabungannya sudah penuh dengan kosa kata yang kadang menyembul keluar. Tabunganku masih sama, hanya diisi dengan kata – kata yang sama. Tidak heran mengapa dia dapat merangkainya menjadi sebuah Novel. Dia selalu dikelilingi oleh orang – orang yang menghargai seni. Melalui seni, kata – kata dapat digoreskan menjadi tulisan, lukisan, dan musik.
Hujan sudah berhenti, beberapa tetes masih tertinggal di dahan pohon dan atap tempat itu. Malam semakin larut. Memegang novelnya dalam tanganku seperti mengingatkanku pada masa – masa itu. Dihinggapi kerinduan yang mendalam untuk menabung kata kembali atau hanya sekedar rasa iri. Entahlah. Kesunyian menyergap diantara kami malam itu. Ada dinding – dinding kosong dalam pikiranku yang menagih janji, kapan akan kau penuhi?
***
“Dari tadi aku yang terus berceloteh. Kau tidak bosan yah mendengarnya?”
“Sejujurnya, Tidak. Semenit yang lalu aku tersadar bahwa aku ingin terus mendengarnya. Mulai hari ini aku akan selalu menyediakan telingaku untukmu.”
“Untuk apa? Justru kau yang membutuhkannya daripada aku. Lagipula aku sudah punya sepasang telinga yang akan menemaniku sepanjang usiaku. Tidak hanya sepasang telinga, mulut yang berbicara, jemari yang mengetik, imajinasi yang terbagi, kaki yang akan melangkah bersamaku.”
“Maksudmu?”
“Aku akan menikah! Tidak sekarang, mungkin dua bulan setelah ia mendapat pekerjaannya.”
“Maksudmu? Akhirnya kau temukan si pangeran berkuda putih itu?”
“Hahahahahaa .... aku bukan lagi seorang putri di dalam istana yang menunggu pangeran datang. Aku hanya perempuan tua yang ingin menikah. Perempuan tua yang ingin mempunyai anak perempuan yang kelak memanggilku Ibu. Jangan tertawa sinis padaku. Kerealitasanmu mengajarkan aku untuk mempunyai visi dan misi dalam hidup, dalam hubungan. Tapi, bukan berarti aku meninggalkan mimpiku begitu saja. Jadi, hey kau si realitis apa visi misimu.?”
“Visi misi?”
“Iyah, apakah setiap pertanyaanku harus kau jawab dengan tanya juga?”
“Menghasilkan uang tentu saja.”
“Apakah kau tidak ingin menikah? Aku tidak ingin berlama – lama pacaran, sepertimu. Jangan membuang waktumu untuk hal – hal yang tidak bermasa depan. Rasanya kau telah kehilangan mimpi. Aku tahu pemikiranmu yang serba atau so realitis itu, namun kau harus punya mimpi, mimpi yang bisa kau kejar, yang bisa kau capai.”
Dia mengambil sebatang rokok dan mulai menyalakannya, menghisapnya dengan dalam, menghembuskannya dan mulai menceritakan suatu dongeng yang berjudul The Old Tree and a Leaf
Apakah kau tahu bahwa impian dari sebatang pohon tua
adalah melihat banyak hal yang mengagumkan.
Bertualang ke berbagai dunia menjadi seorang pengembara.
Apakah kau juga tahu impian selembar daun
hanyalah hidup di dunia fantasi, dunianya sendiri.
Ini bukanlah sebuah dongeng tentang putri dan pangeran berkuda putih,
ini tentang kisah sederhana
pohon tua dan selembar daun yang dengan setia
menemaninya bertualang,
menggembara ke dunia yang penuh fantasi.
Dimana tumbuh sebuah pohon
distu pulalah tumbuh dedaunan.
Ribuan kali, aku akan tumbuh di dahanmu
Dalam kekokohan, dalam tunggul
Menjadi legenda tentang pohon tua dan selembar daun
Sampai bumi tidak lagi membutuhkan kita
Sampai waktu lenyap dari semesta
-MyFairyTaleMyTale.blogspot.com-
Malam itu si pemimpi mengajarkan satu hal penting dalam hidupku. Jangan pernah meninggalkan mimpi – mimpimu membusuk. Mati namun tetap hidup di dalam urat nadimu. Menunggu untuk kau seru namanya.
Akan kupanggil mimpi itu nanti, suatu saat kelak. Jika tabungan kataku sudah cukup.
Terima kasih kepada hujan dan malam yang menggulirkan cerita.
tunggu ya.. tulisan ini pasti ku balas :)
ReplyDeletedengan senang hati menunggu ....
ReplyDelete