Sayap selalu terlahir
sepasang, sayap kanan dan sayap kiri. Mahluk apa pun yang tercipta baik
oleh Tuhan maupun Manusia, sebagai ciptaanNya, selalu memiliki sepasang sayap.
Dapatkah kau bayangkan jika sayap kiri dan sayap kanan terpisah. Dapatkah kau rasakan
apa yang dirasakan oleh sayap yang hanya separuh?
Ini adalah sebuah
kisah yang ingin kuceritakan padamu. Kisah tentang sepasang sayap yang
terpisah. Percaya tidak? Sudah dengarkan saja yah.
Dahulu, sepasang sayap
ini selalu terbang bersama-sama. Mereka sangat suka mengarungi cerita demi
cerita, terkadang mereka iseng ikut masuk ke dalam ceritanya dan berlagak
sebagai tokoh di dalamnya. Mereka mengikuti alur cerita yang dibawakan oleh
Sang Sutradara. Mereka adalah mahluk yang diciptakan oleh Tuhannya, Sang
Sutradara.
Berbagai cerita
bahagia dalam tiap babaknya, sepasang sayap tidak pernah sekali pun absen. Seperti yang aku katakan, mereka sangat suka
mengarungi cerita demi cerita. Tiap adegan yang berubah menjadi babak, mereka
selalu ada dalam cerita, sepasang sayap tak akan lengkang oleh waktu.
Mereka mulai memahami bahwa terkadang dalam sebuah cerita yang dibawakan sutradara tidak selamanya
tentang bahagia, ada kesedihan, luka, perpisahan, dan adengan yang paling
menyebalkan bagi mereka adalah adegan sayap yang terluka. Mereka tidak ingin ada
kesedihan dalam tiap cerita. Terbanglah mereka menembus cakrawala dunia, dimana
kesedihan mulai tampak dari langit yang mendung dan kotor. Mereka tidak bisa terbang lagi karena kesedihan sudah tersebar. Kesedihan menyebar dengan cepatnya. Langit yang mengeluarkan
kesedihan membuat gerakan salah satu sayap melemah. Mereka terbang rendah perlahan mencari tempat
peristirahat, lelah mengepak-ngepakkan sayap.
Dengan sangat
keletihan sayap kanan berkata kepada sayap kiri,
“Kau beristirahatlah di sini. Aku akan terbang sendiri mencari tempat yang lebih baik dimana tidak ada lagi kesedihan.”
“Tidak mungkin ada tempat yang seperti itu.”
“Ada, aku yakin ada. Aku akan mencarinya untukmu.”
“Tapi tak mungkin kau terbang hanya dengan separuh sayap?”
“Tapi aku juga tidak mungkin terbang bersamamu, kau kelelahan. Istirahatlah dulu, nanti aku akan menjemputmu.”
“Kapan?”
“Secepatnya setelah aku menemukan tempat itu. Kesedihan tidak cocok untukmu, lihat bentukmu sudah kacau tak beraturan.”
“Kalau kau tidak juga menemukannya? Artinya kau tidak akan menjemputku?”
“Aku akan menjemputmu. Janji!”
Dan pergilah sayap
kanan meninggalkan sayap kiri. Sayap kiri memang lebih lemah, bulunya mulai rontok jika berhadapan dengan kesedihan. Dia tidak akan tahan dengan
kesedihan. Berbeda dengan sayap kanan yang lebih kuat dan bisa menahan
kesedihan, lebih tegar. Dengan pergi bersama akan menambah beban kepakan sayap
kanan. Keputusannya meninggalkan sayap kiri adalah tepat. Dia akan berusaha
mencari tempat tanpa kesedihan untuk sayap kiri.
Ditinggalkan sayap
kanan merupakan kesedihan baginya. Selama ini mereka belum pernah
terpisah. Dia yang menyadari kondisinya yang lemah tak kuasa menahan
kepergiannya sayap kanan. Bisa saja dia menyusul dan mereka akan menjadi sepasang kembali. Tapi, itu hanya akan menjadi beban bagi sayap kanan. Menyesal.
Mengapa dia terlahir sebagai sayap kiri yang lemah, tidak tegar seperti sayap
kanan yang sudah terbiasa menghadapi kesedihan.
Berhari-hari lamanya
sayap kanan tak juga datang. keadaan sayap kiri semakin lemah dan tak berdaya. Yang dibutuhkannya
bukan kebahagiaan atau tempat tanpa kesedihan, yang dia percaya tidak ada.
Keberadaan sayap kananlah yang menjadi tumpuan hidupnya. Sayap kanan yang selama ini menjadi obat tiap bilur kesedihannya, pahlawannya. Semakin hari, semakin
menipis bulu-bulu dalam tubuhnya. Hanya berbaring lemah tak berdaya menunggu
sayap kanan datang menjemput. Merindu terbang bersama kembali mengarungi cerita
demi cerita menembus cakrawala. Bulu-bulunya telah rontok, perlahan habis
bersama tubuhnya tak tersisa menjadi debu. Debunya terbang bersama angin yang berhembus
kepada sayap kanan yang juga telah menjadi debu. Karena sayap memang terlahir sepasang, bukan separuh.
***
Separuh Sayap |
.
No comments:
Post a Comment